"Jeder......jeder.......trakkkkk...syerrttttttt" gelegar petir menyambar sebuah pohon besar tepat di bahu jalanan yang tengah kulewati.
Sekali dua kali Sambaran petir itu mampu membuat pohon besar tumbang dan hampir menimpa mobil yang ayahku kemudikan, ayah segera membantingkan setir ke samping jalan namun kondisi jalanan yang begitu licin sebab terguyur hujan lebat membuat ayah kehilangan kendali atas mobil yang ia kemudikan, mobil melaju tak menentu dan terus menerobos pembatas jalan sampai akhirnya jatuh ke tepian sungai, untunglah tidak terjadi ledakan pada mobil yang kutumpangi, badanku terombang ambing di dalam mobil rasa sakit sudah tidak terasa lagi di sekujur tubuhku, kulihat ibu dan adik kecilku yang masih berusia 10 tahun terhempas keluar dari mobil, sekujur tubuh mereka dipenuhi dengan darah segar yang berserakan di tanah, aku hanya bisa menatap semuanya dengan tatapan kosong tak karuan, hingga penglihatan ku memudar sedikit demi sedikit dan aku kehilangan kesadaran, sebelum aku benar benar menutup mata masih bisa terdengar sayup sayup teriakan beberapa warga di sana yang membantu evakuasi keluargaku.
Setelah itu aku sungguh tidak tau apa yang sebenarnya terjadi pada aku dan keluargaku, malam itu aku dan kedua orangtuaku beserta adik kecilku berniat pergi ke sebuah acara perayaan tahunan keluarga kami, aku kira itu akan menjadi malam yang menyenangkan dan menjadi kenangan indah, sebelum kami berangkat bahkan ayah dan ibu masih sempat bercanda bersamaku, sampai di perjalanan ibu dan adikku yang kelelahan mulai tertidur dan hanya aku dan ayah sebagai supir yang masih terjaga, sampai ketika kantuk mulai melanda ayah tiba tiba saja mulai panik, dia mengatakan bahwa rem mobil blong sehingga dia tidak bisa menurunkan kecepatannya, hujan dan petir mulai melanda dan pohon itu tumbang hampir menimpa mobil kami, aku menjerit entah sekeras apa, semua yang ada di dalam mobil panik tak karuan meskipun ayah terus berusaha menenangkan.
*********************
Entah berapa lama aku tak sadarkan diri sampai ketika aku bangun dan mengerjap ngerjapkan mataku yang kulihat hanyalah atap rumah sakit yang kosong dan dingin, ku coba menggerakkan kepala dan anggota tubuhku namun tak cukup tenaga untuk itu, badanku masih terasa lemas dan sakit di mana mana, tiba tiba seorang suster masuk dan dia menatapku dengan wajah yang kaget lalu berteriak memanggil dokter.
"Dokter....dokter.....dia sadar....dokter cepat lihatlah!!" teriak seorang suster tersebut sambil berlari keluar dari ruangan.
Aku hanya menatap bingung dan mulai teringat dengan keluargaku, saat dokter menghampiriku dan memeriksa kondisi tubuhku hal pertama yang aku ucapkan adalah bertanya tentang keluargaku.
"Do...do...dokter....dimana ayah dan ibuku juga adik kecilku?" tanyaku dengan terbata bata karena masih cukup lemas.
Bukannya menjawab pertanyaanku dokter itu malah memintaku agar beristirahat total kemudian dia pergi meninggalkanku begitu saja, aku ingin mencari tau keberadaan keluargaku dan bagaimana keadaan mereka saat ini, aku terus saja berpikir positif karena melihat diriku sendiri yang selamat dari kecelakaan maut itu aku pikir keluargaku pasti selamat juga.
Hari terus berlalu entah sudah berapa lama aku dirawat di rumah sakit itu sampai akhirnya hari ini tiba, hari di mana aku mulai mendapatkan kembali kekuatan dan energiku, dokter sudah mengijinkanmu untuk pulang dan pihak rumah sakit bahkan tidak meminta tagihan atas biayaku selama dirawat di rumah sakit itu, awalnya aku merasa sedikit curiga, bagaimana bisa pihak rumah sakit tidak meminta tagihan sepeserpun atas perawatan yang begitu intensif padaku dalam waktu yang bukan sebentar, karena penasaran aku pun pergi ke tempat administrasi rumah sakit dan menanyakan soal pembayaranku.
