Di tengah kegelapan hanya ada suara hembusan nafas. Nafasnya begitu panjang bahkan terdengar begitu menyayat hati. Tetesan air membasahi kedua pipi jatuh ke tanah. Malam ini bukan hanya luka dalam raga, namun luka yang menusuk menguasai batinnya sangat menyiksa.
Semua yang menjadi miliknya lenyap sudah dalam sekali tatap mata, bahkan untuk berteriak saja. Dia tak bisa mengeluarkan suara. Nyatanya, kini ia sebatang kara.
Malam begitu pekat meninggalkan hasrat yang tak lagi memiliki semangat hidup. Bersembunyi di balik kegelapan berteman dengan kesunyian.
Inikah yang dinamakan kematian? Tidak ada cahaya, tidak ada harapan, tidak ada mimpi. Apalagi kehidupan. Warna merah yang berceceran di depan mata, membuat jiwanya bergetar hebat.
Apakah semua yang ia lihat itu nyata. Keluarganya sudah menjadi korban pembantaian. Suara jeritan dengan rintihan pilu yang mengantarkan seluruh kesadarannya. Dia ingin membantu, namun tatapan mata yang terus terpatri padanya memberikan penolakan.
Ibu, Ayah. Jangan tinggalkan aku sendiri. Bawalah aku bersama kalian.~ Batinnya meratap sedih.
Awan gelap bersambut petir yang menggelegar. Kegelapan itu menenggelamkan kebenaran. Tidak ada yang tahu, apa yang terjadi. Kecuali dia yang melihat segalanya. Sang waktu hanya menuntut melepaskan untaian kenangan yang terkenang.
Tiba-tiba suara alarm berdering begitu keras. Dari balik selimut putih nan lembut menyembul tangan kanan kekar yang berhias tatto elang. Disamparnya alarm yang mengusik alam mimpinya.
"Ouh, **!*! Kenapa udah siang aja, sih." umpatnya seraya menyibak selimut yang menutupi seluruh tubuhnya.
Siluet pantulan sinar matahari jatuh memancarkan bayangan keindahan. Wajahnya rupawan, dengan alis tebal melengkung. Hidung mancung bak perosotan, bibir menggoda walau tak bisa tersenyum. Tubuhnya begitu kekar dengan otot-otot yang menonjol, apalagi delapan roti sobek yang bisa membuat kaum hawa meronta.
Begitu berdiri, lalu menatap dirinya sendiri dari pantulan cermin. Ada perban yang melingkar diperut nya. Tangan yang melepaskan perban secara perlahan, tetapi tidak ada ringisan atau keluhan rasa sakit. Wajah pria itu tetap saja datar.
"Tuan, sarapan sudah siap." lapor seseorang dari luar kamar.
Bukannya menjawab. Pria itu semakin menyibukkan diri mengobati luka yang nampak masih baru. Sebuah luka tusuk yang terlihat cukup dalam, "Aku harus menjahit luka s!alan ini."
Tatapan matanya begitu tajam seperti elang, tangannya bergerak tanpa gemetar. Tanpa suara, ia menjahit luka itu sendiri, bahkan tidak peduli dengan darah segar yang terus saja mengalir. Entah luka yang keberapa karena tubuh kekar itu memiliki beberapa bekas jahitan.
Lima belas menit. Akhirnya pengobatan mandiri terselesaikan. Tanpa menunda lagi, ia melangkah masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sementara di bawah, para pelayan sibuk menyajikan makanan. Ntah apa yang membuat semua orang melakukan pekerjaan dengan buru-buru.
"Yuke! Mejanya masih berdebu, cepat bersihkan lagi." ucap salah satu pelayan yang memiliki tugas untuk memeriksa pekerjaan semua pelayan, sedangkan yang di panggil bergegas mengambil penyemprot dan lab baru untuk membersihkan meja makan sekali lagi.
Tubuhnya yang gempal, membuat Yuke sulit bergerak cepat. Melihat jarum jam yang terus berdetak seirama dengan detak jantungnya. Bagaimana jika Tuan turun dan melihat debu di atas meja? Ouh, gawat. Itu tidak boleh terjadi.
Pemilik mansion adalah pria perfeksionis. Semua harus rapi, bersih dan juga wangi. Yuke kembali mengelap meja, tetapi gadis gempal itu tak menyadari. Dimana ketika semprotan pewangi disemprotkan. Cairan itu juga mengenai tudung saji makanan yang terbuat dari kayu.
