NovelToon NovelToon

The Bodyguard

A Night in Casa de Luca

Malam sudah semakin larut. Suasana sunyi menaungi Casa de Luca. Di luar hanya terlihat beberapa penjaga pintu gerbang yang sedang bertugas. Sementara di dalam bangunan keadaan sudah gelap, karena sebagian besar lampu utama telah dimatikan.

Tak ubahnya dengan keadaan di dalam kamar Miabella. Cahaya temaram dari lampu tidur saja yang masih menyala. Namun, meski begitu nyatanya wajah cantik sang pemilik kamar masih tetap terlihat dengan jelas, dalam pandangan mata biru seorang Carlo. Pria tampan itu duduk dengan selimut yang menutupi bagian bawah tubuhnya. Sementara dada yang dihiasi ukiran tato hingga ke lengan, dia biarkan terekspos begitu saja.

Carlo tersenyum simpul menatap paras cantik Miabella yang sudah terlelap. Dipandanginya tubuh mulus gadis itu yang hanya tertutup selimut hingga ke dada. Tak pernah terbayangkan, beberapa saat yang lalu dia kembali mereguk kenikmatan bersama gadis muda yang selama ini selalu dirinya panggil dengan sebutan 'nona'.

Entah apa yang akan terjadi jika Adriano mengetahui hubungan rahasianya dengan Miabella. Carlo telah melanggar peraturan yang telah ditetapkan oleh sang ketua Tigre Nero tersebut.

Helaan napas berat meluncur begitu saja dari bibir pria berkumis tipis itu. Nama Nikolai Volkov dan Fabiola kembali hadir dalam benaknya. Setelah itu, muncul nama Viktor Drozdov yang disebut-sebut sebagai dalang dari kematian sang ayah. Carlo masih belum bisa memastikan apakah cerita itu benar adanya, atau hanya bualan semata.

"Kau belum tidur?" Suara parau Miabella memecah renungan Carlo dalam keheningan malam itu. Gadis cantik tersebut mengulurkan tangan, lalu meraih jemari sang pengawal yang juga merupakan kekasihnya.

Carlo tersenyum kalem seraya menggenggam erat jemari lentik Miabella. Diciumnya dengan dalam punggung tangan gadis yang sudah sejak lama dia idamkan. Kini, si pemilik mata abu-abu itu telah dia miliki, meski masih secara sembunyi-sembunyi.

"Apa yang kau pikirkan?" tanya Miabella seraya menatap lembut pria tampan yang juga tengah memandang penuh cinta kepadanya.

"Tidak ada. Aku hanya tidak percaya karena bisa melihatmu tertidur di sampingku, dalam keadaan seperti ini," jawab Carlo. Dia mengalihkan sentuhan pada lengan serta pundak Miabella. Halus dan begitu lembut, Carlo merasakan permukaan kulit putih dan bersih itu dengan telapak tangannya.

Sementara Miabella hanya menggumam pelan. Gadis berambut cokelat tersebut menyunggingkan senyuman manis saat menerima perlakuan seperti tadi dari seorang Carlo.

"Apa kau lelah, Cara mia?" tanya Carlo setengah berbisik. Tanpa menunggu jawaban dari Miabella yang masih menatap lekat dirinya, Carlo kemudian merebahkan diri di sebelah gadis itu. Mereka pun saling berhadapan. "Kau sangat cantik," ucap Carlo sembari membelai lembut pipi sang kekasih.

"Begitukah?" Miabella masih melayangkan tatapannya yang penuh cinta.

"Tentu saja." Carlo tersenyum memesona.

"Astaga," ucap Miabella pelan.

"Kenapa?" tanya Carlo seraya menautkan alisnya yang hitam dan cukup tebal.

"Senyumanmu membuatku gila," sahut Miabella tertawa pelan, dengan wajah sayu dan suara yang terdengar parau.

"Kau membuat duniaku terguncang," balas Carlo. Dia bergerak sedikit ke atas Miabella, kemudian mencium mesra gadis cantik tersebut. Pertautan manis pun berlangsung untuk beberapa saat, sehingga kembali membangkitkan hasrat yang sempat tertidur dalam diri pria tampan tiga puluh empat tahun tadi. Carlo kembali menjamah dan menikmati raga indah sang nona muda, hingga putri dari mendiang Matteo de Luca tersebut lagi-lagi merasa takluk dalam kegagahannya.

