Jam sudah menunjuk pukul delapan, waktunya Nazura pulang dari toko sepatu tempatnya bekerja. Tubuh gadis itu sudah merasa sangat letih karena seharian ini toko sangatlah ramai. Membuat ia dan karyawan lainnya tidak bisa beristirahat sama sekali. Hanya saat makan siang itu saja cuma diberi waktu lima belas menit.
Ketika telah sampai di depan sebuah rumah sederhana bercat hijau yang sudah memudar hampir di seluruh bagian, Nazura mengembuskan napas lega. Akhirnya ia pulang dengan selamat sampai rumah tanpa halangan apa pun karena terkadang Nazura dihadang oleh preman yang suka usil ketika sampai di jalan yang sepi.
"Assalamualaikum, Paman, Bibi. Nazura sudah pulang." Gadis itu membuka pintu secara perlahan.
Namun, ketika sudah terbuka lebar, Nazura dikejutkan dengan keberadaan paman dan bibinya yang sedang duduk di ruang tamu. Tatapan kedua orang paruh baya itu terlihat sangat lekat. Seolah begitu mengintimidasi hingga membuat jantung Nazura berdegup kencang karena ada sebersit rasa takut yang dirasakan.
"Duduk, Na." Sang paman memberi perintah dengan nada bicara yang datar. Membuat Nazura makin merasa gelisah.
Gadis itu pun menurut. Duduk berhadapan dengan paman dan bibinya tanpa berani menatap sama sekali. Hanya rem*san jarinya yang telah basahlah menjadi pusat pandangannya saat ini.
"Ada yang akan kami bicarakan kepadamu, Na." Bima—paman Nazura tampak ragu ketika menatap keponakannya.
"Jangan terus menunduk, Na. Tatap lawan bicaramu ketika sedang diajak bicara! Bersikaplah sopan!" Suara Nety—bibi Nazura—terdengar ketus.
Sejujurnya wanita paruh baya itu tidak terlalu menyukai keberadaan Nazura di rumahnya. Namun, menilik Nazura yang memiliki warisan cukup banyak membuat Nety dengan terpaksa menerima kehadiran gadis itu.
"Ma-maaf, Bi." Rasanya sangat berat Nazura mengangkat kepala, tetapi ia memaksanya. Memandang dua orang paruh baya yang masih terus menatapnya. Entah mengapa, melihat sorot mata mereka seketika membuat jantung Nazura berdetak tak karuan. Perasaan gadis itu mendadak sangat tidak nyaman. "Apa yang akan kalian bicarakan?" tanyanya menambahkan.
Bima menghela napas panjang dan mengembuskan secara perlahan. Tatapannya masih meragu, tetapi pikiran lelaki itu pun sudah buntu dan tidak tahu lagi mencari cara apa yang bisa dilakukan untuk melunasi hutangnya yang sudah menumpuk.
"Na ... maafkan paman. Mungkin keputusan paman nantinya akan sedikit memberatkanmu, tapi paman tidak tahu cara apa lagi yang harus diambil," ujar Bima. Nada bicaranya terdengar begitu berat.
"Memangnya keputusan apa, Paman? Nazura belum paham," timpal Nazura.
"Na, paman sudah berhutang banyak kepada Tuan Roger, sedangkan waktu untuk melunasi tinggal dua minggu. Tidak ada kelonggaran waktu lagi karena paman sudah memintanya satu bulan lalu, dan ...."
"Jangan bilang paman akan menjual rumah peninggalan bapak dan ibu? Tidak akan! Nazura tidak akan pernah melepaskannya karena hanya itu harta yang Nazura punya sekarang." Nazura menyela ucapan Bima dengan nada mulai meninggi.
"Jangan berbicara keras kepada orang tua, Na!" bentak Nety tidak terima. Wanita itu benar-benar membenci Nazura. "Seharusnya kamu tahu kalau kami berhutang itu untuk membesarkanmu!"
"Nety! Lebih baik kamu diam!" Bima mulai kesal dengan istrinya yang begitu tempramental. Mendengar perintah suaminya, bibir Nety terkatup rapat saat itu juga.
"Maafkan aku, Paman, Bibi. Karena sampai kapan pun Nazura tidak akan pernah menjual rumah itu. Banyak kenangan Nazura dengan bapak-ibu di sana." Suara Nazura mulai melirih dan sedikit serak karena menahan air mata.
"Kamu tidak perlu meminta maaf, Na. Ini bukan salah kamu, tapi salah kami karena sudah memungut dan membesarkanmu dengan tanpa biaya seperser pun."
Jantung Nazura serasa berhenti mendadak ketika mendengar ucapan sang paman yang mampu membuat hatinya terasa sakit seperti dicubit dengan kencang. Rasanya begitu nyeri hingga membuat darah di tubuh serasa berdesir hebat.
Aku tidak menyangka kalau paman akan berbicara sekejam itu.
