Bruk!!!!
Tubuh Elana terlempar ke lantai marmer yang keras. Lututnya terasa sangat nyeri tak tertahankan. Wajah ayunya terlihat meringis menahan sakit di lututnya. Ia mendongak memandang Ibunya beserta Kakak tirinya yang begitu tega mendorongnya seperti ini.
"Ibu, kenapa Ibu melakukan ini semua? Apa salahku Bu?" Elana bertanya dengan wajah sendunya, ia sudah tidak menangis karena air matanya sudah habis untuk menangisi sikap Ibu kandungnya yang sangat kejam.
"Kau tanya alasannya kenapa? Tentu saja karena uang, hutang kita sangat banyak, jadi dengan menjual mu bisa melunasi hutang keluarga kita," sahut Lidia Ibu kandung Elana.
Wanita yang telah melahirkan Elana itu sangat tega hingga menjual putri kandungnya sendiri kepada seorang Tuan Muda kaya raya, hanya untuk melunasi hutangnya.
"Apa selama ini yang aku lakukan belum cukup Bu? Aku rela menghabiskan masa mudaku dengan bekerja. Kenapa sekarang Ibu harus menjual ku layaknya barang dagangan!" jerit Elana tak tahan lagi, semua yang dilakukannya selama ini, kenapa tak pernah membuat Ibunya ini merasa cukup.
Plak!
"Diam lah Elana! Kau sekarang itu sudah menjadi istri orang kaya, jadi terima saja nasibmu. Cukup buat Tuan Gavin senang, dia pasti akan memberimu banyak uang," ucap Lidia sepertinya memang sudah tidak punya hati nurani lagi.
Elana tertawa miris, serendah itukah posisinya dimata Ibunya sendiri. Apa tidak ada sedikit saja perasaan bersalah Ibunya karena telah menumbalkan nya demi hidup enak bersama keluarga barunya. Andai saja Ayahnya masih hidup, ia pasti tidak akan mengalami nasib buruk ini.
"Dengarkan Ibu baik-baik. Mulai detik ini kau adalah istri Tuan Gavin, jaga sikapmu! Jangan membuat masalah atau sampai membuat keluarga kita malu!" Lidia mencengkram dagu Elana kuat agar wanita itu menatap dirinya.
"Keluarga? Aku bahkan tidak pernah ingat aku punya keluarga," ucap Elana menatap Ibunya penuh luka.
"Dasar anak tidak tahu diri! Pokoknya jangan berbuat ulah! Sikapmu tergantung harga mu nanti!" bentak Lidia menghempaskan wajah Elana dengan kasar lalu mengajak putri tirinya keluar meninggalkan Elana di kamar itu sendirian.
Tubuh Elana langsung merosot jatuh begitu saja. Apa ada yang lebih menyakitkan dari yang ia alami saat ini? Ia di jual oleh Ibu kandungnya sendiri dan kini terpaksa menikah dengan pria yang sama sekali tidak dikenalnya.
"Ayah, Elana rindu Ayah ..." Elana menekuk lututnya seraya menangis tersedu-sedu.
Hanya menangis yang bisa ia lakukan saat ini, ingin menolak pun percuma. Nasi sudah menjadi bubur, ia kini sudah menjadi seorang istri dari seorang pria yang bernama Gavin.
Entah bagaimana nasib rumah tangannya nanti, Elana tidak tahu. Sampai detik ini ia hanya berharap kalau semua ini adalah hanya mimpi buruknya saja.
*****
Elana terbangun saat merasakan kakinya ditarik dengan kasar hingga tubuhnya terjatuh ke lantai. Ia langsung membuka matanya lebar-lebar untuk melihat siapa orang yang sudah begitu kurang ajar menariknya seperti ini.
"Ka-kau siapa?" Elana beringsut menjauh saat melihat sosok pria gagah yang berdiri menjulang di depannya. Pakaian pria itu yang serba hitam membuat kesan mengerikan itu sangat terlihat.
