Seorang pria sedang duduk di dalam sebuah club malam dengan menikmati segelas whisky di tangannya.
"Rhein, kamu tumben ada di sini? Kapan kamu datang?" Seorang pria duduk sambil memeluk sahabatnya yang tak lain adalah pemilik club malam di mana Rhein sedang duduk sendirian.
"Kemarin aku datang," jawab Rhein singkat, dan dia menghabiskan segelas whiskey dengan sekali teguk.
"Kamu kenapa? Kenapa wajah kamu begitu? Kamu sudah lama sekali tidak mengunjungiku di sini. Sekarang datang, tapi kenapa tidak enak begitu tampang kamu?"
"Aku tidak apa-apa, aku sedang tidak ingin diganggu saja," ucap Rhein malas.
"Aku bisa membuat kamu semangat lagi. Aku akan menyuruh orang terbaikku untuk menemani kamu di sini, aku yakin kamu akan bisa lebih santai sedikit. Dia wanita terbaik di sini."
"Tidak perlu Sean. Aku ingin menghabiskan malamku sendiri di sini."
"Ck! Jangan bicara begitu." Pria dengan body atletis dan hidung mancungnya itu berdiri dari tempatnya dan berjalan pergi dari sana.
Tidak lama pria yang di panggil Sean itu berjalan ke ruangan di mana para gadis malamnya berkumpul.
"Tu-Tuan, ini minuman Anda." Seorang gadis berambut sebahu, dengan rok span pendeknya, dan baju atasan dengan tanpa lengan berwarna hitam berdiri di depan Rhein.
Rhein memindai gadis itu dari atas sampai bawah. Dia melihat perilaku gadis itu yang tampak takut. Sepertinya gadis itu baru pertama kali bekerja di sini. Pikir Rhein dari dalam hati.
"Siapa nama kamu?" tanya Rhein tegas.
"Ha-Hazel, Tuan. Ini minuman Anda." Gadis itu lalu meletakkan baki yang berisi sebotol vodka dan gelas kecil di atas meja Rhein.
"Tunggu!" suara Rhein berhasil menghentikan langkah gadis itu. "Kamu mau ke mana? Temani aku di sini," ucapnya kemudian.
Gadis itu menoleh perlahan. "Maaf, tapi aku hanya di suruh mengantar minuman Anda, bukan menemani Anda, Tuan."
"Kamu bekerja di sini, Kan? Dan kamu pasti tau tugas kamu di sini? Selain mengantarkan minuman, kamu juga harus menemani tamu. Jadi duduk diam di sini."
"I-iya." Gadis itu kembali terdiam.
Rhein menuangkan vodkanya ke dalam gelas dan dia menghabiskan sekali teguk. "Apa kamu tidak salah tempat?" tanya Rhein santai.
"Maksud Tuan?"
"Aku tidak memesan minuman ini, tapi tidak masalah, aku akan tetap menghabiskannya."
"Tidak memesan? Bukannya tadi kata bartender di sana menyuruh untuk mengantarkan minuman ini ke meja nomor--." Mata indah gadis itu melihat nomor di atas meja Rhein. "Nomornya salah," ucapnya lirih.
"Tidak perlu kamu pikirkan. Katakan, apa kamu baru saja bekerja di sini?"
"A-aku baru saja bekerja di sini, jadi mungkin aku masih belum terlalu bisa melakukan hal ini."
Tidak lama Sean datang. Sean yang ingin mengucapkan sesuatu diurungkan saat melihat Rhein ditemani oleh salah satu gadis malamnya di sana.
"Ada apa, Sean?" tanya Rhein heran.
"Tidak apa-apa. Ya sudah, aku akan meninggalkan kalian. Hazel, temani tamu kamu dengan baik, jangan kecewakan dia, dia itu sahabat terbaikku."
"I-iya," jawab Hazel takut.
Sean pergi dari sana. Dia tadi sebenarnya mau mengatakan pada Rhein jika gadis terbaik di sana yang akan dia suruh menemani Rhein ternyata sedang tidak masuk.
"Kamu jangan diam saja, kamu minum juga, temani aku minum." Rhein menuangkan minuman ke dalam gelas satunya.
"Ta-tapi Tuan?" Gadis itu tampak ketakutan.
"Minum, Hazel!"