"Permisi suster, saya ingin menanyakan perihal administrasi ruang rawat intensif nomor 115 di blok anggrek, kira kira berapa biaya yang harus saya tanggung" ucapku menanyakannya dengan teliti,
Suster itu segera memeriksa beberapa kumpulan data di dalam buku catatannya.
"Maaf kak, tapi semua biaya sudah dibayar lunas sejak 6 bulan yang lalu" ucap suster itu memberitahukan,
"Hah?, bagaimana bisa, aku saja baru sembuh apa jangan jangan ayah yang membayarnya tapi selama aku dirawat tidak ada satupun keluargaku yang menjenguk, sebenarnya kemana mereka dan siapa yang membayar biaya rumah sakit ini?" gumamku penuh kebingungan dan melamun di depan meja administrasi.
Aku baru tersadar dari lamunan ketika seseorang pria bertubuh kekar dan tampan memintaku menyingkir karena dia hendak melakukan pembayaran di sana.
Aku berlenggang pergi dengan penuh pertanyaan yang terus muncul di dalam kepalaku, aku bahkan masih mengenakan pakaian rumah sakit karena memang sudah tidak memiliki apapun lagi.
Aku pulang ke rumahku, karena ku pikir itu rumahku jadi aku masuk begitu saja tanpa mengetuk pintu dahulu, kucari ayah dan ibuku namun rumah tampak sepi dan tidak ada siapapun di ruang tengah, saat aku semakin masuk ke dalam rumah ada bibi dan pamanku yang tengah makan di dapur bersama putrinya yang seumuran denganku, segera aku hampiri mereka dan kutanyakan keberadaan keluargaku.
"Paman, bibi sedang apa kalian di sini?, oh iya di mana ayah dan ibu juga Rival?" tanyaku begitu antusias.
Mereka tidak menjawabku sama sekali dan hanya tertunduk membuang muka dari tatapanku, aku semakin bingung dan mulai mendekat ke arah Serli yang tak lain merupakan adik sepupuku.
"Serli ada apa ini sebenarnya, kenapa paman dan bibi tidak menjawabku?, Kalian juga tidak menengok aku saat di rumah sakit" tambahku sambil terus menanti jawaban dari Serli,
"Maafkan aku tapi........om dan tante.....mereka sudah......." ucap Serli yang terpatah patah,
"Apa?, mereka sudah apa Serli, cepat katakan!!" pungkasku dengan nada yang begitu tinggi,
"Mereka sudah meninggal dunia dalam kecelakaan itu, begitu juga dengan adikmu"
"Hah?... Haha tidak....tidak mungkin mereka meninggal, kamu bohongkan Serli?, kalau mereka meninggal lalu siapa yang membayar biaya rumah sakiku selama ini?, paman, bibi tolong jelaskan padaku bahwa mereka masih hidup aku mohon" ucapku berharap semuanya hanya kebohongan.
Melihat paman dan bibi yang tidak menjawab aku semakin tak karuan pikiranku kalut dan air mataku menerobos keluar begitu saja aku terduduk lemas di lantai dan tak tau lagi harus melakukan apa, Serli hanya memelukku dan terus mengusap lembut punggungku berusaha menenangkan aku, aku belum bisa menerima kenyataan ini, semuanya terlalu mendadak dan begitu menyakitkan, bahkan aku belum sempat mengucapkan banyak hal pada mereka, aku tidak sempat melihat jasad mereka walau untuk terakhir kalinya.
"Serli dimana mereka dikuburkan?, bawa aku ke sana sekarang" ucapku dengan mata yang sayu dan tatapan yang kosong.
Serli mengangguk dan memapahku keluar dari rumah, kami pergi menuju TPU yang tak jauh dari kompleks perumahanku.
Duduk tertunduk lesu saat aku lihat gundukan tanah dengan bunga diatasnya yang bertebaran, berjajar 3 kuburan dengan batu nisan bertuliskan nama ayah, ibu juga adik kecilku nama mereka tersemat kaku di atas batu nisan dan terdapat foto keluarga di bawahnya, aku tak sanggup lagi menahan deraian air mata, semua kenyataan pahit yang menimpa keluargaku begitu tiba tiba dan seperti tidak nyata, aku meraung memaksa pada dunia dan berharap semua ini hanyalah mimpi atau kebohongan belaka, namun sekuat apapun aku mencoba bukti nyata atas kepergian mereka sudah terpampang jelas dihadapan mata kepalaku sendiri aku tak bisa membohongi diri ini, meski sakit dan sesak di dada tak mampu ku tahan lagi.