"Jangan berpura-pura bodoh! Siapa yang menyuruhmu tidur di kasurku?" sentak Gavin memandang wanita yang baru satu jam yang lalu menjadi istrinya ini.
Tidak ada yang menarik dari wanita ini, tubuhnya kurus dan memiliki kulit yang pucat. Kalau saja ia bukan karena desakan dari Mamanya, Gavin enggan sekali menikah atau menjalin hubungan dengan wanita manapun.
Baginya mencari wanita itu sangat mudah tanpa harus memiliki sebuah ikatan. Tapi karena keinginan Mamanya yang sudah tua, Gavin terpaksa mencari calon istri sendiri daripada dengan di jodohkan dengan wanita antah berantah.
"Siapa namamu?" tanya Gavin sedikit menekuk wajahnya, padahal tadi ia menyebut nama lengkap wanita ini upacara pemberkatan, tapi ia sudah lupa sekarang.
"Elana," sahut Elana tak berani mengangkat pandangannya, ia terlalu takut untuk bertatapan dengan pria yang memilki mata hitam seperti galaxy malam itu.
"Kalau berbicara dengan orang itu lihat lawan bicaramu, sungguh tidak sopan!" Gavin mendengus sebal melihat tingkah Elana ini.
Elana memberanikan dirinya mengangkat wajahnya, namun sedetik kemudian ia menunduk kembali.
"Terserah kau saja lah. Aku sangat lelah hari ini, aku akan tidur, jangan menggangguku!" ucap Gavin mengibaskan tangannya sambil lalu.
Gavin membuka jas dan kemeja yang terasa begitu gerah. Ia tidak terbiasa tidur dengan menggunakan baju, jadi ia harus melepaskannya.
Elana yang melihat tingkah Gavin terkejut, ia bingung harus bersikap bagaimana. Tiba-tiba Elana merasa sangat takut jika Gavin akan meminta haknya seperti pengantin baru pada umumnya. Sekarang ini, malam pertama mereka bukan?
"Hei! Kenapa kau diam saja di sana? Cepat lakukan tugasmu!" bentak Gavin geram melihat Elana yang hanya mematung di tempatnya.
"Ha? Tugas? Tugas apa Tuan?" tanya Elana seperti orang bodoh, ia tak tahu apa yang Gavin inginkan.
"Ck, kau itu bodoh atau bagaimana. Kau itu sekarang istriku, cepat lakukan tugasmu seperti layaknya istri lainnya," ucap Gavin lagi.
Elana kembali membesarkan matanya, tugas istri layaknya istri lainnya? Apa? Apa mungkin Gavin benar-benar akan memintanya?
"Kau tuli ya? Cepat lakukan tugasmu gadis bodoh! Siapkan air untuk aku mandi, jangan sampai aku terlambat mandi hanya karena menunggumu!" Gavin kembali membentak Elana dengan suaranya yang keras, baru kali ini ia menemui wanita yang sangat lamban seperti Elana.
"Ha? Baik Tuan, saya akan menyiapkan air hangat untuk Anda," ucap Elana segera berlari ke kamar mandi, ia sempat menoyor kepalanya yang berpikiran yang tidak-tidak.
Lagipula mana mungkin Gavin mau dengan wanita seperti dirinya, melihat wajahnya saja, Elana sudah sangat minder karena sangking mulusnya.
Gavin menahan senyumnya melihat Elana yang lari terbirit-birit. Sepertinya hari-harinya akan menjadi berbeda dengan kehadiran Elana. Tapi tunggu dulu? Apa yang sedang di pikirannya.
"Stupid! Sadarlah Gavin, dia hanya gadis penebus hutang dan dia sama sekali tidak pantas mendapatkan simpati dari mu," batin Gavin membuang pikiran konyolnya. Ia harus ingat misi pertamanya menikahi Elana hanya untuk membuat Mamanya tidak terus mendesaknya agar secepatnya menikah.
