1 jam sebelum akad nikah.
Pesta mewah digelar di sebuah hotel ternama. Hari ini putra bungsu salah satu pengusaha sukses akan menikah dengan putri tunggal keluarga Bimantara.
Arumi Putri Bimantara tampil dengan cantik dalam balutan gaun penggantinya. Arumi menahan gugup menunggu Aziel, calon suaminya melakukan ijab kabul.
Namun, kebahagiaan Arumi hanya bertahan sebentar saat Mayang - Ibu Arumi - datang dengan wajah marah. Wanita paruh baya itu menarik paksa Arumi hingga berdiri tepat di hadapannya.
"Kamu benar-benar pembawa sial! Mau ditaruh di mana muka saya menghadapi ribuan tamu undangan, ha?" Mayang menunjuk Arumi dengan kejam tidak memedulikan raut terkejut putrinya itu.
"Mami, ada apa?" Arumi bertanya tidak mengerti.
"Semua gara-gara kamu ... seumur hidupmu hanya bisa membuatku dan Ayahmu itu malu!" Mayang berteriak keras mengundng perhatian keluarga mereka yang lain.
"Mayang, ada apa ini?" tanya Ratno, Tante Arumi dari pihak Ibu.
"Anak ini membawa sial! Dia selalu berhasil mempermalukanku dan Mas Surya!" Mayang kembali menunjuk ke arah Arumi dengan kejam, seolah menghakimi gadis itu.
"Ada apa sebenarnya? Kenapa kamu berteriak seperti itu?" tanya Surya yang baru saja masuk ke dalam ruangan tempat Arumi menunggu.
"Calon suaminya melarikan diri dengan perempuan lain dan artinya dia batal menikah! Kita harus menanggung malu di depan ribuan tamu undangan."
"Apa Mi? Aziel kabur?" Arumi terliaht sangat syok hingga nyaris pingsan.
"Semua gara-gara kamu! Mau ditaruh di mana muka kita? Semua orang pasti menertawakan kita." Mayang kembari melampiaskan amarahnya pada Arumi yang terlihat sangat terpukul.
"Bubarkan semu tamu undangan! Tidak akan ada pernikahan!" perintah Surya setelah berpikir cukup lama.
Anak buah Surya sudah bersiap pergi untuk membubarkan tamu ketika Daffa Ardhani masuk dengan penuh wibawa.
"Pernikahan akan tetap berlanjut, tapi bukan pernikahan Aziel dengan Arumi. Melainkan pernikahan Arumi dengan Kavian, putra sulung saya!"
Perkataan Daffa membuat semua yang berada di ruangan tercengang. Mereka tidak menyangak jika Daffa akan membuat keputusan ini.
"Anda yakin dengan keputusan ini?" tanya Surya yang terlihat ragu.
Daffa tidak langsung menjawab melainkan berjalan mendekati Surya yang masih menunggu jawabannya. Pria paruh baya itu berbisik ditelinga Surya, bisikan yang membuat wajah Surya memerah malu.
...----------------...
Arumi menangis sendirian saat mendengar para saksi berkata 'sah'. Arumi telah menjadi istri dari pria yang tidak dia cintai. Bahkan dia tidak tahu siapa pria yang menikahinya.
"Ya Allah, kenapa hidup Arumi seperti ini?" Arumi kembali menangisi nasibnya yang begitu menyedihkan.
Ditinggalkan dihari pernikahan dan harus terpaksa menikahi pria lain yang bahkan tidak dia ketahui namanya.
"Arumi?" panggilan itu membuat Arumi menoleh dan mendapati Sasha, sepupunya berdiri di depan pintu.
"Iya, Kak." Arumi dengan cepat menghapus air matanya dan segera berdiri.
"Kamu nangis? Cepat perbaiki riasanmu, semua sudah menunggu di luar." Sasha menutup pintu kemudian berjalan mendekat untuk membantu Arumi memperbaiki riasannya.
"Kak, apa Arum benar-benar sudah jadi istri pria lain?" tanya Arumi memecah keheningan.
"Iya, kenapa? Kamu nggak setuju?" Sasha bertanya cepat.
Arumi hanya diam, dia tidak berani menyuarakan protesnya karena sampai kapanpun tidak akan ada yang mau mendengarkannya.
"Harusnya kamu senang, suami kamu bukan pria sembarangan. Lagipula ini satu-satunya jalan biar kamu bisa keluar dari rumah."
