Di sebuah kamar hotel nan mewah, ketika sinar matahari masuk melalui cela kaca jendela. Menyinari wajah cantik Arina yang kini masih terlelap dalam tidur.
Perlahan namun pasti Arina membuka matanya, sinar matahari yang menerpa wajahnya membuat ia merasa silau. Mata lelah itupun terbuka, meneliti setiap kamar yang saat ini ia tempati.
"Dimana ini"
Arina mengubah posisi menjadi duduk, kembali meneliti setiap kamar itu. Dan benar saja saat ini ia sedang tidak bersama kamar yang sering ia tiduri melainkan di kamar hotel.
"Kenapa aku bisa ada disini" Arina bergumam pelan. Berusaha mengingat apa yang telah terjadi, Menyadari sesuatu yang aneh Arina membuka selimut. Kedua matanya terbelalak saat melihat tubuhnya saat ini tidak mengenakan apa-apa.
*Siapa yang melakukan ini ?
Apa ini suaminya* ?.
Arina ingat semalam ia di bawah oleh Carissa saudara tirinya untuk memasuki kamar hotel ini, setelah itu Arina tidak mengingat apapun.
Kembali mengangkat selimut, Arina meneliti setiap inci bagian tubuhnya. Tanda merah ada dimana-mana, juga rasa sakit di bagian inti yang membuat ia meringis. Apalagi dengan noda merah yang menempel di seprai tempat tidur. Membuat Arina semakin yakin kalau semalam ia melakukan hubungan dengan seseorang.
Yang menjadi pertanyaan Arina, siapa laki-laki itu ?. Mungkinkah itu sang suami yang telah merenggut kesuciannya. Karena kalau benar Arina akan sangat bahagia, selama ini ia sudah lama menantikan nya.
Tapi jika bukan ...?
Arina tidak bisa membayangkan, bagaimana kemarahan Mirza jika ia melakukannya dengan pria lain. Bahkan mungkin Arina tidak bisa memaafkan dirinya sendiri.
"Enggak mungkin orang lain, pasti yang melakukan ini mas Mirza" ucap Arina berusaha menepis pikiran negatifnya.
Arina berdiri lalu mengambil pakaiannya yang berserakan di lantai, setelah itu ia masuk ke kamar mandi. Beberapa saat kemudian Mirza dan Carissa memasuki kamar hotel itu.
Senyum Carissa mengembang saat melihat kamar hotel yang berantakan, matanya juga menangkap noda merah yang melekat di seprai. Dengan cepat wanita itu mengambil ponselnya lalu memotret noda merah tersebut.
"Ternyata rencana kita berhasil" ucap Carissa sembari memasukan ponselnya.
"Benar sayang, akhirnya aku punya alasan bisa menceraikan wanita itu" balas Mirza
Carissa menatap wajah Mirza sembari tersenyum, keduanya sudah lama mencari cara supaya Mirza ada alasan untuk menceraikan Arina.
Selama ini Mirza tidak pernah mencintai Arina, ia menikah dengan Arina hanya karena Arina anak orang kaya. Dan inilah alasan nya kenapa Mirza selalu menolak untuk menyentuh Arina.
"Sebentar lagi aku bisa menikah dengan wanita yang ku cintai" Mirza balik membelai pipi Carissa, juga memberikan ciuman di bibir merah wanita itu.
Tak ingin membuang kesempatan Carissa pun membalas ciuman Mirza, sesaat keduanya larut dalam buaian asmara yang memabukkan tanpa menyadari kalau di dalam kamar mandi Arina mendengar semuanya.
"Tenanglah sayang, sebentar lagi kita akan selalu bersama" ucap Carissa setelah keduanya menyudahi pagutannya.
Mirza tersenyum "Ayo pergi, kamar ini terasa panas menurutku"
"Iya sayang".
*
*
Cairan bening itu lolos terus menerus membasahi kedua pipi Arina, ia tidak menyangka bahwa suami dan Kakak tirinya yang menjebaknya semalam. Apalagi saat ia mengetahui kalau Mirza mencintai Carissa.
"Kenapa kamu melakukan ini mas ? apa salahku ?"
Arina memukul bagian dadanya yang terasa sesak, sungguh kenyataan ini membuatnya benar-benar hancur. Suaminya tega menjebak dengan pria asing hanya untuk mencari alasan supaya bisa menceraikan nya.
