Bab 1
Mimpi berharap dia berada di tempat lain sekarang. Sebuah tempat di mana hanya ada dirinya, tanpa orang lain. Di mana cahaya menyelinap melalui celah-celah jendela dengan sedikit penerangan yang cukup baginya untuk bisa membaca buku. Tanpa ada gangguan, tiada suara-suara. Hanya dia.
Kenyataannya, dia duduk di meja makan, seperti mayoritas hari-hari sebelumnya, atmosfer rumah tidak menyenangkan. Mami sedang dalam mood terbaiknya untuk mengomel. Setelah jeda gencatan senjata berlangsung dalam hitungan hari, kali ini Mami memulai aktivitas itu lagi di pagi hari bahkan matahari belum menampakkan sosoknya. Alasannya sederhana, hanya karena Mimpi terlalu cuek untuk menanggapi obrolan Mami dan Belia, Mami menganggap Mimpi tidak menunjukkan sikap baik dan menampakkan permusuhan. Apalagi momennya Papa sedang bertugas ke luar negeri.
Itu Mami saja yang cari-cari alasan. Mami sepertinya tak sabar untuk kembali berperang dengan Mimpi. Atau setidaknya mencari-cari perkara agar bisa menyalurkan emosi yang tertahan yang bisa menjadi bahan omelannya.
“Kamu cari kesempatan ya, untuk menantang Mami saat Papa kamu gak ada di rumah?” ucap Mami dengan intonasi yang tinggi.
Mimpi bergeming, memandang lurus roti bakarnya yang ada di atas meja makan yang tepat berada di piring di depannya alih-alih menatap sang Mami.
“Jawab kalau orang tua tanya!” Kali ini suara Mami naik satu oktaf. Kemudian, dia mengomel panjang lebar.
Mimpi pun mengangkat kepalanya perlahan. Wajahnya tanpa ekspresi dan ekor matanya menangkap sosok Belia sedang memandanginya dalam diam. Sementara itu, Mami seperti hendak menerkam Mimpi bulat-bulat. Jika Mimpi perhatikan, alis Mami meninggi dan terus naik seakan bakal melewati puncak dahi.
‘Rambut itu dirapikan! Kayak sarang Tawon! Ngurus diri sendiri aja gak becus!”
Nah, benar, kan? Kemarahan Mami merembet sampai menyindir rambut Mimpi. Refleks Mimpi menyentuh puncak rambutnya yang dicepol. Memang dia tidak pernah merasa peduli dengan penampilannya. Rambut Mimpi ikal, jarang disisir, dan dia selalu menggulungnya jadi cepolan. Mami sudah sering mengingatkannya, tapi Mimpi enggan menanggapi.
Ketika berhenti mengomel, bibir Mami mengerucut.
“Kalau ada yang ngomong itu direspons dong! Kamu tuli?!”
“Enggak, Mi,” jawab Mimpi. Napasnya pendek-pendek karena menahan geram. Dia tahu, ini terlalu sepele untuk menjadi penyebab pertengkaran dirinya dan Mami. Lagi pula, ini masih pagi.
“Aku berangkat duluan, Mi. Takut kena macet di jalan,” ujarnya sambil berlalu dari hadapan Mami. Setelah mengambil tas ransel dan bergegas pergi, kelanjutan omelan Mami melatari kepergian Mimpi.
Bagi Mami, bertindak implusif sudah biasa, sesuai dengan mood-nya yang naik dan turun. Dia sering marah tanpa butuh alasan. Apalagi jika target kemarahannya adalah Mimpi. Jika kau menuntut alasan logis di balik kejadian barusan, mungkin jawaban ini bisa memuaskanmu; Mami selalu gagal dalam proses adaptasi hidupnya yang melibatkan Mimpi. Bahkan setelah dua tahun dua bulan kehadiran Mimpi dalam kehidupan baru Papa dan Mami.
Mimpi menggeram sebelum menaiki mobil ke sekolah. Kekesalannya berlipat ganda. Padahal, perlakuan begitu sudah sering dia terima dari Mami. Mungkin ini akumulasi emosi akibat kejadian sebelum-sebelumnya. Mungkin karena semalam dia kurang tidur demi menuntaskan salah satu buku bacaannya dalam versi bahasa Inggris. Mungkin juga efek hormonal remaja yang membuatnya bertambah kesal setengah mati.
