Sinopsis
Airin Septiana, gadis cantik berusia 22 tahun, dia terlahir sebagai wanita penyandang disabilitas. Ada kelainan pada kakinya yang menyebabkan ia harus berjalan menggunakan kedua tongkat.
Meski keadaannya demikian, tak menyurutkan semangat Airin dalam menggapai impiannya sebagai penulis novel.
Semua novelnya pasti nama tokoh utama cowok adalah Arizal. Itu karena Airin sangat merindukan Arizal, sahabat pertamanya sejak Sekolah Dasar.
Airin dan Arizal terpisah karena Airin harus mengikuti orang tuanya pindah ke Martapura Kalimantan Selatan.
Ia berharap melalui novel yang ditulis mampu mempertemukannya kembali dengan Arizal.
Kenyataan memang tak selalu seperti yang diinginkan. Ia bukan dipertemukan dengan Arizal melainkan dipertemukan dengan pria tampan dan mapan yang usianya jauh lebih tua dari usianya sendiri dan sudah beristri. Pria itu bernama Arjuna Dewantara.
Airin terjebak drama pernikakahan yang rumit. Sanggupkah menjalankannya?
***
Aku bernapas lega, akhirnya selesai juga menulis sinopsis novel baru.
Ini kelima kalinya aku menulis novel tokoh utama cowok bernama Arizal. Namun, kali ini aku menulis novel berdasarkan kisah nyata yang dibumbui fiksi, hanya saja tokoh tetap namaku dan Arizal.
Aku berharap novel ini akan diterima penerbitdan beredar di toko buku seluruh Indonesia. Tidak seperti novelku lainnya yang selalu ditolak.
Dari kecil berteman dengan sepi dan sunyi. Kesunyian mampu melahirkan imajinasi-imajinasi di kepalaku.
Semakin hari imajinasiku semakin liar, sehingga muncul keinginan menjadi penulis sepenuhnya untuk menuangkan imajinasi ke dalam tulisan.
“Hai, ngapain lo ngelamun di depan komputer?” teriak seseorang di telingaku.
Aku melonjak kaget. Segera aku mengelus dada. Untung jantungku nggak copot.
Aku menoleh ke samping. Ternyata Athiyah, tetangga sekaligus teman baik yang sekarang cekikikan senang melihatku kaget.
Ah, menyebalkan. “Athiyah, bisa nggak sih lo nggak usah teriak di telinga gue? Bikin jantung mau copot aja. Kalau mau masuk kamar gue ketuk pintu dan ngucapin salam dulu kek!”
“Haloooooo, lo kemana aja? Dari tadi gue dah ngucapin salam tapi lo aja yang nggak nyahut-nyahut makanya gue kagetin aja!” Athiyah membela diri.
Saking asyiknya menulis sinopsi ssembari tetap otakku pada Arizal sehinga suara Athiyah jadi nggak kedengeran. Aku jadi malu sendiri ternyata aku yang terlalu melamun.
“Lo tumben ke sini, ada apa?” tanyaku membuka topik pembicaraan.
“Gue ke sini ingin ngajakin lo ke suatu tempat, temanin gue ya,” kata Athiyah senyum-senyum.
“Ke mana?” Aku jadi penasaran.
“Coba deh lo baca ini!” Athiyah memberikan gulungan kertas kepadaku. Aku menerimanya dan segera membaca isi yang tertulis di gulungan kertas tersebut.
Hadirilah!
Acara talk show kepenulisan di Arga Duta Mall Banjarmasin dengan pembicara Gibriel Alexander, penulis novel Kamu Adalah Cintaku.
Akan ada doorprise dan hadiah menarik juga lho! Acara berlangsung pada hari Jum’at, 28 Maret 2014 pukul 15:00 WITA.
Mataku membulat membaca tulisan yang tertera di brosur ini. Wah, talk show kepenulisan? Ini sangat jarang diadakan di Banjarmasin.
“Gimana? Lo mau nemenin gue datang ke acara itu?” tanya Athiyah.