Selama ini Arina selalu menjadi wanita kuat untuk Mirza, bahkan saat pria itu menolak untuk menyentuhnya tak membuat Arina marah. Ia selalu sabar menunggu sampai Mirza mau melakukan itu.
Arina sendiri tau kalau Mirza tidak mencintainya. Mereka menikah karena di jodohkan, dan saat ini pernikahan mereka sudah memasuki usia satu tahun, Arina pikir suaminya sudah mencintainya apalagi akhir-akhir ini Mirza sering memberinya perhatian.
Namun semua dugaan Arina salah besar, dan hari ini Mirza sudah membuktikan kalau ia tidak akan mencintai Arina sampai kapanpun.
"Brengsek"
"Sialan"
Umpatan demi umpatan keluar begitu saja dari bibir Arina, ia yang selama ini selalu menjaga ucapannya, sekarang tidak bisa. Kemarahan serta kekecewaan membuat Arina tidak bisa mengontrol diri.
"Awas kalian"
Arina berdiri dari duduknya, lalu keluar dari kamar mandi. Ia meneliti setiap bagian kamar sekali lagi lalu tersenyum kecut ketika melihat noda merah yang masih begitu terang.
"Mas Mirza tega menjebak aku dengan pria lain"
"Padahal selama ini aku sudah melakukan apa saja untuknya"
Arina keluar kamar dengan perasaan hancur, tujuannya saat ini adalah rumah. Ia ingin memaki suami dan Kakak tirinya.
*
*
Setelah kepergian Arina, seorang pria tampan memasuki kamar hotel itu. Pria itu mengedarkan pandangannya untuk mencari seseorang.
Karena tidak menemukan apapun, Pria itu merogoh saku celananya untuk mengeluarkan ponsel. Kemudian mencari nama seseorang yang akan ia hubungi.
"Bagaimana ?" tanya seseorang di seberang sana.
"Orangnya sudah pergi Tuan, kamar ini sudah kosong"
"Apa kau yakin ? kau sudah mengecek setiap kamar itu kan ?"
"Sudah tuan, bahkan kamar mandi saja sudah dua kali saya periksa"
Hening, tidak ada lagi jawaban dari seberang telepon.
"Tapi saya melihat bercak dara di seprai ini Tuan"
"Ambil fotonya ! lalu kirimkan padaku !"
Walau bingung dengan permintaan bos nya itu, Rafan tetap menuruti. Setelah mematikan sambungan telepon segera Rafan mengambil foto noda darah yang masih menempel.
"Sebenarnya apa yang terjadi" Batin Rafan.
*
*
Di sebuah taksi Arina duduk sambil menyenderkan kepalanya di kaca jendela. Sejak tadi air matanya terus menetes. Sekuat apapun ia selama ini tetap saja Arina seorang wanita yang memiliki perasaan rapuh dan hancur.
Apalagi setelah mengetahui kalau suami nya mencintai kakak tirinya sendiri. Entah takdir macam apa ini ?.
Ingatan Arina kembali berputar saat ia di jodohkan dengan Mirza. Laki-laki itu tidak menolak sedikitpun ketika perjodohan itu di mulai, Bahkan Mirza langsung mengatakan iya ketika kedua orang tua mereka bersepakat menikahkan.
"Jika memang kamu tidak mencintaiku, katakan dari dulu mas . Kenapa baru sekarang"
Sang sopir taksi yang sejak tadi memperhatikan Arina, mengernyit bingung. Apalagi melihat air mata yang terus membasahi pipinya.
"Rumahnya yang mana Neng ?" tanya sopir taksi.
Arina menatap jalanan, ternyata ini sudah memasuki area perumahannya.
"Maju dikit lagi Pak !" pinta Arina.
Mobil melaju dengan pelan, hingga Arina menyuruh berhenti tepat di depan gerbang tinggi berwarna cokelat.
"Kembaliannya ambil saja Pak" ucap Arina setelah menyerahkan ongkos pada sopir taksi.
"Makasih Neng"
Arina keluar dari mobil, langkahnya begitu pelan memasuki rumah mewah tempatnya di besarkan. Tatapan wanita itu kosong bahkan sapaan Mang Dadang tidak ia respon sedikitpun.
