Aileen baru saja pulang dari pasar setelah beberapa drama terjadi selama di pasar. Dia kembali dikejutkan dengan kedatangan sebuah mobil mewah di depan halaman kontrakannya.
Tanpa merasa curiga, Aileen menghampiri seorang pria berpakaian rapi seperti pekerja kantoran.
"Permisi?"
Detik berikutnya wajah Aileen mendadak pucat mengetahui siapa orang yang bertatapan dengannya itu.
Pria tersebut melepaskan kacamata hitamnya, menatap Aileen dengan tatapan datar. Terkesan menyeramkan.
"Kak ...."
Aileen gugup, saking gugupnya dia tidak sadar menjatuhkan keranjang belanjaan. Mendengar suara jatuh yang disebabkan oleh dirinya sendiri, Aileen menunduk dan berdecak sebal. Pria di hadapannya itu menatap dengan wajah datarnya itu.
Aileen kembali menatap pria tersebut dan memperlihatkan cengirannya. Dia buru-buru mengambil keranjang belanjaannya dan gegas menuju ke kontrakan, Aileen memilih mengabaikan pria tersebut yang masih saja diam.
Saat pintu baru saja dibuka dan hendak masuk, pria tersebut menahan Aileen dengan mencengkeram erat pergelangan tangannya.
"Kita perlu bicara!" ucap pria tersebut dengan suara yang sarat penekanan. Tidak untuk ditolak.
Aileen mencoba melepaskan cengkeramannya, tetapi nihil karena tenaganya yang tidaklah sebanding.
"Kak, lepas, dong!" seru Aileen kesal. Dia menatap sebal pria yang sekarang memperlihatkan seringai licik di sudut bibirnya.
"Kak!"
"Jangan teriak," balas pria itu. Namun, dia tidak juga melepaskan tangan Aileen.
Aileen celingukan, dia memperhatikan jalanan karena takut ada orang yang melihat dan bisa saja mereka menuduhnya yang aneh-aneh.
"Kenapa?" Pertanyaan pria di hadapannya itu membuat atensi Aileen teralihan. Dia menggeleng. "Katakan, Ai!"
"Mbak Amee?"
"Kenapa dengan dia?" Aileen menggeleng. "Kalau begitu jangan menghindari saya. Kita perlu bicara!" Pria berperawakan tinggi dengan tubuh yang atletis karena rajin olahraga itu melonggarkan cengkraman pada tangan Aileen.
"Buat apa?"
"Jangan pura-pura lupa!" Tatapan tajam pria itu membuat Aileen makin gugup. Dia sampai menelan ludahnya kasar dan mengangguk pasrah.
Pria tersebut akhirnya melepaskan cengkeramannya dan ikut masuk ke dalam rumah kontrakan Aileen.
"Jangan ditutup, Kak!" larang Aileen saat melihat pria tersebut hendak menutup pintu. Dia tidak mau ada orang yang curiga dan malah membuatnya dalam masalah besar.
Pria itu menaikkan satu alisnya. "Nanti kalau ada orang yang lihat kita bisa kena masalah," imbuhnya.
Tidak ada tanggapan apa pun pria itu lantas membiarkan saja pintu kontrakan terbuka dan dia langsung duduk di sofa. Tatapannya terlihat kesal saat Aileen masih saja berdiri dan melamun.
"Duduklah!" Aileen menggeleng.
"Aku begini saja deh. Lagian Kak Randu ngapain ke sini?" Aileen mulai berani menatap pria yang bernama Randu itu dengan tatapan curiga. Dia telah bersiap siaga dengan berdiri di dekat pintu kamar.
Pikir Aileen jika Randu akan berbuat macam-macam dia akan langsung masuk kamar dan menguncinya. Dia tidak mungkin lari keluar mengingat saat ini sedang hamil muda.
Teringat sesuatu Aileen menatap Randu makin curiga. "Siapa yang beritahu Kak Randu aku di sini? Kak Randu suruh orang, ya?" tebak Aileen sambil menunjuk wajah tampan Randu.
Pria itu dengan santai mengangguk dan menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa. Dia menyilangkan kedua tangannya di belakang kepala, menatap Aileen yang kesal.
"Ngapain, sih? Sumpah kurang kerjaan!" kesal Aileen. dia bersedekap dengan bibir manyun.
"Saya melakukan itu karena kita harus bicara!"
"Tentang?"