Jarum jam semakin cepat, hingga terdengar dentingan terakhir. Waktu yang sama, setiap kali Tuan keluar dari kamar. Sontak semua pelayan berbaris rapi di sebelah kiri meja, walau dengan jarak dua meter dari meja makan. Mereka menunggu Tuan turun.
Tidak seorangpun berani melirik ke atas tangga. Apalagi menoleh mencoba melihat wajah Tuan. Peraturan yang ketat sudah ditetapkan. Siapapun yang ingin langgeng bekerja di rumah itu, maka harus taat pada peraturan.
Suara langkah kaki terdengar menuruni anak tangga satu persatu. Aroma maskulin menyebar mengudara. Semakin mendekat, membuat para pelayan gemetaran menundukkan pandangan mereka. Keheningan melanda, hingga teralihkan suara tarikan kursi.
"Yuke!" panggilan dingin sang Tuan menyentak kesadaran semua pelayan.
.
.
.
.
...──────⊹⊱✫⊰⊹──────...
.
.
.
Welcome ke karya Othoor yang baru.
Semoga kalian suka, ya.
Bukan horror sih, tapi bisa memacu adrenaline.
Pokoknya stay tuned,
Jangan lupa, tinggalkan jejak kalian.
LIKE, COMMENT, GIFT juga boleh seikhlasnya.
Sebarkan semangat yuk, 🥰🤝🥰
"Yuke!" panggilan dingin sang Tuan menyentak kesadaran semua pelayan.
Matilah aku. Apa salahku, ya?~ batin gadis bertumbuh gempal, ingin rasanya berlari, tetapi jangan untuk lari. Sekedar menggerakkan satu mili engsel tubuhnya saja, ia tak sanggup lagi.
Yuke tahu. Jika saat ini, semua orang tengah menahan nafas. Tentu, mereka ingin menjaga diri mereka sendiri. Seakan takut, akan ada mayat hidup berpatroli. Setengah kesadaran yang tersiksa, membuat gadis gempal itu bergerak seperti robot rusak.
Lelet. Itulah penilaian sang tuan. Keterlambatan sang pelayan menghabiskan waktunya yang berharga. Tanpa permisi, pria itu menjentikkan jemarinya. Tiba-tiba hembusan angin berhenti, semua orang mendadak diam membeku.
Tidak peduli dengan kekuatan yang ia miliki disebut anugrah atau kutukan. Baginya, semua hanyalah sarana untuk mendapatkan seluruh tujuan hidupnya. Tanpa berpikir dua kali, ia meraih pisau buah yang tergeletak di atas ranjang. Lalu berjalan menghampiri Yuke sang pelayan.
Tuan Muda berhenti, lalu memperhatikan tubuh pelayannya itu. Tidak cantik, tetapi justru seperti bola karena saking gempalnya. Pisau yang ia genggam, dialihkan berubah menjadi Yuke yang menggenggamnya. Tak lupa, ia juga memposisikan pisau itu tepat mengarah ke tangan lain sang pelayan.
Langkahnya memutari tubuh si pelayan hingga berdiri di belakang semua pelayan yang berbaris menunduk. Sekali lagi, menjentikkan jemarinya. Waktu yang terhenti kembali berputar. Tak berselang lama terdengar suara jeritan dari Yuke.
Pelayan yang malang. Akibat keteledorannya, gadis itu melukai tangannya sendiri secara reflek. Namun, semua dikejutkan dengan kepergian Tuan Muda mereka. Sebenarnya banyak pertanyaan yang terus mengusik ketenangan mereka.
Bagaimana tidak? Setiap kali, Tuan Muda memanggil nama salah satu pelayan. Maka sesuatu yang ganjil selalu terjadi. Tempo hari, tiba-tiba pak kebun berteriak minta tolong. Pria yang baru bekerja selama satu bulan itu, mengalami luka potong tangan kirinya.
Bagaimana semua itu terjadi? Tidak ada yang bisa mencerna karena semua seperti separuh kejadian. Walau begitu, tidak mungkin menuduh Tuan Muda karena sang majikan bahkan tidak berada di tempat kejadian. Sama seperti hari ini, di saat Yuke menggores tangannya sendiri.