Ketika sopir menjalankan mobil, Mimpi mencari suatu buku untuk dibacanya yang ada di dalam tasnya, tetapi ia menemukan sebuah gunting untuk pelajaran Seni Budaya.
Dia menatap gunting itu.
Bagi Mimpi, bertindak implusif butuh dilakukan untuk menyalurkan emosi tertahan, selain membeli buku random yang banyak untuknya baca.
Sret... sret... sret...
Ia memotong poni salah lainnya.
Biar saja Mami semakin geram dengan gaya poni terbarunya karena Mimpi ingin rambut ikalnya memiliki poni.
...****************...
Tet.......tet.......teeeeeeetttttttt.........!
Bunyi bell 3 kali menjadi pertanda jam masuk dan pulang sekolah. Sebuah tanda menuju neraka atau terbukanya gerbang surga, tergantung kapan kau mendengarnya.
Bangun bergegas lari dari parkiran menuju pintu gerbang. Terlambat. Larinya kurang cepat. Biasanya, dia bisa berkompromi dengan guru piket, namun, celaka dua belas baginya, guru jaga pagi ini adalah Pak Burhan, Guru Fisika super menyebalkan. Sang wali kelas tercinta.
Pak Burhan tersenyum kepada Bangun, hanya sedetik, lalu menatap dengan galak. Sebagai balasan, Bangun memaki di dalam hati.
“Sial, Pak Burhan,” Joy berbisik saat dia ikut berbaris di samping Bangun, sama terlambatnya.
“Emang sial,” bisik Bangun.
“Baris...! Baris...! Baris sesuai NIS...!” Perintah Pak Burhan dengan mikrofon yang menggema.
Sontak saja anak-anak itu berbaris sesuai nomor induk sekolah, Mudah saja, sisi paling kiri milik siswa kelas sepuluh ilmu alam, lalu ilmu sosial, dilanjut kelas sebelas, dan di ujung kanan kelas dua belas. Bangun dan Joy, yang notabene berada di tahun kedua berseragam putih abu, tepat berdiri di depan guru yang menyebalkan itu.
“Tas kuning! Sebutkan NIS dengan lantang!” Lagi-lagi Pak Burhan memberikan titah dengan mikrofon.
“0050098509,” jawab perempuan yang berdiri paling ujung. Menghafal NIS milik sendiri di sekolah ini adalah keniscayaan, bahkan sejak hari pertama masa orientasi sekolah. Selagi guru piket lain menginput nomor ke mesin absensi, Pak Burhan memberikan tatapan galak kepada para siswa. Dan begitu rekam jejak nya keluar, maka si bapak bersiap mengumumkan nya.
“Kiri!”
Si Tas Kuning mendesah lega, lalu keluar barisan dan membentuk kelompok baru di kiri. Artinya, rekam jejak siswa itu masih masuk batas toleransi dan dia akan menerima hukuman ringan, misalnya menulis “Saya berjanji tidak akan terlambat lagi.” sebanyak seratus kali. Jika yang keluar adalah “Kanan!”, seperti yang baru saja dilontarkan oleh Pak Burhan untuk lelaki disebelahnya, hukuman berat siap ditanggung oleh si pelanggar.
Barisan semakin memendek hingga sampailah giliran Joy. Seperti yang lainnya, teman sekelas Bangun itu mengucapkan NIS dengan kencang dan lantang.
“Joye Indrawan! Kamu gak usah sebut NIS-mu. Langsung kanan!”
“Sial!” Joy mengumpat pelan. “Gak bisa begitu dong, Pak!” protesnya.
“Kamu mau pindah ke kanan sekarang atau langsung pulang?!”
Joy kembali mengucapkan serapah dengan lirih, tapi terdengar jelas di telinga Bangun. Pelipis Bangun berkedut. Namun, lelaki itu diam saja sementara Joy berpindah ke sekumpulan anak di barisan kanan.
“Bangun Adighuna,” ucap Pak Burhan. Nama-nama anggota The Huru-Hara sudah dihafal mati di kepalanya. “Kanan atau pulang?!”