Arumi sadar bahwa apa yang diucapkan oleh Sasha benar. Salah satu yang membuat dia ingin segera menikah adalah untuk keluar dari rumah. Batinnya sudah cukup tersiksa dan dia hanya ingin menjaga kewarasannya dengan cara keluar dari rumah.
Setelah selesai memperbaiki riasan, Arumi segera keluar ditemani oleh Sasha. Seluruh keluarga sudah berkumpul menunggu Arumi.
"Arumi, silahkan salim dengan suami kamu." Ucap Nina - Istri Daffa - sembari menarik pelan tangan Arumi.
Arumi menatap kaget pada sosok pria yang berdiri di hadapannya, pria itu suaminya. Dia adalah Kavian Ardhani, pria yang seharusnya menjadi kakak iparnya.
"Mas ... Mas Kavi?" Arumi tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.
"Iya, dia suami kamu. Ayo cepat salim dan tanda tangan buku nikah kalian!" Nina mendesak Arumi yang mau tidak mau diikuti oleh gadis itu.
Arumi pikir semua hanya mimpi belaka. Kavi adalah sosok pria yang selama ini dihindari oleh Arumi karena pria terlihat dingin dan tak tersentuh. Bisa dibilang Arumi takut pada Kavi.
Namun, takdir berkata lain membawanya menjadi istri dari pria itu. Bolehkah Arumi menertawakan nasibnya sekarang?
...----------------...
Sebelum ijab kabul berlangsung.
Daffa sedang menyapa kerabat jauhnya yang baru saja tiba ketika seorang pengawal datang berbisik pada pria itu.
"Apa?" Daffa terlihat terkejut, pria itu segera berpamitan pergi.
Daffa dan pengawalnya memasuki sebuah ruangan yang seharusnya menjadi ruang tunggu untuk Aziel. Namun, saat masuk ruangan itu terlihat kosong dan tidak ada tanda-tanda Aziel.
"Bagaimana dia bisa kabur?" tanya Daffa pada pengawalnya.
"Maaf Tuan, tadi Tuan muda Aziel bilang ingin menenangkan diri sendirian. Ternyata saat saya masuk mengecek Tuan muda Aziel sudah tidak ada. CCTV menunjukkan Tuan muda pergi setelah mengganti pakaiannya dengan pakaian pelayan."
Daffa terlihat sangat marah dan bersiap menghancurkan apa saja yang ada di depannya. Namun, mengingat hal yang lebih penting mau tidak mau Daffa harus meredam amarahnya.
"Panggil Kavian kemari, katakan saya ingin berbicara berdua dengannya!" perintah Daffa yang langsung dilaksanakan oleh pengawalnya.
Tidak lama Kavi datang, putra sulungnya itu memasang wajah datar seperti biasa.
"Aziel kabur dan itu artinya pernikahan ini bisa batal." Ucap Daffa sambil menepuk pundak Kavi.
"Apa hubungannya denganku?" tanya Kavi datar.
"Ayah, terutama Bunda tentu tidak mau kehilangan menantu seperti Arumi. Jadi, jalan satu-satunya agar Arumi tetap menjadi menantu kami adalah menikahkan kamu dengan Arumi."
Kavi melotot kaget, dia tidak menyangka akan mendengar ide gila ini dari seorang Daffa yang terkenal tegas dan bijaksana.
"Nggak, mana mungkin Kavi menikah dengan Arumi!" Kavi menolak dengan keras.
"Kavian, kamu tahu dengan pasti rapat pemegang saham akan diadakan lima bulan lagi. Kamu tahu artinya apa? Jika kamu bersedia menikah dengan Arumi, Ayah akan menyerahkan saham Aziel untuk kamu ... seluruh saham anak tidak tahu diri itu!"
Kavi terdiam sejenak, seolah menimbang-nimbang keputusan yang akan dia ambil.
"Bagaimana jika Kavi menolah?" tanya Kavi sebelum mengambil keputusan.
"Maka kamu akan bernasib sama dengan Aziel, kamu tahu pasti Ayah tidak pernah main-main dengan ucapan Ayah!"
Kavi tahu seperti apa Ayahnya itu, dia tentu tidak mau bernasib sama seperti Aziel yang bodoh itu. Namun, menikah dengan Arumi tentu saja tidak ingin dia lakukan.
"Baik, akan Kavi lakukan ... tapi Ayah harus menepati janji Ayah saat rapat pemegang saham nanti."
Kavi telah mengambil langkah besar yang akan mengubah hidupnya. Untuk saat ini tidak ada yang bisa Kavi lakukan selain menyerah demi saham dan segala kemewahan yang dia miliki.