"Kenapa Paman berbicara seperti itu? Berarti selama ini kalian tidak ikhlas membesarkanku?" Hati Nazura mulai kesal, tetapi ia berusaha terlihat biasa saja di depan kedua orang tersebut.
Sungguh, ia masih tidak menyangka jika pamannya akan mengungkit hal yang seharusnya tidak pernah diungkit.
"Bukan begitu, Na. Kami sangat ikhlas, tapi untuk saat ini paman benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan. Kalau sampai paman tidak bisa melunasi hutang itu maka paman akan dijebloskan ke penjara." Bima menyandarkan kepala di sofa. Pikirannya benar-benar kalut hingga tidak bisa berpikir jernih.
Mendengar ucapan sang paman seketika membuat Nazura terdiam saat itu. Jika sang bibi yang dijebloskan ke penjara, mungkin Nazura tidak akan merasa berat hati. Namun, jika pamannya maka Nazura harus pikir-pikir lagi. Walaupun lelaki itu terkadang berbicara menyakitkan hati, tetapi Nazura bisa merasakan kasih sayang pamannya.
"Memangnya berapa hutang yang harus paman bayar?" tanya Nazura penasaran.
"Seratus lima puluh juta."
Nazura tersentak ketika mendengar hutang sang paman. Tidak menyangka jika nominalnya akan sebanyak itu.
"Ba-banyak sekali, Paman." Nazura menggeleng tidak percaya. Jangankan memegang uang sebanyak itu, menyentuhnya saja Nazura belum pernah merasakan. Paling banyak ia hanya memegang uang tiga juta setelah gajian, itu saja sebelum disetor kepada Bibi Nety lebih dari setengahnya.
"Apa boleh mencicilnya, Paman?" tanya Nazura penuh harap.
"Tidak. Dua minggu lagi semua harus sudah dibayar lunas. Na ...." Bima menggantungkan ucapannya di udara. Merasa ragu hingga menghela napas napas panjang berkali-kali yang bisa ia lakukan saat ini.
"Katakan saja, Paman. Jangan ragu seperti itu." Nazura pun merasa siap dengan segala kemungkinan.
"Jadilah istri Tuan Roger, Na. Agar hutang paman menjadi lunas. Hanya itu jalan satu-satunya jika kamu tidak mau menjual rumah peninggalan orang tuamu," ujar Bima pada akhirnya.
"Nazura tidak mau, Paman! Nazura tidak mengenal bahkan belum pernah bertemu Tuan Roger sama sekali. Nazura takut!" tolak Nazura cepat. Sungguh baginya itu adalah keputusan paling konyol.
"Tapi, Na. Hanya itu jalan satu-satunya. " Tatapan Bima begitu memohon, tetapi Nazura menggeleng dengan cepat.
"Jangan pernah menolak, Na! Anggap saja kamu sedang balas budi kepada kami. Lagi pula, nanti hidupmu akan terjamin karena menjadi istri seorang konglomerat." Bibi Nety mulai kembali angkat bicara, dan Nazura merasa sebal mendengarnya.
"Kenapa bukan Lolita saja? Kenapa harus Nazura?"
Gadis itu merasa kesal. Jika memang akan dijadikan penebus hutang, mungkin lebih pas Lolita. Sepupunya yang sangat boros dan arogan. Nazura yakin kalau hutang sebanyak ini pasti mereka pinjam untuk memenuhi gaya hidup Lolita yang tinggi menilik bagaimana paman bibinya sangat memanjakan putri tunggalnya.
"Tidak. Paman tidak akan mungkin bisa melakukan itu karena paman khawatir Lolita tidak bisa hidup dengan baik," bantah Bima.
Tangan Nazura yang barusan saling merem*s pun kini sudah mengepal. Sungguh, di saat seperti ini ia sangat membenci pamannya yang egois.
"Lalu Paman tidak khawatir jika Nazura tidak bisa hidup dengan baik?" Sudut bibir Nazura tertarik sebelah. Tersenyum miring ketika melihat Bima yang tidak bisa menjawab ucapannya.
"Sudahlah, Na! Jangan banyak bicara dan berdebat. Intinya semua keputusan sudah bulat. Besok kamu harus menemui Tuan Roger dan mengatakan kalau kamu akan menjadi istrinya untuk melunasi hutang." Nety berbicara panjang lebar.
Lelah. Marah. Kesal.
Segala perasaan bercampur menjadi satu dalam hati Nazura. Gadis itu benar-benar tidak mampu mendebat lagi.
"Terserah kalian!"
Dengan menghentakkan kaki, ia berlalu ke kamar. Meninggalkan dua orang yang masih duduk di tempatnya. Bahkan, untuk meluapkan kekesalan, Nazura membanting pintu cukup keras hingga mengejutkan siapa pun. Setelah mengunci dengan rapat, Nazura dengan segera menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang secara kasar. Lalu memeluk guling dengan sangat erat.
Tanpa sadar cairan bening mengalir melewati kedua sudut matanya.
