[Selamat!]
[Anda telah berhasil menyelesaikan misi]
[Hadiah: … loading]
Sebuah layar transparan yang menunjukkan sebuah sistem muncul dan kembali menghilang di hadapan Sean. Namun, pria itu tidak sedikit pun melirik, dia lebih memilih mengabaikan jendela sistem.
Hadiah dari sistem tidak berguna, semuanya tidak jauh-jauh dari hal remeh seperti mendapatkan paket kiriman peralatan mencukur, voucher gratis makan bakso, atau bahkan dapat kesempatan mengintip teman perempuan mandi selama tiga detik.
Namun, mata Sean terbelalak saat jendela sistem kembali muncul.
[Sistem berhasil di upgrade]
[Selamat! Anda mendapatkan 1 miliar dari sistem]
[1 Miliar anda akan segera dikirim melalui rekening]
“Apakah ini nyata?”
***
Di dalam ruang kelas yang tenang, seorang dosen sedang membawakan pelajaran sejarah seni rupa di muka kelas. Tidak ada yang berani mengabaikan, dosen itu terkenal killer dan tidak segan mengurangi poin nilai dari muridnya.
Pada kursi paling belakang, salah satu mahasiswa tahun kedua-Sean Herdian tidak bisa berkonsentrasi sama sekali. Pandangannya terfokus pada apa yang ada di atas kepala, tepat pada sebuah layar hologram berbentuk jendela sistem mengapung di udara.
“Identifikasi status.” Pria berkacamata bundar itu berkata dengan begitu lirih hingga tidak ada yang mendengarkan ucapannya.
[Identifikasi status]
[Nama: Sean Herdian]
[Usia: 19 tahun]
[Status: Mahasiswa seni rupa]
[Kekuatan: 0 poin]
[Kecepatan: 0 poin]
[Kepandaian: 0 poin]
[Keberuntungan: 0 poin]
[Aura: 0 poin]
Sean kembali menghela napas dan menggosok kasar rambut hitam miliknya. “Mengapa poin milikku tidak pernah bertambah?”
Benar-benar sebuah sistem yang tidak berguna. Entah seberapa keras dirinya berusaha menyelesaikan misi yang diberikan, tetapi tidak ada perubahan dalam statusnya.
Sistem tidak hanya memberikan misi-misi yang unfaedah, tetapi hadiah penyelesaiannya pun sungguh tidak berguna. Benar-benar sistem yang tidak bisa diharapkan.
Sudah satu bulan hidup Sean terikat pada sistem. Sebuah kecelakaan membuatnya tidak sadarkan diri dan dirawat di rumah sakit selama tiga hari. Namun, ketika matanya terbuka, sebuah jendela sistem adalah hal yang pertama dilihatnya.
Sean sudah menganggap dirinya gila dengan halusinasi-halusinasi yang mengelilingi kepala. Namun, saat sistem dengan rutin memberikan misi harian, pemuda itu mencoba menyelesaikan dan semua yang dianggapnya sebagai halusinasi adalah sebuah kenyataan.
[Misi harian: Menerima pukulan]
[Note: Semakin banyak anda menerima pukulan, semakin banyak hadiah yang didapatkan]
“Hah? Menerima pukulan? Benar-benar misi yang tidak masuk akal!” desah Sean putus asa sambil memijat pelan kepalanya.
Kepala pria itu akan meledak dengan hanya memikirkan misi dari sistem yang membawanya pada kesulitan. Tidak ada Keuntungan bagi Sean untuk terus menyelesaikan misi, itu membuat pemuda itu berencana mengabaikan misi kali ini dan seterusnya.
‘Tukk!’
Sebuah buntalan kertas dilemparkan ke arah Sean dan jatuh tepat di depan mejanya. Sebuah catatan kecil di tulis di dalam kertas.
Pandangan Sean beralih pada benda itu dan membukanya.
[‘Sean Herdian, beli dua kaleng cola dan kirim di kamar asrama!’]