Kesabaran Randu terasa diuji, sejak awal perempuan di hadapannya itu tiba-tiba menghilang membuatnya kelimpungan. Bukan karena adanya perasaan cinta atau apa, Randu hanya merasa perlu tahu dan tanggung jawab atas apa yang pernah terjadi di antara mereka. Sekarang dengan mudahnya Aileen seakan melupakan begitu saja.
Randu melihat ada perubahan pada Aileen. Aileen terlihat sedikit gemuk lalu dia memperhatikan perut Aileen yang sedikit membuncit meski tidak begitu terlihat.
"Sudah berapa bulan?" Aileen menganga mendengar pertanyaan Randu lalu berusaha menutupi perutnya.
"Kalau kamu tanya tentang apa, sudah pasti tentang apa yang pernah terjadi di antara kita. Tentang kebodohan kamu yang menjebak saya!" ucap Randu santai.
Aileen melotot mendapat tuduhan yang begitu menyudutkannya. "Mending Kak Randu pergi deh!" usir Aileen. Dia berusaha untuk tidak marah. Sayangnya Randu keras kepala. Pria itu menolaknya.
"Setelah empat bulan saya mencari kamu mana mungkin saya melepaskan begitu saja kesempatan yang ada!"
Aileen mengikuti bicara Randu tanpa suara. Dia sedang meledek Randu.
"Duduk dan dengarkan apa yang mau saya sampaikan!" Dengan malas Aileen menuruti perintah dari Randu. Dia juga merasa kakinya pegal karena terlalu lama berdiri.
"Saya akan menikahi kamu!" Randu sudah duduk dengan tegap. Dia menatap Aileen yang begitu terkejut mendengarnya.
"Jangan ngaco! Lagipula aku gak mau jadi istri kedua, apalagi jadi madu Mbak Amee. No!" tolaknya tegas.
"Jangan beritahu siapa pun tentang pernikahan ini. Setelah kamu melahirkan kita cerai dan anakmu akan Amee asuh!" jelas Randu.
"Cerai? Lahir? Apa maksudnya? Kak Randu kira aku hamil setelah sekali berhubungan sama Kakak?" cecar Aileen. Randu mengangguk, dia lalu mengambil sesuatu dari sakunya.
"Lihatlah. Saya menemukannya di kamar mandi kamar kamu. Jangan kamu kira saya bodoh tidak tahu benda apa itu!" Aileen lagi-lagi dibuat terkejut melihat benda pipih yang diletakkan di atas meja. Aileen merasa bodoh dan tidak menyangka jika dia begitu teledor.
"Saya masih ingat saat itu kamu pergi begitu buru-buru membawa koper dengan alasan akan menginap beberapa hari di rumah temanmu. Nyatanya kamu langsung kabur!"
Aileen menunduk, dia begitu merutuki kebodohan. Akibat gugup dan takut dia memilih pergi begitu saja. "Apa kamu mengira saya akan membiarkan saja kamu pergi dengan membawa penerus saya? Itu tidak akan!"
"Harusnya begitu. Lagipula aku gak mau Mbak Amee sedih dan kalian cerai gara-gara aku!" ujar Aileen tanpa berani menatap Randu.
"Tidak akan. Bagaimanapun bayi itu darah daging saya. Jadi jangan pernah berpikir untuk menjauhkan kami. Sekarang kita harus menikah, setelah itu fokus untuk merawat kandungan kamu. Lahirkan dan pergilah!"
Aileen mengangkat wajahnya dan menatap Randu dengan tatapan tidak percaya. Namun, sialnya dia tidak dapat berbicara apa pun. "Saya tahu kamu tidak menginginkan bayi itu, maka biarkan bayi itu kami yang rawat."
"Mbak Amee gimana? Apa dia gak akan marah kalau tahu siapa bapaknya?" tanya Aileen pelan.
"Rahasiakan. Jangan biarkan siapa pun tahu!"
Randu lantas bangkit dari duduknya dan keluar meninggalkan Aileen begitu saja. Pria itu bahkan tidak peduli dengan perasaan Aileen saat ini.
Tangannya yang tidak pernah dia biarkan untuk mengelus perutnya mendadak tanpa dia duga bergerak mengelus perutnya dengan lembut. Aileen bingung saat merasakan hatinya sakit, rencananya gagal total. Dia bahkan tidak berniat menyerahkan bayinya nanti kepada Randu meski enggan merawatnya.
