Adzan berkumandang dengan lantang dari berbagai masjid yang ada di sekitar rumahnya.
Cahaya matahari belum nampak sedikitpun, membuat kondisi saat ini masih sangat gelap bak malam hari.
Diiringi dengan ayam jago yang tiap pagi menunjukkan keistimewaannya dalam berkokok dan membangunkan manusia yang ada di dekatnya untuk menghamba kepada-Nya.
Embun dengan rapi berbaris membasahi semua padi hijau yang terhampar di sawah. Tidak lupa, embun yang menapakkan dirinya ke tanah karena akibat terpaan angin subuh membawa suara yang menenangkan.
Suara yang bahkan bisa membuat semua alam, dari pohon yang paling tinggi, hingga rerumputan dan berbagai macam binatang mendayu menyebut nama-Nya.
Tidak lupa, keindahan bulan dan keagungan rasi bintang pun ikut bersujud kepada-Nya.
Suara yang dihasilkan itu seolah-olah mengiringi kehadiran para malaikat untuk menebarkan berkah di muka bumi bagi mereka yang mematuhi-Nya.
Hembusan angin sepoi yang masih terasa dingin menghujam semua sisi-sisi dinding rumahku yang terbuat dari anyaman bambu.
Memasuki semua sela-sela rumahku yang terbuka entah secara terpaksa atau tidak, mengusir udara pengap yang sebelumnya menghuni di dalam rumah dengan cepat.
Bisikan yang terasa berasal dari surga membuatku tenang membuat semua saraf yang ada di dalam tubuhku merasakan kesejukan dari angin yang berhembus.
Aku yang sedang khusyuk melaksanakan shalat subuh dibalut dengan mukena berwarna putih dengan bordiran bunga sakura merasakan semua itu.
Begitu juga dengan kedua adikku, Roni dan Jaka juga merasakan hal yang sama dengan apa yang saat ini kurasakan.
Entah bagaimana proses yang dilewati oleh angin itu sehingga bisa sampai menyentuhku, dan dari mana asal angin itu aku juga tidak tahu.
Yang jelas, saat ini aku berterima kasih kepada Allah karena berkat rezeki yang telah dikirimkan berupa angin ini.
Angin yang membuat energi semangat hidupku bertambah ketika melaksanakan shalat Subuh.
Bahkan, kali ini angin yang sedang meniup mukenaku seperti sedang membawa sebuah ingatan ketika aku masih duduk di bangku SMP.
Kala itu, keluargaku sering menjalankan shalat subuh berjamaah di rumah.
Ayah, ibu, Roni, Jaka, dan aku, Putri Nur Wahidah Millenia.
Nama yang cukup panjang dan nyentrik jika dilihat dari kehidupanku yang tinggal di desa.
Namun, itulah sebuah nama kebanggan yang saat ini sedang kuemban yang diberikan oleh kedua orang tuaku.
Rasa akan harmonis, lekatnya kebersamaan dan sucinya kehangatan, itulah kesan dan memori yang membekas di dalam benakku.
Tidak ada hal lain lagi yang lebih mendominasi dari semua rasa yang telah kusebutkan tadi.
Jika memang ada, pasti aku lebih memilih untuk mengabaikannya.
Namun, semua itu berubah ketika Ayah dan Ibu meninggalkanku dan kedua adikku.
Kecelakaan beberapa tahun yang lalu, begitu teringat dan melekat dengan sempurna dalam kepingan ingatanku.
Sebuah niat baik yang mereka berdua lakukan untuk menghadiri pengajian rutin setiap hari Sabtu di Masjid Raya Malang harus berakhir dengan duka.
Bukannya perasaan yang dulu berubah, namun setelah kejadian yang menimpa Ayah dan Ibu, kerinduan akan kehangatan semakin mendalam di hatiku.
Itulah awal mula aku dan kedua adikku mencoba untuk selalu bertekad agar bisa hidup mandiri.
Berusaha untuk selalu berjuang melawan kerasnya kehidupan yang akan menghadang di depanku.
Meskipun aku masih memiliki saudara, yang berada di luar kota. Tetapi aku tidak ingin terus-menerus menyusahkan mereka.
Pamanku, seorang yang memiliki tiga cabang toko bangunan besar dan terkenal di kota Malang.