Hanya sepatah kata singkat yang Sean baca. Meski hanya pesan tanpa pengirim, pemuda itu dapat menerka siapa yang sudah menulisnya.
“Lagi-lagi Felix, apa lagi maunya sekarang?” gumam Sean pada dirinya sendiri.
Felix Reinald, adalah teman satu kamar Sean di asrama universitas. Mereka sama-sama mahasiswa tahun kedua pendidikan seni rupa. Hanya saja hubungan mereka tidaklah mirip sebagai dua orang yang saling berteman.
Setelah membacanya sekali lagi, Sean merobek kertas itu menjadi bagian kecil dan meninggalkannya di atas meja. Perintah dari pesan Felix diabaikan sampai jam kuliahnya selesai. Dia bergegas ke kantin untuk membeli dua kaleng cola dan segera kembali ke kamar asrama.
***
'Kriek!'
Tepat di kamar 202, Sean membuka pintu kamar asramanya. Aroma dari rokok tercium kuat saat dirinya masuk ke dalam ruangan.
“Felix dan … Frans?” Mata Sean terbelalak melihat kedua orang yang sudah ada di dalam kamarnya.
Orang yang sudah disebutnya sedang duduk dan asyik merokok.
Tidak boleh merokok di area asrama!
Itu adalah aturan mutlak yang ditulis pada poster kertas dan dipasang pada sudut asrama. Tentu ada hukuman bahkan sanksi untuk dikeluarkan bila melanggarnya.
Namun, aturan-aturan tidak berlaku bagi kedua orang itu. Mereka semua memiliki latar belakang yang tidak bisa disentuh oleh siapapun di tempat ini.
“Ma-Maaf, aku datang terlambat.” Sean masuk dengan wajah tertunduk.
“Ahh, lihat ini siapa yang baru datang? Kau terlambat datang dan membuat tenggorokan kami mengering. Apa kau mengabaikan pesan kami, hah?” Felix yang duduk bersilang kaki di atas ranjang melontarkan protesnya. “Bagaimana Frans, dia sudah tidak menghormati tamuku.”
Frans Ellinden memiliki penampilan paling mencolok di antaranya. Pria berdarah Eropa yang satu-satunya memiliki warna rambut pirang dan mata biru di kampus begitu populer. Ketampanan Frans membuat para gadis mengidolakannya.
Latar belakang sebagai anak direktur sebuah galeri besar membuat Felix begitu hormat, tetapi tidak bagi Sean.
Dibandingkan kata hormat, Sean lebih memilih kata takut. Dia benar-benar tidak bisa melanggar perintah Frans.
Hubungan diantara mereka tidak menguntungkan Sean. Ayahnya bekerja sebagai tukang kebun di keluarga Frans. Karena dianggapnya rendah membuat pemuda berdarah campuran itu tidak henti-hentinya membully Sean.
“Apa kau sudah mengabaikan pesan yang diberikan Felix?” tekan Frans dengan aura mengintimidasi.
“Benar! Bocah itu pasti sengaja melakukannya. Dia harus diberikan hukuman!” hasut Felix dengan senyum licik di wajahnya.
Frans menoleh dan sedikit tertarik dengan ide dari temannya, itu membuat sudut bibir Frans ikut terangkat lebar.
“Kemarilah!” perintah tegas Frans pada Sean.
Dengan kaki bergetar dan rasa ingin mengompol, Sean melangkah maju dan berhenti tepat di hadapan Frans.Terlihat kantong plastik yang berisi dua cola masih ditenteng di tangannya.
Saat langkah Sean berhenti, tidak ada respon apapun dari pria di hadapannya. Itu membuat jantung Sean berdebar kencang, bahkan keringat dingin mengguyur deras di wajahnya.
Ada perasaan takut yang mendalam pada dirinya. Namun, pria itu tidak bisa melarikan diri dari situasi ini.