Aileen lantas menatap punggung Randu dan beranjak bangkit. Dia menutup pintu kontrakannya. Tanpa menghiraukan Randu yang mengetuk pintu dan menyuruhnya untuk membukakan pintu, Aileen memilih masuk ke kamarnya.
Dia berdiri di depan cermin, menatap pantulan tubuhnya dan tatapannya tertuju pada perutnya sendiri. "Meski aku mempertahankan kamu, itu bukan untuk kuserahkan sama Mbak Amee untuk dirawat. Lebih baik kamu kutaruh di panti agar diasuh oleh orang lain. Bukankah dengan begitu kemungkinan kita bertemu akan sangat kecil?" Tanpa terasa air matanya mengalir.
Suara Randu masih saja terdengar. Saat ini suara gedoran terus saja berulang membuatnya kesal.
"Kita pergi dari sini, oke?"
Aileen sudah mengemas pakaiannya ke dalam koper, dia menarik kopernya perlahan dan mengendap ke jendela dekat pintu untuk memastikan jika Randu sudah tidak ada lagi.
Aileen dapat bernapas lega. Dia tidak mau mengulur waktu dan gegas pergi, Randu bisa saja datang kapan pun dia mau.
"Lagian siapa, sih, yang disuruh sama dia? gumam Aileen. Dia masih kesal kepada orang yang mau-maunya menjadi pesuruh Randu.
"Maafin aku, kamu pasti marah karena aku jauhi kamu sama bapakmu itu, tapi aku gak siap kalau kita akan sering bertemu nantinya." Aileen mengusap perlahan perutnya sebelum beranjak pergi.
Perempuan itu memang nekat, tanpa persiapan apa pun dia memilih pergi begitu saja. Sama seperti saat dia menyadari jika dirinya hamil setelah satu bulan kejadian naas itu terjadi.
Takut ketahuan dia memilih pergi, bahkan dengan uang yang tidak seberapa. Namun, keteledorannya membuat Randu malah menemukan benda pipih itu.
"Ini ojek, angkot, taksi, atau apa pun pada ke mana, sih? Atau Kak Randu sudah tahu kalau aku bakal kabur makanya dia tahan mereka semua?" Aileen celingukan melihat jalanan yang sepi tidak seperti biasanya. Padahal dia sudah berjalan cukup jauh, kakinya terasa nyeri.
"Tapi aku gak mau ketemu lagi sama dia. Aku harus pergi!"
Aileen kembali berjalan kaki dengan menarik kopernya. Dia berharap ada kendaraan yang lewat agar dia bisa segera menjauh dari tempat tersebut.
"Bapak kamu jahat banget, sih. Kita sudah jalan jauh loh ini," gerutu Aileen. Dia merasa tubuhnya begitu lemas, keringatnya terus saja keluar. Sepanjang perjalanan yang dilaluinya sama sekali tidak ada kendaraan yang lewat, padahal tadi saat dia pulang dari pasar sangat mudah menjumpai kendaraan umum.
Aileen merasa kepalanya pusing, dia benar-benar tidak lagi kuat untuk berjalan. Mungkin saja karena sejak pagi belum makan dan saat di pasar dia sempat muntah karena ulah seseorang yang menyebalkan. Aileen hampir saja terjatuh ke aspal jika tidak cepat Randu menangkap tubuhnya.
"Kak ...."
"Sial, dia pingsan lagi!" Pria itu lekas menggendong tubuh Aileen dan membawanya ke dalam mobil. Randu benar-benar merutuki sifat keras kepala Aileen. Padahal dia hanya pergi sebentar untuk memastikan jika permintaannya selesai, tetapi dikejutkan dengan Aileen yang berjalan di jalanan yang sepi.
"Dasar kepala batu!" Untuk melampiaskan kekesalannya Randu mengetuk pelan kening Aileen dengan kepalan tangannya. Setelah itu dia membawa Aileen ke tempat yang semestinya mereka datangi.
***
Aileen tersadar, dia merasa asing dengan tempatnya saat ini. Dia berada di sebuah kamar yang luas dan memastikan jika ruangan tersebut bukan kamar kontrakannya atau pun kamarnya sendiri.
Aileen memilih turun dari ranjang, tetapi baru saja tubuhnya bergeser sedikit pintu ruangan tersebut terbuka. Dirinya kembali dibuat terkejut melihat siapa yang menemuinya.
