“Apa yang kau lakukan, Gilmer?” Sebuah suara halus melengking memenuhi ruang keluarga kediaman Collins.
Hellen yang baru saja datang dan ingin bergabung di sana, terkejut melihat suaminya mengamuk dan membanting semua benda yang ada di ruangan tersebut. Wajah lelaki berusia setengah abad itu terlihat begitu marah. Dadanya tampak naik-turun dengan napas yang memburu tak beraturan.
“Harusnya pertanyaan itu untuk putrimu! Apa yang sudah dia lakukan?” hardik Gilmer dengan telunjuk yang mengarah pada sang istri.
“Loretta?” Kening Hellen mengerut. “Memangnya apa yang dia lakukan? Apa yang terjadi, Gilmer?” lanjutnya bertanya.
“Cadee!”
Bukannya menjawab pertanyaan sang istri, Gilmer malah memanggil seseorang yang sedari tadi berdiri dengan pandangan tertunduk, tidak jauh dari tempatnya berdiri. Hellen menoleh dan menatap bingung pria yang menjadi asisten setia suaminya itu.
“Saya, Tuan!” Menjawab tegas seraya mendekat kepada tuannya.
Gilmer menengadahkan tangan tanpa sepatah kata dan seperti biasa, asisten setia yang telah mengabdi selama bertahun-tahun itu selalu memahami keinginan sang tuan. Segera ia mengambil iPad yang tadi sempat dia selamatkan dari amukan tuannya, lalu memperlihatkan sesuatu di sana kepada Hellen.
Wanita berusia senja yang masih saja cantik itu, tiba-tiba terkejut dan membelalakkan mata dengan kedua tangan membekap mulutnya sendiri. Ekspresi wajah nyonya besar itu bercampur aduk tak menentu antara marah, kecewa, tetapi juga khawatir.
'Pemirsa, dunia entertain pagi ini kembali dihebohkan dengan berita yang datang dari artis cantik Loretta Collins. Kabar tempo hari yang sempat mengguncang media Amerika mengenai scandalnya dengan pengusaha muda Damian Tellez, rupanya tidak memberikan efek jera. Sejumlah foto-foto mesra dan vulgar antara dirinya bersama aktor tampan Olsen Carter, serta sebuah video syur berdurasi 30 detik yang di duga terjadi dalam sebuah kamar hotel, kembali beredar. Kabarnya, Loretta disebut-sebut akan terlibat dalam satu projek film terbaru bersama Olsen yang bakal tayang Desember mendatang. Namun, dari berita ini, putri pengusaha ternama Gilmer Collins tersebut, dikabarkan akan didepak dari AXE Production. Sayangnya, hingga detik ini belum ada klarifikasi dari keduanya maupun pihak keluarga Collins dan Carter.'
“I-ini tidak mungkin.” Hellen berucap santai meskipun sedikit gugup, seolah berita tersebut tidaklah penting.
Perempuan cantik dengan tampilan glamor itu melipat tangan di dada seraya memalingkan wajah ke arah lain, menyembunyikan khawatir yang tampak jelas di matanya. Bagaimana tidak khawatir? Berita tersebut nyatanya menjadi trending topik nomor 1. Sh*it! Hellen berpikir untuk melakukan apa yang harus dia lakukan.
“Apanya yang tidak mungkin, Hellen? Lagi-lagi kau ingin mencoba melindunginya?” tanya Gilmer begitu geram. Tampak ini bukan kali pertama putri mereka berulah dan Gilmer sudah kehabisan cara mengurus putri satu-satunya itu.
Hellen mendengus mendengar pertanyaan suaminya yang dianggap konyol. Sebelum kembali melayangkan protes dan sesi debat dengan sang suami, ia lebih dulu mengembalikan iPad milik Chadee.
“Kau sudah tahu kenapa harus bertanya lagi? Apa aku salah melindungi putriku sendiri? Apa aku harus ikut percaya dengan berita-berita murahan yang belum tentu benar itu?” cecar Hellen mulai emosi. “Kau saja bisa melindungi–”
“Cukup, Hellena!” Amarah Gilmer yang sempat sedikit mereda tadi, kini kembali tersulut. Lelaki itu membentak sang istri dengan telunjuk yang mengarah tepat di wajah Hellena. “Yang kau lakukan pada putrimu hanya akan membuatnya tidak tau bertanggung jawab dan semakin seenaknya. Yang kau lakukan itu tidak salah tetapi menyesatkan putrimu! Seterusnya dia akan berulah, berulah, dan berulah!” imbuhnya berapi-api.