Bibiku, adalah seorang yang saat ini diberikan kewajiban untuk menjadi pengontrol kualitas makanan di restoran ternama yang juga letaknya di kota Malang.
Bagiku, saat ini aku mempunyai sebuah kewajiban untuk bisa menghidupi dan memberikan pendidikan yang terbaik bagi kedua adikku, Roni dan Jaka.
Tidak ingin aku biarkan kedua adikku itu untuk mengucap kata keluhan hanya karena aku bermalas-malasan dan tidak bisa mencukupi mereka.
Sudah menjadi kebiasaan yang ditanamkan oleh kedua orang tuaku untuk berdzikir.
Seusai aku menyelesaikan shalatku, aku berdzikir. Entah mengapa, dari sekian banyak amalan yang telah diajarkan kepadaku hingga saat ini.
Amalan yang menjadi favoritku adalah dzikir. Aku pernah teringat ada salah satu hadits Nabi Muhammad Saw: bersabda,
- Perkataan yang sangat disukai dan disenangi oleh Allah ada empat\, yaitu: subhanallah\, alhamdulillah\, laa ilaaha illallah\, dan Allahu akbar. -
Hampir ketika aku berada di waktu luang, aku selalu mencoba untuk menggunakannya dengan membaca al-Qur'an ataupun sekedar berdzikir.
Memainkan tasbih dari kayu berwarna biru muda dengan corak batu karang di dalamnya pemberian ibu dan menyebut kalimat-kalimat Ilahi.
Perasaan yang tenang, kehampaan untuk bebas memikirkan dan memohon sesuatu padanya bisa membuatku merasa tenteram untuk menjalani kehidupan saat ini.
Setelah aku menyelesaikan dzikirku, aku berdoa.
"Ya Allah, Engkau-lah Tuhanku. Segala puji semesta alam hanya ditujukan untuk-Mu. Ya Allah, bukanlah matahari dan bulan yang selalu mencintai langit."
"Aku, hanya seorang hamba bagaikan sebatang pohon yang ada di gurun pasir. Apabila berbuah kesombongan, maka berikanlah aku teguran untuk menjatuhkan buah itu. Amin."
Aku tidak merasakan bahwa ketika aku berdoa, ada air mata yang mencoba untuk keluar dan menjatuhkan dirinya ke atas sajadahku.
Doa sudah selesai aku panjatkan, aku pun membuka mukena dan melipatnya seperti seharusnya.
Kuputuskan untuk segera pergi ke dapur. Namun, sesaat aku keluar dari ruang shalat, tiba-tiba saja Roni datang menghampiriku.
Ia mengatakan bahwa ingin ikut membantu memasak pagi ini.
“Mbak, boleh nggak aku bantu masak?” tanya Roni.
“Bukannya mbak tidak mau dibantu, tapi mendingan kamu belajar saja. Bagaimana? Minggu lalu kamu bilang ke mbak kalo besok ada ujian bahasa Indonesia, kan?”
“Mbak Putri ini mesti, kan aku juga sudah belajar sama Jaka tadi malam sebelum tidur.” jawab Roni dengan ketus.
“Gimana ya..” aku memikirkan dan mempertimbangkan permintaan Rioni.
“Mbak, aku bisa kok.” ucap Roni meyakinkan.
“Iya deh, boleh. Tetapi ada satu syarat dan kamu harus berjanji.”
“Apa syaratnya, mbak?” tanya Roni dengan begitu bersemangat.
“Kamu harus berjanji, kalau nanti nilai hasil ujianmu jelek, kamu tidak usah membantu Mbak lagi. Tapi, kalau nilainya bagus, kamu boleh bantu mbak sepuasmu. Bagaimana?”
“Siap, bos!” sahut Roni.
Aku segera menyuruh Roni untuk membangunkan Jaka juga, agar bisa ikut membantu memasak untuk pagi ini.
Tidak lama, aku juga segera menyusul Roni dan Jaka untuk pergi ke dapur. Roni, dengan hati-hati berusaha menuangkan beras dari karung ke tumbu dengan kaleng bekas yang biasa aku gunakan sebelumnya.
Sedangkan aku, memutuskan untuk mengambil pisau dan alas kayu. Memotong tempe dan tahu dengan cepat dan sepresisi mungkin agar pembeli tidak merasa dirugikan.
