Ugh ....
Keisha menahan rasa mual yang sudah mencapai tenggorokan. Dia bersusah payah untuk itu. Di tengah-tengah rapat para dewan, dia malah membuat atasannya malu dengan sikapnya ini.
Beberapa orang menoleh padanya, membuat Keisha merasa semakin tak nyaman dan khawatir.
Fauzan menoleh pada sekretaris dengan tatapan cemas. "Kamu boleh keluar, Keisha. Saya baik-baik saja di tinggal sendiri. Saya sudah mengantongi data yang kamu berikan tadi pagi, jadi tidak masalah kalau kamu pergi," ucapnya.
Keisha segera mengangguk dan keluar ruangan dengan langkah cepat, membuat beberapa orang yang ada di sekitar ruangan rapat, memandangnya dengan tatapan aneh.
"Ada apa dengan Bu Keisha? Sepertinya dia tidak enak badan," ucap seorang karyawan wanita, menatapnya dengan tatapan mengawasi.
Lita yang melihat sahabatnya seperti itu, langsung berlari mendekati kamar mandi, melihat keadaan Keisha di sana.
"Kei, kamu gak papa?" tanya Lita, memandang Keisha yang berdiri di depan wastafel dengan menyeka mulutnya yang basah, setelah berkumur.
Keisha mengangguk pelan, tapi wajahnya tampak pucat. "Aku gak papa. Emang lagi sering kayak gini kok," jawabnya.
Lita menghela napas panjang dan memberikan minyak angin kepadanya. "Di pakai dulu, Kei. Nanti baru keluar kalau sudah enakkan. Aku buatkan teh dulu ya," ucapnya, pengertian.
Keisha mengangguk dan melihat kepergian Lita dengan tatapan mengawasi. Setelah itu dia mengeluarkan sebuah alat dari dalam saku celana kantornya dan tersenyum jahat.
"Yes, rencana aku berhasil haha," ucap Keisha, tampak senang, sambil melihat benda di tangannya.
Kling ....
Notifikasi ponsel Keisha berbunyi singkat. Menandakan ada sebuah pesan masuk.
Keisha tersenyum melihat isi teks pesan dari Fauzan, yang tampak pengertian, baginya!
"Kamu baik-baik saja? Kalau perlu ke rumah sakit, saya izinkan kamu cuti setengah hari," ucap Fauzan, di pesan tersebut.
Keisha tak langsung membalasnya dengan sengaja. Dia baik-baik saja walau perutnya terasa sedikit tidak nyaman. Namun suasana hatinya bisa mengatasi semuanya dengan baik.
"Saya baik-baik saja, Pak. Saya akan segera kembali ke kantor jika sudah baikkan," balas Keisha, tak menurunkan senyumannya.
Setelah itu Fauzan tak menjawabnya, dan Keisha segera berjalan keluar kamar mandi dengan wajah cerah, menemui Lita di ruang istirahat karyawan.
Klek ....
Pintu di buka, Keisha bisa melihat Lita yang tengah mengaduk gelas berisikan teh madu untuknya.
"Kamu baik-baik saja? Minumannya sudah selesai, tapi agak panas. Di tiup dulu kalau mau minum," ucap Lita, memberikan gelas itu pada Keisha, bersamaan dengan mereka berdua duduk di meja bundar, perabot umum yang melengkapi ruangan itu.
Wajah Keisha yang tampak senang, membuat Lita mengerutkan keningnya dalam.
"Kenapa kamu senyum-senyum terus, Kei? Kamu ke sambet?" tanya Lita, setengah mencibir.
Keisha hanya menggelengkan kepalanya dan segera meneguk teh madu buatan Lita dengan ganas, sampai habis.
Lita yang melihat itu hanya mengerjapkan matanya beberapa kali, melihat tingkah aneh sahabatnya yang tak bisa dia pahami dalam diam.