Aku terus menyalahkan dunia dan takdir yang begitu kejam atas aku dan keluargaku, dalam keadaan kalut seperti ini aku tak mampu berpikir jernih dan hanya amarah membara yang menguasai jiwaku. Entah mengapa hatiku terus berkata banyak hal yang mengganjal atas kematian keluargaku yang secara bersamaan, dan mengapa mobil yang ku tumpangi bersama ayah dan ibu saat itu tiba tiba saja mengalami rem blong dan sulit dikendalikan oleh ayah, padahal sudah jelas sebelum kami pergi ayah sudah memeriksanya dengan benar dan aku sendiri yang melihatnya, aku merasa bahwa ada seseorang di balik kematian keluargaku, aku tidak bisa menerima bahwa keluargaku meninggal karena kecelakaan semata, karena aku yakin seandainya pohon itu tidak tumbang kami akan tetap kecelakaan karena rem mobil yang blong, sedangkan aku tau rem mobil sudah diperiksa dengan baik.
Sayangnya meski aku merasakan keanehan dan kecurigaan aku tetap tidak memiliki bukti atas dugaan kecurigaan tersebut, untuk saat ini aku hanya perlu kembali menjalani hidup demi kedua orangtuaku dan mulai membuka lembaran baru, setelah puas menangis di depan peristirahatan terakhir keluargaku, aku memutuskan untuk kembali pulang agar bisa beristirahat, untunglah saat itu ada Serli yang senantiasa menemaniku, baru saja aku sampai di rumah, mataku langsung disuguhkan dengan pandangan paman dan bibi yang tengah melemparkan sebuah koper dan tas milikku di depan teras begitu saja.
"Paman, bibi apa yang kalian lakukan kenapa melemparkan barang barangku seperti ini?" tanyaku penuh keheranan dan segera menghampiri mereka,
"Mulai saat ini kamu bukan pemilik rumah ini, dan kamu juga bukan keluarga saya lagi, sebaiknya kamu pergi dari sini secepatnya" ucap bibiku dengan nada yang mendominasi dan kedua lengan yang ia silangkan,
"hah?, apa yang kalian bicarakan?, ini rumahku dan perlu kalian tau aku adalah pewaris tunggal dari keluargaku atas dasar apa kalian mengusirku dari rumah kedua orangtuaku sendiri?" jawabku menegaskan dan melawannya,
"memangnya kamu pikir biaya rumah sakit selama enam bulan ini siapa yang membayar kalau bukan uang dari kami, dan untuk membayarnya kamu harus merelakan rumah ini menjadi milik kami, dan ini cepat tandatangani surat pengalihan kepemilikan rumah" ucap bibiku dengan memberikanku sebuah map biru berisi surat rumah,
"brakkkk.....sampai kapanpun aku tidak akan meberikan apa yang menjadi milikku pada orang lain, dan aku akan membayar semua biaya rumah sakit padamu" ucapku sambil melempar map tersebut tepat ke bawah kaki bibiku,
"baik jika kamu memang mampu membayarnya dalam tiga hari, aku akan melepaskan rumah ini padamu, atau kalau kau tetap berontak kau rasakan akibatnya nanti!!" ancam bibiku dan dia pergi bersama pamanku yang sama jahatnya.
Kakiku lemas dan terduduk lesu di lantai sambil membereskan barang barang yang sudah berserakan, Serli masih ada bersamaku dan membantuku memungut semuanya, aku heran mengapa Serli masih mau membantuku sedangkan kedua orang tuanya begitu tega melakukan semua ini, terlebih di hari pertama aku kembali setelah enam bulan tak sadarkan diri.
Bukannya mereka menenangkan ku dan memberikan kehangatan atas kepergian anggota keluargaku, justru malah perlakuan seperti ini yang mereka berikan.
Mataku kembali tertuju pada sosok gadis muda yang usianya hanya terpaut beberapa bulan denganku, dia sibuk membereskan pakaian dan beberapa barang milikku, aku benci dan sangat ingin menamparnya saat itu, namun aku tahan semua emosi dalam diriku karena aku masih memiliki belas kasih dalam diri ini, ku usir dia pergi sebelum aku kehabisan kesabaran untuk menahan emosi yang menggebu.