"Halo Dirga, tolong buatkan aku surat kontrak pernikahan dengan wanita itu. Aku akan mengirimkan poin-poinnya kepadamu melalui email. Dan aku mau surat kontrak itu ada di mejaku besok pagi."
Gavin segera menghubungi asistennya untuk mengurus semua hal yang harus dipatuhi oleh Elana selama menjadi istri kontraknya, ia tentu tak ingin terikat selamanya dengan wanita yang sama sekali tidak sederajat dengannya. Begitu mendapatkan apa yang dia inginkan, ia akan membuang wanita itu jauh-jauh dari kehidupannya.
Happy Reading.
Tbc.
Hai gengs, ketemu lagi dengan cerita author Virzha ...
Mohon dukungan like, komen dan subscribe ya gengs ...
Cast Visual.
Elana Rosaline_
Gavin Fernandez
Setelah menyiapkan air hangat untuk Gavin, Elana bergegas memanggil pria itu agar segera mandi. Untung saja tadi ia sempat mengganti bajunya sebelum Gavin kembali, jadi ia tak perlu kerepotan memakai gaun pengantinnya yang sangat berat.
Elana masuk ke dalam kamar, melihat Gavin yang berbaring di kasur. Elana membasahi bibirnya sebentar sebelum memanggil pria itu.
"Air hangatnya sudah siap Tuan," ucap Elana memberitahukan.
Gavin hanya meliriknya sekilas, tanpa mengatakan apapun, Gavin berlalu begitu saja dengan hanya bertelanjang dada. Elana menahan nafasnya saat pria itu lewat di sampingnya, Elana malu karena Gavin tidak memakai baju.
Setelah pria itu masuk, Elana mengendurkan bahunya yang tegang. Ia baru saja akan beranjak ketika mendengar suara Gavin memanggilnya lagi.
"Hei kau! Siapa yang menyuruhmu pergi?" Gavin mengerutkan dahinya seraya memandang Elana tajam.
"Saya Tuan?" tanya Elana menunjuk dirinya sendiri.
"Siapa lagi?" tanya Gavin mengangkat alisnya.
"Memangnya ada apa Tuan? Apa suhu airnya kurang pas?" tanya Elana menebak apa alasan Gavin memanggilnya lagi.
"Mandikan aku," ucap Gavin terdengar santai tanpa beban.
Namun, tidak untuk Elana yang membulatkan matanya lebar-lebar. Perintah konyol apalagi ini? Mana bisa ia memandikan seorang pria, sedangkan Elana sendiri tidak pernah melihat seorang pria te lan jang. Bertelanjang dada saja ia baru melihat Gavin kaki ini.
"Dasar gadis bodoh! Kenapa kau hanya diam saja!" Gavin membentak kesal melihat Elana yang lagi-lagi bengong.
"Maaf Tuan, tapi apakah saya harus memandikan Anda? Anda bisa mandi sendiri bukan?" ucap Elana memberanikan dirinya menolak permintaan Gavin yang ia rasa tidak masuk akal.
Gavin berdecak kesal, ia melangkahkan kakinya lebar-lebar mendatangi Elana yang ketakutan. Ia lalu mencengkram dagu wanita itu dengan kuat.
"Kau pikir siapa dirimu berani mengaturku?" sentak Gavin memandang Elana penuh emosi.
"Ma-maf Tuan," ucap Elana sedikit meringis karena cengkraman Gavin yang sangat kuat.
"Apa aku perlu mengingatkanmu kembali bagaimana posisi mu saat ini? Kau hanya wanita yang di jual untuk melunasi hutang keluargamu, jadi jangan coba-coba melawan perintahku!" ujar Gavin terus menekan dagu Elana.
