"Kamu di pecat!"
"Di pecat, Pak? Tapi, apa salah saya? Bukankah selama ini saya-"
"Ini gajimu bulan ini. Jumlahnya lebih dari kesepakatan awal. Anggap saja itu kompensasi karena selama menjadi supir nyonya, kau bekerja dengan baik!"
Otis tidak bisa menerima pesangon yang diberikan pria di depannya begitu saja. Walau jumlahnya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selama satu bulan. Tapi, tetap saja rasanya tidak tenang jika harus di pecat tanpa sebab seperti ini. Otis merasa selama ini dia bekerja sesuai prosedur yang ditetapkan. Bersikap sopan dan ramah. Lalu, dimana kesalahannya?
"Saya ingin bertemu dengan Nyonya. Saya harus tahu kenapa saya di pecat!" protes Otis lagi.
"Yang memintaku untuk memecatmu bukan Nyonya, Otis. Tapi, Tuan." Pria berkemeja biru itu memijat dahinya dengan lembut. "Sudah aku bilang sejak awal. Bekerjalah dengan baik. Gunakan masker atau apapun itu bila perlu. Jangan perlihatkan wajahmu yang tampan itu di depan Nyonya!" jelas pria itu.
"Jadi saya di pecat karena saya tampan, Pak?" Walau sedikit kaget, tapi ada sedikit rasa bangga di hati Otis. "Nyonya suka sama saya? Lalu, Tuan marah dan cemburu?" Perjelas Otis lagi. Padahal sebenarnya hal itu tidak perlu diucapkan.
"Aku akan membantumu mencari pekerjaan lagi. Sekarang, pergilah. Kau bisa pulang ke rumah kontrakanmu. Sambil menunggu kabar dariku, kau bisa mencari pekerjaan lain."
Otis meraba dagunya dan memandang wajahnya sendiri yang terpantul di kaca meja. Pria itu merasa kalau wajahnya biasa saja. Tidak ada yang spesial. Bagaimana bisa wanita berkelas dan cantik seperti nyonyanya sampai tertarik?
"Otis, pergi sekarang juga. Sebelum Tuan dan Nyonya pulang dari luar negeri!" ujar pria di depan memperingati.
"Baik, Pak." Otis mengambil amplop cokelat itu dan menghitung isi di dalamnya. Ia memasukkannya ke dalam tas selempang berwarna hitam yang kini ia kenakan. "Terima kasih, Pak. Berkat bantuan anda, selama dua bulan ini saya bisa mendapatkan penghasilan."
"Baiklah, Otis. Hati-hati di jalan," ucap pria itu dengan senyuman. Ia memandang punggung Otis sampai pria itu menghilang di balik pintu.
"Otis Otis. Punya wajah jelek ya salah. Wajah tampan ya salah. Memang orang miskin seperti kita ini, hidupnya selalu serba salah."
Sebenarnya dia tidak tega melihat Otis menjadi pengangguran lagi. Pria itu berasal dari kampung. Tidak sekolah tinggi dan tidak memiliki keterampilan selain mengemudikan mobil. Hanya wajah tampannya saja yang bisa di andalkan. Di jaman sekarang, wajah tampan saja tidak bisa mendapatkan pekerjaan dengan gaji halal yang berjumlah besar.
Otis memperhatikan rumah mewah yang menjadi tempat kerjanya selama dua bulan terakhir. Sebenarnya dia masih betah tinggal di rumah itu. Selain pekerja di sana ramah-ramah, Otis juga selalu mendapatkan perlakuan istimewa dari nyonyanya.
"Sekarang aku harus ke mana? Tidak mungkin balik ke kampung. Ke kontrakan juga gak mungkin. Aku sudah nunggak selama dua bulan." Kali ini Otis berpikir keras. Dia butuh pekerjaan baru sebelum yang berjumlah lima juta rupiah itu habis. Sambil berjalan pelan Otis teringat akan sesuatu.
"Pak Rahmad! Ya. Semalam Pak Rahmat sempat menawariku pekerjaan untuk jadi supir." Otis mengambil ponselnya dari saku. Pria itu duduk di trotoar sembari mencari nomor Pak Rahmad yang sempat dia simpan.
"Halo, Pak. Selamat pagi. Bagaimana kabar anda hati ini?"