“Mau banget. Udah lama banget pengen datang ke acara talk show. Untung lho ngajakin gue. Kapan kita berangkat?” kataku antusias.
“Sekarang juga dong! Jadi sampai Banjarmasin jam tiga sore.”
Aku menyambar dua tongkat yang bersandar di samping meja komputer.
Pelan-pelan aku berdiri. Dan ambil tongkat. “Yuk, kita berangkat sekarang!”
Dahi Athiyah berkerut memandangiku. “Lo nggak dandan atau ganti baju dulu gitu?”
“Yaelah ngapain sih dandan dan ganti baju segala? Baju gue dah rapi kali dengan kaos pink dan celana jeans. Gue dandan secantik apap un! juga nggak bakal ada cowok yang naksir sama gue, secara gue kan cacat," kataku menolak untuk berdandan.
“Ya, udah terserah lo deh. Yuk, kita berangkat!” Athiyah tidak mau membahas lebih lanjut kalau aku sudah bilang kondisiku yang sebenarnya.
Athiyah melangkahkan kakinya keluar kamarku. Aku mengikuti langkahnya di belakang. Sesampai di luar kamar, aku melihat mama dan papa lagi asyik bercengkrama di ruang tamu. Aku berjalan mendekati mereka.
“Ma, Pa, aku boleh pergi sebentar nggak?”
Mama dan Papa menatapku dengan dahi berkerut. Mungkin mereka heran, karena aku selama ini nggak pernah minta ijin untuk pergi ke luar rumah.
“Mau pergi ke mana?” tanya papa.
“Aku mau datang ke acara talk show kepenulisan di DutaMall Banjarmasin. Boleh ya?” Aku meminta izin dengan tampang memelas
“Sayang, Banjarmasinkan jauh. Mama takut kamu kenapa-kenapa di jalan.” Kali ini mama yang angkat bicara.
Aku memanyunkan bibir, karena sepertinya nggak bakal diizinin oleh Papa dan Mama untuk pergi.
“Kalau soal itu Tante nggak usah khawatir, saya akan menjaga Airin selama di jalan!” Athiyah menjawab perkataan mama. Wajahnya meyakinkan mama kalau dia akan menjagaku.
“Baiklah, kalau begitu Papa menginjinkan kamu pergi. Tapi kamu harus hati-hati ya!”
“Siap Bos!” ujarku lantang seraya memberikan hormat ala polisi kepada papa.
Setelah itu aku mencium tangan papa dan mama. Kemudian mereka membalas mengecup keningku. Meskipun waktu kecil aku dididik dengan keras, tapi sekarang papa dan mama baik banget. Beruntungnya diriku jadi anak mereka.
***
Sore_Pukul 16:00
Gara-gara terjebak macet, aku tiba di Duta Mall Banjarmasin pukul empat sore. Sudah pasti telat banget. Acaranya kan tertulis jam tiga sore. Tapi lebih baik datang terlambat daripada nggak tahu sama sekali.
Aku dan Athiyah langsung menuju ke toko buku Arga. Toko Buku Arga ternyata sudah penuh banyak juga yang mengikuti acara ini.
Ternyata antusias pembaca buku di Banjarmasin sangat luar biasa. Aku celingak-celinguk mengamati bangku. Masih adakah yang kosong? Berdiri terus kan capek? Apalagi orang sepertiku yang kondisinya tidak bisa berdiri lama.
Tiba-tiba mataku tertuju padasatu bangku kosong yang bisa kududuki. Cepat-cepat aku menduduki bangku kosong itu agar tidak diambil orang. Sedangkan Athiyah berdiri di sampingku.
“Nah, hadirin sekalian sampai lah kita disesi tanya jawab dengan Gibriel Alexander. Hayo, siapa yang mau bertanya dengan Gibriel?” tanya pembawa acaratalk show.
Cewek berambut panjang yang duduk di bangku paling depan mengangkat tangannya.
“Kak, Gibriel saya mau tanya. Biasanya Kak Gibriel dapat ide darimana? Kasih tipsnya dong soalnya aku kalau nulis sering mentok ide. Terima kasih.”