Gadis itu tidak berani menolak, takutnya dia nanti akan di pecat dari sana. Dia membutuhkan uang untuk menyelamatkan hidupnya.
"Rasanya aneh sekali, tapi kenapa kepalaku jadi pening begini." Hazel melihat ke arah Rhein. " Tuan Anda kenapa terlihat sangat tampan?" celetuknya.
Rhein tersenyum mendengar celoteh gadis itu. Rhein sadar, jika gadis ini sepertinya belum pernah minum. "Tuan, jangan tersenyum begitu. Wajah Tua tampak sangat tampan dan lucu seperti kelinci putih yang lucu."
"Kelinci? Memangnya ada kelinci setampan aku?"
Gadis itu malah tersenyum. Dia sepertinya mulai terpengaruh minuman itu. Rhein mengamati gadis di sampingnya. "Kenapa gadis ini polos sekali seperti Nala?" dialog Rhein lirih.
"Tuan, aku tidak mau minum itu lagi. Rasanya aneh. Aku juga jadi aneh."
Rhein kembali tersenyum. Rhein benar-benar teringat dengan Nala. "****! Aku tidak mau mengingat Nala lagi. Sudah cukup, dia tidak akan bisa aku miliki." Rhein menuangkan lagi vodka di gelasnya dan dengan cepat menghabiskannya. Dia kemudian melihat wajah Hazel yang melihatnya dengan ekspresi mencari tau dengan muka lucunya.
Rhein mengamati gadis itu juga, tidak sadar tangan Rhein menelusup pada sela-sela rambut Hazel dia mengecup bibir Hazel dengan lembut. Hazel yang agak kaget diam saja, hanya kedua matanya berkedip beberapa kali.
Rhein melepaskan ciumannya, dan Hazel mematung melihat Rhein.
"Ciuman kamu buruk sekali," ujar Rhein.
Hazel yang baru menginjakkan kaki ke bumi setelah dia melayang entah ke mana karena ciuman Rhein langsung memundurkan dirinya.
Rhein malah tersenyum sendiri dan bersandar pada sofa. "Kamu kenapa? Belum pernah berciuman? Dasar kurang ajar si Sean, katanya kamu gadis terbaiknya di sini. Berciuman saja kamu tidak bisa."
Hazel tampak terdiam di tempatnya. "Tuan, saya permisi ke belakang dulu." Hazel beranjak dari tempatnya dan segera keluar dari ruangan Rhein. Rhein membiarkan begitu saja.
Hazel yang tidak kembali setelah izin kebelakang tidak membuat Rhein kesal. Rhein malah menikmati kesendiriannya di sana sambil mengingat awal dia bertemu dengan Nala yang sangat dia sukai, tapi tidak bisa dia miliki.
Malam itu Hazel berada di depan club malam di mana dia bekerja, sepertinya dia selesai bekerja dan sedang menunggu kendaraan umum. Tiba-tiba dia di datangi oleh seorang pria yang usianya sekitar 2 tahun di atas.
"Hazel! Mana uang kamu? Apa kamu tidak mendapat tips hari ini?" Pria itu mengacak-acak tas yang di bawa oleh Hazel.
Hazel yang kaget karena dia tidak menyangka pria di depannya ini akan datang menemui dia.
"Kamu kenapa bisa ke sini? Dari mana kamu tau aku bekerja di sini?"
Pria di depannya itu tampak tersenyum meremehkan. "Tentu saja aku tau, aku bisa mencium bau kamu di manapun kamu berada." Sekali tangannya mengacak-acak tas yang di pakai Hazel.
"Tidak ada, Bill, aku tidak mendapat tips dari tamu. Walaupun dapat itu sangat kecil, aku akan menabung dan menggunakan uang itu untuk membeli makanan." Hazel mencoba menahan tasnya.
"Apa? Kamu tidak dapat tips? Kamu bekerja bagaiman? Makannya kamu harus bekerja dengan sedikit berani, rayu pelanggan kamu. Kalau perlu bukan bajumu di depannya, pasti kamu akan mendapat banyak uang."
Pria itu menertawakan Hazel dengan suara kerasnya. Hazel hanya melihat dengan menahan amarahnya.
"Jangan menyuruhku untuk berbuat hal lebih seperti itu, Bill! Kamu jaga bicara kamu."