“Apa kau hanya berdiri saja?” Frans melontarkan pertanyaan yang tidak dimengerti oleh Sean. Sontak pandangan Sean terangkat dan tampak Frans sudah menyilangkan kedua tangannya.
“A-aku tidak mengerti, Frans,” jawab Sean dengan mulut bergetar.
Frans bangkit dan melemparkan sisa dari puntung rokok ke arah Sean, beruntung bara rokok itu tidak mengenai tubuhnya. Namun, di tengah itu tangan Frans menggapai kepala Sean dan mendaratkannya di atas lantai. “Bersujud!”
‘Klang!’ Kaleng-kaleng cola yang dibawa Sean keluar dari kantong dan bergelinding di lantai.
Di bawah kaki Frans, wajah Sean terasa begitu panas. Benturan keras yang langsung dari wajahnya membuat tulang hidung pemuda itu terasa retak dan darah keluar dari tempat itu.
‘Srak!’ Frans kembali menarik rambut Sean sehingga wajah penuh penderitaan miliknya terangkat.
“Felix?” panggil Frans menoleh pada pemuda yang hanya menonton. “Berikan dia pelajaran, orang yang tidak menghormati tamu akan mendapatkan hukuman!”
“Sesuai perintahmu, Kak Frans,” kekeh Felix antusias.
Frans melepaskan cengkraman tangannya pada rambut Sean dan melemparkan tubuh pemuda itu ke atas lantai. Kacamata bundarnya ikut terlempar dan pecah.
Dengan menahan sakit, Sean mengusap lelehan darah di wajahnya. Tampak tubuhnya tidak berdaya untuk melawan. Sean benar-benar terlihat seperti seorang pengecut.
Dalam keputusasaan itu, tidak ada seorang pun yang menolongnya. Bahkan, sistem yang ada pada dirinya tidak memiliki kemampuan mempertahankan diri atau sekedar meringankan rasa sakit Sean.
"Ah, sistem," ungkapnya dalam hati.
Kali ini adalah kesempatan satu-satunya untuk dapat melarikan diri, tetapi Sean bertahan untuk sekedar berpikir dalam menyelesaikan misi harian pada sistem.
Felix mendekat, dia merendahkan tubuhnya sehingga tubuh pemuda itu sejajar dengan Sean. “Bersiaplah menerima hukuman!”
Dengan mata tertutup, Sean tampak siap untuk mendapatkan pukulan.
‘Plak! Plak!’ Beberapa tamparan dari Felix mendarat di pipi Sean secara bergantian.
[Anda mendapatkan 1 pukulan]
[Anda mendapatkan 2 pukulan]
[Anda mendapatkan 6 pukulan]
Jendela sistem kembali muncul dan secara otomatis menghitung banyaknya pukulan yang didapatkan Sean dari Felix.
Hitungan dalam jendela sistem terus merubah angkanya sampai Felix menyelesaikan pukulan terakhir.
[ … ]
[Anda mendapatkan 13 pukulan]
Pemuda itu jatuh telungkup di lantai. Tak puas dengan hal itu, Felix akan melanjutkan serangannya lagi dan ….”
‘Krak!’
Dengan sengaja Felix menginjak jari-jari di tangan kanan Sean.
“Arrrrgh!” Suara teriakan kencang adalah hal terakhir yang Sean lakukan sebelum seluruh kesadarannya hilang.
[Anda telah berhasil menyelesaikan misi harian]
'Srak!'
Saat mata Sean terbuka dan melihat langit-langit putih yang bukanlah kamarnya, dia terperanjat dari tidurnya. Aroma obat menyengat indra penghidu dan selang-selang infus melilit di punggung tangannya.
Keadan itu begitu familiar saat dia dirawat di rumah sakit beberapa bulan lalu saat dia mendapatkan sebuah kecelakaan yang sengaja dilakukan Frans. Bahkan, kali ini pun Sean harus kembali mendapatkan perawatan ke rumah sakit karena ulah Frans lagi.