Bersambung ~~
Tamu undangan sudah pulang dan tersisa keluarga dekat mereka. Nina menyuruh Arumi dan Kavi ke kamar mereka karena tahu kedua pengantin baru itu butuh istirahat.
Begitu mereka tiba di kamar Kavi segera menunjukkan ketidak sukanya pada Arumi. Pria itu menatap benci pada gadis yang kini menyandang status sebagai istri sahnya.
"Gara-gara lo dan anak kurang ajar itu gue harus terjebak sama pernikahan konyol ini! Si*al, gara-gara lo gue hubungan gue jadi berangakan!" Kavi berteriak marah membuat Arumi duduk ketakutan.
"Ma--maaf Mas, Arum nggak tahu kalau Mas yang menggantikan Aziel." Arumi bergetar ketakutan karena saat ini Kavi benar-benar menyeramkan.
"Dengar, sampai kapanpun gue nggak suka sama pernikahan ini. Lo jangan berharap lebih karena saat waktu yang tepat gue akan menceraikan lo!"
Arumi dibuat tercengang dengan ucapan tajam dari Kavi. Di malam pertama mereka sebagai suami istri yang dia dapatkan justru cacian dan kata-kata kasar dari sang suami.
Kavi berlalu begitu saja meninggalkan Arumi yang hanya bisa menangis meratapi nasibnya.
"Ya Allah, kenapa rasanya berat sekali?" cukup lama Arumi menangis hingga tertidur karena lelah menangis.
Arumi tidak tahu mengapa takdir seolah mempermainkannya. Saat dia berjuang untuk bisa keluar dari rumah karena lelah menghadapi siksa batin dari orang tuanya, kini saat dia berhasil keluar takdir justru membawanya dalam jerat pria kejam seperti Kavi.
Arumi bertanya-tanya, dosa besar apa yang sudah dia perbuat hingga mendapat hukuman seperti ini.
...----------------...
Surya dan Mayang sedang menikmati sarapan mereka dengan tenang. Kali ini terasa semakin sepi karena hanya ada mereka berdua. Tidak ada percakapan yang terjadi karena Surya memang tidak banyak bicara.
Berbeda dengan Mayang yang selalu sibuk mengomentari apapun itu. Pagi ini wanita paruh baya itu ingin bertanya suatu hal yang kemarin terjadi.
"Mas, kenapa Mas bisa setuju untuk menikahkan Arumi dengan Kavian?" tanya Mayang setelah tidak bisa menahan rasa penasarannya.
"Ada sebuah alasan yang kamu nggak perlu tahu. Lagipula, inikan yang sudah lama kamu tunggu-tunggu?" Surya berucap datar, tapi sarat akan makna yang mampu membuat Mayang kesal.
"Memang lebih bagus dia menikah dan keluar dari rumah ini dari pada menjadi beban," ujar Mayang tanpa perasaan.
"Sudahlah, aku tidak mau membahas masalah ini lagi. Kamu sangat mampu merusak suasana!" ucapan Surya kembali membuat Mayang kesal.
"Mas, ada satu lagi yang jadi pertanyaan ku. Sebenarnya kemarin apa yang dikatakan Pak Daffa sama Mas? Kalau dilihat -lihat Pak Daffa dan istrinya itu sangat memperlakukan Arumi dengan istimewa."
Mayang sudah tidak bisa mengubur rasa penasarannya. Dia tidak peduli jika Surya marah, yang terpenting rasa penasaran terjawab
Surya tidak langsung menjawab, pria paruh baya itu seakan menikmati raut penasaran dari Mayang. Jika dia perhatikan, semakin lama Mayang semakin terobsesi dengan Arumi. Tentu dalam hal negatif bukan positif.
"Pak Daffa bilang ... Arumi adalah gadis istimewa. Tidak peduli Arumi menikah dengan siapa, yang penting Arumi menjadi menantunya."
Mayang melotot tidak percaya, rasa kesal karena Arumi dianggap istimewa oleh Daffa yang merupakan pengusaha ternama semakin menggelayuti hati Mayang.
"Bagaimana bisa Pak Daffa menganggap Arumi istimewa? Dia hanya gadis biasa yang nggak memiliki apapun!" Mayang menyahut kesal.
"Nyatanya Pak Daffa menganggap Arumi istimewa. Simpan saja rasa kesalmu itu, lagipula pernikahan Arumi membawa dampak baik untuk perusahaan."