"Maaf," Elana tak tahu harus berkata apalagi, ia saat ini menahan sekuat tenaga air matanya agar tidak menangis di depan Gavin.
"Simpan saja air matamu itu, dan jangan pernah bermimpi untuk berdiri di sampingku, karena posisimu akan selalu dibawah dan selamanya akan menjadi gadis penebus hutang bagiku," sergah Gavin menghempaskan wajah Elana kasar.
Elana mengusap air matanya yang keluar tanpa di cegah, ia lalu memandang Gavin dengan tatapan sendunya.
"Kau boleh memandang rendah diriku Tuan, aku tidak akan marah, karena memang itulah aku," ucap Elana sangat sadar sekali posisinya saat ini.
Ia memang hanya gadis yang dijual oleh ibu kandungnya sendiri untuk melunasi hutang. Jadi julukan itu memang sangat pantas untuknya, meski semua ini menyakitkan, tapi memang itulah kenyataannya.
"Jangan banyak bicara, lakukan saja tugasmu. Jangan buat aku rugi karena membeli barang yang tidak berguna," ucap Gavin tak sadar jika perkataannya itu sangat melukai hati Elana.
Elana mengangguk pasrah. Ya, memang itulah dirinya, wanita yang sama sekali tidak ada gunanya sampai Gavin menilai dirinya layaknya barang yang diperjual belikan.
Elana tak ingin menangis lagi, sekarang dia sudah menjadi milik Gavin. Bagaimana pun sikap majikannya nanti, Elana harus siap menerimanya. Ia harus tetap mengangguk meski hatinya menjerit menolak semua ini.
"Pijatlah dengan benar, apa kau tidak punya tenaga?" sergah Gavin memejamkan matanya saat Elana membantunya keramas seraya memijat kepalanya lembut.
Elana menurut, ia menambah sedikit kekuatan pijatannya di kepala Gavin. Sejak tadi ia tak berani menatap ke depan karena tahu jika Gavin saat ini tidak menggunakan apapun.
"Begini baru enak, lain kali lakukanlah seperti ini terus," ucap Gavin merasa lebih rileks dengan pijatan Elana.
"Iya," sahut Elana tak tahu sampai kapan Gavin meminta terus dimandikan, padahal hanya mandi begini saja tidak bisa, batinnya kesal.
"Sudah, sekarang gosok punggungku," ucap Gavin merasa sudah cukup acara keramasnya.
Elana tak menyahut, tapi ia segera membilas kepala Gavin lalu mengambil sabun untuk menyabuni punggung pria itu. Ia juga memijat lembut bahu pria itu tanpa di suruh.
"Sudah Tuan," ucap Elana sudah menyabuni seluruh badan Gavin bagian belakang.
"Yang depan belum," ucap Gavin tersenyum jahil.
"Apa?" Elana hampir saja menjerit saat Gavin memutar tubuhnya menjadi menatap dirinya.
"Jangan berpura-pura polos, bukankah kau sudah terbiasa melihat pria seperti ini," ucap Gavin tersenyum sinis melihat Elana yang tidak mau melihatnya.
"Mana mungkin aku melihatnya, memangnya orang gila mana yang akan te la njang di depanku?" Elana menggerutu kesal, bisa-bisanya Gavin tidak malu memamerkan tubuhnya kepada Elana.
"Kau pikir aku bodoh? Setiap malam kau bekerja di bar, kau pasti sudah sering melayani tamu mu," ucap Gavin sudah menyelidiki latar belakang Elana sebelum mereka menikah.
"Aku memang bekerja di bar, tapi bukan berarti aku melihat semua tubuh tamuku," kata Elana tak terima di samakan dengan wanita murahan seperti itu.
"Lalu apa kau pikir aku akan percaya padamu?" Gavin menggelengkan kepalanya tak percaya jika Elana sama sekali belum pernah melihat pria te lan jang.