"Kamu kenapa sih? Padahal lagi pucat gitu, tapi kenapa kamu senyum terus?" tanya Lita, gemas sendiri.
Keisha menggelengkan kepalanya dan terus tersenyum. "Enggak ada kok," jawabnya, sambil melihat jam tangannya beberapa saat.
"Eh, aku harus balik ke kantor. Tadi di panggil Pak CEO soalnya," alibi Keisha, sembari bangkit dari tempatnya dan segera mencuci gelas sebelum meninggalkan ruangan itu.
Lita yang melihatnya, lagi-lagi hanya diam dan memperhatikan setiap pergerakan Keisha. Entah kenapa, firasat buruk mulai menjalar di dadanya.
Lita tak paham. Padahal Keisha tampak senang. Tapi kenapa hatinya terasa gundah?
"Ada apa ini? Kenapa firasat aku gak enak, ya?" batin Lita, melihat kepergian Keisha dengan tatapan cemas. "Udahlah, semoga hanya perasaan aku aja," ucapnya, segera keluar dari sana untuk melanjutkan pekerjaannya.
Keisha telah sampai di kantornya, dia langsung masuk ke dalam ruangan Fauzan, ruangan CEO dari Perusahaan TA.
Tok ... tok ....
Mengetuk pintu dengan suara pelan, Kyla mulai mengintip ke dalam ruangan dengan lancang.
"Pak, saya boleh masuk?" tanya Keisha, setelah membuka pintu kedua, yang membatasi ruangan CEO dan ruangan sekretarisnya.
Fauzan yang tengah fokus, hanya mengangguk tanpa menjawabnya dengan kata. Membiarkan Keisha mendekat ke arahnya.
"Ada apa?" tanya Fauzan, tetap fokus pada pekerjaannya.
"Ini ...." Keisha meletakkan sebuah benda panjang berwarna putih dan biru di atas meja Fauzan dengan berhati-hati.
Fauzan yang melihat itu langsung terpaku, menatap dua garis hitam tebal di tengah-tengah alat itu dengan mata membelalak.
"Apa ini, Keisha?" tanya Fauzan, dengan nada menekan. Dia tampak marah, tapi juga bingung di saat bersamaan.
Bagaimana bisa sekretarisnya ini, meletakkan benda seperti itu di hadapannya. Terlebih lagi dengan memperlihatkan raut wajah bahagia.
"Apa yang kamu berikan kepada saya, Keisha? Kenapa kamu memberikan ini? Memangnya saya–"
Keisha meletakkan ponselnya dengan memutar sebuah video aksi mereka berdua di malam hari.
Fauzan terperanjat. Dia diam dengan tatapan lekat, menatap pada layar ponsel itu.
Fauzan yakin itu dirinya dan Keisha. Tapi kapan kejadian itu terjadi?
Fauzan menatap Keisha dengan tatapan menyelidik. Seperti tak ingin mengakui kenyataan itu.
"Apa yang kamu mau? Uang? Rumah? Atau tunjangan hidup?" tanya Fauzan, tampak tak senang.
Fauzan tak bisa membiarkan seorang wanita masuk ke dalam keluarganya dengan alasan seperti ini. Terlebih lagi, di saat dia sangat mencintai istrinya.
"Saya bisa memberikan apa pun pada kamu. Asalkan bukan bagian dari keluarga atau hidup saya!" jelas Fauzan, tegas. Seperti tak memberikan celah pada Keisha.
Tapi sayang, Keisha yang melihat responsnya, sama sekali tak merasa gentar atau takut. Dia sudah memiliki senjata di dalam perutnya. Dan itu adalah sebuah bom kenyataan!
"Saya hanya meminta pertanggung jawaban dari Anda, Pak. Anda yang melakukannya, Anda juga yang harus bertanggung jawab!" ucap Keisha, tak kalah tegasnya dengan lelaki di depannya ini.