"Kamu sudah sadar!" Aileen pasrah. Dia mendudukkan tubuhnya dan menatap kesal Randu.
Randu menutup pintu dan mendekat. "Mau minum?" tawar Randu, tetapi Aileen menggeleng. "Baiklah." Dia memilih duduk di sofa yang berhadapan dengan Aileen duduk saat ini.
"Apa itu?" tanya Aileen penasaran saat melihat Randu membawa map.
Randu menyerahkan map tersebut kepada Aileen daripada menjelaskannya terlebih dahulu. "Baca saja!"
Aileen membuka map tersebut. Dia melihat tulisan yang diketik rapi.
"Perjanjian pernikahan?" tanya Aileen terkejut dan Randu hanya mengangguk. "Kak, aku gak mau, Kakak gak budeg, kan?"
Randu berdecak sebal. "Aku tahu Kakak mau tanggung jawab. Makasih banyak, serius deh. Tapi, aku gak mau, Kak," ungkap Aileen sambil menutup map tersebut tanpa membaca isinya.
Kening Randu mengerut mendengar ucapan Aileen dan begitu tenang. "Lagipula kenapa Kakak seyakin itu kalau yang aku kandung ini anak Kakak?"
"Apa artinya kamu pernah melakukannya dengan pria lain?" Aileen spontan menggeleng. Jawaban sederhana itu membuat Randu makin yakin kalau Aileen memang mengandung penerusnya.
Pria itu lekas membuka map-nya kembali dan membacakan isinya. "Karena kamu keras kepala dan tidak mau membaca surat ini, maka saya yang akan membacakannya. Dengarkan," tekan Randu.
"Sebagai pihak pertama, Randu Kesuma akan mengambil alih hak asuh anak dari pihak kedua, Aileen. Kedua pihak dilarang memberitahu siapa pun pernikahan mereka, dan pihak kedua dilarang bertemu dan tidak memiliki hak apa pun terhadap anak yang dikandungnya!"
Aileen melempar bantal ke arah Randu dan tanpa bisa dihindari oleh pria itu sampai mengenai wajah tampannya. "Kenapa harus ada perjanjian begitu? Mana gak ada untungnya sama sekali lagi buat aku!"
Randu membuang bantal yang mengenai wajahnya itu ke lantai. Dia menatap tajam kepada Aileen. "Bukankah kamu tidak menerima bayi itu?"
"Iya, tapi bukan berarti aku setuju sama perjanjian itu."
"Saya tidak meminta persetujuan dari kamu. Lagipula kamu sudah tanda tangan!" Randu memperlihatkan tanda tangan Aileen.
"Kakak!" seru Aileen kesal. Dia yakin Randu memanfaatkan keadaanya tadi.
"Sekarang bersiaplah, sebentar lagi kita akan menikah dan setelah itu pulang!"
"pulang?" beo Aileen. Randu hanya mengangguk dan berlalu meninggalkan Aileen dalam kebingungan. Bahkan perempuan itu seakan tidak menyadari kedatangan perias karena masih berusaha mencerna kejadian yang terjadi.
"Cantik begini, kalau didandani makin cantik ini mah!"
Ucapan dari perias itu hanya dianggap sebagai angin lalu. Aileen seakan tidak berdaya dengan semua tindakan Randu.
Dalam pertemuan kembali keduanya, Randu sudah membuat keputusan tanpa peduli dengan dirinya sama sekali.
Aileen masih saja diam dan tidak peduli saat dirinya sudah berganti pakaian dengan gaun pengantin yang sederhana dan pas pada tubuhnya.
***
Air mata Aileen menetes setelah dia mendengar kata sah yang seakan menggema di seluruh ruangan. Dia menoleh ke sampingnya dan melihat senyum di wajah Randu.
Dia menghapus air matanya dan melihat sekelilingnya. Tidak hanya ada Randu, di depan mereka yang hanya terhalang oleh meja ada dua orang pria, di sisi Randu pun ada dua orang pria yang Aileen sudah kenal.
"Kak," panggil Aileen. Randu lekas menolah dan tersenyum. "Aku ... aku kenapa?" Aileen menatap Randu dengan tatapan mata sayu.
Randu tidak langsung menjawab, dia menyuruh beberapa pria yang ada di dalam ruangan itu untuk pergi dan membiarkan mereka berdua saja.
"Kita sudah menikah. Kamu lupa?" ujar Randu lembut. Aileen hampir terhipnotis dengan senyuman dan suara lembut pria di sampingnya itu.