“Loretta tidak seperti yang kau katakan, Gilmer! Harusnya kau percaya pada putrimu, bukan percaya pada berita maupun perkataan orang lain! Loretta tidak seperti itu!” balas Hellena sengit, tak mau kalah.
Gilmer lebih mendekat pada istrinya seraya menahan kedua pundak Hellen. “Oh, yah? Kalau begitu sekarang di mana putrimu? Di mana Loretta?” Hellen meringis karena cengkraman sang suami sambil terbungkam.
...***...
Suasana gelap masih mendominasi sebuah kamar hotel nan mewah. Meskipun di luar sana matahari telah bersua dengan bumi the Windy City, tetapi penghuni kamar itu masih damai dalam lelap. Embusan napas yang teratur diselingi dengkuran halus sesekali, berbaur dengan detakan jarum jam yang menciptakan senandung lirih di tengah keheningan.
Namun, gelap dan hening yang merajai pagi itu, tiba-tiba terpecah saat dering ponsel memekik. Akan tetapi, itu pun tidak cukup hanya dengan sekali untuk dapat membangunkan sesosok hawa yang tenggelam di balik selimut.
Tak menyerah, benda pipih persegi itu kembali berdering. Bukan, bukan gawainya yang tercipta dengan sebuah program elit pantang menyerah, melainkan usaha seseorang di seberang sana. Seperti sebuah desakan, lagi dan lagi dering ponsel tersebut terus menggema.
Berhasil. Seseorang yang berada di atas tempat tidur di sana mulai terusik. Erangan kecil keluar dari bibirnya, disertai tangan yang terulur dan bergerak kaku di atas nakas.
“Mengganggu saja,” dengusnya lalu kembali tertidur. Ponsel yang sempat diraihnya, dilemparkan begitu saja setelah berhasil menolak panggilan.
Namun, detik berikutnya wanita itu membuka mata lebar-lebar dan segera bangkit dari tempat tidur begitu menyadari siapa penelepon tadi. Pada waktu yang bersamaan, ponselnya kembali berdering. Akan tetapi, sebelum menerima panggilan, terlebih dulu sosok cantik itu memungut beberapa helai pakaian yang berserakan di lantai kamar hotel lalu mengenakannya dengan gerakan kilat.
📱“Yes, Dad–”
📱“Dalam 10 menit kau sudah harus ada di mension!”
Sambungan telepon itu pun terputus secara sepihak dengan raut datar tanpa ekspresi dari sosok cantik di sana.
“Masalah.”
...🍁🍁🍁...
“S*hit! Aku harus segera tiba di mension atau lelaki tua itu akan menghukumku,” umpat seorang wanita yang tidak lain adalah Loretta. Salah satu artis cantik paling kontroversial sejagat benua merah.
Wanita dengan rambut berwarna rose gold itu tampak terburu-buru mengemasi barang-barangnya. Panggilan telepon dari sang ayah dengan nada memerintah beberapa detik lalu, cukup menjelaskan padanya bahwa sesuatu telah terjadi.
“Pasti orangnya memata-matai aku dan melaporkan padanya. Kurang ajar!” Lagi-lagi Loretta mengumpat.
Merasa semua barang miliknya sudah ia kantongi dalam tas dengan brand ternama dunia, Loretta pun melenggang keluar tak santai. Langkahnya tegas setengah berlari. 10 menit yang diberikan sang ayah, bisa saja berarti kurang dari itu dan Loretta sudah sangat hafal akan hal tersebut.
Begitu masuk di dalam lift, si cantik itu menyempatkan diri menghubungi seseorang. Namun, raut kesal bercampur kecewa seketika bergelantung di wajah cantik Loretta, mendapati panggilannya ditolak. Garis bawahi, ditolak bukan diabaikan.
“Si*al!” Hampir saja ia melemparkan ponselnya, beruntung lift lebih dulu terbuka. Segera Loretta mengantongi kembali benda pipih persegi itu dan kembali melangkah dengan terburu-buru.