[Selamat anda telah berhasil menyelesaikan misi]
Saat jendela sistem muncul di hadapannya, Sean kembali teringat atas pukulan Felix yang dapat menyelesaikan misi harian pada sistem.
[Hadiah: … Loading]
[Loading … ]
[Sistem Error]
Jendela sistem yang tiba-tiba muncul sedang mengalami kerusakan, tetapi perhatian Sean teralihkan pada rasa sakit yang seakan ******* tubuhnya.
“Argh!” rintihnya ketika bereaksi dengan rasa sakit itu.
Sean mencengkram kepala dengan jari-jari miliknya, mencoba menggali ingatan traumatis yang didapatkan sebelum kesadarannya hilang.
“Apa yang terjadi!” pekiknya menjadi.
Dalam ingatannya yang kabur, Sean dapat melihat dirinya diperlakukan begitu kejam oleh Frans dan Felix. Pukulan demi pukulan yang sudah diberikan Felix membuatnya bergidik, sontak tubuh Sean bergetar setelah mengingat hal apa yang dilakukan oleh mereka pada jari-jari tangannya.
“Keterlaluan mereka!” Pandangan Sean tertuju pada jari tangannya yang sudah kaku diselimuti gips.
“Apa kau membicarakan soal aku?” sela Frans yang sudah bersandar di sisi dinding sejak tadi.
Melihat Sean sadar, Frans menghampirinya. Dia merendahkan tubuhnya sehingga dapat sejajar dan berbisik penuh tekanan. “Kau tahu, aku tidak suka mendapatkan kesulitan dari sampah sepertimu.”
Tanpa rasa bersalah sedikit pun Frans tega mengatakan hal kejam setelah menyakiti Sean. Dia melontarkan tatapan yang penuh intimidasi pada korbannya.
“Aku teringat pria cacat yang menjadi tukang kebunku. Apakah dia akan mendapatkan pekerjaan lain setelah dipecat dari rumah kediaman Ellinden?” Penuh tekanan Frans mengancam Sean menggunakan ayah Sean. “Kau tahu harus berkata apa, bukan?”
Dengan kepala menunduk, Sean terpaksa mengangguk. Meski itu semua bertolak dengan keinginannya, tetapi pemuda itu tidak dapat melakukan apapun selain menuruti perintah Frans.
Tangan kiri Sean mengepal kuat, begitu juga gemeretak giginya yang menandakan sebuah luapan emosi sedang menggerus kesabaran pada dirinya. Namun, pada akhirnya dia terpaksa mengangguk seperti seorang pecundang.
“Bagus! Orang penurut sepertimu akan mendapatkan hadiah. Aku bisa membujuk ayahku untuk memberikan kenaikan gaji pada ayah cacatmu.” Frans menjauhkan wajahnya dan menepuk pelan bahu Sean.
‘Kriek!’
Pintu di kamar rawat itu terbuka, dia melihat ayahnya masuk bersama seorang dokter yang mengenakan jas putih.
“Sean! Sean!” seru pria itu yang langsung mendatangi Sean dengan menggunakan tongkat jalan.
Andi Herdian adalah pria berumur 40 tahun yang membesarkan Sean dengan tangannya sendiri. Ibu Sean pergi meninggalkan mereka saat Andi mengalami kecelakaan berkendara dan menjadi cacat. Kaki kirinya pincang dan tidak akan bisa sembuh lagi.
Saat itu usia Sean terlalu kecil untuk mengetahui keadaan orang tuanya. Tidak ada yang bisa dilakukan lagi oleh ayahnya selain menjadi tukang kebun keluarga Ellinden.
“Kau sudah sadar? Kau merasa pusing? Bagian mana saja yang terasa sakit?” Dengan penuh khawatir, pria itu datang dan langsung memeluk Sean setelah Frans menyingkir.
Ayah Sean melepaskan pelukannya dan mengangkat wajah anaknya dengan kedua tangan. “Katakan pada ayah apa yang terjadi, Nak?”