"Untuk apa kau masih di sini?, apa kau senang melihat penderitaanku?" ucapku menatap benci pada Serli,
"kumohon jangan salah paham padaku, aku sungguh tidak tau menahu mengenai semua yang ayah dan ibuku lakukan pada rumahmu, dan maaf karena aku juga tidak bisa membantumu tadi" jawabnya memberikan penjelasan padaku.
Namun aku tidak percaya sedikitpun dengan ucapan yang keluar dari mulutnya, aku terlalu benci dan di penuhi amarah pada bibi dan pamanku, seandainya Serli memang tidak terlibat aku tetap tidak akan mau berhubungan dekat dengannya lagi.
"Jangan sentuh barang barangku, dan pergi kau dari hadapanku, kita bukan saudara ataupun sahabat, mulai sekarang kau adalah orang yang paling aku benci!!" ucapku penuh amarah dengan mata yang berkaca kaca menahan emosi dan segera masuk ke dalam rumah meninggalkan Serli.
Di sudut hatiku yang terdalam aku tidak membohongi diriku sendiri bahwa aku sangat sedih karena telah berbicara sangat kasar pada Serli, sejak dulu dia adalah sosok saudara terbaik bagiku bahkan dia seperti sahabat yang selalu menemani dan mengkhawatirkanku, namun rupanya saat ini sudah berubah entah apa yang aku lewatkan selama enam bulan ketika terbaring lemah di rumah sakit, dalam waktu yang sesingkat itu aku telah kehilangan banyak orang yang aku sayangi dan kehilangan satu satunya sahabat terbaik sekaligus saudara yang selama ini sangat dekat dengan keluargaku.
Mengapa dunia harus sekejam itu padaku, dosa apa yang telah aku lakukan hingga alam menghukumku seburuk ini, saat ini tak ada yang bisa kulakukan selain menangis tersedu sedu di pojok kamar sambil memeluk foto keluarga di dalam dadaku.
"Ayah, ibu aku janji akan mengusut tuntas dan mencari tau sebab kematian kalian, aku juga akan mempertahankan rumah kita, berikan aku kekuatan untuk tetap berdiri tegak pada keadilan, aku janji pada kalian" ucapku dengan tangan yang memegang bingkai foto dengan erat.
Rasa sakit dan kekecewaan yang paman dan bibi berikan padaku sudah merubahku menjadi orang yang jauh lebih baik dan aku akan tumbuh sesuai dengan perlakuan yang mereka berikan padaku, kebencianku semakin besar kepada mereka, aku terlelap dengan posisi duduk memeluk kakiku sendiri sampai ke esokan paginya aku mulai kembali memupuk semangat dalam diri, mulai membuka lembaran baru dan keluar dari kegelisahan serta kesedihan yang membekas dalam hati.
Ini merupakan hari pertama aku tinggal di rumah yang cukup besar seorang diri, aku menyiapkan makanan seperti biasanya dan hampir lupa kalau hanya tinggal aku seorang yang tersisa hidup di dunia ini, mood makanku hilang begitu saja dan aku hanya meminum segelas susu coklat kesukaanku, aku langsung mengambil tas dan segera pergi mencari pekerjaan dan pinjaman ke bank, begitu lama aku berkeliling mencari pekerjaan dari satu tempat ke tempat lainnya, sayangnya ijazahku yang hanya lulusan SMA cukup sulit untuk mendapatkan pekerjaan di kota metropolitan seperti ini, aku mendapat banyak penolakan bahkan hinaan dari beberapa orang yang menyepelekan kemampuanku sebab aku belum memiliki pengalaman bekerja sebelumnya, walau mendapatkan banyak hinaan dan rintangan aku tidak menyerah, satu satunya cara saat ini hanyalah meminjam uang ke bank untuk menyelamatkan rumahku, namun jika aku meminjam ke bank usiaku yang masih sembilan belas tahun jelas tidak memiliki apapun yang bisa dijadikan tangguhan selain dari rumah itu sendiri, namun aku tidak bisa membuat rumahku diambil oleh paman dan bibiku, lama aku berpikir di pinggiran jalan sambil memegang map coklat berisi lamaran pekerjaan.
Sampai akhirnya tekadku sudah bulat dan aku pergi ke sebuah kantor penggadaian, awalnya memang aku pergi dan mengajukan pinjaman ke bank tapi sayangnya bank tidak bisa memberikan pinjaman sesuai besaran yang aku butuhkan, sehingga terpaksa aku pergi ke penggadaian dan menggadaikan rumahku sendiri, untunglah pihak penggadaian memberikan keringanan kepadaku dan mengijinkanmu untuk tetap tinggal di sana sampai batas tenggat waktu pelunasannya.