"Siapa ini?" ketus pria di kejauhan sana.
"Ini saya Pak. Otis."
"Oh, Otis. Ada apa?"
"Pak, saya tertarik dengan pekerjaan yang anda tawarkan kemarin. Dimana kita bisa bertemu?"
"Kebetulan sekali. Nyonya butuh supir untuk mengantarkannya ke pesta nanti malam. Aku akan kirimkan alamatnya. Cepat datang. Karena jika kau tidak datang dalam satu jam, pekerjaan ini akan aku serahkan kepada orang lain."
"Baik pak baik. Saya akan segera ke sana." Otis terlihat gembira. Dia memutuskan panggilan telepon itu dan segera memesan gojek. Walau sempat bingung, akhirnya di bisa mendapatkan pekerjaan baru. "Aku harus di terima. Aku sangat butuh pekerjaan ini. Soal gaji aku tidak peduli lagi. Yang penting kerja!" gumam Otis dengan penuh semangat.
...***...
"Ini kunci mobilnya. Ini pakaianmu. Ini kunci kamar. Sisanya tanyakan langsung sama Tika. Dia akan membantumu selama tinggal di rumah ini. Kamarmu ada di ujung. Kau bisa dengan mudah mencarinya. Semoga Nyonya suka denganmu," ucap Pak Rahmad sembari memeriksa laporan di laptopnya.
"Suka, Pak?" tanya Otis bingung.
"Maksudku dia cocok. Nyonya sangat sudah orangnya. Sebelum kau, sudah ada beberapa supir yang terpaksa di pecat karena Nyonya tidak menyukainya."
Otis membisu. "Ternyata tidak beda jauh dengan majikan sebelumnya," gumamnya di dalam hati. "Pak, ada yang ingin saya tanyakan."
"Apa Otis? Katakan saja. Jangan canggung seperti itu. Bukankah kita tetangga?"
"Selama bekerja, apa aku boleh pakai topi dan masker? Aku merasa nyaman jika menutupi wajahku, Pak."
Pak Rahmad terlihat kurang setuju. Dia takut Nyonya berpikir kalau supir pilihnya cacat. "Untuk hal ini aku akan tanyakan Nyonya dulu. Jika dia memberi ijin, kau bisa menutup wajahmu dengan masker dan menggunakan topi."
"Terima kasih, Pak."
"Kenapa harus kau harus menutup wajahmu dengan masker? Bukankah wajahmu sangat tampan?"
Otis menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Saya hanya tidak mau di pecat lagi karena tampan, Pak. Nyonya saya yang sebelumnya jatuh cinta pada saya. Saya tidak mau sampai hal itu terjadi pada Nyonya yang sekarang."
Pak Rahmad tertawa geli mendengarnya. Dia sampai menggeleng kepalanya. "Otis Otis. Kau ini percaya diri sekali. Nyonya memiliki suami yang tampan dan kaya. Banyak sekali pria kaya yang mengejarnya. Tetapi dia tidak mau meresponnya. Dia setia pada suaminya. Supir sepertimu tidak akan mungkin di pandang olehnya," jelas Pak Rahmad sambil tertawa lagi.
"Maafkan saya, Pak. Mungkin memang saya terlalu percaya diri."
"Ya sudah. Cepat istirahat sana."
"Baik, Pak." Otis mengambil barang-barang yang ada di meja dan membawanya keluar dari ruangan tersebut. Dia berdiri di depan sana sambil memandang ke kanan dan ke kiri. Lorong itu sunyi. Lorong di sebelah kanan adalah pintu menuju ke rumah utama. Sedangkan lorong sebelah kiri adalah jalan tempat kamar Otis berada. Sedangkan di depannya adalah jalan yang akan menghubungkannya langsung dengan garasi mobil. Otis tidak memiliki akses bebas untuk melihat kemewahan yang ada di dalam rumah. Bangunan itu memang di desain agar lokasi para pekerja dengan pemilik rumah di pisahkan.
"Apa kau yang bernama Otis?"
Otis memandang ke depan. Pria itu mengangguk setuju. "Apa kau Tika?"
"Ya. Ayo akan aku antarkan ke kamarmu. Aku masih memiliki banyak pekerjaan di dapur. Pak Rahmad memintaku untuk mengantarkanmu ke kamar."