Keisha punya harga diri. Tentu saja dia tak membiarkan hal itu di injak-injak oleh lawannya! Walau dia sempat merendahkan martabatnya beberapa saat untuk mendapatkan kesempatan ini.
"Jika Anda tidak memenuhi permintaan saya. Saya akan datang langsung pada istri Anda dan mengatakan semuanya, tanpa menutupinya sedikit pun!" ucap Keisha, tajam.
Fauzan diam. Menatap Keisha dengan tatapan menusuk. "Keluar kamu. Saya tidak ingin melihat kamu lagi!" ucapnya, membentak.
Keisha sempat terkejut. Tubuhnya juga gemetar melihat Fauzan yang bisa sekasar ini dengan seorang perempuan.
Padahal Keisha kira, Fauzan tak akan bisa bertindak kasar jika dia mengantongi barang bukti yang kuat.
Tapi apa ini? Fauzan tampak tak takut dengan Keisha, walaupun Keisha sudah menjadi ancaman terbesar untuk kehancuran rumah tangganya?
Keisha membuang wajah ke samping, sekedar menghela napas kasar beberapa saat dan kembali menatap atasannya itu.
"Saya tidak akan keluar sebelum Anda memberikan saya janji untuk mempertanggung jawabkan semua ini, Pak!" Keisha menatapnya lancang. "Atau, saya sebarkan semua ini di papan buletin kantor kita?!" lanjutnya, mengancam.
Fauzan bangkit dari tempatnya, mengambil papan nama bertuliskan gelarnya dari atas meja dan melemparkan benda itu ke tempat sampah
Brak!
Keisha yang melihat itu langsung membulatkan matanya dengan sempurna, menatap Fauzan dengan tatapan terkejut.
"Silakan. Saya rela berhenti dari kantor ini hanya untuk menjaga perasaan istri saya!" ucap Fauzan, menegaskan.
Keisha syok. Dia tak tahu sebesar itu cinta Fauzan pada istrinya. "Lalu, jika Bapak keluar dari sini? Mau di kasih makan dengan apa keluarga Bapak nanti?" tanyanya, tampak geram dan kurang ajar.
"Itu urusan saya dan istri saya! Orang luar seperti kamu tidak perlu tahu. Mau saya jualan di pinggir jalan atau jadi tukang parkir sekali pun, saya tetap tidak akan menikahi kamu!" ucap Fauzan, sembari berjalan ke arah pintu keluar, hendak meninggalkan Keisha.
Namun di tengah-tengah keributan itu, seorang wanita tengah berdiri di ambang pintu dengan tatapan teduh, saat menatap ke dalam ruang kerja suaminya.
Wanita berhijab yang sangat cantik dan anggun. Dia tampak tenang melihat situasi suami dan sekretarisnya di dalam ruangan itu.
Tapi entah bagaimana di dalam hatinya. Yang jelas, wanita itu tampak sabar dan teduh saat melihat keduanya.
"Sayang, kamu punya wanita lain?" lontarnya, sambil tersenyum masam.
Klek ....
Seorang wanita berdiri di ambang pintu, raut wajah bahagianya sirna begitu saja saat melihat Keisha dan suaminya terlihat dekat.
"Sayang, kamu punya wanita lain?" lontarnya, sambil tersenyum masam.
Fauzan terperanjat, dia menghempas tangan Keisha dengan cepat dan melangkah mendekat pada Aina.
"Sayang, kamu mengantar bekal makan siangku?" tanya Fauzan, seperti biasa.
Aina diam, menatap suaminya dengan lekat. Mencoba mencari ketakutan di dalam matanya, tapi dia tak menemukannya.
Aina melirik pada Keisha yang tampak menantang. Memandangnya dengan wajah angkuh dan dagu yang sedikit terangkat.
"Keisha," panggil Aina, dengan suara lembut. Tapi tatapan yang begitu tegas itu membuat Keisha gentar seketika.