Mayang terdiam, memang benar apa yang dikatakan oleh Surya. Pernikahan Arumi dengan salah satu putra Ardhani tentu membawa dampak baik untuk perusahaan keluarga. Meski tidak mau mengakui Mayang tetap tidak bisa menyangkal fakta besar itu.
...----------------...
Pagi pertama Arumi sebagai istri dari Kavian Ardhani. Tidak ada yang istimewa karena yang Arumi rasakan hanyalah rasa takut terhadap suaminya itu.
Semalam Kavi tidak kembali ke kamar hotel, beruntung baik Daffa maupun Nina tidak ada yang mengetahui hal itu.
Dengan perasaan tidak menentu Arumi menemui kedua mertuanya yang sudah menunggu untuk sarapan bersama. Arumi tidak tahu harus menjawab apa jika kedua mertuanya bertanya di mana Kavi.
"Arumi, ayo duduk. Kita sarapan bersama, kata Kavi kamu capek jadi dia tinggalin kamu." Nina menyambut Arumi dengan hangat, bahkan menarik sebuah kursi di sampingnya untuk Arumi.
"Maaf Bunda," lirih Arumi yang hanya disambut senyuman hangat dari Nina.
Di depan Arumi sudah ada Kavi yang tampak rapi. Pria itu sarapan dengan tenang seolah tidak ada hal yang terjadi. Sementara Arumi hanya bisa menahan gugup, dia takut jika Kavi kembali mengamuk seperti semalam.
"Arum, untuk sementara kamu tinggal sama Ayah dan Bunda ya. Setidaknya sampai rumah Kavi siap ditinggali." Nina membuka percakapan setelah mereka berempat menyelesaikan sarapan.
"Nggak perlu, Bunda. Kavi dan Arum akan tinggal di apartemen Kavi, kami ingin mandiri." Kavi menyahut cepat sebelum Arumi membuka suara.
Arumi hanya bisa pasrah, meski sejujurnya dia tidak mau tinggal berdua saja sengan Kavi. Pria itu terlalu mengerikan bagi Arumi.
"Bagaimana, Arumi?" tanya Daffa meminta pendapat pada Arumi.
"Arum ikut Mas Kavi saja, mungkin lebih baik kami mandiri sekarang." Arumi menjawab dengan hati-hati seolah jika dia salah berkata Kavi akan siap menerkamnya.
Kavi terlihat puas dengan jawaban Arumi, setidaknya gadis itu tidak membantah perkataannya. Sementara Nina terlihat ragu, dia takut jika Kavi berbuat macam-macam dengan Arumi.
"Ayah mau setiap weekend kalian menginap di rumah. Bunda akhir-akhir ini merasa kesepian dan menurut Ayah ini jalan tengah yang terbaik." Daffa berucap dengan tegas, terlihat tidak mau dibantah oleh Kavi.
Kavi yang tahu tidak akan bisa membantah, mau tidak mau menuruti ucapan Daffa. Sedangkan, Nina diam-diam tersenyum lega, suaminya itu selalu bisa membaca keinginannya.
...----------------...
Setelah sarapan bersama Kavi dan Arumi kembali ke kamar mereka. Siang ini mereka harus check out karena Kavi ingin segera kembali ke apartemennya.
Arumi hanya mengikuti Kavi yang membawanya ke apartemen pria itu. Gadis itu bersuara sedikitpun, dia terlalu takut pada Kavi. Bayangan bagaimana Kavi marah semalam membuat Arumi bergetar takut.
"Kamar lo di sebelah kanan dekat dapur. Ruangan itu kosong, lo bersihkan sendiri!" Kavi menunjuk sebuah pintu berwarna putih begitu mereka sampai di apartemen.
"Iya Mas," jawab Arumi pelan.
"Ingat, kita menikah bukan karena keinginan masing-masing. Jangan ganggu gue dan jangan saling mencampuri urusan masing-masing. Lo harus ingat, pernikahan ini cuma akan bertahan dalam lima bulan!"
Arumi hanya mengangguk pasrah mendengar ucapan Kavi yang semakin membuatnya terluka. Baru menikah sehari, tapi pria itu sudah banyak menorehkan luka untuknya.
"Satu lagi, gue mau di depan orang-orang hubungan kita terlihat baik. Gue nggak mau sampai ada yang tahu bagaimana kacaunya pernikahan ini!" tegas Kavi sekali lagi.
"Iya Mas, Arum mengerti." Arumi menjawab pelan sebelum akhirnya berlalu menuju ruangan yang akan menjadi kamarnya selama menikah dengan Kavi.