Otis tersenyum. "Terima kasih, Tika." Tanpa banyak bicara lagi, Otis segera mengikuti Tika dari belakang. Sambil berjalan pria itu memperhatikan lorong yang sekarang dia lewati. "Sepertinya majikanku kali ini kekayaannya tiga kali lipat dari majikanku sebelumnya," gumam Otis di dalam hati.
Otis tidak sempat tidur siang karena Tika mengetuk pintu kamarnya dan memintanya untuk menemui sang pemilik rumah di ruang kerja. Otis yang tidak tahu dimana letak ruang kerja sang majikan meminta tolong Tika untuk mengantarkannya. Ini menjadi pertama kalinya Otis menginjakkan kaki di rumah utama.
"Apa yang kau pikirkan pertama kali masuk ke rumah ini, Otis?" Tika memandang Otis sekilas sebelum ke depan lagi.
"Mewah dan modern. Pemiliknya memiliki selera yang tinggi."
"Ya. Kau benar. Nyonya sangat modern. Dia selalu memberi prabot model terbaru walau prabot lama masih bagus." Tika menghela napas pelan. "Berbeda dengan Tuan. Dia hanya tahu kerja dan kerja. Tidak pernah peduli dengan kondisi rumah. Berapa banyakpun uang yang dikeluarkan Nyonya, Tuan tidak akan marah. Enak ya Otis jadi orang kaya."
Otis tersenyum tipis. "Jangan suka menghayal tinggi-tinggi nanti Ketika tersadar dan jatuh rasanya sakit loh," ledek Otis.
"Kau ini bisa saja." Tika tersenyum. Dia menahan langkah kakinya dan memandang ruangan yang terletak beberapa meter dari posisi mereka berdiri. "Di sana. Pintu warna cokelat. Ketuk saja pintunya lalu sebutkan namamu."
"Baiklah." Otis segera melangkah. Dia meninggal Tika yang masih berdiri di sana.
Otis memperhatikan ke kanan dan ke kiri ketika berjalan menuju ruangan itu. "Aku akan tersesat jika sendirian di rumah ini," gumamnya di dalam hati.
Otis mengangkat satu tangannya ragu-ragu. Ini pertama kalinya jantungnya berdebar tidak karuan ketika ingin bertemu dengan majikan barunya. Entah seperti apa sifat pria kaya raya yang menjadi pemilik rumah mewah dan besar itu. Otis takut. Dia takut tidak masuk kriteria lalu di tolak menjadi supir.
Belum sempat tangannya menyentuh pintu berwarna cokelat itu, tiba-tiba pintu sudah terbuka lebih dulu. Seorang wanita cantik bak bidadari muncul di hadapan Otis. Sejenak pria itu berpikir kalau dia sedang bermimpi. Bagaimana mungkin wanita secantik itu ada di dunia ini. Seperti apa wanita yang sudah melahirkannya.
"Kau yang bernama Otis?"
Suara bariton seorang pria membuat Otis tersadar. Pria yang baru saja mengeluarkan kata itu berdiri di belakang wanita tersebut. Wanita itu tidak tertarik memandang Otis. Dia segera pergi meninggalkan suaminya yang masih berdiri di sana.
"Ya, Tuan. Saya Otis." Otis menunduk untuk memalingkan pandangannya.
"Masuklah." Pria berusia sekitar 45 tahun itu meminta Otis untuk segera masuk. Kesan pertama yang dia dapat adalah ramah. Ya, walau sangat kaya tetapi pria itu masih mau menghormati orang miskin seperti Otis.
"Duduklah." Pria itu lebih dulu duduk di sofa beludru warna hitam.
Otis yang merasa segan justru memilih duduk di kursi kayu yang juga tersedia di sana.
"Mulai nanti malam dan seterusnya kau akan menjadi sopir pribadi istriku. Sebelum kau bekerja, ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan. Kau tidak boleh melanggar aturan yang sudah kubuat. Jika sampai kau langgar, maka kau harus bersedia untuk keluar dari rumah ini. Aku selalu menghargai orang yang bekerja di bawahku. Tetapi aku tidak akan pernah memaafkan orang yang sudah melanggar perintahku."