********
LIKE DAN KOMEN NYA YA !!!
KALIAN JANGAN KHAWATIR WALAU SETIAP BULANNYA AKU BIKIN NOVEL BARU, YANG LAMA TETAP AKAN AKU SELESAIKAN, TAPI PELAN-PELAN. !!
Begitu memasuki rumah, Arina langsung di sambut tatapan tajam dari dari Mirza. Tatapan yang mengerikan membuat siapa saja ketakutan.
"Masih berani kamu pulang kerumah ini, setelah apa yang kamu lakukan semalam" bentak Mirza
"Kamu ini sudah menikah, tapi semalam kamu justru tidur dengan pria lain. Istri macam apa kamu ini ?" sambung Mirza dengan berapi-api.
"Dasar Pelacur" sahut Carissa, namun di hatinya ia tersenyum karena bisa melihat Arina di bentak oleh Mirza.
Kedua tangan Arina mengepal, ingin sekali dirinya memukul kedua manusia tak punya hati ini. Tapi sekuat tenaga Arina tahan.
"Cukup" hardik Arina dengan suara menggema. Membuat Mirza dan juga Carissa terhenyak kaget, keduanya pun saling pandang.
"Apa, kamu masih berani mengeluarkan suara ?" Mirza mendorong bahu Arina pelan tapi tetap saja membuat Arina memundurkan langkahnya. "Mulai hari ini pernikahan kita sudah berakhir. Aku tidak mau punya istri yang sudah di nodai oleh pria lain."
Arina menatap Mirza dengan tajam, bisa-bisanya pria itu menyalahkan dirinya seperti ini. Padahal semua ini terjadi karena kelakuan Mirza.
"Hentikan omong kosong mu Mas !, kamu tidak punya hak untuk menghina aku. Jangan kalian pikir aku tidak tau kalau semua ini terjadi karena ulah kalian, suami macam apa kamu Mas, yang menjebak istrinya sendiri dengan pria asing"
Saat itu juga Mirza terdiam, bagaimana bisa Arina mengetahui semua ini. Padahal ia dan Carissa sudah menjalankan semuanya dengan hati-hati. Mirza ingat semalam tidak ada yang tau ulah mereka.
"Dan apa mas pikir aku juga tidak tau kalau mas dan Kak Caris punya hubungan, jika memang kamu tidak mencintaiku katakan saja ! dari pada membuat usaha memalukan seperti ini"
Mirza dan Carissa saling pandang, meneguk salivanya berulang-ulang.
"Kenapa Arin bisa tau, apa semalam Caris meninggalkan jejak" batin Mirza penuh tanda tanya.
"Apa di depan kamar hotel itu ada CCTV nya ?, kenapa Arin bisa tau semua ini ? dan tidak mungkin kan kalau kamar hotel itu yang ada CCTV nya" batin Carissa.
Melihat Mirza dan Carissa terdiam, membuat Arin menerbitkan senyum di bibirnya.
"Kenapa kalian diam ?, pasti kalian pikir kan dimana aku bisa tau semua ini" ucap Arina, kedua tangannya di lipat di bagian dada.
"Atas dasar apa kamu menuduh putraku, kalau kamu ketahuan selingkuh jangan mencari cara untuk menyalahkan orang lain" tiba-tiba suara Mama Hera menggema di udara membuat Arina, Mirza dan Carissa menoleh ke sumber suara.
Tampak Mama Hera berjalan dengan tatapan tajam ke arah Arina, wanita paruh baya yang selama ini sangat Arina hormati layaknya ibu sendiri.
Plaaaak.
Sebuah tamparan Arina terima, wanita itu diam walau pipinya terasa sakit dan kebas.
"Kamu menyalahkan Mirza yang menjebakmu, jangan mengada-ngada Arin. Semalam Mirza menunggu mu pulang sampai larut malam tapi ternyata kau justru menghabiskan waktu dengan kekasihmu" tuduh Mama Hera.
"Mama tidak tau apa-apa, Mas Mirza yang menjebak aku semalam. Dia dan Kak Caris yang membuatku kehilangan kesadaran" ucap Arina berusaha membuat Mama Hera percaya kalau Mirza yang telah melakukan ini.