Setelah aku menyelesaikan urusanku dengan tempe dan tahu, aku beranjak ke pekerjaan yang lainnya.
Kini, giliran urusanku dengan bawang yang harus diselesaikan secepat mungkin dan memasukkan bawang putih yang telah terkupas itu ke dalam cobek.
Didampingi dengan garam yang sudah menunggu gilirannya untuk ikut andil dalam masak-memasak ini, aku ulek mereka berdua hingga halus.
Tidak lama dan kurasa kini garam dan bawang putih sudah berdamai menjadi satu bumbu halus.
Aku pun memasukkan mereka berdua ke dalam baskom, lalu kutambahkan sedikit air dan mengaduknya secara merata.
Kesibukanku di dalam ruangan kecil yang penuh dengan berbagai perabotan untuk memasak tidak berakhir begitu saja.
Kali ini, tungku yang padam dari tadi kupaksa untuk menyala dan mendukung apa yang tengah aku lakukan.
Terlihat asap mulai mengepul ke atas rumah melalui celah-celah genteng dan beberapa ada yang memilih jalur lain menyelinap melalui dinding yang terbuat dari anyaman bambu.
Aku menunggu cukup lama kali ini, dzikir kuucapkan dalam hati dengan mengharap makanan yang sedang dibuat kali ini dipenuhi dengan berkah dan bermanfaat bagi orang yang akan memakannya.
Bara api sudah menyala, aku kemudian meletakkan wajan yang berisi minyak goreng di atas tungku yang siap bekerja sama untuk memanaskan apa yang ada di atasnya.
Sembari menunggu minyak goreng memanas, aku mencoba untuk meregangkan seluruh ototku, karena aku tidak ingin lagi mengalami kram otot hanya karena terlalu sering mengangkat beban.
Tak lama kemudian, Jaka datang ke dapur untuk menghampiriku.
“Mbak, Jaka saja yang goreng tahu sama tempenya, karena Jaka nggak bisa masak nasi.”
Melihat kedua adikku yang tengah bersemangat, aku membalas ucapannya dengan tersenyum mengisyaratkan bahwa tugasku kali ini boleh digantikan oleh dirinya.
Tidak ingin membuang waktu, sembari Jaka menggoreng, aku memutuskan untuk menanak nasi saja.
Aku mencari Roni untuk meminta beras yang sudah ia cuci dan segera memasukkannya ke dalam panci dengan didampingi santan yang baru saja mendidih.
Beberapa saat setelah memasukkan nasi itu, aku merasa ada yang janggal karena tidak seperti biasanya aku menanak nasi.
Baru kusadari ternyata aku lupa untuk menambahkan beberapa bumbu penyedap tambahan. Sedikit merica dan potongan daun salam serta beberapa siung bawang putih akhirnya aku ikut sertakan dalam rombongan santan mendidih itu.
Panci yang mengerak, akan sangat susah untuk dibersihkan. Aku tidak mau lagi menghabiskan sisa energiku dalam satu hari hanya untuk membersihkan panci.
Maka dari itu, setiap aku menanak nasi, akan kujaga dan terus kuaduk adonan nasi tersebut.
Keringat bercucuran membasahi dahiku, sang surya juga sudah mulai menampakkan kegagahannya.
Tidak bisa aku menyuruh waktu untuk berputar kembali agar bisa mendapatkan lebih banyak ruang untuk bersantai meskipun hanya sebatas duduk diam di dalam dapur.
Aku baru sadar, bahwa hanya memasak seperti ini ternyata membutuhkan waktu yang cukup lama.
Santan juga ternyata memerlukan waktu untuk bisa memahami dan meresap.
Kuputuskan untuk menyiapkan dandang untuk menanak nasi. Hingga sekiranya santan sudah meresap ke dalam beras, lalu kupindahkan ke dalam dandang yang sudah siap. Selain itu, aku juga tidak lupa untuk menyiapkan sambal.
Sesekali, aku memejamkan mataku karena menahan rasa pedih dari sambal yang kubuat sendiri.
Ketika aku masih sibuk mengulek sambal, sepintas terlihat Jaka yang sedang fokus menggoreng tempe dan tahu yang sebelumnya sudah aku siapkan.