Namun, baru beberapa langkah, Loretta dikejutkan dengan sejumlah orang yang tiba-tiba mendekat kepadanya, disusul kilatan kamera dan sederet hujaman pertanyaan. Tentu saja hal itu cukup mengejutkan, meskipun bukanlah hal baru lagi bagi Loretta.
🎙️ “Nona Collins, bisakah Anda memberikan sedikit penjelasan kepada kami terkait berita yang beredar pagi ini, apakah hal itu benar adanya?”
Oh, s*hit! Berita apalagi? Jangan-jangan … habislah aku. Gilmer Collins akan memenjarakan hidupku. Everybody help me!
Loretta menjerit dalam hati sambil menahan geram, tetapi ia berusaha memperlihatkan senyum terbaik di wajahnya.
🎙️ “Benarkah semalam Anda menginap di hotel ini bersama Tuan Olsen?”
🎙️ “Bukankah Tuan Olsen sudah memiliki tunangan, Nona?”
🎙️ “Bagaimana tanggapan Anda sendiri mengenai berita pagi ini, Nona? Apakah benar di sini Anda sebagai orang ketiga?”
Wartawan sia*lan! Enyalah kau!
Loretta masih tersenyum meskipun hatinya terus saja berseru penuh makian. “Maaf lain kali saja. Saya sedang terburu-buru,” ucap Loretta berusaha sesopan mungkin.
Segera ia menerobos kerumunan beberapa orang di sana dan setengah berlari menuju mobilnya. Akan tetapi, lagi dan lagi kesialan menimpa Loretta. Baru saja ia hendak masuk ke dalam mobil, sindiran pedas disertai gulungan-gulungan kertas menghujam dirinya.
“Wanita penggoda! Kau tidak pantas bersama Olsen!” Seorang wanita berseru nyaring sembari melempari Loretta.
“Artis tidak punya prestasi! Prestasimu hanya di ranjang!”
Loretta sudah sangat geram dan ingin sekali merobek mulut wanita itu, tetapi ia sadar bahwa dirinya diserang. Tidak hanya sampai di situ, bahkan ada yang dengan berani melempari telur dan buah-buahan busuk ke arahnya. Mobil mewah keluaran terbaru itu ikut jadi sasaran penyerangan.
Ia segera masuk ke dalam mobil lalu hendak menghidupkan mesinnya, tetapi dua orang berbaju hitam dan berbadan kekar tiba-tiba datang mengetuk pintu mobil dan menghentikannya. Lore tidak lagi panik sebab wajah-wajah itu sudah tak lagi asing.
Keduanya sedikit menundukkan kepala. “Maaf Nona, mari ikut kami! Ban mobil Anda pecah semua,” ucap salah satu dari mereka.
Tanpa membantah lagi, si cantik itu keluar dengan pengawalan khusus kali ini dan berpindah ke mobil yang lain. Kerumunan tadi pun enggan mendekat. Sebelum benar-benar masuk ke dalam mobil, Loretta sempat berbalik dan mengacungkan jari tengah kepada kawanan haters di sana.
“Huh, menyebalkan sekali. Berita apa yang kalian lihat pagi ini?” tanya Loretta sembari memasang safety belt-nya. Hening, tidak ada yang menjawab, hanya deru mesin mobil yang mendominasi. “Ck, ini alasan mengapa aku tidak suka menggunakan pengawal. Membosankan,” imbuhnya sembari kembali merogoh ponsel dari tas.
Bertepatan saat itu, ponselnya berdering tanda panggilan masuk. Wanita bermata cokelat itu mendengus melihat nama si penelpon yang tertera pada layar.
📱 “Loretta, kau kemana saja? Sejak semalam aku mencarimu, kenapa kau tiba-tiba menghilang dari pesta? Apakah kau sudah melihat berita pagi ini? Jelaskan semuanya padaku, Loretta. Sudah kuperingatkan untuk men–”
📱 “Shut up, Lynette! Kau lebih menyebalkan dari wartawan rendahan itu,” ketusnya. “Datang saja ke mension, aku tidak ke mana-mana hari ini,” lanjut Lore.
📱 “Wait, wait! Why–”
Panggilan itu pun terputus. Loretta begitu malas mendengarkan omelan sang manajer. Ia sedang memikirkan sekaligus mempersiapkan diri untuk hukuman dari sang ayah. Wanita 25 tahun itu sudah bisa menduga bahwa kali ini ia tidak akan bisa melawan kehendak ayahnya lagi.