"Terserah Anda Tuan, jika Anda sudah selesai, saya akan permisi dulu," kata Elana beranjak pergi begitu saja, tapi Gavin langsung menarik tangannya hingga Elana terjatuh di bath up.
"Akhh!!!" Elana berteriak kaget, bajunya kini basah kuyup karena kelakuan Gavin.
"Siapa yang mengizinkanmu pergi? Tugasmu belum selesai Elana," ucap Gavin mengertakkan giginya erat, bukan karena apa-apa, tapi saat Elana jatuh, bokong wanita itu sempat menyenggol juniornya yang mendadak langsung turn on.
"Bolehkah saya menolak kali ini saja Tuan?" tanya Elana ragu jika harus memandikan Gavin lagi.
"Kau sama sekali tidak boleh menolak, semua yang keluar dari mulutku adalah perintah," ucap Gavin tak ingin melepaskan Elana begitu saja.
Elana menelan ludahnya kasar, ia mau tak mau harus menyelesaikan tugasnya memandikan Gavin. Ia menyabuni tubuh pria itu namun matanya melirik ke arah lain, hingga ia tak sengaja menyentuh sesuatu yang keras.
"Apa ini?" gumam Elana langsung melepaskannya begitu sadar dengan apa yang baru disentuhnya.
"Bodoh! Apa yang kau lakukan? Kau sengaja menggodaku ya?" Gavin berteriak kaget saat Elana menyentuh juniornya.
"Maaf Tuan, aku tidak sengaja," kata Elana dengan wajah memerah malu.
"Mati saja kau! Cepat pergi dari sini!" sentak Gavin mengusir wanita itu pergi, ia tak henti mengumpat kesal karena kelakuan Elana.
"Sialan!"
Happy Reading.
Tbc.
Jangan lupa like, komen dan subscribe ya gengs ...
Elana tidak tahu semalam ia tidur jam berapa, begitu terbangun ia terkejut saat sudah berada di pelukan Gavin. Kenapa ia bisa tidur disini? Seingatnya semalam ini tidur di sofa, kenapa bisa berpindah kesini?
Elana lalu menatap tangan dan kaki Gavin yang melingkari tubuhnya dengan posesif. Pantaslah semalam ia bermimpi di kejar-kejar orang gila. Elana mencoba menggeser pelan tangan pria itu, tapi ternyata sangat susah, Gavin malah memeluknya semakin erat layaknya guling.
"Nanti dulu babe, aku masih mengantuk," Gavin bergumam lalu kembali melanjutkan mimpinya.
Elana berdecak kesal, babe apaan? Babi kali ya. Karena tak ingin membuang waktu yang sia-sia, Elana akhirnya diam saja menunggu Gavin bangun. Selama itu, Elana memperhatikan wajah Gavin yang begitu dekat dengannya.
Wajah Gavin terpahat sangat sempurna, memiliki hidung yang mancung dan bibir tipis yang indah. Alisnya tebal dan memiliki bulu mata yang lentik. Wajahnya saja sangat mulus, Elana menjadi merasa tersaingi.
"Dia memang sangat sempurna, bagaimana mungkin aku bisa memilikinya? Bermimpi pun rasanya sangat tidak pantas," batin Elana terus menerus memperhatikan wajah Gavin yang sangat damai ketika tidur.
Mungkin karena merasa terus diperhatikan, Gavin membuka matanya perlahan, ia sempat mengernyit saat melihat wajah wanita di depannya, tapi begitu kesadarannya pulih sempurna, Gavin begitu terkejut sekali.
"Apa yang kau lakukan?" bentak Gavin menjauhkan dirinya dari Elana.
Elana sendiri langsung beringsut menjauh, ia juga bingung kenapa bisa ada di ranjang yang sama dengan Gavin.
"Kau mau menjebak ku? Iya?" Gavin menatap Elana geram.
"Menjebak apa Tuan? Aku juga kaget saat terbangun berada di ranjang dan Tuan memelukku, seingat ku semalam aku tidur di kasur," ucap Elana polos saja.