Begitu hati-hati anak itu ketika membalikkan tahu dan tempe satu-persatu di atas penggorengan.
“Jaka, jangan lupa ya..” teriakku.
“Jangan lupa apa, mbak?” tanya Jaka juga dengan berteriak.
“Dada ayamnya juga digoreng.”
“Disini nggak ada dada ayam.” sahut Jaka.
Aku lupa jika masih belum mengeluarkan dada ayam dari lemari pendingin. Sontak aku menghentikan sejenak keasikan ku dalam mengulek sambal, juga sekalian mengistirahatkan mataku untuk beberapa saat.
Kulkas yang berada di ruang tengah, tidak bisa berfungsi dengan normal. Sejak kepergian Ayah, tidak ada lagi orang di rumah ini yang bisa memperbaiki kulkas tua itu.
Pintu kulkas yang dipenuhi dengan magnet berbentuk buah-buahan dan beberapa stiker yang didapatkan oleh kedua adiknya ketika membeli snack menjadi penanda sudah berapa lama kulkas itu setia pada keluargaku.
Semua barang yang harus didinginkan, harus masuk ke dalam bagian freezer. Karena bagian utama kulkas sudah tidak lagi menghasilkan hawa dingin lagi.
Kulihat disana ada sebuah kresek berwarna biru yang membungkus dada ayam itu, untung saja dada ayamnya sudah selesai kupotong sehingga tidak lagi menghabiskan waktu menguleknya.
“Jaka, sini.”
Adikku yang mendengar aku memanggilnya segera berlari menuju ruang tengah dengan membawa spatula di tangan kirinya.
Aku menyerahkan bungkusan dada ayam itu kepada dirinya dan menyerahkan semua urusan penggorengan pada Jaka dan Roni.
“Jangan sampai terlalu gosong ya.” ucapku memperingatkan Jaka yang pernah sekali ia tertidur ketika sedang menggoreng ikan bandeng sebagai lauk favoritnya.
“Aman, bos!” sahut Jaka sembari mengambil bungkusan itu dan kembali menuju pos tugasnya.
Urusanku dengan sambal pun aku lanjutkan hingga selesai. Sekarang, tinggal mengecek apakah nasinya belum matang.
Aku buka tutup dandang yang sudah penyok dan tidak mengkilap lagi itu. Seketika uap menyambutku dengan begitu pekat mengepul ke atas, tetesan air karena penguapan juga menetes dari sisi dalam tutup dandang.
Centong kayu yang biasa digunakan Ibu untuk bercanda dengan anak-anaknya kini sudah hilang ketika banjir menerpa desaku.
Saat ini, aku sudah memiliki penggantinya berupa centong plastik berwarna ungu yang pernah diperdebatkan oleh kedua adikku denganku hanya karena permasalahan warna yang tidak mereka sukai.
Debat kala itu kumenangkan dengan perkataanku, karena jika tidak segera ada centong ini, mereka tidak akan bisa menanak nasi dan makan setiap hari.
Meskipun akhirnya kedua adikku menerima, namun wajah yang cemberut membuatku tertawa ketika itu.
Kuambil centong plastik di atas rak yang ada di meja, untuk segera kugunakan mengambil sejumput nasi. Dan ternyata, rasanya masih sedikit keras menandakan dirinya memerlukan waktu tambahan untuk matang.
“Jaka, gimana? Sudah selesai atau belum?”
“Sudah, mbak. Kenapa?” seru Roni.
Aku tidak mengetahui jika mereka sudah selesai cukup lama dan kali ini sedang memakan tempe yang baru diangkat dari penggorengan.
“Kalau sudah, jangan lupa diangkat lalu diletakkan ke wadah yang biasanya. Nasinya sebentar lagi mau matang juga. Mbak, mau mandi dulu.”
“Siap 86, komandan!” jawab Jaka yang mendengar apa yang baru saja aku perintahkan.
Banyak orang yang pernah mengatakan jika jumlah tetesan keringat yang dikeluarkan untuk bertahan hidup, akan dibalas berkah dan rezeki dengan jumlah yang sama.
Aku hanya bisa mempercayai sesuatu yang baik, dan tidak terlalu pusing untuk memikirkannya.