"Tapi aku gak mau, Kak!" Aileen mulai menyadari yang telah terjadi. Dia menunduk dan kembali menangis.
Melihat Aileen yang tertekan membuat Randu hanya menghela napas kasar. "Saya janji tidak akan membuat kamu menderita. Pernikahan ini hanya sementara, bagaimanapun saya tidak mau kamu hamil tanpa seorang suami!" Randu mengusap lembut kepala Aileen yang masih menangis.
"Padahal tanpa menikah bisa, aku cuma perlu sembunyi saja dan Kakak bisa ambil anak ini nantinya," pungkas Aileen.
"Jangan asal bicara. Saya bukan pria yang tidak bertanggung jawab meski kesalahan sepenuhnya ada di kamu!" Ucapan Randu yang kembali menyudutkan dirinya membuat Aileen menangis makin kencang.
Dia mengabaikan larangan dan ancaman Randu. "Diamlah, saya akan melakukan apa pun asal bukan cerai!"
Aileen lantas terdiam dengan sisa-sisa air mata yang masih menggenang di pelupuk mata dan riasan yang sudah luntur.
"Janji?" Randu mengangguk. "Aku lapar!" ucapnya manja. Dirinya benar-benar lapar dan Randu sama sekali tidak peka.
"Ah, baiklah. Kamu ganti pakaian dan kita pulang, di sana kamu akan makan dengan banyak," ujar Randu. Dia memilih berdiri.
"Aku gak mau!"
"Aileen!" desis Randu.
"Aku mau makan steik!" tutup Aileen tanpa mau dibantah.
Setelah keluar dari sebuah rumah yang ternyata rumah sewaan Randu, pria itu menepati janjinya kepada Aileen yang ingin makan steik.
Mereka berada di sebuah cafe mewah tidak jauh dari rumah, Aileen tidak peduli selama dia menikmati makanannya. Bahkan Aileen melupakan keberadaan Randu yang hanya memperhatikan dirinya makan dengan lahap.
"Kamu sengaja meminta saya untuk mengusap ini!" Randu menunjukkan noda saus di ibu jarinya setelah mengusap lembut sudut bibir Aileen. Dia lalu membersihkan dengan tisu.
Aileen cemberut mendengar ucapan Randu, sejak awal pertemuan mereka pria itu tidak pernah berkata baik kepadanya. Selalu saja memojokkan. Ucapan itu membuat Aileen mendadak tidak bernafsu untuk menghabiskan makanannya.
"Kenapa?" tanya Randu heran saat Aileen meletakkan garpu dengan kasar dan menumpuk kedua tangannya di atas meja, jangan lupakan wajah kesal Aileen.
"Pikir saja sendiri!" Setelah mengatakan itu Aileen memilih pergi meninggalkan Randu.
"Ada apa dengan perempuan hamil, sensitif sekali," gumam Randu tidak mengerti. Padahal yang dia tahu, Aileen termasuk gadis yang masa bodo dengan apa pun ucapan orang kepadanya. Dia sudah terbiasa mendapat umpatan atau pun kata-kata yang begitu menyakitkan, sedangkan yang Randu katakan semuanya fakta dan dia langsung merajuk begitu.
Randu gegas membayar makanan Aileen dan keluar dari cafe. Dia bernapas lega saat melihat Aileen sedang berdiri di dekat mobilnya ketika pikirannya sudah takut jika Aileen akan mengambil kesempatan dengan memilih kabur.
"Masuklah, udara malam tidak bagus untuk wanita hamil!" Aileen tidak berkata apa-apa. Dia langsung masuk ke dalam mobil, bahkan membiarkan saja saat Randu memasangkan sabuk pengaman untuknya.
Aileen benar-benar terkejut saat Randu mengusap perutnya yang sedikit membuncit, pria itu lantas menatap matanya dengan penuh tanya. "Kenapa?" Aileen menggeleng. Randu menyentil kening Aileen dan terkekeh pelan. "Jangan melamun!"
"Apaan deh!"
Tidak mau membuang waktu lagi, apalagi waktu sudah beranjak malam dan Amee sudah terus saja mengirim pesan menanyakan keberadaannya berserta dengan Aileen juga.
Randu memberitahu Amee jika adiknya sudah ditemukan dan sedang bersama dirinya. "Amee pasti akan senang sekali melihat kamu lagi," ucap Randu untuk mencairkan suasana yang begitu sunyi.