"Jangan sok denganku." Tangan Pria itu malah mencengkeram dagu Haz dengan kasar. Hazel sekarang merasa ketakutan.
"Lepaskan!" Hazel mencoba melepaskan tangan pria yang dia panggil Bill.
"Memangnya kenapa kalau aku menyuruh kamu membuka baju? Kamu sudah tidak punya pilihan dalam hidup ini, dan hanya kami keluarga yang kamu punya. Atau kamu ingin kami yang membuka segel kamu lebih dulu." Pria itu dengan lancangnya mendekat dan hampir melecehkan Hazel.
"Berapa uang yang kamu inginkan?" Tiba-tiba suara seseorang terdengar tidak jauh dari sana. Mereka berdua menoleh ke arah suara itu.
"Kamu siapa?" tanya pria yang akan berbuat jahat pada Hazel.
"Kamu butuh uang berapa?" Pria itu melempar beberapa lembar uang pada orang yang berdiri di depan Hazel.
"Tuan?" Hazel baru dapat mengenali wajah pria yang tadi berbicara di dalam kegelapan saat pria itu sudah berjalan mendekat ke arahnya.
"Uangnya banyak sekali." Dan memunguti uang yang tercecer di tanah.
"Sekarang pergi dari sini! Atau aku laporkan tindakan kriminal kamu, aku bisa membuat kamu mendekam di penjara."
Seketika pria itu tersenyum senang dan berlari pergi dari sana. Hazel memandang takut pada Rhein karena perbuatan Rhein waktu di dalam club tadi. "Tuan, saya berterima kasih, tapi maaf, saya belum bisa mengembalikan uang Tuan itu. Saya hanya bisa mengembalikan uang Tuan nanti saat menerima gaji pertama di sini."
"Anggap saja itu uang tips untuk kamu, aku lupa tadi tidak memberikan uang tips karena ciuman buruk kamu." Rhein berjalan pergi dari sana.
Rhein masuk ke dalam mobilnya, dan dia melihat Hazel masih berdiri di tempatnya dari kaca spion mobilnya. Rhein memundurkan mobilnya dan menyuruh Hazel masuk karena dia akan mengantar Hazel ke rumahnya.
Hazel yang awalnya ragu-ragu akhirnya mau naik ke dalam mobil Rhein. Hazel mengatakan dia tinggal di sebuah daerah yang agak jauh dari tempat dia bekerja. Dia tinggal bersama dengan temannya"
"Memangnya kamu tidak punya orang tua?" Hazel menggeleng. "Kamu jangan memanggilku Tuan terus, aku tidak suka mendengarnya, dan jangan terlalu formal berbicara denganku." Rhein menjalankan mobilnya. Hazel hanya bisa mengangguk pelan.
Di sepanjang perjalanan, Hazel hanya terdiam. Sebenarnya dia merasakan perutnya yang lapar. Dia tadi belum makan malam dan ini hampir pagi.
Mobil berhenti di suatu tempat makan yang tidak terlalu besar. Hazel yang melihatnya tampak bingung. "Tuan, kenapa kita berhenti di sini?" tanya Hazel sambil melihat di luar jendela.
"Kita makan dulu, jangan bilang kamu tidak lapar. Suara perut kamu saja lebih keras dari suara mesin mobilku."
Rhein turun dan Hazel yang masih duduk di bangkunya hanya diam saja. "Cepat turun!" bentak Rhein menunduk melihat pada jendela. Hazel terpaksa turun dan mengikuti Rhein, mereka. masuk ke dalam rumah makan yang tidak terlalu besar.
Seorang pelayan mencarikan mereka tempat duduk untuk dua orang, dan dekat dengan jendela kaca besar yang memperlihatkan suasana di luar.
"Tuan, apa Tuan nanti tidak di cari oleh keluarga Tuan di rumah?"
Rhein tertawa kecil. "Siapa yang mencariku? Istriku maksud kamu?" Hazel hanya mengangguk. "Aku tidak jadi menikahi gadis yang aku sukai. Oleh karena itu aku memilih tinggal di sini."
"Oh begitu? Kenapa tidak jadi menikahi?"
"Dia ternyata mencintai kakakku, aku tidak suka bersaing dengan kakakku sendiri."