Gibriel tersenyum manis. “Saya bisanya dapat ide bisa di jalan, saat nongkrong sama teman, saat nonton film atau bahkan saat melamun di toilet. Bagi saya ide itu bukan untuk dicari, dia akan datang dengan sendirinya asal penulis membuka otak dan hati untuk menyambut kedatangan ide.”
Seluruh yang hadir di sini bertepuk tangan setelah mendengar jawaban Gibriel yang memotivasi. Dia memang pantas menjadi penulis.
“Nah tadi jawaban Gibriel sangat luar biasa. Adakah yang mau bertanya lagi sama Gibriel?” Pembawa acara mengedarkan pandangannya.
Aku memberanikan diri untuk mengangkat tangan.
“Ya silakan apakah anda ingin bertanya pada Gibriel?” Pembawa acaratalk show menunjuk ke arahku.
“I ... iya, Kak. Saya mau nanya. Menurut Kak Gibriel membentuk karakter yang kuat di novel itu seperti apa sih?” tanyaku dengan nada gugup.
“Setiap manusia pasti memiliki karakter yang berbeda-beda. Karakter bisa dilihat dari tiga jenis yaitu: karakter fisik, karakter sifat dan karakter kebiasaan buruk, unik dan baik. Jika penulis menonjolkan tiga jenis itu pada tokoh ciptaannya maka karakter tokohmu sudah kuat.”
Aku mengangguk tanda mengerti dengan apa yang diucapkan Gibriel. Ya, hari ini aku mendapatkan ilmu yang berharga. Namun aku tiba-tiba merasakan ingin buang air kecil.
Aduh gimana nih? Toiletnya di mana ya?
Aku menarik tangan Athiyah. Athiyah membungkukkan badan di depanku.
“Kamu kenapa, Rin?”
“Aku ingin buang air kecil nih. Athiyah, temenin aku ke toilet dong!”
“Aduh, gue lagi asyik menyimak talk show nih. Lo ke toilet sendiri aja ya?”
“Tapi gue nggak tahu dimana toiletnya.”
“Rin lo bisa nanya ke mbak penjaga di depan tuh. Pasti dia mau kok nunjukin toilet ke lo.”
Athiyah payah. Katanya mau menjaga gue, diminta temenin ke toilet aja nggak mau. Teman macam apa tuh? Pelan-pelan aku berdiri sambil mengapit dua tongkat di ketiakku. Terpaksa deh aku ke toilet seorang diri.
Di tengah perjalanan mencari toilet tiba-tiba ada seseorang yang menabrakku. Tongkat terlepas dari tanganku otomatis aku jatuh terjerambab ke lantai.
Aduh, siapa sih yang jalan nggak lihat-lihat? Main tabrak-tabrak seenaknya. Aku menengadah ingin melihat pelakunya.
Dan pelakunya seorang pria bertubuh atlethis, tinggi, putih, dan wajahnya tampan.
Pria itu tergesa memungut tongkatku.
“Maaf, Mbak. Saya buru-buru. Maaf Saya bantuin berdiriya!” ujar pria itu. Ia mengulurkan tangan.
Aku membalas uluran tangannya untuk berdiri. Kemudian dia menyerahkan tongkatku. Aku meraihnya dengan cepat. Aku pun pergi meninggalkan pria itu tanpa sempat kenalan.
Drrrttt …Drrrttt ...
Telepon genggam di saku celanaku bergetar. Aku menghentikan langkah sebentar berusaha mengambil handphone.
Susah karena sambil memegang tongkat segala. Akhirnya handphone berhasil kuraih. Dahiku berkerut ketika melihat nama yang tertera di layar.
Mama telpon? Ada apa ya? Tadikan sudah pamitan. Agak aneh juga beberapa pertanyaan berkecamuk di otakku. Untuk menemukan jawabannya cepat-cepat aku klik answers.
“Halo, Ma.”
“Halo, Sayang. Kamu cepat pulang ya?”
“Emang ada apa ya?”
“Papamu kena serangan jantung dan sekarang hendak dibawa ke rumah sakit. Nanti kamu langsung ke rumah sakit Ratu Zalekha aja ya?”