"Hentikan Arin, tolong jangan memutar balikan keadaan. Sekarang kamu tanda tangani surat cerai ini ! lalu pergi dari rumah ini" bentak Mirza.
Arina kembali menatap Mirza, pria itu mengambil amplop putih di atas meja. Jika surat cerai itu sudah ada itu berarti Mirza memang sudah lama merencanakan ini.
"Ayo tanda tangani ! kamu tidak pantas menjadi istri dari anak ku" Mama Hera kembali membuka suara.
Tidak ingin membalas, Arina justru meninggalkan ruangan itu lalu menaiki anak tangga. Ia tidak mungkin pergi dari rumah nya sendiri.
"Hei mau kemana kau ?" teriak Mama Hera.
Wanita paruh baya itu segera berlari mengejar Arina, tanpa pikir panjang Mama Hera menarik rambut panjang Arina sehingga membuat Arina meringis kesakitan.
"Ah, lepaskan aku !!" teriak Arina
"Tidak akan, sebelum kau menanda tangani surat cerai itu lalu pergi dari rumah ini"
"Tidak mau" tolak Arina.
Mama Hera semakin naik pitam, ia kembali menarik rambut Arina sekuat tenaga sehingga membuat kulit kepala Arina terluka. Wanita paruh baya itu mengabaikan jeritan Arina yang kesakitan.
Sementara di ruang tamu Mirza dan Carissa tersenyum melihat Mama Hera menyiksa Arina.
"Tontonan yang menarik" ucap Carissa tanpa punya perasaan.
"Biarkan saja Mama melakukannya, selama ini Mama sudah muak dengan sikap Arin yang manis" balas Mirza.
Kedua nya kembali duduk di sofa tanpa memperdulikan teriakan dan jeritan Arina.
"Dasar pelacur, wanita tak tau diri" Mama Hera terus menarik rambut panjang Arina.
"Le-paskan" suara Arina terbata-bata, ia merasa seluruh rambutnya sudah lepas semua. Kepalanya terasa pusing dan tubuhnya sakit semua.
"Bagaimana rasanya hah ? sakit kan ?. Ini ganjaran buat kamu" tanpa ampun Mama Hera menghukum Arina.
Tatapan mata Arina menjadi gelap, kulit kepalanya terasa perih dan sakit. Hingga tak berapa lama Arina pingsan dengan dara yang mengalir di kulit kepalanya.
"Mirza, Arin pingsan" teriak Mama Hera menggema. Membuat Mirza dan Carissa langsung bangkit dan berlari ke arah Mama Hera
*
*
*
Arina membuka matanya, menatap sekeliling kamar yang saat ini ia tempati. Ia mengernyit saat melihat seorang suster sedang berdiri sambil mengganti cairan infus yang menggantung.
"Anda sudah sadar nona ?" suster itu tersenyum ramah.
"Saya dimana ya sus ? dan apa yang terjadi pada saya ?"
"Saat ini nona di rumah sakit, dan anda sudah pingsan selama tiga hari"
"Hah" mulut Arina terbuka lebar saat mendengar ucapan suster itu. Kemudian ia ingat apa yang ia alami.
Air mata Arina kembali menetes, saat mengingat bagaimana kejamnya Mama Hera memperlakukannya. Padahal selama ini Arina selalu memperlakukan Mama Hera dengan baik, menghormati wanita itu layaknya ibu kandungnya sendiri.
"Kalian semua jahat" batin Arina.
"Anda jangan banyak pikiran dulu nona ! anda baru saja sembuh, sebentar saya panggil dokter dulu untuk memeriksa nona"
Arina tak menjawab, tatapan wanita itu kosong. Entah bagaimana semua ini bisa terjadi. Sulit sekali bagi Arina menerima semua kenyataan pahit ini.
"Papa" gumam Arina pelan.
Dulu ia masih ingat saat sang Papa memperkenalkan Carissa sebagai saudaranya. Saat itu Carissa tampak sangat bahagia mengetahui kalau memiliki seorang adik.
Tapi setelah dewasa dan ketika harta sang Papa jatuh ke tangan Arina, semuanya berubah. Carissa menjadi acuh pada Arina.
"Karena harta semuanya jadi begini" batin Arina.