Sean memandangi Frans yang berdiri di belakang ayahnya penuh kebencian, tetapi pemuda yang dipandangnya hanya terkekeh tanpa suara.
"A-aku terjatuh di tangga." Ketidakjujuran Sean diucapkan dengan bibir bergetar.
Sebelum percakapan ayah dan anak berlanjut lagi, dokter yang dari tadi menunggu di pintu segera masuk dan memperlihatkan foto rontgen yang dibawanya.
"Ini adalah kondisi tangan kanan Sean, Pak Ardi," ucapnya pada ayah Sean. "Kondisinya cukup parah, penyembuhan untuk jari Sean sudah cukup bagus."
Pernyataan itu membuat semua orang di dalam ruangan cukup lega, terkecuali Frans yang tidak mengubah reaksinya.
"Akan tetapi …." Dokter melanjutkan pernyataannya dengan berat hati.
Sean dan ayahnya berpaling menatap dokter. Tidak ada yang berani berkata, mereka hanya menunggu dokter meneruskan ucapannya yang terhenti.
"Sean …, Sean tidak bisa menggerakan jari-jari tangan kanannya dengan sempurna lagi."
"Apa yang dokter maksudkan … tangan kananku cacat, Dok?" sahut Sean histeris.
Dokter tidak menjawab langsung tapi anggukkannya membenarkan ketakutan dari mereka.
'Srak!'
"Tidak!" pekik keras Sean.
Barang-barang yang ada di dekat Sean dilemparkannya, baik benda-benda yang di atas meja, bantal, selimut, bahkan … dia melepas paksa selang infus di tangannya.
Kepala Sean terasa berat dan hampir meledak. Amarah yang mengalir panas di dalam nadi membuat Sean menggila.
"Tidak! Tidak! Katakan itu tidak benar, Dok!" Teriakannya menggema di dalam ruangan, bahkan teriakan itu sampai terdengar dari luar.
Dokter hanya menggeleng dengan penuh penyesalan. "Maaf, kami sudah berusaha yang terbaik."
***
[Sistem tidak terbaca]
[Error!]
Setelah Sean tersadar dari pingsannya, sistem mengalami kerusakan yang tidak ketahui. Sistem gagal memperlihatkan hadiah penyelesaian misi atau menunjukkan misi-misi baru.
Setiap Sean memberikan perintah untuk mengidentifikasi sistem, layar hanya menunjukkan tulisan 'Error'.
"Apa sistem benar-benar sudah hilang dari dalam diriku?" gumam Sean segera membuang jauh pikiran yang dianggapnya tidak terlalu penting untuk saat ini.
Pikiran Sean kembali jatuh pada vonis dokter atas jari tangan kanannya yang tidak akan bisa digunakan dengan baik, dalam artian sebuah kecacatan.
'Kriek!'
Pintu terbuka, ayah Sean tampak berwajah cemas dibaliknya.
"Sudah tenang, Nak?" Ayah Sean kembali datang di tempat Sean dirawat.
Setelah kekacauan itu, dokter kembali bertugas dan Frans juga kembali pulang. Sementara ayah Sean harus mengurus administrasi rumah sakit.
Tidak ada respon dari diri Sean. pemuda itu duduk dengan menyandarkan kepalanya pada kaca jendela. Tatapannya kosong dan pikirannya melayang pada masa depannya yang dalam semalam menjadi buram.
Impian Sean adalah menjadi pelukis sehingga dia berusaha keras mengasah bakatnya dan berhasil mendapatkan beasiswa di fakultas seni. Namun, takdir berkata lain. Jari cacatnya tidak akan bisa lagi mengangkat kuas dan membuat lukisan lagi.
“Ayah?” panggilnya dengan nada sendu. Sean berbalik menatap tangannya yang masih kaku diselimuti gips dengan penuh penyesalan. “Aku cacat, aku tidak bisa menjadi pelukis lagi.”