Gavin memejamkan matanya singkat, sekarang ia ingat, semalam ia yang telah memindahkan Elana karena ia kesal wanita itu memilih tidur di sofa daripada bersamanya. Gavin merasa tak diinginkan dan Gavin tak suka dengan sikap Elana itu.
"Jadi kau menuduhku yang memindahkan mu?" tukas Gavin tak mau mengakui sikap konyolnya semalam.
"Aku tidak berkata seperti itu Tuan," sahut Elana mengernyit, ia tidak menuduh Gavin, kenapa pria itu harus marah.
"Oh shitttt! Kau benar-benar merusak pagiku!" Gavin mengumpat kesal, ia merasa senjata makan tuan, lagipula kenapa ia jadi panik sendiri. Elana sudah menjadi miliknya seutuhnya, ia berhak melakukan apa saja terhadap wanita itu.
"Anda mau kemana Tuan?" tanya Elana memperhatikan Gavin yang berjalan menuju kamar mandi.
"Kau pikir aku mau apa ke kamar mandi? Mau belanja? Dasar wanita aneh," celetuk Gavin rasanya tak bisa berbicara dengan nada biasa kepada Elana.
"Mau aku mandikan lagi?" tanya Elana menawarkan diri, ia tak mau jika nanti dia terlambat dan disalahkan lagi.
Gavin membesarkan matanya, ia menatap Elana yang hanya memasang wajah polosnya. Sumpah demi apapun ia rasanya ingin sekali mengumpat keras di depan wajah Elana. Semalam saja ia masih kepikiran saat juniornya di pegang Elana, jika terus-terusan seperti itu, bisa-bisa otaknya ini bertraveling kemana-mana.
*****
Elana sudah siap dengan pakaian terbaiknya, tadi Gavin mengatakan kalau akan mengajaknya pergi sebentar sebelum menemui kelurga besarnya. Beberapa kali Elana menatap penampilannya yang ia rasa sangat tidak cocok. Tapi mau bagaimana lagi, baju ini adalah baju terbaiknya.
"Elana!" teriakan Gavin terdengar hampir saja membuat Elana melompat.
"Ya Tuan," sahut Elana mengambil tasnya dan bergegas menemui Gavin.
"Kenapa belum siap juga?" tegur Gavin menajamkan tatapannya melihat penampilan Elana yang menggunakan baju kumuh itu.
"Aku sudah siap Tuan," ucap Elana sedikit meringis, ia menatap kembali penampilannya yang ia rasa tidak ada yang salah.
"Kau jangan bercanda, aku sudah bilang akan mengajakmu menemui orang tuaku, kenapa memakai baju seperti ini? Cari yang lain!" kata Gavin memandang penampilan Elana dengan sinis.
"Tapi ini baju terbaik saya Tuan," ucap Elana mengigit bibirnya.
Gavin sedikit terkejut, ia menatap kembali penampilan Elana yang menggunakan kemeja putih dan rok span hitam. Apa tadi katanya? Baju seperti ini yang terbaik? Lalu bagaimana baju terburuknya?
"Dasar orang miskin, membeli baju bagus saja tidak bisa. Untung aku sudah memungut mu dari ibumu, mungkin kalau aku terlambat sedikit saja, kau sudah jadi gelandangan," ucap Gavin asal saja, ia heran sebenarnya seberapa miskin Elana sampai membeli baju bagus saja tak mampu.
Elana tersenyum kecut, sakit? Tentu saja, mana mungkin dirinya tak sakit hati dikata-katai oleh suaminya sendiri seperti itu.
"Halo Dirga, carikan aku desainer terkenal, suruh dia datang ke rumahku. Ya, kau bawa sekalian surat kontraknya," Gavin menghubungi asistennya untuk mengurus Elana, ia tak akan membiarkan Elana menemui Mamanya dengan baju kumuh seperti itu.