“Apa? Papa kena serangan jantung? Mama nggak bercandakan?” tanyaku beruntun kaget.
Belum sempat mama menjawab pertanyaanku, tiba-tiba mama memutus sambungan telepon. Aku memutar badan, aku sudah melupakan ingin buang air kecil, Athiyah dan talk show kepenulisan. Yang ada di otakku hanyalah ingin cepat sampai di rumah sakit Ratu Zalekha biar bisa mengetahui keadaan papa. Papa, tunggu aku ya. Aku akan segera datang!
Setengah jam telah berlalu, dokter yang menangani Papa belum juga keluar dari ruang ICU. Aku gelisah memikirkan keadaan Papa. Kumelirik ke arah mama yang lagi sibuk mondar-mandir nggak jelas di depan ruang ICU.
Dokter yang kutunggu akhirnya keluar juga dari ruang ICU. Bergegas aku dan mama berdiri dan menghampiri dokter itu, “Dok, bagaimana keadaan suami saya? Dia baik-baik saja kan?” tanya mama dengan penuh khawatir.
Raut wajah dokter terlihat sedih, firasat buruk semakin menghinggapi hatiku. “Maaf, kami telah berusaha namun Tuhan juga yang menentukan. Suami anda tidak dapat terselamatkan.”
“Papa!” teriakku dan mama bersamaan.
Kami langsung memasuki ruang ICU. Benar, di ranjang telah terbujur kaku jenazah yang tertutup kain putih. Tangan Mama pelan-pelan membuka kain penutup putih itu. Dan aku dapat melihat wajah jenazah yang terbujur kaku. Itu wajah Papa! Berkali-kali aku mengucek mata berharap penglihatanku salah. Namun ternyata benar, aku tidak salah lihat.
Mama meraung-raung sambil memeluk wajah papa. “Ma, ikhlaskan Papa! Aku yakin papa akan bahagia di sisi Tuhan,” ujarku mencoba menenangkan Mama.
Umur manusia memang tidak ada yang tahu. Tadi siang aku masih melihat senyum Papa saat bercengkrama dengan Mama. Namun, sekarang aku melihat wajah Papa pucat pasi.
Memandangi wajah papa terlintas kenangan waktu kecil bersama papa. Papa yang dulu selalu membelaku saat aku dihina, diremehkan kepala sekolah dan lainnya. Kini papa sudah tak ada, siapa yang akan membelaku lagi?
“Papa, jangan tinggalin aku!” Gantian aku yang berteriak histeris.
***
Detik demi detik terus bergulir, tanpa terasa hari ini genap seminggu kepergian papa.
Satu minggu pertama melewati hari tanpa papa rasanya berat banget. Tapi Alhamdulillah aku dan mama diberikan ketabahan oleh Allah sehingga hari ini sudah mulai membaik. Ada atau tak ada papa hidup kami harus tetap berjalan. Tak boleh larut dalam kesedihan.
Aku, mama, tante, dan om sudah berkumpul di ruang tamu kami sudah siap mendengarkan pengacara membacakan wasiat papa.
Aku sudah tak sabar ingin mendengar surat wasiat akan siapa yang menerima harta warisan papa, secara hanya aku anak papa satu-satunya otomatis seluruh harta papa jatuh kepadaku.
“Baik, semua sudah siap mendengarkan wasiat dari almarhum Ari Susanto?” tanya bapak pengacara keluarga kami.
“Sudah, Pak,” jawab kami serentak.
Pak pengacara mengambil selembar kertas dari map bermotif batik, setelah itu beliau memasang kacamata sebelum membacakan wasiat Papa.
“Sebelum saya membacakan wasiat almarhum, terlebih dahulu saya akan membacakan total harta yang dimiliki bapak Ari Susanto. Pak Ari Susanto memiliki sebuah hotel di Banjarmasin, kafe bakso di Solo, tanah ribuan hektar di Yogyakarta dan rumah kontrakan mewah di Sekumpul, Martapura, tabungan serta deposito di 7 rekening berbeda dan dua buah mobil mewah. Jika di jumlah, total kekayaan Pak Ari Susanto mencapai enam belas milyar rupiah.”