Mendengar kesedihan Sean, Pak Ardi mendatanginya, duduk di samping dan menepuk bahu Sean dengan penuh cinta. “Sean, kau tidak perlu memikirkan hal itu, Tuan Ellinden sudah mengurus semuanya. Beliau akan memberikanmu pekerjaan yang sesuai. Bila bertemu dengannya, jangan lupa untuk berterimakasih.”
Meski itu adalah kata-kata penghibur, tetapi bagi Sean yang kembali mendengar nama Ellinden membuat hatinya tergerus amarah. Perlakuan Frans dan temannya tidak akan pernah dilupakan Sean. Namun, di hadapan ayahnya, Sean hanya menunduk untuk menyembunyikan sebuah kebencian.
Ayah Sean yang dapat membaca pikiran anaknya hanya bisa memeluknya. Dia tahu bahwa anak majikannya adalah nama dibalik kesengsaraan Sean. Namun, dalam keadaan ini baik Sean dan ayahnya dalam keadaan dimana dia harus ada di bawah kaki keluarga Ellinden.
***
Di atas rooftop gedung rumah sakit berlantai tiga, Sean berdiri di tepi atap gedung itu. Tanpa rasa takut pemuda itu berdiri di atas pembatas beton yang di bawah kakinya tampak pemandangan dari ketinggian.
"Ayah, maafkan Sean," ucapnya lirih penuh keputusasaan.
Di tengah angin yang berhembus kencang, tekad Sean sudah bulat. Dia akan melompat dari atas lantai itu dan mengakhiri hidupnya yang menyedihkan.
Harapan Sean sudah hilang, jari kanannya tidak bisa digunakan untuk melukis lagi dan dia tidak ingin ayahnya kecewa karena hal itu.
Perasaan haru itu berubah menjadi sebuah amarah saat di kepala Sean terngiang kembali perlakuan Frans dan Felix.
"Aku akan menghantui kalian, akan aku balas sakit hatiku ini," seru Sean sebelum salah satu kakinya bergerak maju dan ….
'Bruk!'
Dentuman keras terdengar dan seluruh orang yang ada di bawah berteriak histeris.
"Seorang jatuh dari atas gedung!" teriak mereka.
Tidak ada lagi yang tersisa dari kehidupan Sean, hanya aspal yang terbanjiri darah dan seberkas cahaya di matanya yang masih terbuka penuh kehampaan.
[Loading … ]
[Sistem Terbaca]
[ … 10%]
[ … 20%]
[ … ]
[ … 100%]
Di tengah ajalnya, sistem kembali bekerja dan layar kembali muncul di depan mata Sean.
[Sistem Upgrade]
Mati rasa!
Ada rasa kesemutan yang membuat tubuh Sean kaku dan tidak bisa digerakkan. Bahkan, untuk membuka matanya saja Sean mengalami kesulitan, seakan ada batu yang menahan pada kedua kelopak matanya.
“Apakah aku sudah mati?” batinnya menerka apa yang terjadi.
Setelah melompat dari atap, hanya ada satu jawaban pasti, yakni kematian. Sean tidak akan hidup kecuali ada sebuah keajaiban dan tentunya dia tidak percaya itu sampai matanya terbuka perlahan.
[Sistem telah berhasil di upgrade]
“Sistem kembali di upgrade?” Sean kembali bertanya pada dirinya sendiri bagaimana bisa sistem mengikutinya sampai di akhirat.
[Transfer data sistem … 100%]
Semua tulisan yang ada pada jendela sistem membuat Sean tidak mengerti. Dia hanya mengerjap dengan setengah sadar sambil menunggu kelanjutan sistem yang terbaca.
[Hadiah misi yang tertunda]
Sistem mengaitkan hadiah misi yang tertunda sebelumnya.
Sean dapat mengingat bahwa dia telah menyelesaikan misi dan belum mendapatkan hadiah sebelum terjadi error. Meskipun tidak berharap banyak, tetapi Sean mengingat jelas apa yang membuatnya berhasil menyelesaikan misi.
Misi mendapatkan pukulan.