"Jadi kalian mencintai satu orang yang sama? Sulit juga kalau begitu. Jalan satu-satunya membiarkan gadis itu memilih siapa yang dia cintai karena hal itu lebih baik."
Rhein melihat dengan salah satu alis terangkatnya. "Jangan bicara sok pintar. Cepat pesan makanan kamu!" Seru Rhein ketus
Hazel langsung terdiam dan dia kembali fokus ke buku menu.
Hazel hanya memesan satu menu makanannya dan minuman, tapi Rhein malah memesankan beberapa menu makanan.
"Tuan, banyak sekali makanannya?"
"Aku sudah bilang sama kamu, jangan memanggilku dengan sebutan Tuan. Aku bukan majikan kamu di sini. Nanti dikira aku sedang mengajak makan pelayanku"
"Maaf, tapi saya tidak tau nama, Tuan."
Rhein tersenyum seolah menertawai kebodohannya sendiri. "Aku lupa belum memberitahu namaku. Namaku Rhein, dan jangan berbicara formal denganku. Santai saja." Rhein seolah menghela napasnya pelan. Sepertinya ada yang mengganggu hati Rhein.
"Nama Tu--. Maksud aku, nama kamu bagus sekali." Hazel tersenyum kecil dan Rhein melihat senyum gadis polos itu.
"Katakan padaku dengan jujur Hazel. Kamu sepertinya sangat polos dan lugu, tapi kenapa kamu bisa bekerja di tempat Sean?"
"Temanku yang mengenalkan aku karena aku memang membutuhkan pekerjaan, dan bekerja di sana tidak ada salahnya asal aku mendapat pekerjaan karena aku susah sekali mendapatkan pekerjaan setelah lama mencarinya.
"Pantas saja kamu terlihat sangat buruk dan malah bersikap emosi saat aku mencium paksa kamu." Rhein meneguk minumannya.
Wajah Hazel seketika malu saat Rhein mengingatkan akan ciuman itu. Dia mengira Rhein orang-orang yang kurang ajar seperti ayah tirinya, walaupun sebenarnya Hazel sadar di club malam itu memang tempatnya para pria hidung belang mencari kesenangan.
Namun, setelah Rhein menolongnya dan menjelaskan jika dia mengira Hazel wanita pilihan yang memang dicarikan untuk Rhein, Hazel mulai berpikiran lain.
"Makan saja kalau begitu. Setelah itu aku akan mengantar kamu pulang."
Mereka berdua makan bersama, bahkan Rhein memaksa Hazel makan sangat banyak karena melihat tubuh Hazel yang kecil dan kurus seperti orang kekurangan makan.
"Rhein, terima kasih, tapi aku sudah kenyang. Lagipula kenapa membeli makanan sebanyak ini?"
"Ya sudah kalau tidak mau makan. Kenapa juga menyalahkan aku yang memesan banyak makanan? Aku bisa membayarnya semua." Hazel hanya terdiam dan Rhein membayar semua makanan itu.
"Rhein, apa boleh aku bawa pulang saja sisanya? Aku bisa menghangatkannya untuk sarapan besok."
Rhein agak tercengang dengan apa yang di ucapakan gadis di depannya. "Kalau mau aku pesankan yang masih baru untuk kamu bawa pulang."
"Jangan! Ini saja yang belum tersentuh dari tadi. Kenapa malah memesan lagi?"
Rhein terdiam sejenak. "Terserah kamu." Rhein meminta pelayan untuk mengemas makanan yang masih ada dan Hazel membawanya pulang.
Kembali di sepanjang perjalanan mereka berdua hanya berbicara sedikit, di mana Hazel memberitahu alamat tempat tinggalnya saja. Kemudian suasana kembali sepi. Hazel memilih terdiam sampai akhirnya dia malah tertidur.
Tidak lama mobil mewah Rhein berhenti di sebuah flat sederhana yang tidak terlalu besar. Rhein melihat dari dalam mobilnya, flat itu dengan banyak lantai kamar di dalamnya. Tempat itu lebih mirip apartemen, hanya saja lebih sederhana.
Rhein melihat pada gadis yang tengah tertidur dengan pulasnya.