Arumi mendesah lirih, rasanya sangat menyakitkan. Dia tidak tahu apa kesalahannya hingga orang-orang membenci dirinya. Kedua orang tua, Tante, Om, dan pada sepupunya terlihat sangat membenci Arumi. Kini bertambah satu orang lagi yang membenci Arumi, yaitu suaminya sendiri.
Bersambung ~~
Arumi menjalani hari-hari seperti biasa. Dia tidak mau terlalu berlarut-larut menyesali apa yang telah terjadi. Sekarang yang menjadi fokus utama Arumi adalah kebahagiaan untuk dirinya sendiri.
Arumi bahkan merasa seolah tidak memiliki suami. Kavi sangat jarang berada di apartemen, pria itu hanya terlihat saat pagi. Arumi berusaha untuk tidak peduli, kewajiban yang bisa dia lakukan hanya membersihkan apartemen dan menyiapkan sarapan. Beruntung Kavi tidak memprotes apapun karena sejujurnya Arumi tidak mau berhadapan dengan pria itu.
Namun, kedamaian Arumi hanya bertahan sebentar karena Kavi mulai menunjukkan taringnya. Pria itu selalu berkata ketus dan menampilkan raut wajah tak suka.
Malam ini Kavi pulang dalam keadaan mabuk, pria itu merancau berbicara banyak hal yang tidak Arumi pahami.
"Arumi, lo tahu ini semua gara-gara lo! Gue lagi berjuang dapetin restu orang tua gue, tapi lo merusak semuanya!" Kavi berteriak marah, menatap Arumi dengan penuh kebenci.
"Maaf Mas," ucap Arumi pelan.
"Sial! Lo benar-benar pengacau! Harusnya lo nolak menikah dengan gue atau jangan-jangan lo sengaja, iya? Lo sengaja mau jebak gue dalam pernikahan ini?"
Arumi menggeleng kuat sembari dengan hati-hati membantu Kavi menuju kamar pria itu.
"Maaf kalau pernikahan ini membuat hidup Mas berantakan, Arum nggak pernah mau menjebak Mas." Ucap Arumi setelah berhasil membantu Kavi tidur di atas ranjang.
"Gue benci lo Arumi! Gue benar-benar benci lo, pengacau!" rancau Kavi lagi.
"Benar Mas, benci aku sepuas hati Mas. Sampai kapanpun aku cuma terlahir cuma untuk dibenci. Si pengacau dan si pembawa sial ini memang pantas untuk dibenci."
Arumi berbalik pergi menuju kamarnya. Dia tidak sanggup menahan sesak di dadanya. Di dalam kamar Arumi hanya mampu menangis seorang diri.
"Ya Allah, kenapa takdir begitu kejam pada Arumi?" Arumi memukul dadanya berusaha meredakan rasa sakit di hatinya.
Arumi tidak pernah meminta ini semua terjadi, dia tidak pernah memaksa agar pernikahan tetap berlangsung tidak peduli siapa mempelai prianya. Namun, kenapa Kavi berkata seolah-olah ini semua karena Arumi?
Jika bisa memilih tentu saja Arumi memilih untuk menanggung malu karena ditinggalkan di hari pernikahan. Sayangnya, Arumi tidak pernah bisa memilih karena pada kenyataannya dia hanya bisa melakukan apa yang diperintahkan.
Sejak awal Arumi hanya pion yang digerakkan oleh orang-orang sesuka hati mereka. Arumi dipaksa menikah dengan pria lain yang sangat membencinya. Dia tidak pernah diberi pilihan karena nyatanya hidup yang dia jalani selalu diatur Mayang.
"Ya Allah, rasanya sangat menyakitkan." Arumi menghapus air matanya yang sejak tadi tidak berhenti mengalir.
Arumi selalu berusaha tegar meski hatinya rapuh. Dia selalu terbiasa dengan rasa sakit, seolah hatinya telah mati rasa.
...----------------...
Kejadian semalam tidak diingat oleh Kavi. Pria itu tepat bersikap biasa dan selalu menatap Arumi dengan penuh kebencian.
Sore ini mereka harus menginap di rumah orang tua Kavi. Sesuatu yang membuat Kavi ribut seharian dan selalu menyalahkan Arumi atas segala hal.
"Gara-gara lo weekend gue jadi berantakan! Seharusnya setiap weekend gue senang-senang sama cewek gue dan sekarang gue harus menderiya sama lo!"