Semua peristiwa, tak ubahnya peristiwa yang terus berulang dari waktu ke waktu. Ini biasa di sebut dengan Dejavu. Maka, perasaan yang sama akan selalu hadir tanpa diminta.
Mereka semua tinggal di dalam rumah seorang pria yang memiliki kekuatan tersembunyi. Di dunia modern, hal seperti itu mustahil, tetapi sungguh itu masih ada. Meski tidak semua orang tahu, kecuali mereka yang terlahir sebagai sang pemburu kekuatan.
Beralih pada sang Tuan Muda. Pria yang tengah duduk di kursi kebesarannya itu, duduk sambil menatap bingkai foto persegi panjang. Namun, tidak ada satu fotopun yang menghuni bingkai tersebut. Tatapan mata kosong, seluruh pikirannya berkelana mencoba menyatukan serpihan memori.
Tarik nafas, buang. Tarik nafas, buang. Berulang-ulang dilakukan, namun tak mengubah kegelisahan yang menggerogoti hati dan pikirannya. Bayangan topeng ditengah kegelapan bersama kilauan pedang masih menjadi satu-satunya bukti mencapai tujuan hidupnya.
Rasa sakit yang mendera, bintang-bintang yang berputar. Semakin menyiksa, "Arrrggghhh,"
Suara erangan itu menggema, bahkan memantul. Sekelebat bayangan terus menghantuinya, tangan panjang mencoba untuk menggapainya. Sekuat tenaga menahan nafas bersembunyi dari balik kegelapan. Tiba-tiba ruangan besar itu mengecil, semakin lama terasa semakin menyesakkan.
Keringat bercucuran dengan kedua tangan mengepal. Otot-otot yang menyembul, serta wajahnya yang pucat pasi. Ini bukan mimpi. Semua bayangan hitam yang siap merenggut nyawanya terus mencoba melacak keberadaannya.
Tuan Muda memejamkan mata, memulai hitungan yang akan menjadi ketenangannya. Hitungan dimulai. Perlahan badai yang mencengkram jiwa melebur menghilang bersama hembusan angin. Ia tak bisa menggunakan kekuatannya.
Setiap kali, para bayangan mencoba mendekat. Rasa sesak yang mencengkram akan menjadi ayunan kematian baginya. Setiap kali, maut bersiap menyentuh jiwanya. Suara lembut yang tersimpan di dalam memory akan terdengar bagaikan lagu nina bobo. Nasehat yang selalu ia dengarkan sebelum tidur.
"Putraku, sayang. Sebanyak apapun bayangan mencoba merebut inti jiwamu. Cinta kami akan selalu melindungimu. Seperti malam tak berbintang, jangan pernah membiarkan rasa takut menguasai hati mu."
"Putraku, sayang. Sebanyak apapun bayangan mencoba merebut inti jiwamu. Cinta kami akan selalu melindungimu. Seperti malam tak berbintang, jangan pernah membiarkan rasa takut menguasai hati mu."
Seketika seluruh rasa takut sirna tak berbekas. Hitungan telah usai. Deru nafas kembali teratur. Diraihnya bingkai kosong yang selalu menjadi cambuk ingatan. Sosok yang selalu menjadi bayangan, tak sekalipun berubah menjadi gambar yang nyata. Siapa dia yang membantai kedua orang tuanya?
"Siapapun kamu. Aku pastikan ajalmu lebih menyakitkan dari penyiksaan yang dirasakan orang tuaku." Tuan Muda meletakkan bingkai foto ke tempat semula, lalu beralih menarik laci pertama di sebelah kiri meja kerjanya.
Beberapa file berjejer rapi sesuai warna yang senada. Setiap file tertera nama perusahaan dan juga divisi. Jemari yang sibuk memilih hingga jatuh pada pilihan sebuah nama, tetapi bukan dari perusahaan. Melainkan file pekerjaan yang ia dapatkan dari orang asing. File merah dengan kertas putih stempel nama Ayunda Naila.
Laci ditutup, lalu file dibuka. Netranya fokus membaca isi file itu, bahkan teramat serius hingga tidak mempedulikan apapun yang terjadi di luar sana. Waktu yang berlalu, terus bergulir. Pekerjaan yang ia geluti, bukan sebuah pekerjaan biasa.