Malam itu, kembali mereka ulangi percintaan panas tersembunyi di antara keduanya. Miabella ataupun Carlo belum berani bersikap terbuka kepada Adriano. Padahal sang ketua Tigre Nero sudah mengabarkan bahwa dia akan kembali dari Yunani dan berkunjung ke Italia.

Carlo mengeluh pelan. Pria itu mengempaskan napasnya dalam posisi telentang. Rasa lelah setelah mengulang permainan memeras keringat bersama Miabella mulai melanda. "Tidurlah," ucapnya kepada Miabella juga tampak sangat kelelahan.

"Kau juga harus tidur. Temani aku," balas Miabella manja.

Tanpa diminta, Carlo semakin mendekatkan diri kepada gadis cantik itu. Dia mendekap tubuh Miabella yang tertidur dengan posisi membelakangi. "Aku mencintaimu," bisik Carlo sembari mengecup lembut pundak Miabella. Namun, gadis cantik tersebut tak menyahut. Dia rupanya sudah tertidur dengan cepat. Carlo pun tersenyum seraya menggumam pelan. Tak berselang lama, sepasang mata birunya terpejam. Carlo mulai terhanyut dalam mimpi yang membuat pria tiga puluh empat tahun itu kian lelap dalam tidurnya.

......................

Cahaya mentari telah muncul dan menelusup masuk menembus tirai berwarna putih. Suara derap langkah hak sepatu menggema di dalam koridor. Seorang pria berperawakan tegap, tengah berjalan dengan gagah dan penuh wibawa. Ketampanan dan kharisma luar biasa dari pria tadi memang tak dapat dipungkiri lagi.

Perlahan, Carlo membuka mata. Dia melihat Miabella masih terlelap di dalam pelukannya. Pria itu tersenyum lembut. Dibelainya paras cantik putri sulung Mia, yang tak merasa terganggu meskipun Carlo menyentuh wajahnya dengan tanpa henti. Makin lama, sentuhan lembut Carlo akhirnya berpengaruh juga terhadap Miabella. Gadis cantik berambut panjang itu menggeliat pelan, seraya membuka mata. "Selamat pagi," sapa Carlo mesra.

"Selamat pagi," balas Miabella tersenyum manja. "Bolehkah jika aku berada di tempat tidur sepanjang hari?" Parau suara gadis itu teramat menggoda di telinga Carlo.

"Apa aku harus menemanimu di sini?" Pria dengan banyak tato di tubuhnya tersebut menyunggingkan senyuman nakal.

"Oh astaga, kau sangat menggemaskan," balas Miabella seraya mencubit pangkal hidung si pria. Tawa manja kembali terdengar darinya. Namun, tak berselang lama suara tawa itu terhenti, ketika terdengar suara ketukan di pintu.

"Bella, apa kau sudah bangun?" Suara seorang pria yang begitu Miabella kenal, terdengar begitu jelas dari luar kamarnya.

Seketika Miabella dan Carlo saling pandang dengan raut wajah yang terkejut bukan main. Tanpa banyak bicara, Carlo melompat dari tempat tidur. Dia meraih semua pakaiannya yang tercecer di lantai. Pria berambut gelap tadi segera masuk ke dalam kamar mandi. Sementara Miabella sibuk berpakaian.

Setelah Carlo berlalu untuk bersembunyi, Miabella pun beranjak ke arah sumber suara. Gadis itu mengacak-acak rambutnya, kemudian menguap panjang sambil membuka pintu. Dia berlagak seolah dirinya baru bangun tidur. Miabella juga memasang ekspresi terkejut, saat melihat seseorang dengan kemeja putih yang sudah berdiri tegak di luar kamarnya. "Daddy Zio!" sorak Miabella dengan antusias. Gadis cantik itu melonjak kegirangan saat menyambut sang ayah sambung.