Bangun mendengus kesal. Jelas dia tidak bisa mengambil opsi pulang karena ayahnya sedang berada di rumah. Berurusan dengan Ayahnya jauh lebih rumit ketimbang bermasalah dengan Pak Burhan. Mau tidak mau, Bangun bergerak sesuai yang diperintahkan. Rahangnya mengeras dan sama sekali tidak memunculkan senyuman. Berbeda sekali dengan Pak Burhan yang terlihat begitu senang karena akan mengeksekusi Bangun.
Selang beberapa menit kemudian, kesepuluh tawanan Pak Burhan sudah berada di lapangan upacara. Tangan mereka dalam posisi hormat bendera dan pandangan menengadah menatap puncak tiang, menantang matahari pagi sedang bersinar terang.
Sebuah lagu kebangsaan dinyanyikan dengan lantang hingga selesai. Namun, mereka masih harus mengumandangkan lagu yang sama sembilan kali lagi, baru hukuman itu berakhir.
Bangun bernyanyi malas-malasan, matanya melirik ke sana dan kemari. Sesekali dia menjulingkan mata hingga Joy kesusahan menahan tawa. Dia bernyanyi mengubah-ubah suaranya dari seperti kakek-kakek sampai suara cempreng anak kecil.
Perempuan berambut panjang yang berdiri di sebelah Bangun kehilangan keseimbangan. Tubuhnya menabrak bagian kiri Bangun, membuat lelaki itu kaget. Refleks, Bangun menahan tubuh adik kelas nya itu agar tidak jatuh ke tanah. Nyanyian pun berhenti.
“Pak, ada yang pingsan, Pak!” teriak Bangun.
Namun, Pak Burhan tak acuh, sibuk dengan ponselnya.
Karena kesal dengan respons Pak Burhan, Bangun segera menggendong perempuan itu menuju ke ruang UKS. Dia mengabaikan tatapan kasihan maupun penasaran yang ditunjukkan siapa pun yang dilewatinya. Sekali lagi, Bangun melihat wajah pucat perempuan itu. Peluh membasahi dahi dan lehernya, begitu pun kemeja seragam Bangun, yang sudah basah oleh keringat nya sendiri pun menjadi semakin basah.
...****************...
Hi, Jan lupa di favorit kan ya,
diharapkan dukungannya juga.
love buat kalian ❣️
Bab 2
Mimpi harus mempertanyakan kejadian ganjil ini. Dia yakin datang ke sekolah cukup pagi. Namun, saat turun dari mobil, dia lihat para penghuni sekolah sudah berdatangan. Ramai.
Tidak satu dua orang saja yang berlarian seperti atlet maraton yang hendak menuju garis finish dan tidak mau keduluan pesaing lain. Ah, dia tidak tahu penyebabnya. Ini hari Selasa, Pak Burhan, musuh sepenjuru penghuni SMA Tunas Jaya, bertugas menjaga meja piket.
Lupakan soal Pak Burhan! Sekarang yang lebih penting adalah apa yang menimpanya. Semua mata tertuju padanya, tawa tertahan dan bisik-bisik berguling sesudahnya. Namun, tidak semua bisikan tak bisa dia dengar.
“Dasar perempuan aneh! Pakai seragam sekolah kebesaran, kacamata model mata kucing kaya nenek-nenek, belum lagi rambutnya itu. Udah keriting, dicepol tinggi-tinggi diubun-ubun. Memangnya dia mau main theater?”
Mimpi menghentikan langkah, menoleh dan memberikan tatapan tajam kepada dua cewek itu. Mereka menghentikan obrolan, tapi masih saja cekikikan. Mimpi mengabaikan mereka dengan bergegas menuju kelas.
Selama ini, tidak ada yang terang-terangan mengomentari penampilan anehnya. Biasanya orang-orang tidak ingin mencari masalah dengan Mimpi karena menganggapnya tidak penting. Namun, pagi ini sedikit berbeda.
‘kenapa sih anak-anak ini? Aneh!’ geramnya dalam hati.
Merasa lelah memberikan sorotan tajam kepada setiap orang yang berpapasan dengannya, Mimpi mempercepat langkah menuju kelasnya di lantai tiga. Dia sekuat tenaga mengabaikan kikikan orang-orang tidak penting itu.