"Yakin banget," jawab Aileen dengan nada ketus.
"Kenapa tidak?" Randu mengusap rambut Aileen dan segera ditepis. Pria itu hanya membalas dengan tersenyum tipis.
"Gimana kalau Mbak Amee tahu kita sudah nikah? Terus sekarang aku lagi hamil anak suaminya?" tanya Aileen dengan tatapan menantang Randu yang sedang fokus menyetir.
"Saya jamin kamu tidak akan berani melakukannya!"
"kenapa? Aku orang yang nekat dan bisa saja aku kasih tahu Mbak Amee. kita lihat siapa yang bakal dia percaya!" tantang Aileen makin berani.
Randu menoleh sekilas ke arah Aileen dan kembali fokus menyetir. "Karena saya tahu kamu sangat menyayangi Amee. Hanya dia yang peduli denganmu, di saat yang lain menganggap kamu hanya angin lalu, bahkan mama!"
Ucapan Randu berhasil membuat Aileen bungkam. Yang dikatakan Randu memang benar, dia tidak akan mungkin menyakiti hati Amee yang sudah berbesar hati menerima dirinya di saat mamanya begitu membenci. Semua karena dia hanyalah anak dari istri kedua papanya yang menikah secara diam-diam.
"Kak Randu benar!" Dengan cepat Aileen mengusap air matanya dan memilih memperhatikan jalanan.
"Maafkan saya!" Randu merasa menyesal karena telah membuat Aileen yang sekarang menjadi istrinya bersedih. Seharusnya dia tidak berkata hal itu, dia sendiri tahu bagaimana perlakuan mertuanya kepada Aileen.
Randu menyentuh lengan Aileen dengan lembut, tetapi dengan cepat perempuan itu tarik. "Aku ngantuk, bangunkan kalau sudah sampai!"
Randu mengangguk. Keadaan menjadi senyap kembali. Randu hanya melihat Aileen yang tertidur, meski dirinya sendiri ragu jika Aileen memang benar-benar tidur atau hanya pura-pura saja.
Randu mengerem mendadak saat ada orang yang menyebrang sembarangan. Saat dia hendak memastikan keadaan Aileen, dia dibuat makin menyesal dengan kelakuan istri barunya itu yang masih tetap saja tertidur, seolah tidak terganggu sama sekali dengan apa yang baru saja dilakukannya.
"Kamu baik-baik saja, Nak?" tanya Randu pelan sambil mengusap perut Aileen kembali. Dia lalu memperhatikan wajah damai Aileen dan mengecup pelipisnya.
"Saya akan hati-hati!"
Randu benar-benar menepati janjinya, seperempat perjalanan menuju ke rumah, dia membawa mobilnya dengan begitu hati-hati.
Sesampainya di rumah, Randu masih menyaksikan Aileen yang tertidur. Namun, saat hendak membangunkannya, perempuan itu membuka mata dan melepas begitu saja sabuk pengamannya.
Randu gegas mengikuti Aileen yang sudah keluar dari mobil. Dia membawa koper Aileen dan membukakan pintu untuknya.
"Ayo masuklah, Amee sudah menunggu!"
Aileen begitu ragu, dia begitu takut dengan banyak tanya yang akan diterimanya sebentar lagi. "Kenapa?"
Aileen menatap Randu penuh permohonan. Mengetahui apa yang sedang dipikirkan Aileen, Randu mengusap pundaknya dan berbicara, "Kamu tenang saja, saya tidak akan membiarkan kamu kesulitan. Ayo," ajaknya kembali.
"Aileen, astaga." Aileen terkejut dan hampir terjatuh ke belakang saat Amee tiba-tiba saja memeluknya dengan erat.
"Mbak ...."
"Diam!" bentak Amee. Perempuan dengan rambut sebahu itu melepaskan pelukannya. "Kamu ke mana saja? Astaga, empat bulan lebih kamu pergi, kamu tega tinggalin Mbak?" cecar Amee.
Aileen menggeleng dan menangis. Dia merasa menyesal. "Hei, kenapa, sih, kok malah nangis? Harusnya Mbak yang nangis dan marahin kamu!" Amee pun itu menangis dan untungnya ada Randu yang mengusap lembut pundak istrinya untuk menenangkan. Randu bahkan mengecup puncak kepala Amee penuh kasih sayang.