"Tinggal di sini, kau menjadi pemalas rupanya," ucap Adriano. Dia melihat ke dalam kamar Miabella, dengan tempat tidur yang masih terlihat acak-acakan. Adriano bahkan menerobos masuk ke sana dan berdiri di tengah-tengah ruangan, tepatnya di dekat ujung ranjang.

"Ada apa, Daddy Zio?" tanya Miabella mencoba untuk terlihat biasa saja. Sebisa mungkin gadis itu menyembunyikan perasaan was-was yang sedari tadi menderanya. Dia memperhatikan Adriano yang tengah mengedarkan pandangan pada setiap sudut ruangan. "Apa ibu dan Adriana ikut kemari?" Miabella mencoba mengalihkan perhatian sang ayah dengan mengacaukan konsentrasinya. Namun, Adriano terlalu fokus. Dia bahkan seolah tak mendengar pertanyaan dari Miabella.

"Daddy Zio." Miabella mengandeng lengan kekar sang ayah. Secara tak langsung, gadis itu berusaha membawa Adriano ke dekat pintu. Dia bahkan sedikit menyeret pria paruh baya tersebut hingga ke luar kamar. "Apa kau tidak mendengarku, Daddy Zio?" tanya Miabella lagi. Barulah saat itu Adriano menoleh padanya. "Apakah ibu dan Adriana ikut datang kemari?"

"Ya," jawab Adriano, "mereka ada di kamarnya masing-masing." Pria dengan beberapa helai rambut putih yang bercamur dengan rambut hitamnya tersebut, kembali mengarahkan perhatian ke dalam kamar sang putri.

"Kalau begitu, temani aku bertemu ibu. Aku sangat merindukan dia," ajak Miabella lagi. Dia terus berusaha manjauhkan Adriano dari kamarnya. Setengah memaksa, Miabella menarik lengan sang ayah agar pergi dari sana.

Akan tetapi, baru saja mereka akan beranjak, Mia muncul dari arah koridor. "Hai, Sayang. Bagaimana kabarmu?" Hangat, wanita itu menghambur ke arah Miabella dan memeluknya dengan penuh cinta. "Astaga, aku sangat merindukanmu, Bella." Mia memeluk erat putri sulungnya.

Sementara Miabella terlihat tak karuan. Segala rasa bercampur menjadi satu dalam diri gadis itu, dan yang terbesar adalah kekhawatiran akan keberadaan Carlo di dalam kamar. Raut wajah Miabella pun menjadi tampak aneh. Namun, gadis cantik tersebut tetap berusaha menunjukkan sikap yang biasa saja. "Aku juga sangat merindukanmu, Bu. Bagaimana Yunani?" tanya Miabella basa-basi.

"Selalu indah. Seperti biasanya," jawab Mia. "Ayo kita ke kamarmu. Aku punya sesuatu yang sengaja kubawa dari sana," ajaknya.

"Baiklah. Kalau begitu aku akan menemui Carlo dulu," ucap Adriano seraya berlalu, dari hadapan kedua wanita yang sangat berharga dari hidupnya tersebut.

Outcast

Adriano melangkah gagah menuju kamar Carlo yang berada di ujung koridor. Ragu tangannya hendak mengetuk pintu. Namun, setelah beberapa saat, Adriano memutuskan untuk memanggil pengawal pribadi sang putri, yang juga merupakan anak asuhnya.

“Carlo!” panggil pria itu sambil mengetuk daun pintu pelan.

Tak mendapat jawaban, Adriano kembali mengetuk dengan lebih kencang. Namun, tetap tak ada jawaban. Suasana di sana pun terasa begitu hening. Pria rupawan itu menarik napas panjang. Jelas sudah bahwa anak asuh kesayangannya tersebut tidak sedang berada di dalam kamar. Raut wajah Adriano mendadak berubah kecewa.

Adriano menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Dia kemudian berlalu dari sana. Pria yang masih terlihat tampan di usianya yang tak lagi muda itu hendak kembali ke kamar Miabella, saat dirinya berpapasan dengan Dante yang tampak terburu-buru. “Tuan?” sapa salah satu anak buah kepercayaannya.

“Dari mana kau?” tanya Adriano datar.

“Aku baru saja kembali dari mencari nona muda Miabella, Tuan. Ada sedikit masalah di perkebunan,” jawab Dante sopan.