“poni dia habis kena sentrum kali ya...,” bisik siapa pun itu yang terdengar oleh Mimpi.
‘Memangnya kenapa dengan poni ku? Ada yang salah?’ gumamnya dalam hati.
...****************...
Pelajaran sejarah selalu membosankan, Mimpi berusaha menyimak penjelasan Bu Rini dengan baik, tetapi tidak berhasil. Saking bosannya, dia sudah menguap berulang kali.
Mimpi membolak balikkan buku pelajarannya, di mana huruf berbaris dengan monoton dan tidak menarik untuk dibaca. Pembahasan tentang kondisi rakyat selama masa penjajahan lebih menarik saat dia membaaca buku novel yang dibacanya atau mengamati secara tersirat dari latar novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck-nya Buya Hamka.
Alhasil, yang dilakukan Mimpi selanjutnya adalah menegakkan dan menyandarkan buku pelajarannya ke sandaran kursi di depannya. Biasanya dia menyelipkan novel tipis untuk dibaca selama pelajaran, diletakkan di atas buku pelajaran. Tetapi sayang seribu sayang, kali ini ia meletakkan ponsel di sana. Dia menyentuh icon kamera, lalu mengubah mode menjadi kamera depan.
“aaah,” suaranya lirih.
Mimpi sadar dia sudah melakukan kesalahan fatal. Dia memotong poninya terlalu pendek dan tidak rata. Tipe rambutnya turut memberikan andil dalam bencana itu.
“Ckckck,” Mimpi berdecak. Oke, sudah cukup menyadari kesalahannya. Dia tidak boleh terpuruk dalam duka nestapa terlalu lama. Selagi Bu Rini berceramah di depan kelas, Mimpi melemparkan pandangan ke luar. Kegiatan mengamati anak-anak Tunas Jaya dari jendela kelas selalu menyenangkan. Kali ini dia disuguhkan pemandangan sekelompok anak yang mendapatkan hukuman.
‘Siapa saja yang kena hukuman?’ tanyanya dalam hati.
Mimpi penasaran, dia meraih ponsel untuk membuka akun Instagram @lambe-tunas untuk mencari tahu siapa yang sedang dihukum, sumber infotainment utama di sekolahnya. Semua orang bisa mengintai atau mencari gosip terbaru, bahkan menjadi kontributor untuk akun anonim ini. Tapi sayang seribu sayang, ternyata di akun itu belum muncul update-an terbaru tentang anak-anak yang dihukum.
Namun, alangkah terkejutnya Mimpi ketika melihat foto yang diunggah semenit yang lalu. Foto yang diambil dari samping itu memperlihatkan bentuk poni anehnya!
@lambe_tunas : Aduh duh, Mimin terpesona nih, poninya cetar membahana, Say. Kalah tuh artis yang punya poni antibadai. Belum lagi seragamnya kebesaran, tasnya warna-warni kek pelangi. Makin cetar gak sih?? #anakkelasduabelassay #anakalaysay #antibadaisay #ceksendiriajasay
Arghhh.... Mimpi menggeram dalam hati. Benaknya bergemuruh kata serapah yang tidak mau berhenti. Jelas sekali dia bertambah kesal. Mimpi tidak suka mendapatkan publikasi apa pun. Selama ini dia berpuas diri dengan hanya menjadi penikmat gosip murahan tentang orang yang populer di sekolahnya itu di akun gosip itu.
Sekarang malah potret dirinya yang terpampang nyata disana. Dalam pose yang paling tidak menyenangkan yang pernah ada. Dengan pose, poni mengenaskan di dahi, mulut menganga, dan kaki kanan menggantung saat hendak menapaki anak tangga.
Mimpi menyadari pandangan anak-anak kelasnya. Mereka menoleh ke belakang, tepat menuju tempat duduknya, lalu mereka terkikik tidak jelas hingga Bu Rini harus menegur mereka. Pasti mereka sudah membuka akun Lambe itu.
Komentar satu per satu bermunculan untuk mengomentari foto yang baru saja diposting oleh akun lambe_tunas, dan Mimpi mencoba menahan diri untuk tidak membaca komentar itu. Dia semakin geram setiap kali kata-kata menyebalkan muncul di ponselnya.