Permasalahan dapur kini sudah kuserahkan kepada kedua adikku, aku yakin bahwa mereka semua akan bisa melakukannya dengan baik pekerjaan semudah itu.
Kuputuskan untuk meninggalkan mereka, dan segera menuju ke kamarku. Kamar yang saat ini menjadi istanaku hanya berukuran seluas dua kali dua setengah meter sudah penuh diselimuti oleh debu.
Lemari pakaian peninggalan kakekku yang dibuat dengan hasil ukirannya sendiri pun kini sudah sedikit demi sedikit digerogoti rayap.
Aku menatap ke arah genteng-genteng juga ternyata sudah ada yang menjadikannya tempat tinggal. Tampak sarang laba-laba melintas horizontal dan vertikal secara acak.
Pakaianku juga kupikir masih layak untuk dikenakan meskipun jika dilihat, modelnya sudah ketinggalan zaman.
Aku mengambil baju berwarna krem dan kupasangkan dengan rok berwarna abu-abu, lalu menuju ke kamar mandi.
Seluruh badanku terguyur. Air yang berasal dari sumur tua itu terasa dingin. Membasahi seluruh tubuhku tanpa terkecuali.
Rasa dingin aku rasakan merambat perlahan dari tulang kakiku hingga tengkorak kepalaku.
Rangkaian tulang yang masih tergolong muda ternyata juga membutuhkan treatment semacam ini.
Memori saraf-saraf yang terasa tegang karena banyak aktivitas yang baru kulakukan juga dengan pelan mulai terasa rileks.
Perpaduan antara tulang, otot dan sarafku yang setiap hari kupaksakan untuk banting tulang agar bisa memenuhi semua kebutuhan hidupku dan kedua adik laki-lakiku kini sedang merasakan kenyamanan.
Setiap guyuran air yang ditumpahkan dari sebuah gayung yang terbuat dari kayu itu aku nikmati sebelum beranjak untuk bertarung dengan dunia luar.
Selesai sudah semua kenikmatan yang bisa kurasakan kali ini. Aku segera berganti pakaian dan keluar kamar mandi.
Terlihat tepat di sebelahku saat baru saja melangkahkan salah satu kakiku, ada ember besar berwarna hitam yang terisi dengan baju kotor milikku, dan tentu saja milik Roni dan Jaka.
Kulemparkan baju kotor yang dari kemarin kugunakan ke dalam ember itu, berpikiran semoga selalu diberi kekuatan untuk menjalani hari yang berbeda.
Aku terkejut, ketika sedang berjalan menuju kamar. Bagaimana tidak, tampak kondisi dapur rumah ini sudah begitu bersih dan rapi.
Perabotan yang tadi ia gunakan untuk memasak juga sekarang sudah menggantung di rak dengan bersih dan tertata.
Sisa minyak yang usai digunakan biasanya dibiarkan begitu saja tetap di atas penggorengan, kini sudah tidak ada.
Wajan penggorengan juga sudah tampak tengkurap tenang menghadap wastafel rumahku.
Di atas meja makan pun juga sudah ada rombongan nasi, potongan dada ayam, sambal bawang, tahu dan tempe yang ditata dengan begitu mewahnya menggunakan alat makan seadanya.
Dalam langkahku menuju kamar aku berucap dalam hati dan memuji Roni dan Jaka. “Terima kasih, hanya kalian berdua yang bisa memahami Mbak dan hanya kalian berdua yang bisa Mbak andalkan.”
“Roni.. Jaka.. kalian dimana?” aku berteriak memanggil mereka berdua khawatir mereka tertidur karena capek.
“Iya mbak, ada apa? sahut Roni sambil melangkah keluar kamar dengan membawa pakaian dan alat mandi miliknya.
“Semuanya sudah siap kenapa kok nggak langsung sarapan aja?” tanyaku.
“Aku mau mandi dulu, Mbak. Sarapan masih bisa ditunda kok, lagian juga sekarang masih belum terlalu lapar.” jawab Roni sambil menggaruk kepalanya.
Mendengar jawaban dari Roni, aku pun membiarkannya. Mungkin saja Roni juga merasakan apa yang aku rasakan.
Di dalam kamar, aku menyisir dan merapikan rambutku. Aku teringat ketika dulu masih ada Ibu, aku seringkali memintanya untuk merapikan rambutku.