“Hm. Apa kau sudah bertemu dengan putriku?” tanya Adriano lagi.

“Tidak, Tuan. Nona tak ada di kamarnya. Aku hanya melihat Carlo yang baru keluar dari sana,” terang Dante.

Adriano sempat terdiam beberapa saat, lalu menyunggingkan senyuman samar. “Berarti tepat dugaanku,” gumamnya pelan. Namun, Dante masih dapat mendengar hal itu dengan jelas.

“Apa maksudnya, Tuan?” Dante mengernyitkan kening karena tak mengerti.

“Tidak ada. Sekarang kau cari Carlo dan suruh dia untuk menemuiku di ruang kerja,” titah Adriano seraya membalikkan badan. Dia berjalan dengan gagah ke bagian lain dari bangunan megah Casa de Luca.

“Matteo,” ucapnya lirih ketika melewati lukisan besar bergambar seorang pria tampan berambut hitam dan bermata abu-abu.

Adriano berdiri sejenak di sana.

Diperhatikannya lukisan itu dengan lekat. Mata indah pria di dalam lukisan tersebut begitu mirip dengan mata Miabella, sang putri sambung. “Putrimu ... sudah tumbuh dewasa sekarang. Aku merawatnya dengan penuh cinta hingga dia sebesar sekarang. Namun, dia sudah membuatku bersedih,” ujar Adriano yang seakan-akan menganggap bahwa lukisan itu dapat mendengar keluh kesahnya.

Tak berselang lama, Adriano kembali melanjutkan langkah. Dia kini telah tiba di depan ruang kerja milik mendiang Matteo de Luca, sang pemilik sebenarnya dari bangunan megah berarsitektur khas tuscany tersebut. Adriano membuka pintu ruangan itu lebar-lebar dan masuk ke dalamnya. Dia memilih untuk berdiri di dekat jendela yang mengarah langsung pada hamparan perkebunan anggur seluas mata memandang.

Cukup lama Adriano berdiri di sana dengan angan yang berputar pada belasan tahun silam, ketika sosok Carlo yang saat itu masih berumur tujuh belas tahun datang padanya dan meminta pekerjaan. Saat itu juga, Adriano tertarik dengan remaja tampan yang membuat dia seakan melihat sosok dirinya sendiri di masa remaja.

“Aku akan menjadikanmu anak asuh kesayanganku,” ucap Adriano waktu itu.

“Kau juga kuangkat menjadi pengawal pribadi Miabella. Jaga putriku sebaik mungkin.” Adalah sepenggal kalimat yang dia ucapkan ketika meminta Carlo untuk mengabdi pada putri sambungnya.

“Ah.” Adriano mende•sah pelan, bersamaan dengan ketukan pelan di pintu. Sosok yang ada dalam pikirannya dan sedang dia tunggu, akhirnya muncul.

“Tuan, apa kabar? Kapan datang? Dante mangatakan bahwa Anda mencariku." Carlo menghadap kepada Adriano dengan sikap yang seperti biasanya. Pria tampan itu berdiri tak jauh dari sang tuan yang masih memandang ke luar jendela. Namun, suara bariton anak asuhnya itu telah sangat Adriano kenal, meski tak dia lihat orangnya secara langsung.

Adriano pun segera menoleh kepada pria tampan tersebut. Dia menatapnya sesaat dengan sorot yanga terasa aneh bagi Carlo. Namun, sang pengawal rupawan mencoba untuk menepiskan perasaan tersebut.

“Apa kabar, Carlo. Ayo, duduklah.” Adriano mengulurkan tangan ke arah kursi untuk mempersilakan Carlo.

“Apa ada sesuatu yang penting, Tuan?” tanya Carlo sesaat setelah duduk. Sikap tenang pria tiga puluh empat tahun tersebut kini mulai berangsur sirna. Dia menjadi sedikit tegang.

“Ya,” jawab Adriano yang masih tetap berdiri. “Dari mana kau?" tanyanya kemudian.

"Aku ke kamarmu, tapi kau tidak ada di sana.”

“A-aku ....” Carlo tergagap, lalu terdiam. Dia seakan tak hendak melanjutkan kata-katanya.