"Baik, Tuan." Otis menelan salivanya sendiri untuk membasahi tenggorokannya yang tiba-tiba saja kering. Pria di hadapannya memang terkesan baik tapi perkataan yang keluar dari bibirnya seperti sebuah ancaman. Belum juga bekerja, Otis sudah merasa ketakutan.
"Kau tidak boleh bicara dengan istriku. Apapun yang dia tanya jangan pernah menjawabnya. Kedua Kau tidak diperbolehkan untuk memandang istriku seperti tadi. Yang tadi aku masih bisa memberikan maaf padamu. Tiap kali bertemu dengan istriku menunduklah seperti sekarang. Terakhir. Kau harus sadar kalau kau bekerja di bawahku. Aku yang akan menggajimu. Jadi, kau harus ada di pihakku."
Untuk peraturan yang pertama dan yang kedua Otis paham. Tuannya pasti cemburu. Tidak ada pria di dunia ini yang rela istrinya dipandang oleh pria lain. Apa lagi istrinya cantik seperti bidadari.
Namun untuk aturan terakhir Otis sangat tidak paham sebenarnya apa maksudnya mengatakan hal seperti itu. Sebagai bawahan dia pasti akan lebih memihak tuannya daripada orang lain. Otis berpikir kalau semua orang yang bekerja pasti memiliki pikiran yang sama dengannya.
"Jika kau sudah paham kau boleh keluar. Bukankah kau juga harus banyak istirahat karena nanti malam kau harus mengantar istriku pergi."
"Baik, Tuan."
"Satu lagi. Selalu bawa ponsel yang sudah disediakan untukmu. Itu akan menjadi alat komunikasi kita berdua."
"Baik, Tuan."
"Pergilah," usir pria itu sambil mengibaskan tangannya.
"Permisi, Tuan." Otis segera pergi meninggalkan ruangan itu. Walau ruangan kerja itu terlihat sangat mewah dan canggih, tetapi Otis tidak nyaman berada di dalamnya. Pria itu seperti berada di dalam ruangan eksekusi. Bernapas saja dia takut.
Otis lagi-lagi bertemu dengan Tika yang saat itu sedang membersihkan guci guci raksasa yang menjadi pajangan rumah. Wanita itu melempar senyum ke arah Otis sebelum lanjut bekerja.
Otis tidak mau mengganggu rekannya ketika sedang bekerja. Pria itu segera pergi menuju ke jalan yang pertama kali dia lewati.
"Berhenti!" teriak Tika hingga membuat Otis terpaksa berhenti. Pria itu berputar dan melihat Tika yang kini berlari menuju ke arahnya. "Otis, ini nomorku. Nanti kirimkan pesan singkat agar aku bisa tahu berapa nomormu. Oke?" tanpa menunggu persetujuan dari Otis, Tika memberikan secarik kertas di genggaman Otis lalu wanita itu lanjut bekerja lagi. Otis hanya tersenyum kecil melihat tingkah laku Tika. Bisa dibilang ini bukan pertama kalinya wanita tertarik dengannya. Biasanya Otis akan segera membuang kertas itu dan mengabaikannya. Tetapi Tika berbeda. Wanita itu terlihat sopan dan tulus membantunya. Otis tidak mau sampai melukai perasaan rekan satu perjuangannya itu. Pria itu segera memasukkan kertas tersebut ke dalam saku dan melanjutkan langkah kakinya. Tubuhnya terasa sangat lelah dan Ia memang sangat butuh istirahat saat ini.
Belum sampai di pintu masuk ke rumah tersebut Otis dikagetkan dengan kemunculan wanita cantik yang baru saja ia temui beberapa saat yang lalu. Pria itu langsung segera menundukkan kepalanya karena ia ingat dengan pesan majikannya di ruang kerja tadi.
"Nanti malam aku ingin pakai mobil yang putih. Pastikan mobilnya aman," ucap wanita yang tidak diketahui Otis siapa namanya itu. Ya, memang sampai detik ini Otis belum tahu siapa nama wanita yang menjadi nyonyanya dan siapa nama pria yang menjadi Tuannya.
Otis seperti kebingungan. Sekarang dia tidak tahu harus jawab atau tidak. Posisinya serba salah.