Mataku berbinar-binar mendengar pak pengacara membacakan seluruh harta kekayaan papa. Wah, ternyata Papa meninggalkan banyak harta.
Nggak heran Papa bos batu bara sukses pada zamannya. Ternyata saat sukses tersebut, beliau memanfaatkan untuk bisnis lain. Pantas saja Papa selama ini nggak pernah memanjakanku dengan fasilitas mewah seperti anak-anak kaya lainnya.
“Pak pengacara cepat dong bacakan kekayaan Papa itu jatuh ke tanganku,” batinku.
“Nah, baik lah sekarang saya akan membacakan seluruh harta yang dimiliki almarhum bapak Ari Susanto diberikan kepada…,” Ucapan Pak Pengacara menggantung. Aku memasang telinga baik-baik.
“Jatuh kepada Airin Septiana, tapi dengan syarat Airin harus menikah sebelum atau tepatempat puluh hari kepergian almarhum bapak Ari Susanto. Jika Airin tidak menikah sampai empat puluh hari setelah kepergian almarhum maka seluruh harta almarhum akan disumbangkan ke yayasan panti asuhan dan panti jompo yang ada di Kalimantan Selatan.”
“Whats?” teriakku kaget mendengar apa yang diucapkan Pak Pengacara. Harta papa jatuh ke tanganku, asal aku menikah dalam waktu tiga puluh tiga hari ke depan? Jika aku nggak nikah maka seluruh harta papa akan disumbangkan ke yayasan panti jompo dan panti asuhan. Sulit dipercaya papa memberikan wasiat seperti itu.
Aku merebut kertas wasiat dari tangan Pak Pengacara. Aku ingin membaca sendiri wasiat Papa. Benar nggak sih wasiat Papa seperti yang dibacakan Pak Pengacara?
Mataku langsung melotot ketika membaca wasiat Papa. Apa yang dikatakan Pak Pengacara tadi benar adanya. Cari jodoh ke mana coba dalam waktu tiga puluh tiga hari ke depan?
“Pak, mustahil rasanya jika Airin harus menemukan jodoh dalam waktu tiga puluh tiga hari ke depan,” sahut mamaku. Apalagi Mama tahu persis mana pernah aku dekat dengan cowok.
“Di dunia ini tak ada yang mustahil, Bu. Jika Ibu berkenan saya bisa mencarikan jodoh untuk Airin, kebetulan sahabat saya sedang mencarikan jodoh juga untuk anaknya.”
“Wah, kebetulan sekali. Bisa nggak anak sahabat anda itu dibawa ke rumah ini? Saya ingin melihat calon jodoh anak saya.” Tiba-tiba Mama sangat antusias menjodohkan aku dengan seseorang yang belum jelas wajahnya dan sifatnya.
Aku mengedarkan pandangan ke mama. “Ma, apa-apaan sih? Kalau anak sahabat pak pengacara itu jelek, culun, dan nggak seperti yang aku inginkan gimana?” tanyaku berbisik di telinga Mama.
“Ya, nggak ada salahnya kan dicoba dulu? Kamu mau kita jadi gembel gara-gara harta papamu jatuh di tangan orang lain?” saran Mama yang sekaligus merupakan ultimatum.
Aku membayangkan diriku tidur di jalanan, mengenakan pakaian kumuh dan mengais sampah. Ih, amit-amit jabang bayi. Aku tak ingin hal itu terjadi. Terpaksaku harus mengalah mau dijodohin sama siapapun.
“Baik, besok saya akan bawa anak sahabat saya itu ke sini.” Pak Pengacara melirik jam yang menempel di ruang tamu.
“Berhubung hari sudah jam sembilan malam, maka saya mohon undur pamit dulu. Terima kasih atas segalanya.” Pak Pengacara berjabat tangan dengan Mama lalu kemudian pergi dari rumahku.