‘Ini gak bisa dibiarkan!’ geramnya dalam hati. Meskipun, ia tak bisa melakukan apa-apa untuk membalas. Dia hanya berdoa supaya muncul bahan gosip yang jauh lebih menarik untuk kiriman tentangnya barusan.
Doanya pun langsung terkabulkan. Setelah pergantian jam pelajaran, buru-buru Mimpi membuka kembali akun Instagram itu demi mengecek perkembangan perisakannya. Dan dengan baru diunggahnya video terbaru yang ada di akun itupun ramai yang mengomentari hal itu.
@lambe_tunas : Huwaaaa..... Momon mau donk jadi yang pingsan. Momon mah emang #teamBangun dari zaman baheula. Siapa bilang Bangun madesu? Doi mah baik hati dan tidak sombong, genggess...
Video yang di unggah tersebut berasal dari video yang diambil secara diam-diam, merekam seorang lelaki populer dari kelas sebelas menggendong anak perempuan yang pingsan menuju UKS.
Perekam itu ikut berlari saat target video berlari lebih kencang. Mimpi refleks menoleh ke arah Mila yang duduk lima bangku darinya. Rupanya sudah timbul kasak-kusuk karena pemberitaan ini. Mimpi melihat Mila berbicara dengan teman sebangkunya. Raut muka Mila sangat kesal. Mimpi pun tersenyum lega, perhatian semua orang teralihkan dengan adanya video itu.
Yang dirasa Mimpi bahwa itu hanya bentuk pencitraan belaka. Mimpi pun kembali mengecek akun itu dan melihat ada lima puluhan komentar yang memenuhi kolom komentar yang ada dipostingan itu.
Mimpi merasa lega isu poni anehnya teralihkan dengan cepat dengan video orang yang terpopuler di sekolah. Mimpi berterima kasih kepada Bangun yang telah menyelamatkannya dari hujatan-hujatan para netizen di sekolahnya melalui akun Lambe_tunas.
Meskipun itu tak mengurangi rasa tidak sukanya terhadap anak-anak populer di sekolahnya, termasuk Bangun, Mila, atau Nanda, atau siapa pun itu. Mimpi selalu menghindari berurusan dengan orang-orang populer di sekolahnya.
...****************...
selamat membaca ❣️
Bab 3
Dua puluh menit sebelum istirahat pertama, Bu Lisa sudah keluar dari kelas dengan meninggalkan tugas seabrek untuk diselesaikan sebelum Bel berbunyi. Masa bodo dengan tugas, The Hurara segera meninggalkan ruangan. Group whatsapp itu pun berbunyi.
Pandu : “Buruan, kita udah di tembok, nih,.”
Bangun : “Duluan deh, gue masih ada urusan bentaran”.
Joye : “Alan gak mau kalau gak ada lu, bro...”
Pandu : “Alan mah cemen. Takut ketahuan dia mah. Mau dihukum tapi barengan..,”
Alan : “Dasar mulut Dajjal. Fitnah aja teroooss”
Joye : “Alan ngilang...”
Bangun : “Ya elah, kek baru ini aje lo bolos, cuy.. bentar lagi gue nyusul. Ini boker bentar lagi kelar”.
Joye : “Jorok, igh lu,,,”
Pandu, Bangun, dan Alan pun tertawa membacanya.
Selepas mendaptkan hukuman pagi tadi, Bangun mengumumkan di group whataspp dia akan bolos pelajaran setelah jam istirahat.
Sebenarnya dari tadi dia sudah mau pergi sendiri, tapi teman-temannya yang lain ingin mengikuti jejak ketuanya. Dan Alan pun yang biasanya paling lurus di antara anggotanya, entah mengapa ingin berpartisipasi juga. Padahal dia jarang mau berbuat kriminal macam memanjat tembok atau membolos sebelumnya.
Begitu urusannya selesai, Bangun langsung berlari menyelinap dari area kelas menuju gedung belakang yang jaraknya lumayan jauh. Bangunan utama SMA Tunas Jaya sendiri berbentuk persegi panjang dengan lapangan upacara di bagian tengahnya. Ruang guru dan segala macam pejabat sekolah berada di barisan depan, sisi selatan. Bagian Timur dihuni kelas sepuluh, sisi utara adalah kelas sebelas, dan barat untuk kelas dua belas.