Setelah mendapatkan sejumlah uang yang diinginkan oleh paman dan bibiku aku langsung pergi menemui mereka ke kediamannya, aku masuk ke dalam rumah tanpa mengetuk pintu terlibih dahulu ku terebos masuk dan mengabaikan panggilan Serli yang meneriaki ku berkali kali, aku berteriak memanggil paman dan bibiku.
"Arisha.... Ar kamu mau kemana?" ucap Serli yang memanggil manggil namaku dari belakang,
"Paman, bibi keluar kalian, aku sudah membawa apa yang kalian inginkan" teriakku dengan penuh emosi dan menatap ke setiap penjuru ruangan.
Mereka berjalan menuruni tangga beberapa saat setelah aku memanggilnya, aku langsung melemparkan sejumlah uang di dalam amplop coklat yang tidak sedikit jumlahnya, mereka membuka matanya lebar dan segera memungut uang yang berserakan.
"Semuanya lunas, jangan pernah menggangguku lagi!" tambahku lalu hendak bergegas pergi,
"Baik kami juga tidak membutuhkan rumah jelekmu itu" ucap bibiku menghina satu satunya kenangan peninggalan kedua orangtuaku.
Kakiku yang hendak pergi tertahan seketika saat mendengar hinaan dari mereka, aku ingin berbalik dan langsung menampar wajah bibiku namun lagi lagi aku berusaha menahan semua emosi dan ku kepalkan tanganku dengan kuat, aku hanya menatap sekilas ke arah Serli yang hanya menunduk tanpa berkata kata, segera aku pergi dari tempat itu dan kembali ke rumahku, sesampainya di rumah aku bingung dari mana aku harus mencari uang sejumlah lima puluh juta rupiah dalam waktu satu tahun, aku terus memikirkan apakah keputusanku ini sudah tepat atau tidak, apapun takdir yang akan menghampiriku kedepannya aku akan terus menghadapi semuanya dengan kuat, sekalipun rumah ini harus disita oleh pihak penggadaian setidaknya rumah ini tidak dimiliki oleh paman dan bibi yang begitu jahat, hatiku terus mengganjal dan merasa gelisah tak karuan, aku tidak bisa tertidur dalam kondisi seperti ini, aku hanya bisa meluapkan amarahku dengan berteriak sekencang yang aku bisa.
"ARKHHHHHHHHHH..." teriakku sekencang mungkin di atas balkon rumahku,
Rumahku memang tidak terlalu besar namun memiliki dua lantai dan semuanya adalah hasil kerja keras dan usaha ayahku dari nol, meski ayah hanya seorang karyawan di salah satu perusahaan namun dia selalu mewujudkan apapun yang anak anaknya inginkan dan selalu memberikan yang terbaik bagi keluarganya, lagi lagi hembusan angin malam menerpa tubuhku dan aku masih terlarut dalam kesedihan ketika mengingat semua kenangan bahagia beberapa waktu silam bersama keluarga, kenakalan adikku yang selalu aku marahi dan mengadu pada ibu, aku merindukan suasana itu, berebut makanan ketika ayah pulang bekerja, menjahili adik dengan menyembunyikan barang kesayangannya, aku rindu kebisingan dalam rumah, aku rindu masakan ibu dan aku rindu elusan tangan ayah di kepalaku, mati matian aku menahan tangis sambil menggigit bibirku sekuat mungkin, aku tenggelamkan lagi dan lagi kepalaku diantara kedua kaki yang kutekuk rapat, hatiku kembali hancur walau aku sudah berusaha melupakan mereka dan membuka awal baru tapi bayang bayang mereka masih terlintas dalam benakku dan masih tergambar jelas di dalam mataku, nyatanya seberapa kuat aku berusaha ikhlas dan melewati semuanya aku tetap tidak bisa dan masih terpuruk, aku sadar butuh sedikit waktu lagi untuk bisa merelakan kepergian mereka. Ku seka air mata di pipi dan kembali bangkit mencoba menyemangati diri sendiri.
"Oke sudah cukup menangis untuk hari ini, semangat Arisha kamu harus kuat, semangat!!" ucapku memberikan semangat pada diri sendiri.