Bayangan aksi laga yang semalam, bahkan masih membekas dalam ingatannya. Walau begitu, pria itu memiliki sebuah prinsip. Setiap pekerjaan harus bersih dari bukti dan saksi. Termasuk pekerjaan semalam. File yang ada di ruang kerja merupakan kiriman paket dari seseorang yang menjadi kepercayaannya.
Pekerjaan berikutnya datang dari Ayunda Naila. Status file tiga hari dari hari pengiriman. Entah apa yang akan menanti di depannya nanti, tapi setelah selesai membaca isi file. Sesuatu mengusiknya. Apakah pekerjaan kali ini lebih sulit atau lebih mudah? Ia pun tak tahu.
Satu sisi Sang Tuan yang hidup ditengah perkotaan terus berusaha menemukan titik terang akan masa lalunya. Sementara di suatu tempat, di dalam kegelapan dengan sinar cahaya merah. Kursi tahta dengan lambang tengkorak menjadi perebutan.
Setelah kematian dari pemimpin yang secara mendadak menggemparkan seluruh ras. Para rakyat menuntut untuk segera mendapatkan pemimpin baru. Namun, dari para perwakilan justru saling menuding atas pembunuhan yang menjadi penyebab kekacauan.
Suara demo di luar sana, membuat seorang gadis yang tengah berduka mengusap air matanya. Gadis berusia sembilan belas tahun yang selama ini hidup dengan manja. Tiba-tiba berubah menjadi pendiam, ia tak menyangka akan menjadi yatim piatu dalam waktu semalam.
Dialah putri dari pemimpin Ras Pengendali pikiran. Ayahnya selama sepuluh tahun terakhir memimpin ras tersebut dengan bijaksana, bahkan terkesan melindungi setiap rakyat yang meminta perlindungannya. Tidak sekalipun, dia melihat sang ayah berlaku ketidakadilan.
Akan tetapi, kenapa ada orang yang tega membantai ayahnya, bahkan tidak mengampuni ibunya juga. Sekarang, keributan akan tahta yang kosong memanaskan hati para manusia berhati serakah. Tiba-tiba, ada tangan yang menyentuh pundaknya.
"Starla, bersiaplah! Tahta ayah mu tidak boleh jatuh ke tangan orang lain. Apa kamu ingat, pesan terakhir beliau?"
Starla Gisela. Putri dari Tuan tanah Morgan. Ras pengendali pikiran yang mendiami wilayah pesisir hutan perbatasan pantai. Wilayah dengan keindahan alam dan juga rempah-rempah yang melimpah. Setiap rumah akan memiliki mata pencaharian sebagai petani dan juga merangkap sebagai nelayan.
Itu semua hanya kamuflase karena setiap para pengendali pikiran memiliki keahlian khusus untuk melakukan pekerjaan lain. Pekerjaan terselubung, termasuk beberapa ada yang menjadi anak buah polisi. Biasanya, para tersangka kejahatan akan mendapatkan bimbingan konseling.
Yah, bukan hanya anak sekolah, tetapi metode itu sangat praktis agar para penjahat mengakui semua kejahatan mereka. Walau begitu, jika sampai Tuan Morgan tahu. Maka akan mendapatkan hukuman. Ras pengendali pikiran. Siapa yang akan percaya adanya kelompok manusia dengan kemampuan itu?
"Bi, Starla belum siap untuk menjadi pemimpin." tolak gadis itu, membuat semua orang yang menjadi pendukung setia ayahnya menunduk lemas.
Sisa harapan sirna. Tatapan mata lesu. Orang-orang diam tak bergeming, tetapi semua pikiran bisa terbaca. Suara-suara yang terus memenuhi kepalanya semakin menyiksa. Rasanya ingin berteriak agar suara yang berkecamuk itu berhenti. Namun, ia sadar. Harapan rakyat tidak salah.
Menahan luka, siksaan batinnya. Starla bangkit, sorot mata berpendar mengamati duka yang dirasakan oleh semua orang. Disini, yang merasa kehilangan bukan hanya dia seorang. Lalu, kenapa hatinya hanya memikirkan keegoisan diri?
"Kumpulkan semua orang di aula!" tegas Starla membuat semua orang sumringah, mereka merasakan aliran hangat dengan sinar harapan. "Umumkan, pemakaman terakhir Ayah Morgan akan dilangsungkan bersama penobatan ku."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!