"Maafin Aileen, Mbak!"
"Iya!" Amee mencubit gemas pipi adiknya itu. Dia lalu menyadari perubahan tubuh Aileen. Tatapannya tertuju ke perut Aileen.
"Tunggu, kamu sekarang gemukan makanya perutnya buncit atau kamu ... hamil?" tanya Amee hati-hati.
Aileen mendadak lidahnya kelu, dia menatap sekilas Randu meminta bantuan. "Sayang, lebih baik kita duduk dulu. Nanti biar Aileen akan beritahu semuanya!"
Amee awalnya ingin protes, tetapi saat melihat wajah Aileen yang sedikit pucat membuatnya tidak tega. Dia mengangguk, dan menggandeng tangan adiknya.
"Mas tolong kopernya, ya!" Randu terkekeh karena permintaan Amee yang menurutnya selalu saja menggemaskan.
***
Berkali-kali Amee bertanya hal yang sama, tetapi jawaban Aileen tetap saja sama. Dirinya mengandung bayi kekasihnya yang tidak bertanggung jawab dengan pergi meninggalkannya begitu saja. Kepergiannya saat itu karena janji sang kekasih untuk dinikahi.
Aileen merasa makin mahir berbohong, semua yang dikatakannya itu baru terpikirkan saat Amee menggandengnya.
"Katakan siapa nama pacar kamu, biar Mas Randu yang cari orangnya biar dia nikahi kamu!" desak Amee, tetapi sayangnya Aileen tidak akan mungkin memberitahukannya.
Randu gegas mengajak Amee ke kamar setelah melihat Amee yang begitu terpukul, dia menyuruh Aileen seorang diri pergi ke kamarnya. "Nanti biar Kakak yang antarkan koper kamu!" Aileen hanya menurut, dia lekas pergi ke kamarnya yang sudah lama tidak dia tempati.
Baru saja keluar dari kamar mandi setelah membersihkan diri, Aileen dikejutkan dengan Randu yang sudah berada di kamarnya.
"Kak Randu!"
"Duduklah!"
Aileen menurut, dia memilih duduk di sofa dan membiarkan Randu duduk di ranjangnya. Dia sadar bagaimanapun Randu suaminya yang harus dipatuhi perintahnya.
"Kamu pandai sekali berbohong. Sekarang katakan mungkinkah yang tadi kamu sampaikan itu kebenaran atau hanya karangan saja? Tapi kapan kamu memikirkannya?"
"Lagi-lagi main tuduh. Apa yang ada di otak Kakak cuma itu? Menuduhku terus?"
"Jadi?"
"Kalau Kakak gak yakin siapa ayah bayi ini mending kita malam ini cerai saja. Lagipula aku gak minta sama sekali pertangungjawaban Kakak," ucap Aileen kesal.
"Sudah saya katakan kalau saya tidak akan menceraikan kamu sampai kamu melahirkan!"
"Terserah, sekarang aku ngantuk. Mending Kakak keluar sekarang daripada nanti ketahuan Mbak Amee," usir Aileen. Dia bangkit dan berjalan ke arah pintu, membukakan pintu untuk Randu keluar.
"Baiklah, maafkan saya karena sudah keterlaluan." Aileen diam saja tidak peduli, dia bahkan enggan bertatapan dengan Randu.
Setelah kepergian suaminya itu, Aileen menutup pintu dan tidak lupa menguncinya. Dia tidak mau kejadian barusan terulang lagi.
Lagi-lagi tanpa diminta, dirinya menangis. Kali ini rasanya makin sakit. Aileen tidak menyangka jika Randu yang dikenal kalem dan penuh perhatian memiliki ucapan yang menyakitkan.
Tuduhannya benar-benar sudah melukai harga dirinya. Aileen tidak akan mungkin menjebak kakak iparnya itu dalam keadaan sadar.
"Tunggu!" Aileen menyadari sesuatu. Dia mengusap air matanya dan mulai mencoba mengingat kejadian kelam saat itu.
"Ya, aku yakin saat itu aku sama sekali gak minum alkohol, tapi kenapa aku bisa mabuk? Yang kasih minuman aku ... astaga!" Aileen mengingatnya. Dia menggeram kesal.
"Nak, besok kita temui perempuan itu. Dia yang sudah menjebakku dan membuatku berada dalam situasi seperti saat ini!" Aileen memukul kasurnya dengan kepalan tangan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!