Mama, Om, Tante sudah pada masuk ke kamar masing-masing sedangkan aku masih sibuk memikirkan siapa calon jodohku yang esok diperkenalkan oleh Pak Pengacara? Aku sih berharapnya jodohku itu Arizal, cinta pertamaku waktu SD. Kami telah miss komunikasi selama 14 tahun.
Pikiranku kembali melayang ke masa tahun 2003, saat detik-detik terakhir kebersamaan dengan Arizal.
***
Usai selesai pelajaran, aku dan Arizal selalu duduk di taman belakang sekolah dulu sebelum pulang.Arizal yang menggendongku sampai ke tempat ini.
Aku memandangi Arizal dengan saksama, senyum di wajahnya tetap merekah. Dia tidak tahu bahwa hari ini aku bersedih, bersedih karena hari ini merupakan hari terakhir bersamanya.
Esok aku telah pergi jauh dari kota Solo, pergi mengikuti langkah kedua orang tua karena mereka pindah ke Martapura. Ah, aku benci namanya perpisahan. Masih bisakah aku menemukan sosok Arizal di Martapura?
“Airin, dari pagi tadi aku perhatikan wajahmu sedih. Kenapa? Jika kamu lagi ada masalah ceritakan ke aku, kita kan sudah bersahabat selama lima tahun.”
“Zal, hari ini hari terakhir kita bertemu. Esok aku harus pindah ke Martapura mengikuti kedua orang tua. Menurutmu apakah aku harus menentang keinginan mereka?”
Tes...
Air mata yang sedaritadi kutahan akhirnya jatuh juga dari pelupuk mataku. Arizal tersenyum dan menggeleng pelan.
“Jangan pernah kamu membantah mereka! Turutilah keinginan mereka, apa yang dikatakan orang tuamu akan bermanfaat di kemudian hari!” jawabnya seraya mengusap air mataku.
“Tapi Zal, aku sayang kamu. Aku tak ingin berpisah denganmu.”
“Airin, dengar ya setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Kamu harus siap hal itu. Berdoalah agar kita berjodoh. Jika kita berjodoh, sejauh apapun jarak memisahkan kita pasti kita akan dipertemukan kembali.”
“Zal, kita bikin perjanjian dulu yuk sebelum aku pergi?” usul aku.
“Perjanjian bahwa kita nggak boleh menikah sebelum umur 25 tahun. Aku janji akan balik ke Solo untuk menemuimu sebelum umur 25 tahun. Gimana? Setuju?” Aku mengacungkan jari kelingking sebagai simbol perjanjian. Tak lama kemudian Arizal mengaitkan kelingkingnya di kelingkingku.
“Ya, aku setuju.”
Itulah perjanjian aku dan Arizal, meskipun kita masih Sekolah Dasar, tapi memang kita mempunyai rasa sayang dan cinta. Mungkin karena kami berdua sama-sama suka nonton film atau sinetron orang dewasa. Tontonan bisa mempengaruhi pikiran anak-anak.
***
Tes ...
Air mata jatuh mengenai telapak tangan. Air mata itu yang membuyarkan seluruh lamunanku tentang Arizal.
Kesekian kalinya aku menangis jika teringat Arizal. “Zal, maafkan aku karena telah mengingkari janji kita. Keadaan yang memaksaku untuk mengingkarinya. Tapi aku akan selalu mendoakanmu agar kamu bahagia bersama orang yang kamu cintai,” batinku.
Hidup tak selalu seperti apa yang kita inginkan. Sejak tiga tahun terakhir aku sangat mengingkan kisah cinta seperti tokoh-tokoh novel yang kubuat.
Mereka kisah cintanya berakhir bahagia bersama pangeran tampan yang bernama Arizal Ridwan Maulana. Kenyataannya kisah cintaku berakhir dengan sebuah perjodohan yang tidak aku inginkan.
Dari kecil-usia dua puluh dua tahun aku selalu merasa Tuhan tidak adil kepadaku. Ketika aku mulai merasakan kebahagiaan, tiba-tiba Tuhan mengambil kebahagiaan itu dengan cepat.