Benar saja, kejadian saat dia mendapatkan kekerasan dari Felix dan Frans yang membuat jari tangannya menjadi cacat. Dia tidak akan pernah melupakan misi konyol itu.
[Selamat!]
[Anda telah berhasil menyelesaikan misi!]
[Hadiah: … loading]
Tidak sedikit pun hadiah dari sistem membuat Sean tertarik. Sistem selalu memberikan hadiah-hadiah tidak berguna. Namun, lucunya saat ini Sean tidak bisa mengabaikan layar pada jendela sistem yang kembali muncul.
Mendadak mata Sean terbelalak saat jendela sistem kembali muncul.
[Hadiah misi!]
[Selamat! Anda mendapatkan 1 miliar dari sistem]
[1 miliar anda akan segera dikirim melalui rekening]
“Satu miliar?” Tanpa sadar pemuda itu bangkit dan berteriak keras dengan apa yang telah dibacanya.
“Sean!” Seseorang memanggilnya dan membuat Sean menjadi sadar.
Sejenak, pemuda itu mengabaikan satu miliar yang didapatkannya saat berada di dalam akhirat, tetapi sedetik kemudian dia sadar bahwa langit-langit putih, furnitur putih, dinding dan tirai yang juga serba putih adalah sebuah tempat yang lebih mirip ada di rumah sakit ketimbang akhirat.
Mata hitam Sean menengadah dengan penuh ketidakpercayaan. Bagaimana bisa dia kembali terbaring di rumah sakit setelah melompat dari ketinggian? Apakah adegan bunuh diri darinya adalah mimpi atau hanya khayalannya semata?
Tubuh Sean tidak terasa sakit sedikit pun. Bahkan, tubuhnya yang terasa berat mendadak menjadi ringan dan wajahnya lebih segar. Sean juga telah mengkonfirmasi bahwa tidak ada luka maupun darah yang ada padanya.
“Sean? Kau sudah sadar, Nak?” Suara yang tidak lain dari Pak Andi membuatnya sadar bahwa tempat yang dikiranya adalah akhirat ternyata benar-benar hanyalah kamar rawat di rumah sakit.
Dengan penuh khawatir, Pak Andi langsung melompat pada Sean dan memeluknya dengan erat. “Jangan mati, Nak. Ayahmu menyayangimu. Jangan pernah mengulanginya lagi.”
Kata-kata dari ayahnya mengkonfirmasi Sean bahwa tindakan mengakhiri hidupnya yang tidak berakhir memanglah sebuah kenyataan. Akan tetapi, dia kembali mengerjap penasaran.
“Mengapa aku tidak mati?” Bahkan dia melihat alat-alat medis yang ada di kamarnya tidak terpakai.
Kalaupun manusia gagal mati setelah jatuh dari ketinggian, setidaknya dia akan mendapatkan luka fatal. Entah gegar otak ataupun patah tulang adalah hal yang wajar. Namun, kenyataannya alat medis tidak digunakan sama sekali dalam perawatan Sean, bahkan selang infus pun tidak.
Mata Sean memicing dengan tidak percaya. Diingat sekali lagi sebelum dia benar-benar tidak sadarkan diri, saat itu tubuh Sean berlumuran darah.
“Ayah, apa yang terjadi?”
Ada penuh rasa haru yang membanjiri wajah Pak Andi, tetapi matanya melebar penuh dengan ketakjuban. “Ini semua adalah keajaiban. Saat orang-orang berteriak ada seorang pemuda yang jatuh dari atap, ayah segera melihat. Tubuhmu benar-benar penuh darah dan aku pikir anak semata wayangku sudah mati. Namun, kau masih bernapas, Nak. Bahkan tidak terluka sedikit pun.”
“Lalu … saat aku jatuh dari mana asal darah itu?” Pertanyaan Sean membuat ayahnya sedikit bingung.
Pak Andi hanya mengangkat bahunya dan menggeleng tidak tahu. “Entahlah, semua dokter juga merasa aneh. Tidak ada luka di tubuhmu, tetapi …”
“Ada apa, ayah?” Sean kembali dibuat ayahnya penasaran.