Bapak ... ibu ... Nazura kangen kalian.
Nazura benar-benar tidak bisa fokus bekerja setelah perbincangan dengan paman dan bibinya satu minggu lalu. Ia tidak menuruti perintah sang bibi untuk menemui lelaki bernama Roger. Biarlah. Ia masih memiliki waktu satu minggu lagi untuk memikirkan cara lain agar hutang sang paman lunas selain menjual rumah ataupun menikah dengan Roger.
Dalam bayangan Nazura, sosok Roger adalah lelaki tua dengan rambut yang sudah putih, perut buncit, badan hitam, dekil , dan .... Nazura menghentikan pikirannya karena sudah merasa merinding ketika membayangkan itu. Ia benar-benar tidak mau menjadi istri Roger, apalagi jika ia dijadikan istri ke-tujuh. Seperti di film-film yang pernah ditontonnya.
"Nazura! Jangan ngelamun." Tubuh Nazura tersentak kaget ketika Devi, teman kerjanya, mengejutkan dirinya. "Lihatlah, ada pria tampan yang sedang memilih sepatu."
"Astaga, Dev. Kalau soal pria tampan, kamu ini memang jagonya. Dasar mata genit," cebik Nazura.
Devi hanya terkekeh dan tidak sekalipun mengalihkan pandangan dari lelaki di depan sana, sedangkan Nazura memilih untuk kembali bekerja daripada melayani kegenitan sahabatnya.
"Berapa semuanya?" tanya pria tersebut.
Mengalihkan perhatian Nazura yang saat itu sedang menata sepatu di sebelah kasir. Entah mengapa ia justru terdiam dan mendengarkan pria itu berbicara dengan sahabatnya.
Setelah pria tersebut pergi, barulah Nazura kembali melanjutkan kegiatannya menata sepatu. Namun, tiba-tiba perhatian Nazura teralihkan ke arah sebuah dompet yang tergeletak di lantai. Dari tampilannya saja, terlihat sekali kalau itu bukanlah dompet yang murah.
Dengan segera, Nazura mengambil dompet tersebut lalu berlari ke luar dari toko hingga membuat Devi kebingungan.
"Tuan! Tunggu sebentar!" teriak Nazura menghentikan gerakan pria tampan tadi yang sedang membuka pintu. Pria itu sama sekali tidak membuka suara, hanya menatap Nazura yang saat ini sudah berdiri di sampingnya. "Maaf, dompet Anda terjatuh."
Lelaki itu menatap dompet yang ada di tangan Nazura lalu mengambilnya dan melemparkan ke jok samping.
"Terima kasih." Pria itu berbicara malas-malasan lalu masuk ke mobil begitu saja tanpa peduli pada Nazura.
"Sama-sama. Lain kali, lebih berhati-hati, Tuan." Nazura membungkuk hormat lalu berjalan pergi meninggalkan pria itu.
Sementara pria tersebut hanya duduk di balik setir kemudi dan menatap punggung Nazura yang perlahan lenyap dari pandangan.
Sepertinya dia gadis yang baik. Ah! Jangan mudah tertipu dengan cover. Barangkali dia hanya mencari perhatian. Seperti wanita kebanyakan.
Sudut bibirnya tersenyum miring sebelum akhirnya melajukan mobilnya meninggalkan toko tersebut.
***
Hari ini Nazura tidak bekerja. Bahkan, ia dikurung di kamar oleh bibinya. Kedatangan Tuan Roger untuk menagih hutang benar-benar menjadi momok menakutkan untuk keluarga itu kecuali Nazura. Hanya gadis itu yang merasa cemas.
"Na, paman mohon hanya itu yang bisa dilakukan." Bima masuk kamar dengan wajah lesu. Nazura yakin, sang paman pasti kalah ketika bernegosiasi untuk meminta kelonggaran waktu.
"Tapi, Paman ...."
"Sudah! Lebih baik jangan pernah menolak! Ini sudah keputusan final, Na! Jangan larang aku untuk menasehati keponakanmu lagi, Mas!" Nety berani menatap menantang ke arah Bima. Ia merasa lelaki itu sangat lemah.
"Lepaskan aku, Bi. Ini sakit." Nazura sedikit meringis ketika Nety sudah menarik tangannya cukup kuat.
"Diamlah!" bentak Nety membuat Nazura hanya diam menurut begitu juga dengan Bima. Pikiran kalutnya membuat Bima tidak bisa lagi membela sang keponakan.
"Tuan Roger, maaf. Ini keponakan saya yang akan menikah dengan Anda." Nety berbicara manis kepada seorang lelaki yang sedang duduk di sofa.
Dengan memberanikan diri, Nazura pun mengangkat kepala dan tersentak ketika melihat lelaki yang saat ini sedang menatapnya lekat.
"Ka-kamu?" Bola mata Nazura membulat penuh ketika menyadari kalau lelaki itu adalah pria yang dompetnya jatuh di toko minggu lalu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!