Mobil memasuki pintu gerbang kediaman Collins. Loretta menunduk dan melirik jam tangan mahal di pergelangannya. Ia menghela nafas sedikit berat menyadari sudah lewat waktu, tetapi tetap menata langkah memasuki rumah mega bak mahligai para dewa-dewi.
“Loretta!” panggil ibunya seraya mendekat dan memeluk sang putri. Sepertinya wanita berusia senja itu sudah menunggu anaknya sedari tadi.
“Are you, ok?” tanya Hellena penuh khawatir.
“Tidak ada yang ok, Mom? Karierku bisa hancur. Please, do it something, Mom! Jangan sampai si bodoh itu menertawaiku!” Loretta memelas pada ibunya.
“Itu tidak akan terjadi. Mommy tidak akan tinggal diam. Sekarang tenanglah dan temui daddy di ruang kerjanya. Dia sudah menunggu!” titah Helena.
Ia pun berlalu dari hadapan putrinya meninggalkan Loretta dengan hati yang dipenuhi harapan. Wanita cantik itu lalu cepat-cepat berlari ke ruang kerja ayahnya. Ketukan di pintu hingga kali ketiga dan Loretta dipersilahkan masuk.
“I'm so sorry for coming late, Dad! Tadi aku sempat dis–”
“Bersiaplah malam ini kau akan ke Irlandia!” Suara berat Tuan Collins menginterupsi ucapan anaknya membuat Loretta tersentak bukan main.
“Big no, Daddy!” Tanpa takut ia menolak dengan tegas. “Apa tidak ada hukuman yang jauh lebih baik untukku selain diasingkan sejauh itu? Semarah itukah Daddy padaku? Aku ini putri Daddy satu-satunya!” Nada Loretta tidak bisa lagi terkontrol.
“Pelankan suaramu, Loretta!” Wanita itu seketika mengatupkan mulutnya dengan gemetar. “Kau masih punya satu pilihan lain kalau begitu.”
Gilmer yang sedari tadi duduk membelakangi putrinya, kini berbalik dan menatap tajam wajah sang putri yang selalu dipenuhi aura keangkuhan. Ia pun berdiri dan memasukan tangannya ke dalam saku celana lalu melangkah lebih mendekat.
“Kau harus berhenti dari dunia entertain dan kembali ke perusahaan dengan didampingi pengawal setiap detiknya mulai saat ini.”
Dunia Loretta seakan runtuh menindihnya. Ia tidak percaya ayah kandung sendiri menginginkan kehancuran kariernya. Hukuman macam apa ini? Begitulah yang ada dalam benak artis cantik yang mungkin saja akan mengakhiri keartisannya sebentar lagi.
“Ini kejam, Dad!” ucap Loretta penuh penekanan. Giginya bergemeletuk menahan marah.
Sudut bibir lelaki paruh baya itu sedikit terangkat. Ia tahu betul bahwa dua hal yang dibenci putrinya adalah bekerja di perusahaan dan dikelilingi pengawal. Wanita muda itu merasa dunianya sempit dan tertekan. Tidak ada semboyan 'freedom' dalam hidupnya.
“Ini tidak kejam, tetapi ini yang terbaik untukmu. Bukankah tadi kau diserang di depan hotel itu? Jangan keras kepala, Lore! Mungkin saja besok-besok terjadi penyerangan yang lebih sadis dari itu. Bisa saja, 'kan?” Loretta terdiam untuk sesaat.
“Kalau begitu aku yang akan memilih pengawal itu sendiri,” Mencoba bernegosiasi dengan ayahnya.
“No, Darla! Daddy tidak akan pernah percaya lagi padamu. Dan Daddy tidak akan memilih sembarang orang yang akan dengan mudah kau bodohi.” Gilmer tahu betul watak anaknya. Ia sudah mengantisipasi ini sebelumnya.
“Jangan bilang Daddy akan memilih orang-orang dari Noco Miles! Aku tidak terima!” protes Lore sekali lagi dan ayahnya menanggapi dengan tawa.
“Tepat sekali!”
...🍁🍁🍁...
Sebuah ruang kerja cukup besar dengan desain vintage yang didominasi warna hitam, gold, dan coklat, terlihat begitu elegan. Di sana, tampak dua orang pria berbeda generasi tengah diliputi kepuasan.