Entah mengapa, meskipun aku saat itu sudah duduk di bangku SMP, tetapi rasanya aku masih ingin memanjakan diriku pada Ibu dalam beberapa hal.
Nasihat-nasihat yang Ibu dengan nada bicara yang menenangkan yang ibu berikan ketika menyisir rambutku dengan lembut, menambah rasa manjaku kala itu.
Kini, aku harus melakukan semuanya sendiri dan cukup berterima kasih dalam hati pada apa yang pernah Ibu lakukan selama ini.
Setelah kulihat rambutku sudah tersisir dengan rapi, waktunya aku untuk menyapu lantai kamar agar terlihat bersih.
Lantai yang awalnya berdebu, kini sudah terasa lebih bersih.
Aku kemudian keluar dan menuju ke dapur untuk menunggu kedua adikku selesai mandi.
Terlihat Jaka juga segera masuk ke kamar mandi setelah melihat Roni keluar dan menjemur handuk di samping rumah.
Kutatapi segala penjuru ruang makan rumah ini, aku berjalan menghampiri lemari kaca.
Di dalamnya terdapat termos tua milik ibu yang sudah tidak digunakan lagi karena gagangnya sudah patah.
Berdampingan dengan termos itu, ada satu set piring cantik yang hanya digunakan sekali ketika di hari pernikahan antara Ayah dan Ibu.
Kuambil satu set piring, dan mencucinya. Aku ingin sarapan pagi ini menggunakan piring itu, yang nantinya bisa menjadi bahan pembicaraanku dan kedua adikku.
Sekedar ingin membangunkan kembali memori dan kenangan tentang keluarga ini, agar selalu bersyukur dan mendoakan ayah dan ibu.
Tak lama, Roni dan Jaka pun datang ke ruang makan dengan menggunakan seragam sekolah mereka lengkap dengan tas dan sepatu.
“Loh, maaf ya sudah bikin Mbak nunggu lama.” ujar Jaka.
“Nggak kok, lagian tadi Mbak habis nyuci piringnya Ibu juga.”
Kini, semuanya sudah siap untuk sarapan, aku menyuruh salah satu adikku untuk memimpin doa.
“Siapa yang mau mimpin doa sekarang?” tanyaku pada mereka.
“Jaka saja, Mbak.”
“Roni saja.” sahut Jaka.
Mereka berdua saling melempar, daripada membuang waktu lebih banyak, akupun melerai dan memutuskan siapa yang akan memimpin doa kali ini.
“Roni, ayo. Biar nggak telat, ya?”
Roni mengangguk mendengar perintahku barusan, ia memimpin doa seperti biasanya.
Semua sajian yang masih dalam kondisi hangat, dan aku ingin lebih menghangatkan lagi suasana kali ini.
“Yang kalian pakai sekarang, itu piring milik Ibu.” ucapku.
“Aku nggak pernah lihat sih, Mbak.” ujar Jaka.
“Memang, Ibu nggak pernah mau untuk memakai piring ini lagi. Karena piring ini hanya digunakan ketika pernikahan Ayah dan Ibu.”
“Terus kenapa nggak pernah dipakai, Mbak?” tanya Roni.
Aku menjelaskan kepada Roni dan Jaka alasan ibu tidak pernah memakai kembali piring itu adalah untuk menjaga memori kesakralannya. Kesakralan yang tidak bisa diulang kembali.
Ibu, pernah suatu hari mengatakan kepadaku jika nanti ibu sudah tiada, semua yang awalnya Ibu tidak pernah pakai, boleh dipakai baik itu untukku maupun kedua adikku.
Roni mengangguk tanda ia paham apa yang baru saja kukatakan, begitupun dengan Jaka yang mengiyakan ketika mulutnya masih penuh dengan makanan.
Sarapan pagi telah mereka tuntaskan, dan berpamitan kepadaku. Roni, mengeluarkan sepeda ontel peninggalan Ayah yang biasanya ayah gunakan untuk berjalan-jalan keliling desa ketika sore.
Dulu, Ayah mengajakku berkeliling. Aku dibonceng di belakang dengan diikat terlebih dahulu menggunakan kain jarik pada tubuh Ayah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!