“Saat ditemukan gips tanganmu pecah.” Napas Sean tertahan sejenak setelah mendengarkan penjelasan ayahnya.
Setelah kejadian yang tidak masuk akal itu Sean hampir melupakan keadaan tangannya yang divonis cacat. Dia mendapati tangannya yang hanya terbalut perban. Merasa penasaran Sean membuka perban itu.
“Ah, tetapi jangan terlalu dipikirkan. Gips bisa saja pecah saat kau terjatuh saat itu,” komentar ringan ayahnya tidak membuat Sean menjadi tidak curiga.
Meski telah mendengar itu, Sean tetap membuka lilitan perban di tangannya. Setelah semua perban terbuka, Sean melihat tangannya yang menjadi penyebab penderitaan atas dirinya selama ini. Namun, saat dia berusaha menggerakkan jari-jari …
‘Srak!’
Sean langsung terperanjat penuh terkejut.
Bagaimana tidak, jari-jari tangan kanannya yang seharusnya patah dan membuat dirinya menjadi cacat justru bisa bergerak bebas. Benar-benar hal mustahil yang tidak bisa dinalar olehnya.
Sean berdiri dan mengambil sebuah pensil di atas nakasnya, lalu mencoba menggambar sederhana di atas kertas.
Sean berhasil! Jari cacatnya bisa digunakan kembali, bahkan Sean merasa jari-jari pada tangannya dapat bergerak bebas dan ringan.
Dua hal yang benar-benar mustahil bagi Sean. Pertama, Sean dapat hidup tanpa sedikit pun luka setelah jatuh dari ketinggian. Kedua, jari tangan Sean yang telah divonis cacat dapat digunakannya kembali. Apakah ada hal mustahil untuk yang ketiga kalinya?
Pikiran Sean melayang dari jendela sistem yang menyambutnya setelah bangun dari tempat ini.
Uang 1 miliar!
Benar! Sistem memberikan hadiah 1 miliar setelah menyelesaikan misi terakhir. Benar-benar hal yang mustahil bisa diterima Sean saat ini. Namun, pikirannya kembali terjungkal pada hal-hal tidak masuk akal yang baru saja dialaminya. Bisa jadi Sean benar-benar mendapatkan 1 miliar dari sistem.
“Aku harus pergi! Aku harus melihat apakah 1 miliar itu benar-benar nyata!” ungkap Sean dengan terburu.
Pak Ardi tidak mengerti apa yang dipikirkan anaknya sempat curiga apakah Sean menjadi gila setelah kepalanya terbentur aspal.
Tanpa penjelasan Sean pergi mencari 1 miliarnya.
***
Di dalam ruang ATM, Sean tidak sabar menunggu jumlah saldo yang sedang dalam proses. Dia tahu kemana harus pergi mencari 1 miliarnya setelah teringat akan jendela sistem yang menyatakan bahwa 1 miliar itu akan ditransfer pada nomor rekening. Itulah yang membuat dirinya segera berlari mencari mesin ATM.
[Saldo sedang dalam proses ….]
[Jumlah saldo anda saat ini RP 1.000.009.500,00]
Dengan tidak percaya Sean menghitung kembali jumlah nol di dalam angka saldonya.
Sean benar-benar ingat bahwa saldo terakhir miliknya adalah RP 9.500,00. Sebuah nominal yang tragis bahkan untuk membeli bakso favoritnya saja masih kurang 500 perak. Namun, abaikan saja angka tragis itu dan fokus pada jumlah nol di belakang angka satu. Ya, benar-benar 1 miliar.
“Aku kaya! Aku kaya! Aku kaya!” teriak Sean di dalam ruang ATM.
Beruntung ruang bilik yang sempit itu meredam suara hingga teriakan gila Sean tidak membuatnya dijemput paksa ambulance dari rumah sakit jiwa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!