Ada tiga lantai untuk masing-masing bangunan. Lantai pertama bagi jurusan IPA, lantai kedua sebagian IPA dan sebagian IPS, dan lantai paling atas untuk anak-anak IPS. Satu baris gedung di bagian belakang kelas sebelas terdapat kantin, ruang OSIS, dan ruang musik. Sedangkan barisan di belakang kantin, dipisahkan oleh koridor dan taman dengan banyak plang kayu bertuliskan nama-nama Latin tumbuhan, terdapat deretan gudang.
Bangun menyelinap di antara barisan konter-konter di kantin. Para guru biasanya mengunjungi tempat itu untuk mencari mangsa berupa siswa yang bandel dan suka membolos ke kantin. Kondisi cukup aman kala itu. Bangun mempercepat langkahnya melewati koridor antara taman menuju tembok pembebasan.
Ponsel Bangun bergetar, dan ia segera saja membuka dan membaca pesan dari teman-temannya.
“Astaga... Bentar juga gue sampai di sa-”
Belum selesai menuntaskan keluhannya, tiba-tiba saja seseorang dengan kecepatan tinggi menabrak Bangun!
BRAKKK
“Brengsek!” Umpatan keluar dari bibir Bangun begitu saja.
Bangun memindai orang yang sama-sama tersungkur di hadapannya dengan tatapan tajam.
Seorang perempuan berambut dicepol berantakan. Poninya membuat Bangun ingin tertawa terbahak-bahak, tapi ditahannya. Dia sedang dalam mode murka sekarang. Siku perempuan itu tergores, karena dia meringis menahan sakit. Meskipun melihat rona kesakitan itu, bukan berarti Bangun rela menurunkan intensitas kemarahannya.
“Punya mata gak, sih, lo?!” Bentak Bangun. Dia bangun memungut ponselnya yang terlempar dan melihat layar ponselnya yang tergores sedikit diujung layarnya. Bangun pun kembali mengumpat. Untung saja ponselnya tidak mengalami kerusakan.
“Sorry... gak sengaja,” ucap perempuan itu.
“Enak aja, Lu! Lu bikin gue jatuh kek gini!”
Perempuan itu masih dalam posisi tersungkur dan saat ekspresi kesakitan di wajahnya terlihat, Bangun memblokir langsung perasaan simpatinya yang mendadak muncul.
“Mata tuh dipake buat jalan!”
Tak lama perempuan itu pun bangkit. Saat mereka berdiri berhadapan, Bangun cukup kaget dengan postur tubuh si perempuan itu yang hanya selisih sedikit dengan tinggi yang dimiliki dirinya. Apalagi saat Bangun melihat emblem di seragam perempuan itu, baru ia sadar bahwa sang lawan bicara adalah kakak kelasnya dengan anak kelas XII IPS 3. Bagaimana pun itu tak lantas buat Bangun untuk gentar melampiaskan lagi kekesalannya.
“Lu pikir lu siapa bisa nabrak-nabrak gue?!” Bangun mendekat, tangannya menujuk wajah perempuan berkacamata kucing itu.
“Gue udah minta maaf,” jawabnya. Suara perempuan itu pelan, seperti tersangkut di tenggorokan.
“Lu pikir dengan kata maaf doank semuanya bisa selesai?!”
Perempuan itu mendesah, kali ini ekspresinya tak terbaca oleh Bangun. Mendadak raut kesakitan menjelma menjadi air muka lain. “Setidaknya.. gue sudah minta maaf. Perkara lu terima atau enggak .. sudah bukan urusan gue,” kata perempuan itu. Kemudian, dia pergi meninggalkan Bangun yang tercengang.
‘Dasar cewek aneh!’ Bangun mengumpat dalam hati. Masih ada sisa kemurkaan yang belum habis dilampiaskannya.
Bangun terkaget saat melihat perempuan dengan kacamata dan poni aneh berjalan terpincang-pincang. Namun, dia tersadar dan segera mengalihkan perhatian kepada para anggotanya di group itu yang sibuk memaki-maki di group.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!