Tatapan mata Arina teralihkan saat mendengar suara pintu terbuka, di susul dengan kemunculan sosok pria tampan yang berdiri di ambang pintu.
Arina bertanya-tanya, siapa pria itu...
Pria itu masuk dan berdiri di depan Arina. Kemudian menarik kursi dan duduk di atasnya.
Arina pun mengubah posisi menjadi duduk, di benaknya masih bertanya-tanya siapa pria yang kini duduk di dekatnya.
"Perkenalkan saya Rinal pengacara Tuan Mirza. Kedatangan saya kesini untuk menyuruh Nona menanda tangani surat cerai dari tuan Mirza" pria yang baru saja memperkenalkan diri sebagai pengacara itu tampak mengeluarkan sebuah kertas.
"Bagaimana jika saya tidak mau menanda tangani surat cerai itu ?" tanya Arina, ia ingin tahu apa yang akan di lakukan Mama Hera dan Carissa jika ia tetap tidak mau menanda tangani surat tersebut.
"Maka saya akan memberi anda ancaman. Saya tau semua tentang kehidupan anda, bahkan saya tau kalau anda hanyalah anak haram hasil hubungan gelap Ayah anda dan Ibu Anda" balas Rinal dengan suara menjijikan.
Mendengar hal itu detak jantung Arina berdegup kencang, kisah sang Mama yang menjalin hubungan dengan sang Papa membuat semua orang beranggapan kalau Arina hanyalah anak haram. Sudah Lama Arina berusaha melupakan hal menyakitkan ini, tapi Rinal dengan entengnya mengingatkan semuanya.
"Nona segeralah tanda tangani surat ini !" Rinal mendesak Arina. Ia terlihat terburu-buru tanpa mengerti apa yang saat ini membuat Arina terdiam.
Karena tak punya pilihan lain, Arina mengambil pena yang berada di tangan Rinal, membaca kembali surat cerai yang kini sudah berada di tangannya. Arina tidak menyangka kalau pernikahannya dengan Mirza harus berakhir seperti ini.
Tidak bisa Arina pungkiri, kalau di lubuk hatinya yang paling dalam. Ia sangat mencintai Mirza. Bagaimana pun sikap Mirza selama ini, tidak pernah membuat Arina membenci pria itu.
Perlahan namun pasti Arina membubuhkan tanda tangannya pada tempat yang sudah di sediakan. Setetes air mata meluncur begitu saja, namun dengan gerakan cepat Arina menghapusnya. Ia tidak ingin terlihat lemah di hadapan siapapun.
Setelah selesai menanda tangani surat cerai itu, Arina kembali menyerahkan kertas itu kepada Rinal.
"Sekarang tanda tangani yang ini Nona !" ucap Rinal yang kembali menyerahkan sebuah map kepada Arina.
"Apalagi ini ?" tanya Arina.
"Anda bisa membacanya sendiri nona"
Mata Arina fokus membaca isi yang tertulis disana, kedua bola mata itupun terbuka lebar. Itu adalah surat pemindahan harta, dan seluruh harta yang dulu atas namanya kini menjadi atas nama Carissa.
"Apa-apaan ini ?" Arina hampir saja membuang kertas itu, tentu saja ia tidak akan menyerahkan hartanya pada Carissa.
"Sudah saya bilang anda tidak bisa menolak, atau hal buruk terjadi padamu" Rinal mencengkram tangan Arina dengan kuat, membuat wanita itu meringis.
"Tanda tangani semuanya !" pinta Rinal dnegan tegas.
Keadaan ini membuat Arina tidak bisa membantah, dan lagi-lagi ia membubuhkan tanda tangannya. Sekarang hidupnya benar-benar hancur. Di buang suami dan kehilangan seluruh harta yang selama ini sang Papa berikan.
"Terima kasih atas kerja samanya nona !" Rinal tersenyum setelah mendapatkan apa yang ia inginkan, tak menunggu lama Rinal sudah meninggalkan ruangan itu.
Tangis Arina tertahan di udara, dadanya terasa sesak dan rasanya ia ingin mati saja. Hidup sendiri di dunia yang kejam ini membuat Arina tidak sanggup. Entah kemana tujuannya nanti setelah kehilangan semuanya.
Bahkan saat ini harta yang ia punya hanya satu buah gaun yang terletak di atas meja nakas, pakaian ganti ketika ia keluar dari rumah sakit nanti.