Contohnya waktu SD, ketika aku sudah menemukan sahabat yang selalu ada di saat suka dan duka, tidak merasa hidup kesepian lagi tiba-tiba Tuhan memisahkan aku dengan sahabatku itu. Kini lagi-lagi aku harus menukar kebahagiaanku sendiri untuk kebahagiaan mama.
Mama adalah satu-satunya orang yang aku sayangi, selalu ada untukku mungkin dengan cara inilah aku bisa sedikit membalas jasa mama selama ini. Arizal dulu pernah mengatakan, “Turutilah permintaan orang tuamu, karena orang tuamu lah yang tahu apa yang kamu inginkan. Apa yang diperintahkan mereka akan bermanfaat dikemudian hari.”
Arizal hanya tinggal kenangan tak mungkin jadi nyata lagi.
Rangkaian kata curahatan hati terdalam kutulis di microsoft word. Aku terbiasa berteman sepi dan sunyi teman curhatku selama tiga tahun terakhir adalah microsoft word. Karena hanya aku yang memakai komputer ini, sehingga rahasiaku tidak bocor kemana-mana.
Tok …Tok …Tok...
Terdengar ketukan pintu. “Sayang, kamu lagi ada di dalam kamarkan? Boleh Mama masuk?”
“Masuk aja, Ma. Pintu nggak dikunci.”
Pintu terbuka lebar dan mama masuk ke kamarku. Mama duduk di sebelahku.
“Sayang, kamu lagi sibuk nggak?” Tanya mama membuka pembicaraan.
“Hmm ya gitu deh. Emang kenapaMa?”
“Kita ke kafe Banjar Nikmat sekarang yuk!”
“Ngapain ke sana?”
“Menemui calon jodohmu.”
Aku menoleh kearah mama.
“Calon jodoh yang akan dikenalkan oleh pak pengacara?” Mataku melotot.
Mama mengangguk cepat. Aku mengernyitkan dahi memandang mama.
“Loh, bukannya tadi malam pak pengacara bilang bakal membawa anak sahabatnya itu ke rumah kita? Tapi kok sekarang kita disuruh menemui dia di kafe Banjar Nikmat?”
Mama mengangkat bahu dan kedua tangan.
“Ya, nggak tahu deh apa alasan mereka meminta kita datang ke kafe Banjar Nikmat. Tapi setelahMama pikir-pikir nggak ada salahnya sih kita ke sana, sekalian makan enak.”
“Aku males ah, Mama sendirian aja deh yang ke sana!”
“Yang mau dijodohin kan kamu, kok males ikut sih? Ayolah Sayang, kamu nggak mau kan kita jadi gembel? Cari jodoh zaman sekarang susah, apalagi cari jodoh hanya dalam waktu tiga puluh dua hari. Pak pengacara sudah baik hati mencarikan jodoh untukmu, ini kesempatan emas, jangan disia-siakan!” Mama sepertinya antusias tanpa memikirkan perasaanku yang sebenarnya hanya ingin berjodoh dengan Arizal.
Mendengar kata jadi gembel aku bergidik ngeri juga makanyacepat-cepat aku mengklik tombol shutdown pada layar untuk mematikan komputer.
“Ya, deh aku ikut ke kafe! Tapi aku ganti baju dulu, ya?”
Senyum mengembang terlihat di wajah mama. Mama langsung mencium keningku.
“Nah, gitu dong anak Mama yang paling cantik sedunia.” Mama kalau sudah permintaannya dituruti bisa saja memuji anaknya.
“Ya, udah deh ganti baju dan dandan rapi. Mama tunggu di luar ya? Jangan lama-lama!” titah Mama. Setelah berkata demikian mama keluar dari kamarku.
Aku meraih tongkat yang selalu aku letakan di sebelah meja komputer. Pelan-pelan berdiri lalu berjalan menuju lemari pakaian.
Di depan lemari pakaian aku bingung mau memakai baju apa untuk dating ke kafe. Setelah kupikir-pikir lebih baik aku memakai pakaian yang simple aja. Toh, orang yang ingin kutemui di kafe kan bukan orang yang kuinginkan. Ngapain memakai baju bagus segala?