"Hazel." Rhein coba memanggil Hazel, tapi dia malah melihat gadis yang dari tadi duduk di sebelahnya malah menggeliat tidak memperdulikan. "Dia ini bagaimana? Kenapa malah tidur? Menyusahkan saja," Rhein berdialog dengan kesal.
Rhein keluar dari dalam mobilnya dan dia bingung hendak membangunkan Hazel atau tidak?
Tidak lama keluar dua orang dari dalam rumah di mana tadi Hazel memberikan alamatnya. Dua orang itu tidak melihat Rhein dan mereka malah asik berciuman di sana.
"Ehem!" Rhein mencoba mengeluarkan suara dehemannya agar dua orang itu sadar jika ada Rhein di sana.
Namun, mereka tidak peduli dengan deheman Rhein yang mungkin mereka juga tidak mendengarnya karena asik berciuman. Rhein yang kesal kembali masuk ke dalam mobil dan mau tidak mau dia harus membangunkan Hazel karena tidak mungkin dia membawa Hazel ke tempatnya.
"Hei, bangun!" Rhein menepuk pipi Hazel, tapi gadis itu tidur seperti orang mati saja.
"Apa aku memberinya ciuman saja supaya dia bangun seperti putri tidur yang dibangunkan oleh sebuah ciuman sang pangeran?" Rhein malah tersenyum devil.
Rhein perlahan mendekat pada wajah Hazel dan jujur saja Rhein menyukai bibir ranum Hazel dengan lip balm berwarna peach. Benar-benar seperti cup cake saja.
"Jangan!" teriak Hazel dan dia segera membuka kedua matanya.
Rhein terkejut karena dia belum menyentuh bibir Hazel sama sekali, tapi kenapa dia sudah bangun?
"Kamu mau apa? Aku ada di mana?" tanya Hazel kebingungan. Sepertinya jiwa Hazel masih melayang ke mana-mana belum berkumpul sepenuhnya.
"Aku malaikat tampan yang akan membawa kamu ke surga. Apa mau ikut?"
Hazel mengerjapkan matanya beberapa kali. "Tuan Rhein, kenapa aku bisa di sini?"
"Kamu amnesia? Ini di depan rumah kamu. Kamu mau turun apa tidak?"
Hazel melihat sekelilingnya. "Iya, ini tempat tinggalku."Hazel yang agak takut sama Rhein segera turun dari mobil Rhein dan masuk ke dalam bangunan yang hampir mirip apartemen itu.
"Ck! Dia bahkan tidak mengucapkan terima kasih padaku. Awas saja nanti kalau dia membutuhkan aku." Rhein memutar mobilnya pergi dari sana.
Hazel masuk ke dalam ruangan yang tidak terlalu besar. Dia memang membawa kunci sendiri.
"Ya ampun! Berantakan sekali ruangan ini. Apa Bella baru saja mengadakan pesta? Kenapa banyak sekali kaleng minuman dan makanan ringan?"
Hazel sebenarnya masih mengantuk dan sangat lelah, tapi dia tidak suka melihat rumah berantakan. Hazel gadis yang suka akan kerapian.
Dia membersihkan ruangan itu dan merapikan semuanya, sampai akhirnya dia ketiduran di atas sofa panjang di sana.
"Hazel, bangun."
"Hm!"
"Hazel, ayo bangun!" Sekali lagi tangan seorang gadis seumuran Hazel mencoba membangunkan Hazel dengan menggoyangkan tubuhnya.
"Bella, aku masih mengantuk. Nanti saja kita bicara atau kalau kamu mau berangkat kuliah, kamu pergi saja," celoteh Hazel dengan mata masih tertutup.
Gadis yang di panggil Bella itu malah sekarang duduk di samping Hazel dengan bersandar pada pinggiran sofa.
"Ayah tirimu kemarin malam datang ke sini." Hanya satu kalimat dan berhasil membuat Hazel berjingkat kaget.
"Apa kamu serius?"
Gadis itu menganggukkan kepalanya. "Aku sendiri terkejut, tiba-tiba dia ke sini, apa lagi dalam keadaan terpengaruh minuman keras.
"Ayah tiriku apa sudah tau jika aku berada di sini?"
"Saat dia bertanya, aku tidak mengatakan kalau kamu tinggal di sini. Kita pun hampir saja bertengkar karena ayah tiri kamu yang gila itu."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!