“Kau tidak ingin menjawab pertanyaanku?” Adriano memicingkan mata sesaat, setelah itu memandang tajam kepada Carlo yang menunduk dalam-dalam. Sementara Adriano terus menunggu tanggapan dari pengawal Miabella itu sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. “Ada apa, Carlo? Bicaralah,” suruhnya. Akan tetapi, Carlo tetap memilih diam.

“Baiklah, jika kau tak ingin bercerita. Biar aku saja yang akan menuturkan sebuah kisah untukmu.” Adriano berjalan mendekat, lalu duduk tak jauh dari Carlo.

“Dua puluh dua tahun yang lalu, aku menjenguk Mia yang baru saja melahirkan. Waktu itu dia masih hidup berbahagia dengan suaminya terdahulu, yaitu Matteo de Luca pemilik bangunan dan perkebunan ini. Saat itulah, pertama kalinya aku melihat Miabella yang masih berusia beberapa hari,” tutur Adriano mengawali ceritanya.

“Setelah itu aku menghilang dari kehidupan mereka dan bertemu kembali dengan Miabella saat gadis kecil tersebut masih berusia tiga tahun. Di usia sedini itu, Miabella harus merasakan kehilangan seorang ayah. Dia langsung memelukku saat kami bertemu dan bersikap seolah sudah mengenalku sejak bertahun-tahun lamanya,” lanjut Adriano lagi.

“Sejak saat itu pula, Mia dan Miabella telah mengikatku kuat-kuat sehingga aku tak bisa lari lagi. Aku bertekuk lutut di kaki mereka. Mia adalah segalanya bagiku, begitu pula dengan Miabella. Kami memang tak terikat oleh darah, tapi rasa sayang yang kumiliki untuk gadis itu jauh lebih besar daripada apapun di dunia ini, termasuk diriku sendiri,” tutur Adriano panjang lebar.

“Aku akan selalu melindungi Miabella bahkan jika nyawaku menjadi taruhannya.” Selesai berkata demikian, Adriano terdiam dan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.

Carlo yang sedari tadi menunduk, segera mendongak dan balas menatap Adriano. “Aku mencintai putri Anda,” ungkapnya dengan nada yang terdengar begitu tegas. Pada akhirnya, pria tampan tersebut mengutarakan perasaan yang disembunyikannya dari Adriano, seseorang yang telah banyak berjasa itu.

Carlo tak akan melupakan sosok ayah tiri Miabella. Adriano merupakan donatur tetap dari panti asuhan yang telah dirinya tinggali semenjak dia masih bayi. Namun, Carlo juga tak bisa menyembunyikan perasaan itu terlalu lama. Seandainya bisa, dia ingin menyampaikan pada seluruh dunia, bahwa dirinya benar-benar jatuh cinta dan tergila-gila kepada Miabella.

Adriano tak segera menanggapi. Dia malah mengetuk-ngetukkan jemarinya pada pegangan kursi kayu. “Cinta?” ulangnya. “Apa kau ingat dengan kata-kataku, Carlo?” Sedangkan Carlo membisu. Dia menutup mulutnya rapat-rapat dengan mata terus terarah kepada Adriano.

“Bukankah saat itu aku melarangmu untuk jatuh cinta pada putriku? Namun, lihatlah keadaannya kini. Kau mengencani Miabella dan bahkan tidur di dalam kamarnya,” ujar Adriano dengan tenang.

Namun, tidak demikian dengan Carlo. Pria tampan yang juga bermata biru itu terbelalak. Dia menatap sang majikan dengan sorot mata tak percaya. “Ba-bagaimana bisa?” tanyanya terbata.

“Carlo. Bau tubuhmu sudah melekat kuat di tubuh Miabella. Aku bisa menciumnya dari jarak beberapa meter,” jawab Adriano sambil menggeleng pelan. “Kau menyakitiku, Carlo. Kau berkhianat padaku,” imbuhnya.

“Mencintai sungguh tidak sama dengan pengkhianatan, Tuan. Aku tidak pernah berkhianat terhadap Anda. Sama sekali tak pernah terlintas dalam pikiranku untuk melakukannya,” sanggah Carlo.