Untuk saat ini memang tidak ada siapapun yang bisa memberikan semangat juga kekuatan padaku selain dari diriku sendiri, karena itu aku harus menjaga diriku agar tetap sehat dan waras supaya aku tidak mengecewakan keluargaku di atas sana, masih banyak hal janggal yang harus aku selidiki aku tidak bisa jika hanya menghabiskan waktu dengan keterpurukan. Aku bergegas masuk ke dalam kamar dan membaringkan tubuh di ranjang siap untuk tertidur, baru saja hendak menutup mata suara bel dan ketukan pintu di luar membuatku terpaksa harus bangun dari ranjang dan pergi untuk melihatnya, betapa kesalnya aku saat ku buka pintu ternyata itu adalah Serli, aku langsung menutup pintu namun Serli berhasil menahannya sebelum aku sempat menutupnya dengan sempurna.
"Tunggu Arisha, aku mau mengatakan sesuai yang penting padamu" ucapnya sambil menahan pintuku dengan kuat,
"aku tidak perduli apapun yang kau mau katakan, aku membencimu!" jawabku penuh kebencian,
"meskipun itu menyangkut kedua orangtuamu?" balasnya yang membuatku langsung melepaskan tangan dari pegangan pintu.
"akan aku biarkan kau masuk, tapi jika kabar yang kau bawa tidak penting aku akan mengusirku dengan kasar!" jawabku memperingati.
Aku melakukan semua ini hanya karena tidak mau mendapatkan penipuan dan perlakuan buruk lainnya dari mereka, meski aku sadar dan melihat bahwa Serli sedikit berbeda dari paman dan bibi namun fakta bahwa dia adalah anak dari mereka membuatku sulit untuk mempercayainya, namun karena dia mengatakan membawa kabar mengenai kedua orangtuaku akupun bisa menerimanya sejenak untuk masuk ke dalam rumah, kami duduk di ruang tengah berjauhan dan aku terus memberikan sorotan mata yang tajam penuh kebencian dan amarah, aku juga tidak bisa berhenti menggenggam kuat kedua yg tanganku saat melihatnya.
"Cepat katakan apa yang kau tau mengenai kedua orangtuaku!" ucapku tak ingin berlama lama berbicara dengannya,
"sebelumnya aku ingin kamu tau bahwa aku tidak seperti yang kau pikirkan, aku juga baru kembali dari rumah nenekku enam bulan yang lalu, dan saat itu aku berniat menemuimu lebih dulu, ini untuk memberikan buah tangan untukmu namun saat itu aku lihat kau hendak pergi bersama keluargamu, jadi aku memutuskan untuk kembali pulang ke rumah dan memberikan hadiah ini keesokannya" ucap Serli mulai bercerita,
"katakan intinya aku benci melihatmu terlalu lama berada di dekatku" ucapku memotong cerita Serli,
"kumohon tolong beri kesempatan bagiku, ini sangat penting!" ucapnya memohon,
"Baiklah karena kau pernah menjadi sahabatku aku akan memberikan kesempatan padamu" ucapku memberikan kesempatan padanya,
"Dan saat aku hendak pulang aku tak sengaja memergoki ayah dan ibuku tengah mengotak ngatik mobil milikmu, aku pikir mereka hanya mengecek kendaraan saja, karena saat aku menghampiri dan bertanya pada mereka, mereka hanya mengatakan sedang memeriksa kendaraan yang mau keluargamu gunakan ke acara tahunan itu, aku benar benar bodoh karena percaya begitu saja pada mereka, sampai akhirnya kamu dan keluargamu menggunakan mobil itu tanpa mengeceknya lagi, dan kecelakaan itu terjadi, aku orang pertama dan satu satunya yang datang ke kantor polisi menanyakan sebab dari kecelakaanmu dan polisi mengatakan bahwa rem mobil milikmu seperti dipotong oleh benda tajam dan itulah sebab utama kecelakaan terjadi" sambung Serli dan dia kembali berhenti ditengah tengah ceritanya.
Mataku sudah mulai berkaca kaca saat mendengar cerita dari Serli aku juga mulai mempercayai ucapannya dan aku sadar Serli benar benar tak ada sangkut pautnya dengan paman dan bibi, aku tau dia berbeda sejak awal namun karena tidak ada alasan untukku tetap mempercayainya aku sulit untuk tidak membenci dirinya atas perlakuan kedua orangtuanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!