"Aku tahu pasti suamiku yang sudah melarangmu bicara. It's oke. Aku paham. Diam saja sesukamu. Aku juga tidak akan menjadikanmu rekanku. Tetapi kau juga harus ingat kalau aku adalah majikanmu. Kau harus ingat siapa nama nyonyamu. Yolanda! Panggil aku Nyonya Yolanda!"
Otis tidak bisa memejamkan matanya. Bayangan wajah cantik Nyonya Yolanda membuatnya kepikiran. Bagaimana mungkin dia tidak bicara dengan wanita ketika sedang bekerja. Dia memang seorang supir. Tapi banyak sedikitnya dia pasti akan berbicara dan bertanya. Entah itu sekedar bertanya Nyonya nya mau pulang atau tidak.
Otis kini dilema. Aturan ini memang terdengar sepele. Tetapi dia merasa keberatan. Tidak mungkin juga kan wanita secantik Nyonya Yolanda naksir kepadanya. Bisa di akui Otis, walau sudah berusia 35 tahun tetapi Nyonya Yolanda masih terlihat seperti gadis 19 tahun. Cantik dan kulitnya terlihat sangat kencang.
Suara ketukan pintu membuat Otis segera beranjak. Dia mengambil kaos yang tergeletak di lantai lalu memakainya. Sesegera mungkin dia membuka pintu kamar tersebut.
"Otis, maaf sudah mengganggu," ucap Pak Rahmad.
"Ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan. Apa aku boleh masuk?"
Otis tersentak kaget. "Silahkan Pak. Silahkan." Pria itu segera memberi jalan untuk Pak Rahmad masuk ke dalam kamarnya.
"Tidak akan lama. Apa kau baru saja bangun tidur?" Pak Rahmad melirik tempat tidur yang sudah berantakan.
"Ya, Pak," jawab Otis asal saja.
"Begini Otis. Tadi aku bertemu dengan Tuan Abraham dan aku menyampaikannya keinginanmu untuk bekerja sambil memakai masker dan topi. Dia sangat setuju. Dia juga tidak mau Nyonya Yolanda memperhatikan wajahmu ketika bekerja. Tetapi, ada satu hal yang diucapkan Tuan Abraham hingga membuatku bingung. Sebelumnya dia tidak pernah seperti ini."
"Ada apa, Pak? Apa ada masalah?"
"Tuan memintamu untuk tidak bicara dengan Nyonya. Aku sendiri juga tidak tahu apa tujuannya. Sebelum dia tidak pernah memberlakukan peraturan aneh seperti ini."
"Mungkin dia cemburu, Pak. Dia tidak mau aku-"
"Pria yang ada di sekeliling Nyonya Yolanda jauh lebih tampan dan jauh lebih sukses darimu. Seperti yang pernah aku bilang, Nyonya Yolanda tidak mungkin tertarik padamu. Apa lagi sampai jatuh cinta. Peraturan ini akan menyulitkan dirimu sendiri."
Otis menggeleng. "Saya tidak merasa keberatan. Saya bisa menyampaikan sesuatu yang ingin saya katakan dengan menggunakan kertas."
"Bagus kalau kau merasa tidak di repotkan. Aku tidak mau sampai kau tidak siap dan memutuskan untuk menolak pekerjaan ini. Waktunya sudah dekat. Aku tidak akan mungkin memiliki waktu untuk mencari penggantimu."
Otis tersenyum. "Ya, pak. Anda tidak perlu mengkhawatirkan saya. Saya berjanji tidak akan merepotkan Anda selama saya bekerja di sini."
"Terima kasih Otis kau benar-benar anak yang baik. Aku harus pergi. Sebelum jam 07.00 kau harus sudah stand by di mobil. Pastikan semuanya lengkap dan tidak ada yang kurang. Kau harus meletakkan mobil di depan pintu keluar. Jika kau tidak tahu ke mana arah jalannya kau bisa bertanya sama sopir yang ada di sana."
"Baik, Pak. Terima kasih."
Pak Rahmad beranjak dan menepuk pundak Otis. "Kapan lagi kau bisa memiliki pekerjaan dengan gaji yang besar. Pekerjaan ini tidak terlalu sulit. Kau hanya perlu menguasai jalan dan tempat-tempat yang biasa dikunjungi oleh Nyonya Yolanda. Selebihnya kau bisa istirahat di kamar ini. Jika Nyonya Yolanda memutuskan untuk pergi ke luar negeri, bisa di bilang ku hanya akan memakan gaji buta. Nyonya Yolanda biasanya akan pergi ke luar negeri selama satu bulan penuh. Jika sudah memutuskan untuk pergi, maka dia tidak akan tanggung-tanggung untuk liburan."