Layar televisi berukuran besar yang terpampang di depan mereka, baru saja dimatikan menyisakan raut cukup senang di wajah keduanya. Sepertinya, sebuah tontonan menarik baru saja dinikmati dua kaum adam itu.
Keduanya kini duduk saling berhadapan dengan sebuah meja kecil yang berada di tengah. Di atas meja, terdapat papan berkotak hitam putih dihiasi bidak-bidak berwarna serupa. Perhelatan santai sedang berlangsung di sini.
“Jangan lekas merasa puas, Boy! Ini baru awal permainan. Masih banyak yang harus kamu lewati dan selesaikan,” ucap seorang dari mereka yang berusia setengah abad.
Seorang lagi yang lebih muda tersenyum samar, lalu mengangguk mengiyakan ucapan laki-laki paruh baya yang adalah ayahnya.
“Yes, Dad! So, let's get it done!”
Pemuda itu mempersilahkan sang ayah agar lebih dulu menggerakkan bidaknya yang berwarna putih. Jangan bingung kenapa dia tidak memainkan bidak hitamnya terlebih dahulu? Sudah aturannya dalam dunia catur seperti itu, putih yang lebih dulu dimainkan.
Mata elang dengan manik hazel itu terus menyorot papan catur, di mana bidak putih yang mengendalikan permainannya. Pria tampan itu tersenyum tenang, ketika sebuah celah untuk memainkan jebakan blackburne shilling terdeteksi netranya.
“Dalam menjalankan sebuah rencana, jangan terlalu terburu-buru dan ingin menguasai semuanya!” Pemuda itu berbicara sambil menangkup wajahnya dengan tangan yang bertumpu pada kedua lutut.
Tanpa diduga, dengan sengaja ia membiarkan ratu hitam masuk ke dalam perangkap kuda putih. Dari sinilah kekacauan putih berawal.
“Terkadang kita perlu mengalah dan tetap tenang, lalu perlahan-lahan menyerang dengan pasti.” Pada akhirnya kemenangan diraih pemuda itu, saat posisi raja dan ratu putih dikunci oleh kuda hitam yang ia gerakan.
Kedua sudut bibir pemuda itu sedikit terangkat membentuk senyuman tipis, kala suara tepuk tangan sang ayah mengapresiasi trap yang dimainkannya.
“Kau memang putraku, Boy,” ucap lelaki paruh baya di sana dengan bangga. "Satu pesan daddy, tetaplah berhati-hati dan selalu waspada. Jangan lengah sedikit pun selagi misimu belum selesai!" imbuhnya.
Pria tua itu kemudian meraih sebuah botol dengan tampilan mewah dan berkilau. Botol tersebut dilapisi 3000 berlian swarovski yang dirancang oleh Leon Verre, seorang desainer terkenal asal Roma. Pemuda tadi menggelengkan kepalanya, melihat sang ayah yang mulai menuangkan isi dalam botol tersebut ke dalam dua gelas yang tersedia di sana.
“Berhentilah mengkonsumsi alkohol, Dad. Itu tidak baik untuk kesehatanmu,” tegur sang pemuda. Akan tetapi, ia pun tidak menolak gelas berisi billionaire vodka yang disodorkan ayahnya.
“Tidak mengapa jika hanya sesekali. Anggap saja ini untuk mengawali rencana kita.” Sang ayah menanggapi dan mengajak putranya itu untuk bersulang.
Bunyi gelas saling beradu dan mengudara dalam ruangan mewah di sana. Kedua pria gagah itu lalu meneguk minuman yang dibuat dengan resep rahasia asal Rusia tersebut.
“Thanks for today, Dad. Aku harus ke Rex Falcon sekarang.” Pemuda dengan wajah bak dewa Yunani itu berucap setelah selesai meneguk minumannya. Ia lantas segera berlalu dari sana.
“Good luck, Boy," ucap ayahnya dengan nada pelan sambil tersenyum.
...***...
Keesokan harinya, Loretta masih mencoba bernegosiasi dengan sang ayah terkait pengawalan terhadap dirinya. Ruang makan pagi itu menjadi arena perdebatan di antara mereka.
“Daddy, please. Biarkan aku memilih pengawalku sendiri. Masih banyak orang yang lebih berkemampuan dan bisa diandalkan daripada orang-orang Noco Miles.” Loretta berpendapat sembari memohon, tetapi tidak digubris ayahnya sedikit pun.