“Kau menyanggupi, Carlo. Kau sudah berjanji padaku untuk tidak melibatkan hati dalam pekerjaan ini. Akan tetapi, lihatlah kenyataannya. Kau menjalin hubungan dengan Miabella secara diam-diam di belakangku,” sesal Adriano sembari memijit pangkal hidungnya.

“Sekarang, kemasi barang-barangmu. Pergilah ke manapun, asalkan menjauh dari putriku,” perintah Adriano seperti petir yang menyambar Carlo tanpa ampun. Perasaannya begitu hancur berkeping-keping mendengar kalimat menyakitkan yang terlontar dari bibir sang majikan.

“Anda mengusirku, Tuan?” tanya Carlo tak percaya.

“Kau tahu sendiri bahwa aku membenci pengkhianat,” jawab Adriano datar. “Aku sungguh menyayangimu. Aku seperti melihat diri sendiri di masa mudaku dulu melalui dirimu. Kau ... begitu mirip denganku. Itulah kenapa, dirimu hanya kuhukum dengan meninggalkan tempat ini dan Miabella untuk selamanya.”

“Anda mengusirku?” Carlo kembali mengulang pertanyaannya tadi.

“Pengusiran adalah hukuman yang paling ringan dariku, karena aku menyayangimu. Jika kau bukan Carlo, maka sudah pasti detik ini juga aku akan menyeretmu ke Monaco, lalu kulemparkan kau ke kandang macan-macan hitam kesayanganku!” Nada bicara Adriano bagaikan lava pijar yang menyembur dari perut bumi, begitu menyakitkan dan menghanguskan Carlo hingga pria itu tak dapat berkutik lagi.

Lucky Charm

"Maaf, Carlo. Kau harus pergi dari sini juga dari kehidupan putriku," ucap Adriano lagi dengan tegas, tapi masih menggunakan bahasa serta nada bicara yang tenang. Adriano bahkan belum mengubah posisi duduknya. Kedua tangan pria itu masih dia letakkan pada pinggiran kursi, sedangkan kaki kiri berada di atas paha sebelah kanan.

Sementara Carlo tak tahu harus berkata apa. Pria tiga puluh empat tahun tersebut beranjak dari duduknya. Sebelum memutuskan untuk keluar dari ruangan tadi, dia berdiri sejenak sambil menatap tajam kepada sang majikan yang telah sekian lama menjadi panutannya. "Aku tahu dan sadar betul siapa diriku," ucap si pemilik mata biru tersebut.

"Aku tahu siapa kau," balas Adriano datar. "Pergi dan temukanlah kehidupan baru untukmu," pungkas Adriano. Dia lalu berdiri dan kembali ke dekat jendela. Adriano memandang ke luar, pada hamparan kebun anggur yang terlihat jelas dari tempatnya berada saat ini. Adriano mungkin tak ingin menyaksikan kepergian anak asuhnya tersebut.

Tak ada lagi yang bisa Carlo lakukan di sana. Dia tak ingin berdebat dengan Adriano. Bukannya tak berniat untuk berjuang, tapi Carlo sangat mengenal watak dari pria yang telah merawatnya selama ini. "Aku pergi sekarang juga, tapi kupastikan bahwa suatu saat nanti diriku pasti kembali. Tolong jaga nona Miabella untukku, karena saat aku kembali nanti ... tak akan ada yang dapat mencegahku untuk membawanya. Tidak Anda atau siapa pun juga," ucap Carlo dengan penuh penekanan. Dia lalu berbalik dan keluar dengan kedua tangan yang terkepal di samping tubuh.

"Aku tunggu," balas Adriano pelan, ketika anak asuh sekaligus pengawal Miabella tadi telah menghilang di balik pintu ruang kerja. Adriano memejamkan mata. Setetes butiran bening terjatuh di sudut bibirnya. Namun, dengan segera dia seka sampai tak berbekas.

Sementara Carlo langsung menuju kamar yang dia tempati. Ruangan yang sama saat pertama kali dirinya menyelamatkan Miabella, ketika gadis kecil itu terjatuh ke dalam kolam. Carlo berdiri sejenak di dekat jendela dan memandang ke luar. Kolam tersebut masih ada dan terawat dengan baik. Miabella bahkan kerap mengajaknya memancing di sana.