Akhirnya aku mengambil satu kaos dan rok panjang yang berwarna serba pink. Semoga apa yang kupakai bisa membuat calon jodohku itu illfeel kepadaku sehingga perjodohan batal.
***
“Di dalam keramaian aku masih merasa sepi ... sendiri memikirkan kamu … kau genggam hatiku dan kau tuliskan namaku.”
Lagu Dewa 19 berjudul Kosong mengalun indah di telingaku. Lagu itu saat ini dinyanyikan oleh pemain band asal Banjarbaru. Mereka pintar dalam memilih lagu. Lagu itu sama persis yang aku rasakan.
Aku berada di kafe Banjar Nikmat, pengunjung kafe ini sangat banyak. Ada yang datang ke kafe ini untuk pacaran, ada yang hanya ingin nonton pemain band atau bahkan hanya ingin hangout bareng teman. Meski kafe ini ramai, hatiku tetap sepi.
Merasa sepi karena memikirkan Arizal. Ya, lagi-lagi Arizal yang memenuhi pikiranku. Sampai detik ini aku belum bisa melupakannya, dimanapun aku berada pasti teringat dia lagi.
Aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kiri. Ternyata jarum jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, itu artinya aku sudah tiga puluh menit berada di kafe ini. Tapi orang yang kutunggu tak juga datang.
Menyebalkan adalah menunggu! Coba kalau di rumah, dalam waktu tiga puluh menit menit pasti aku telah menghasilkan lima halaman untuk novel baru.
“Ma, kita pulang aja yuk! Dia nggak bakal datang,” ujarku pada mama.
“Sabar, Sayang! Bentar lagi mereka pasti datang," bujuk mamamemintaku bersabar.
“Semusim telah kulewati, telah kulalui tanpa dirimu...”
Lagu Marcell Semusim mengalun indah di telpon genggam milik mama. Aku hapal betul lagu itu merupakan nada dering di telepon genggam mama. Dengan cepat mama menyambar telepon genggamnya, tak lama kemudian mama berdiri sambil melambaikan tangan kanannya.
“Selamat malam, maaf saya datang terlambat.” Terdengar suara seorang pria yang suaranya sudah tak asing lagi di telingaku. Pucuk dicinta ulampun tiba, syukurlah Pak Pengacara datang juga.
Aku menoleh ke samping penasaran ingin melihat Pak Pengacara datang dengan siapa sih? Aku berharap pak pengacara datang bersama cowok cakep, berkulit putih, badan atlethis dan cowok cakep itu adalah calon jodohku.
Tapi lagi-lagi kenyataan tidak seperti yang aku inginkan. Pak Pengacara justru datang bersama pria cupu, berkacamata, rambutnya belah tengah licin pula, terus di pipinya ada lingkaran bulat hitam lumayan gede orang-orang biasa menyebut lingkaran hitam itu tompel.
“Pria itu pasti asisten pribadi Pak Pengacara,” batinku.
“Oh, ya perkenalkan pria yang ada di sebelah saya ini bernama Nazriel Maulana. Dia adalah yang ingin saya jodohkan dengan Airin. Maaf, jika tidak sesuai ekspetasi. Anak sahabat saya itu sudah bertunangan dengan wanita lain. Sedangkan Nazriel ini asisten pribadi Bapak yang mengurus hotel Banjarbaru,” ujar Pak Pengacara seraya menyentuh pria cupu di sebelahnya.
“Jadi dia jodohku? Double whats?” teriakku shock.
Mendadak hatiku nyeri, kepalaku pusing, dan perlahan penglihatanku mulai mengabur. Dalam beberapa detik kemudian semuanya gelap. Mungkin sudah saatnya aku pergi dari dunia ini. Lebih baik mati daripada harus menikah pria cupu bin jelek.
Namanya sekilas seperti Arizal Ridwan Maulanaku tapi aduh kenapa orangnya parah begini. Mama, maafkan aku tak bisa menepati janji untuk membahagiakanmu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!