Otis hanya mengangguk saja. "Oke, baiklah. Aku akan terlambat jika terus-menerus bicara seperti ini," ujar Pak Rahmad sambil tertawa. Otis juga ikut tertawa. Pria itu mengantarkan Pak Rahmad sampai ke depan pintu. Setelah pria itu pergi, Otis segera menutup pintu dan menguncinya dari dalam.
"Kali ini aku harus bisa tidur. Sebentar lagi sudah sore," gumam Otis di dalam hati.
***
Jam sudah menunjukkan pukul 07.30. Sudah setengah jam Otis berdiri di samping mobil. Pria itu mengenakan baju dan celana berwarna hitam yang menjadi setelannya selama bekerja menjadi supir. Pakaian berwarna hitam justru membuat Otis terlihat sangat gagah dan tampan. Di tambah lagi masker dan topi hitam yang dikenakan Otis membuat dirinya tidak terlalu seperti seorang supir.
Pintu utama terbuka lebar. Nyonya Yolanda telah keluar dengan gaun indah yang melekat ditubuhnya. Gaun berwarna gold dengan taburan Muria itu melekat sempurna di tubuh Nyonya Yolanda yang seperti gitar spanyol. Otis tidak berani mengangkat kepalanya. Dia segera menunduk agar tidak melanggar aturan yang sudah ada.
Nyonya Yolanda berdiri di samping mobil sedangkan Otis masih menunduk di balik pintu yang menghubungkannya ke jok supir.
"Tugas seorang sopir adalah membukakan pintu ketika majikannya ingin masuk!"
Mendengar sindiran Nyonya Yolanda membuat Otis segera berlari menuju ke samping mobil. Pria itu segera membukakan mobil agar Nyonya Yolanda bisa masuk ke dalam.
Setelah nyonya Yolanda masuk ke dalam mobil, Otis segera menutup pintu itu kembali. Sebelum masuk ke dalam mobil dia melihat Tika yang berdiri di depan pintu. Wanita itu tersenyum kepadanya sebelum masuk ke dalam.
"Sebenarnya tugas dia apa. Kenapa seharian penuh dia terlihat berkeliaran di dalam rumah," gumam Otis di dalam hati.
Otis melirik Nyonya Yolanda melalui spion hanya untuk memastikan Nyonyanya telah siap berangkat. Tidak ada yang ketinggalan lagi. Namun, dia juga tidak bisa bertanya. Pria itu mengambil notes kecil yang sudah ia siapkan karena ingin menulis sesuatu.
"Berangkat saja! Tidak ada yang ketinggalan!" perintah Nyonya Yolanda. Hal itu membuat Otis mengeryitkan dahi. Dia tidak menyangka kalau majikannya bisa tahu apa yang dia pikirkan. Tanpa menunggu lama, Otis segera melajukan mobil menuju ke alamat yang telah ditentukan oleh Nyonya Yolanda.
"Otis, apa kau memiliki keluarga?"
Pertanyaan Nyonya Yolanda membuat Otis semakin dilema. Sekarang dia benar-benar tidak tahu harus bagaimana. Pria itu hanya melirik saja melalui spion sebelum memandang ke depan lagi.
"Kau bisa mengedipkan matamu jika jawabannya iya. Jika tidak, kau diam saja."
Isyarat yang diberikan Nyonya Yolanda hanya akan membuat mereka menjadi sering berkomunikasi. Padahal sebenarnya jika menurut aturan, dia tidak diperbolehkan berbicara apa lagi sampai memandang.
Namun, Otis juga tidak mau di anggap sombong. Pria itu memandang ke arah Nyonya Yolanda melalui spion sebelum memandang ke depan. Dia tidak berkedip yang menandakan kalau jawabannya tidak.
Nyonya Yolanda tersebut melihatnya. Wanita itu memandang ke luar jendela dengan senyuman penuh arti.
"Semoga saja Tuan Abraham tidak mengetahui hal ini," gumam Otis di dalam hati.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!