Hampir satu jam lebih Elana hanya berdiri memandang Gavin yang sibuk dengan tabletnya. Kakinya sudah sangat kram tapi ia bingung harus berbuat apa. Ingin bertanya pada Gavin pun ia takut kalau pria itu akan marah.
"Tuan?" panggil Elana memberanikan dirinya.
"Hm ..." Gavin hanya menyahut dengan gumamam rendah.
"Apakah aku boleh duduk?" tanya Elana sudah tak tahan jika harus berdiri lebih lama.
"Duduk saja, kenapa harus bertanya dulu?" sahut Gavin menekuk wajahnya. "Jangan bilang sejak tadi kau berdiri di situ?" tanya Gavin mengernyitkan dahinya.
Elana meringis seraya mengangguk pelan, Gavin berdecak kesal.
"Kau ini memang bodoh sekali, kenapa harus bersikap seperti itu, dasar aneh," ucap Gavin.
"Tuan tidak marah?" tanya Elana lagi membuat Gavin mendengus.
"Aku marah jika kau membuat kesalahan," sahut Gavin singkat.
"Baiklah, aku akan duduk. Terima kasih Tuan," ucap Elana mengulas senyum manisnya, ia lega sekali karena sudah diizinkan duduk.
Gavin terdiam, baru kali ini dia melihat Elana tersenyum, dan ternyata, dia sangat cantik jika tersenyum seperti itu. Kenapa sekarang Gavin baru sadar kalau Elana memiliki wajah yang sangat manis.
*****
"Apa ini Tuan?" tanya Elana tak mengerti saat Gavin menyodorkan map yang berisi kertas yang cukup banyak.
"Itu surat perjanjian pernikahan kita, kau bisa menandatanganinya sekarang," ucap Gavin dengan sikapnya yang dingin.
Elana menatap Gavin sekilas, ia lalu membaca poin-poin yang tertulis di surat itu.
1. Pihak B harus menuruti semua perintah yang diberikan pihak A.
2. Pihak A berhak berbuat apapun kepada pihak B dan tidak boleh ada penolakan.
3. Jika pihak B membantah, maka harus membayar ganti rugi sebesar dua miliar kepada pihak A.
4. Selama masa perjanjian ini berlangsung, Pihak B tidak berhak menuntut apapun terhadap pihak A.
5. Masa berlaku kontrak tergantung pihak A yang menentukan. Jika pihak A belum mengakhiri kontrak, maka pihak B tidak boleh menggugat atau melakukan tindakan yang melawan pihak A.
Elana menatap Gavin dengan wajah tak percaya, semua isi kontrak ini hanya menguntungkan satu belah pihak dan sangat tidak adil.
"Kenapa? Kau ingin protes? Silahkan, kau harus membayar ganti rugi padaku 2 miliyar dan kau juga harus membayar uang yang aku berikan kepada ibumu sebesar 800 juta. Apa kau sanggup?" ucap Gavin memandang Elana dengan senyum sombongnya.
Elana membuang pandangannya, uang sebanyak itu mana mungkin ia punya. Sekarang saja ia tidak memiliki uang sepeserpun.
"Tidak Tuan," ucap Elana lirih.
"Sudah aku duga, kau tak akan sanggup Elana. Lagipula kau sangat beruntung bisa menjadi istriku, tenang saja, semua kebutuhanmu tetap akan aku cukupi selama kau menurut padaku. Kau mengerti 'kan?" ucap Gavin puas sekali melihat Elana sudah tak berdaya seperti itu.
"Mengerti Tuan," sahut Elana menangguk lemah, mungkin bagi orang yang melihat hidupnya sangat beruntung menjadi istri Gavin yang kaya raya, tapi jika Elana bisa meminta, ia tak akan mau di posisi seperti ini.
Happy Reading.
Tbc.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!