Sebuah keluhan pendek meluncur dari bibir berkumis tipis itu. Carlo kemudian berjalan menuju lemari kayu tempatnya menyimpan beberapa potong pakaian. Dengan segera, dia mengemasi semua ke dalam sebuah ransel berukuran cukup besar. Tak lupa, Carlo juga memasukkan parfume yang telah Miabella pilihkan untuknya, sehingga gadis itu tak lagi protes dengan aroma parfumenya yang dinilai terlalu murahan.

Carlo tersenyum kelu saat memandangi botol parfume yang terbuat dari kristal Baccarat, dengan salah satu bahan pembuatnya yang merupakan lemon sisilia. Parfume itu sengaja Miabella hadiahkan, saat dia berulang tahun beberapa waktu yang lalu.

Tanpa banyak berpikir, Carlo bergegas keluar dari kamar. Dia melangkah gagah dan penuh percaya diri menuju garasi, di mana motor kesayangan dan juga harta satu-satunya yang dia miliki tersimpan. Carlo tak ingin menundukkan kepala, meski dirinya merasa terhina karena menjadi orang buangan.

"Mau ke mana?" Suara seorang gadis telah berhasil menghentikan langkah tegap Carlo. Pria itu kemudian menoleh ke arah sumber suara. Tampaklah Adriana yang sedang berdiri sambil tersenyum padanya. Dia baru keluar dari kamar yang kebetulan baru saja dilewati oleh Carlo. "Apa kau akan pergi?" tanya gadis manis itu lagi.

"Nona? Apa kabar?" sapa Carlo dengan seutas senyuman yang teramat pria itu paksakan. Dia lalu mengangguk sopan dan bermaksud untuk kembali melanjutkan langkah.

"Tunggu, Carlo!" cegah Adriana dengan setengah berseru.

Carlo pun tertegun, kemudian menoleh. Dia melihat Adriana mengisyaratkan agar dirinya tetap berada di tempat, selagi gadis itu masuk kembali ke dalam kamar. Tak berselang lama, gadis cantik dengan mata biru tadi muncul sambil menggenggam sesuatu. Adriana berjalan mendekat kepada pria yang masih berdiri, menatap ke arahnya.

"Ini." Adriana menyodorkan sebuah benda yang berupa gantungan kunci dengan hiasan berbentuk bulat warna biru. Di tengah-tengah lingkaran itu, terdapat sebuah bulatan kecil lagi yang menyerupai bola mata. "A Mati Talisman for The Evil Eyes. Menurut Achiles, orang-orang Yunani kuno meyakini bahwa benda ini merupakan sebuah jimat keberuntungan bagi mereka. Aku sengaja membelinya untukmu dan juga kakakku."

Carlo yang sejak tadi hanya terpaku, langsung saja menyunggingkan sebuah senyuman. Dia menerima benda tadi, kemudian memperhatikannya untuk beberapa saat. Setelah itu, Carlo memasukkan gantungan kunci tersebut ke dalam saku jaket jeans bikersnya. "Terima kasih, Nona. Kuharap kau juga selalu meraih keberuntungan dalam hidupmu," ucap pria itu sebelum kembali mengangguk dan berlalu dari hadapan Adriana.

Sejenak, gadis berkuncir kuda itu terpaku menatap kepergian Carlo dengan ransel di punggungnya. Namun, remaja tujuh belas tahun tersebut tak terpikir dengan hal lain, karena saat itu perutnya mulai keroncongan. Adriana akan kehilangan konsentrasi, ketika dia merasa merasa lapar. Gadis cantik tersebut memutuskan untuk segera ke ruang makan.

Sementara Carlo telah tiba di garasi. Setelah semua siap dengan segala perlengkapan berkendara yang dia kenakan, Carlo segera memacu kuda besinya keluar dari dalam sana. Motor yang dia kendarai telah melewati gerbang pertama dan kedua, hingga akhirnya menjauh dari Casa de Luca. Pria itu sengaja tak berpamitan terlebih dahulu kepada Miabella yang tengah berada di perkebunan. Dia sudah dapat memastikan apa yang akan Miabella lakukan, andai gadis cantik tersebut mengetahui bahwa dirinya akan pergi. Namun, sesuai dengan tekad dan janji yang telah dia ucapkan, bahwa suatu saat nanti Carlo pasti akan kembali.