Kavi terus mengoceh, meluapkan rasa marahnya pada Arumi yang hanya bisa pasrah menerima. Arumi tentu tidak akan berani melawan ucapan pedas dari Kavi.
"Gue cuma ngantar lo doang, kalau Bunda nanya bilang kerjaan di kantor lagi banyak!" ucap Kavi ketus.
"Iya Mas," Arumi hanya mampu mengiyakan agar pembicaraan ini tidak panjang.
"Satu lagi, di kamar gue ada sofa yang bisa lo pake buat tidur. Lo tidur di sofa karena gue nggak mau tidur satu ranjang sama lo!"
Sekali lagi Arumi hanya mampu menuruti keinginan Kavi. Diberi sofapun menuruti Arumi sudah jauh lebih baik daripada dia harus tidur seranjang dengan Kavi. Bisa saja saat dia tertidur nyenyak Kavi menyalurkan amarahnya dengan mencekik dia.
Arumi mengelus dada, berusaha menyabarkan hati menghadapi Kavi yang selalu marah padanya. Arumi terbiasa menerima kebencian, bahkan orang tuanyapun selalu memperlakukannya seperti seorang musuh yang harus dijauhi.
Usai mengantar Arumi dan berpamitan pada orang tuanya Kavi segera pergi. Pria itu sedang mengurus sesuatu yang menurutnya sangat penting.
...----------------...
Kedatangan Arumi tentu saja disambut baik oleh Nina. Wanita parah baya itu bahkan tidak sabar menunggu Arumi.
"Arum gimana kabarnya?" tanya Nina dengan hangat.
Mereka saat ini berada di ruang keluarga, duduk berbincang santai. Hal yang sejak dulu sering dilakukan oleh Arumi saat masih berpacaran dengan Aziel.
"Alhamdulillah baik, Bunda. Bagaimana kabar Bunda sama Ayah?" tanya balik Arumi disertai senyum manisnya.
"Alhamdulillah kami baik. Bunda bersyukur kalau keadaan kamu baik. Jujur saja Bunda khawatir sama kamu mengingat pernikahan yang kamu jalani bukan seperti impian kamu."
Nina menunduk lesu, hatinya merasa bersalah karena ulah Aziel yang membuat Arumi terpaksa menikahi Kavi yang bahkan sudah memiliki kekasih. Namun, ada satu hal yang disyukuri oleh Nina karena tanpa membuang waktu dia bisa menyingkirkan Cindy --kekasih Kavi-- dengan mudah.
"Bunda jangan khawatir ya, selama Arumi dan Mas Kavi menjalani dengan ikhlas rumah tangga kami pasti baik-baik saja."
Arumi diam-diam tersenyum kecut karena pada kenyataannya Kavi tidak akan dengan ikhlas menjalani pernikahan ini. Di sini hanya Arumi yang berusaha untuk ikhlas menerima takdir.
"Inilah yang buat Bunda ingin kamu jadi menanti Bunda, hati kamu bersih Nak. Kamu terlalu berharga dan hanya orang tertentu yang bisa melihat ketulusan hati kamu."
Arumi hampir menitikan air mata mendengar ucapan hangat dari Nina. Mayang yang merupakan Ibu kandungnya saja tidak pernah berbicara sehangat ini. Mayang selalu menatap dengan benci, wanita itu selalu menganggap Arumi pembawa sial untuknya dan sang suami.
"Arum jangan mikirkan orang yang membenci Arum, cukup pikirkan orang-orang yang menyayangi Aduk seperti Bunda dan Ayah." Nina kembali berkata dengan lembut.
"Iya Bunda, sekarang Arumi hanya ingin memikirkan hal positif saja. Arum cuma mau bahagia tanpa memikirkan orang-orang yang membenci Arum."
Nina tersenyum hangat, senyum yang sejak dulu ingin Arumi lihat dari wajah Mayang. Sayangnya, keinginan sederhana itu tidak pernah bisa menjadi nyata. Bukan senyum hangat yang bisa ditampilkan Mayang untuknya, melainkan wajah datar yang terkesan tidak peduli.
Sampai detik ini Arumi bertanya-tanya, apa kesalahan yang dia lakukan hingga Mayang terlihat sangat membencinya. Bukankah seorang Ibu selalu menyayangi anaknya dengan penuh cinta?
Jika Mayang terlihat membenci Arumi, maka Surya selalu bersikap tidak peduli. Sosok yang seharusnya menjadi pelindung itu hanya bisa memberikan punggung dingin bukan dekapan hangat seorang Ayah.
Bersambung ~~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!