Pasalnya, Loretta tahu betul bahwa Noco Miles adalah perusahaan layanan jasa keamanan yang anggotanya terkenal loyal, disiplin, dan tidak mudah dipengaruhi oleh apa pun itu. Jelas ini akan sangat mengekangnya dan Loretta benci hal ini.
“Daddy tahu mana yang terbaik untukmu, Lore.” Pria tua itu merespon dengan santai.
“Tapi tidak ada salahnya kau mendengarkan permintaan putrimu, Gilmer. Kau tidak bisa selalu memaksakan kehendakmu tanpa peduli dengan apa yang dia inginkan.” Hellena mencoba memprovokasi.
Tiba-tiba seorang pelayan wanita datang dan mengatakan jika ada paket yang dipesan atas nama Loretta Collins. Hellena menatap putrinya dengan raut penuh tanya, sementara Loretta sendiri diliputi kebingungan.
Paket?
“Aku tidak sedang memesan apapun. Apa kau tidak salah? Mungkin saja mereka salah alamat,” sanggah Loretta dengan yakin.
Pelayan wanita yang masih setia menunduk itu, semakin menundukkan kepalanya. “Maafkan saya, Nona. Tapi saya sudah memeriksanya dan nama Nona tertera di sana,” jawab sang pelayan.
“Pergi dan lihat saja dulu,” usul Tuan Collins.
Tanpa menunggu perintah berikutnya, Loretta langsung bangkit dan meninggalkan ruang makan, disusul pelayan tadi setelah berpamitan pada kedua majikannya. Loretta berjalan cepat menuju ke arah depan dan benar saja, sebuah kotak cukup besar dengan selembar kertas yang terselip di sana bertuliskan namanya.
Tidak sabar ingin melihat isinya, wanita cantik itu langsung saja membuka kotak yang terikat dengan pita berwarna merah. Seketika Loretta meringis saat membuka pita tersebut. Ternyata di sana terdapat dua jarum yang menancap di kedua sisi.
“Oh, sh*it! Siapa yang bodoh mengikat pita menggunakan jarum seperti ini?” gerutu Lore sambil menghisap darah pada telunjuknya.
Tak berselang lama, kembali ia membuka penutup kotak dan mendapati sehelai kertas di atas sana. Mata wanita itu seketika membola dengan jantung yang mulai berdegup cepat begitu membaca isinya.
‘Hi, bi*tch! Apakah jarimu aman? Anggap saja itu salam perkenalan kita. Hari-hari berikut dan ke depannya, aku akan memperlihatkan padamu bagaimana kehidupan di neraka yang sesungguhnya. Persiapkan dirimu dengan baik, Nona Collins. Aku punya banyak kejutan untukmu.’
“Pecundang si*alan!” seru Loretta dengan geram.
Ia lalu mere*mas-re*mas kertas tersebut dan membuangnya sembarang arah. Amarah dan rasa tak sabar mendesaknya membuka lagi satu penutup kotak di bagian dalam dan seketika itu ia menjerit histeris sambil mendorong kotak tersebut menjauh sekuat tenaga.
Mendengar teriakan Loretta, semua orang berlari menghampirinya. Hellena dan Gilmer yang tiba lebih dulu di sana, kaget melihat putri mereka yang tampak gemetaran dan ketakutan. Tanpa bertanya pada sang putri, Gilmer mendekat dan memeriksa kotak yang diduga sumber ketakutan putrinya.
Benar saja, dalam kotak tersebut terdapat beberapa foto Loretta yang dilumuri darah dan juga bangkai burung dengan sebilah pisau yang tertancap. Gilmer ikutan geram tidak terima dengan teror yang semakin berani mengganggu ketenangan putrinya, apalagi sudah masuk dalam lingkungan mension.
“Ke*parat! Cari dan temukan kurir tadi sekarang juga!” perintah Gilmer pada beberapa penjaga yang turut ada di sana.
“Baik, Tuan!” jawab tiga orang lelaki berbadan kekar dan langsung berlalu dari sana. Sementara itu, para pelayan wanita bergegas membereskan paket tadi.
“Chadee!” panggil Gilmer pada asistennya.
“Saya, Tuan!”
“Siapkan mobil, kita ke Noco Miles sekarang juga.” Gilmer bertitah.
...🍁🍁🍁...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!