Hari yang cukup panas. Menu santapan telah tersaji di atas meja makan. Beberapa pelayan sudah menyiapkan dan menatanya dengan rapi, sebelum sang majikan datang untuk bersantap siang.

Pada awalnya, Adriana yang muncul dan langsung memilih tempat duduk. Gadis remaja itu selalu saja dengan tingkah lucu dan juga menggemaskan. Walaupun usianya kini telah menginjak tujuh belas tahun, tapi sikap manja serta kekanak-kanakan masih melekat jelas dalam diri putri bungsu Mia dan Adriano tersebut.

"Hai, Sayang," sapa Mia yang datang ke sana bersama sang suami tercinta. "Apa kakakmu belum kembali dari perkebunan?" tanya wanita yang masih terlihat cantik juga awet muda itu. Sementara Adriano terlihat cukup gelisah saat Mia menyinggung putri sulungnya. Adriano seakan dapat memperkirakan seperti apa sikap yang akan Miabella tunjukkan padanya, andai gadis itu mengetahui bahwa dia telah menyuruh Carlo untuk pergi.

"Apa kita tidak akan memulai makan siang sebelum kakak datang dan bergabung?" tanya Adriana polos. Tatapannya tertuju kepada Mia, kemudian beralih pada sang ayah, lalu berpindah ke menu makan siang yang telah tersaji dan tampak sangat menggugah selera. Adriana hanya dapat duduk sambil menopang dagu. "Semoga kakak tidak tertidur di perkebunan," celetukya.

"Aku bukan pemalas sepertimu," sahut Miabella menanggapi celetukan adiknya. Dia baru muncul di ruang makan. Wajah cantik gadis itu tampak lusuh dan sedikit memerah akibat cuaca yang terbilang panas.

Mendengar suara sang kakak, Adriana segera menoleh. Gadis bermata biru tadi beranjak dari kursinya, kemudian menghambur ke arah Miabella yang sudah mendekat pada meja makan. "Aku sangat merindukanmu, Kak. Kau tahu? Akhirnya aku bisa mengunjungi Acropolis yang terkenal itu. Daddy mengatakan dia akan mengajakku untuk mendatangi tempat-tempat bersejarah lainnya di Yunani, tapi jika kau juga ikut bersama kami. Ayolah, Kak. Bujuk daddy agar dia ...."

"Berisik!" potong Miabella dengan ketus. Dia tak menanggapi celotehan sang adik. Gadis itu segera duduk di kursi yang selalu menjadi tempatnya. Sesaat, pandangan Miabella tertuju pada kursi yang biasa menjadi tempat Carlo, setiap kali menemani dia makan di sana.

Namun, sebelum Miabella sempat menanyakan keberadaan sang pengawal, Mia lebih dulu menegurnya. "Kenapa kau selalu bersikap seperti itu kepada adikmu?"

"Karena Adriana sangat meresahkan. Dia itu pengganggu, Bu," sahut Miabella sambil mendelik ke arah sang adik yang hanya senyum-senyum padanya.

"Tidak apa-apa, Bu. Aku tahu kakak sangat menyayangiku," celoteh Adriana dengan enteng. "Oh ya, aku punya sesuatu untukmu." Adriana kemudian merogoh saku celana pendek yang dia kenakan. Gadis itu menyodorkan benda serupa, seperti yang tadi dia berikan kepada Carlo.

Miabella menerima gantungan kunci berwarna biru itu. Dia memperhatikannya untuk sesaat, kemudian mengalihkan tatapan kepada sang adik. "Terima kasih," ucapnya dengan diiringi sebuah senyuman.

"Sama-sama," balas Adriana. "Aku juga memberikannya satu untuk Carlo," ucap gadis itu lagi dengan wajah ceria.

Miabella kemudian mengalihkan pandangan pada kursi tempat duduk Carlo yang masih kosong. "Kenapa dia belum kemari?" pikirnya

"Tadi aku melihatnya pergi," sahut Adriana.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!