*
*
*
Sementara itu Rinal keluar dari rumah sakit dengan raut wajah penuh kebahagiaan. Menuju sebuah mobil yang terparkir di depan rumah sakit.
"Bagaimana ? apa kamu berhasil membuat Arin menanda tangani semuanya ?" tanya Mirza yang sudah tidak sabaran, rupanya pria itu menunggu di dalam mobil.
"Tentu saja" Rinal memberikan seluruh kertas yang tadi di tanda tangani Arina pada Mirza.
Senyum penuh kemenangan terbit di bibir Mirza "Bagaimana kamu bisa melakukan ini ?" tanya Mirza.
"Aku mengancamnya, jika dia tidak mau menanda tangani surat itu maka aku akan membocorkan pada media kalau dia anak haram" jelas Rinal.
"Hahaha" tawa Mirza menggelegar. "Tak sia-sia aku mengeluarkan uang banyak jika hasilnya jadi begini"
Rinal memutar matanya malas, jika bukan karena uang yang Mirza janjikan ia pun sangat malas berurusan dengan Mirza maupun Carissa.
*
*
*
Kini Mirza sudah tiba di rumah dan langsung di sambut oleh Carissa. Wanita itu langsung memeluk Mirza dengan manja saat melihat kedatangan Mirza.
"Bagaimana hasilnya sayang ?" tanya Carissa
"Seperti yang kita harapkan, Arin menanda tangani semuanya"
"Benarkah ?"
"Apa aku pernah berbohong padamu"
Satu kecupan Mirza berikan di kening Carissa, wanita itu tersenyum senang menerimanya, apalagi saat melihat tanda tangan Arina yang terpampang disana.
"Jadi sekarang harta Papa sudah sah menjadi milikku ?" Carissa menatap Mirza.
"Iya Caris, sekarang kamu satu-satunya pewaris Papa"
Saking bahagianya Carissa bahkan melompat-lompat, membuat Mirza terkekeh sambil geleng-geleng kepala. Keduanya berpelukan untuk merayakan kemenangan yang di cari dengan jalan cepat.
"Kamu memang yang terbaik" Teriak Carissa di dalam pelukan Mirza.
*
*
*
Dua hari berlalu.
Tidak ada satu orang pun yang datang untuk melihat keadaannya, bahkan saat sang dokter sudah memberikan izin untuk pulang tak ada juga yang datang menjemput.
Arina masih duduk di bibir ranjang, kini ia sudah berganti pakaian dengan gaun yang kemaren terletak di atas meja nakas. Kembali menghapus air mata yang terus menetes membasahi pipi.
Beruntung Arina memiliki uang dari rekening pribadi yang selama ini ia rahasiakan, rekening yang selama ini hanya Arina yang tau. Dan dengan uang itulah ia membayar tagihan rumah sakit.
"Aku harus kuat, aku harus menunjukan pada Mas Mirza kalau aku bukan wanita lemah" gumam Arina.
Arina berdiri kemudian meninggalkan kamar itu, keluar dari rumah sakit tanpa di jemput siapapun. Tujuannya saat ini pulang kerumah Mama tirinya, karena rumah itu juga rumah Ayahnya jadi Arina rasa ia berhak tinggal disana.
Sebuah mobil taksi Arina hentikan, ia naik dan memilih duduk di dekat pintu. Kepalanya ia senderkan ke kaca jendela.
"Mau kemana Neng ?" tanya sopir taksi dengan ramah
"Perumahan Cempaka Pak"
Sopir taksi itu langsung menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang, sesekali ia menatap kaca mobil untuk melihat keadaan Arina.
Tidak berapa lama sopir taksi menghentikan mobilnya tepat di alamat yang tadi Arina sebutkan. Ia menunggu sampai Arina keluar sendiri namun sudah lima belas menit Arina pun tak kunjung keluar. Sang sopir kembali melirik kaca spion ternyata Arina tengah melamun sambil menangis.
"Neng udah sampai" ucap sopir taksi dengan pelan.
Detik itu juga Arina tersadar, ia mengangkat kepalanya dan melihat sekeliling, benar ternyata kalau saat ini ia sudah di depan rumah Mama Tirinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!