"Wahh ... lihat tatapannya. Aku tidak pernah melihatnya karena dia selalu tersenyum ramah saat menyapaku," batin Keisha, mendadak resah.
"Ya, Bu," sahut Keisha, patuh.
"Kemari dan bawa apa yang ada di meja itu," seru Aina, masih dengan tatapan yang sama.
Fauzan berkeringat dingin. Istrinya yang selalu lemah lembut, kini bertindak tegas layaknya ketua BEM saat mereka kuliah dulu.
"S-sayang," cicit Fauzan, membuat lirikan tajam istrinya berpindah padanya dengan cepat.
Fauzan tertegun. Dia menundukkan kepalanya, selayaknya orang yang tengah memiliki salah.
"Bawa kemari, Keisha!" tutur Aina, kembali. Namun kini, suaranya penuh dengan penekanan sampai Keisha pun ciut dan mengambil test pack yang ada di atas meja Fauzan.
Aina terdiam, memperhatikan benda yang ada di genggaman Keisha dengan jantung berdebar kuat.
Sesak rasanya melihat benda itu ada di genggaman sekretaris suami tercintanya.
Selangkah demi selangkah Keisha mendekat pada Aina dengan langkah gentar, dia tampak takut. Begitu pula dengan Aina yang takut menghadapi realita saat benda itu benar-benar sampai di tangannya.
"Apa–" gumam Aina, dengan suara parau nan lirih. Membuat Keisha menatap raut wajah sendunya dengan tatapan menyakitkan. "Dua garisnya tebal?" tanyanya, melanjutkan.
Keisha terkejut, belum sampai benda itu di tangan Aina, belum sempat istri Fauzan itu menampar dirinya, tapi Keisha sudah terpukul terlebih dahulu saat mendengar pertanyaannya.
"Kamu diam, Keisha? Bukannya kamu meminta pertanggungjawaban dengan membawa itu padanya?" seru Aina, berakhir memandang Fauzan dengan tatapan yang sulit di jelaskan.
"I-iya, Bu. Saya meminta pertanggungjawaban Pak–"
Hahh ....
Aina menghela napas dengan kasar, seakan menyentak dan tak percaya dengan peristiwa di depannya ini.
Keisha terdiam, menatap setiap kelakar Aina yang membingungkan. "Bukannya dia harus marah karena suaminya selingkuh?" batinnya, heran.
Aina kembali menghela napas panjang, memberikan bekal suaminya dengan baik-baik, seperti biasa.
Setelah itu, Aina mencium punggung tangan suaminya, dan memandang Fauzan dengan tatapan lekat.
"Sayang," cicit Fauzan, getir.
Melihat kedua mata Aina yang tak gentar, membuat hati kecil Fauzan seakan di cubit. Ada perasaan ngilu yang mendatangkan rasa tidak nyaman di kerongkongannya.
"Hari minggu, datanglah ke rumah saya, Keisha," cetus Aina, menatap lurus pada Keisha yang terkejut mendengarnya.
"Alih-alih terlihat sexy, kenakan pakaian yang rapi. Anak sulung saya sudah baliqh. Tolong jaga matanya dengan menutupi auratmu," lanjut Aina, meminta dengan senyuman samar yang bertengger di wajah sendunya.
"Baik, Bu," jawab Keisha, patuh dengan kepala setengah menunduk, karena tidak berani melihat Aina yang tampak sedih, tapi berusaha tegar di depan mereka.
Aina menoleh kembali pada Fauzan dengan senyuman manis. "Aku pulang dulu, sayang. Sebentar lagi aku harus menjemput Nuri di sekolah," ucapnya, lembut.
Fauzan melihat istrinya berbalik begitu saja dengan perasaan sakit hati.
"Maaf," ucap Fauzan, membuat langkah Aina terhenti sejenak.
Aina menoleh padanya dan mengangguk pelan, di sertai senyuman ikhlas, sebelum wanita itu kembali melangkah meninggalkan mereka.
"Tidak apa, sayang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!