CRAANNNGGGGG!!!!
Seorang pria yang duduk di kursi roda melempar gelas yang berada di tangannya. Amarahnya tak terkendali saat mengetahui tunangannya menikah dengan pria lain. Wanita itu meninggalkannya karna dirinya mengalami kelumpuhan.
"Tidak berguna! Tidak berguna!" Ia memukuli kursi rodanya merasa tak berguna. Dirinya dinyatakan lumpuh oleh sang dokter karna kecelakaan yang dia alami bulan lalu. Bahkan dia sempat kritis dan koma. Tapi syukurnya Tuhan masih memberikan hidup untuknya.
"Tenang lah, Erland! Wanita bukan hanya Stella saja. Banyak wanita—"
"Siapa yang mau denganku, Ma? Aku lumpuh! Aku pria tidak berguna!" teriaknya menggema di dalam kamar. Suaranya bahkan terdengar sampai ke luar. Para pelayan di rumah ikut tersayat hatinya mendengar kalimat kesedihan yang diucapkan majikan tampannya.
Rhianna memeluk putranya. Dia merasakan kesedihan yang sama. Tapi dia bersyukur putranya masih bisa selamat. Tak tahu apa jadinya jika dia juga harus kehilangan orang yang tersayang. Kini hanya Erland yang ia miliki. Karna suaminya sudah lama tiada.
Tok!
Tok!
Tok!
"Permisi, Tuan." Suara dari pelayan wanita yang baru beberapa hari bekerja di rumah. Ia membawa makanan di atas nampan. Dengan wajah percaya diri dia melangkahkan kakinya mendekat pada dua majikannya yang menatapnya tak henti.
"Taruh di sana dulu, Nayra," kata Rhianna yang melihat pelayannya kebingungan. "Tolong ambilkan obat Erland yang sebelum makan," perintahnya.
Nayra dengan sigap langsung mencarinya di dalam laci. "Ini, Nyonya." Nayra menyodorkan botol obat yang di dalam terdapat pil-pil berwarna putih.
Rhianna membantu Erland meminum obatnya. Sedangkan Nayra masih setia berdiri. Dia memang ditugaskan untuk merawat Erland yang lumpuh. Rhianna sengaja mencari pelayan muda yang cekatan agar Erland merasa puas dengan pelayanannya. Karna Erland tidak suka sesuatu yang berbau lambat.
"Nayra, tolong kamu suapi Erland." Rhianna kemudian pergi meninggalkan mereka berdua.
Ini bukan pertama kalinya Nayra dihadapkan dengan situasi seperti ini. Dirinya merasa canggung sekaligus takut apalagi Erland selama ini tak pernah memperlihatkan senyumannya. Dia cenderung diam dengan tatapan tajamnya.
"Tuan—"
"Pergi! Aku bisa makan sendiri!" Dan ini bukan kali pertamanya Nayra di usir. Waktu itu baru sehari bekerja saja Nayra sudah dibentak habis-habisan oleh Erland. Tapi Nayra mencoba diam, dia berusaha menahan emosinya. Sekalipun dia tidak bersalah.
"Tapi—"
"Jangan membuatku mengulang perkataan ku lagi! Cepat keluar!" Jika sudah begini, Nayra dengan terpaksa keluar. Tapi dia sengaja berdiri di depan pintu sambil mengintip apa Erland sudah memakan makanannya.
Dari celah pintu ia melihat Erland perlahan meraih piringnya.
"Tampan juga kalau dilihat-lihat. Tapi galak sekali."
Nayra berusaha dibikin betah bekerja di sini. Karna gaji di sini lumayan untuk biaya hidup dan sekolah adiknya. Adiknya sangat bergantung padanya karna orang tua mereka sudah lama tiada. Nayra sebelumnya bekerja di sebuah cafe, tapi karna gajinya yang tidak mencukupi akhirnya dia mencari pekerjaan lain dan akhirnya takdir membawanya ke sini.
"Nayra! Sedang apa kamu di sini?" Dara tiba-tiba menepuk pundaknya. Dia adalah pelayan yang umurnya sebaya dengannya. Sama dengannya, Dara baru masuk dan bekerja di sini.
"Kamu tahu sendiri, tugasku adalah merawat tuan Erland. Tapi dia tidak mau aku dekat-dekat dengannya. Apa karna aku bau mungkin ya?" Ia mengangkat tangannya dan menciumi aroma ketiaknya, tapi tak ada bau yang menyengat. Baunya masih khas bau deodorant.
Dara tertawa, temannya ini memang pandai membuat orang tertawa. "Sudah lah, aku mau lanjut kerja. Hm sebaiknya kamu masuk tapi kamu berdiri agak jauh saja. Kamu juga harus membuat tuan Erland nyaman. Jika kerjanya kucing-kucingan terus, kamu pasti lama kelamaan tidak akan nyaman." Perkataan Dara ada benarnya juga. Dia harus berusaha mendekatkan diri. Sebagai pelayan dan majikan seharusnya mereka akrab dan saling mengenal walaupun nantinya ada batasannya.
****
Gaun putih panjang dengan variasi mutiara di beberapa bagian membuat penampilan calon pengantin wanita semakin memukau. Banyak yang bergosip bahwa calon pengantin ini sangatlah beruntung mendapatkan seorang pangeran. Walaupun pangerannya memiliki kekurangan. Tapi yang namanya pangeran tetaplah pangeran.
Rambutnya sudah indah dengan hiasan mahkota dan juga kain tile membuat sempurna penampilannya. Kini dia sudah bersiap untuk menikah. Menikah adalah impiannya dengan ekspektasi tinggi. Menikah dengan seseorang yang ia cintai. Membangun rumah tangga bersama. Memiliki anak-anak yang lucu dan menggemaskan. Memiliki teman hidup bersama selamanya. Tapi sepertinya takdir baik tak berpihak padanya.
"Frans, maafkan aku ...." Hatinya menjerit memanggil nama pujaan hatinya. Dia terpaksa dengan pernikahan ini. Frans yang juga tak kunjung memberi kepastian, akhirnya ia tinggalkan.
"Nayra, kenapa kamu tega melakukan ini padaku!" Sebuah chat yang terus masuk ke dalam ponselnya. Dia tak kuasa menahan sakit hatinya. Dia merelakan cintanya hanya untuk masa depan adiknya. Alvin harus tetap bersekolah. Tapi biayanya sangat mahal karna Alvin bersekolah di sekolah yang cukup populer. Gajinya memang cukup untuk membiayai sekolahnya di sana, jadi dia menerima tawaran dari Rhianna.
"Nayra, saya suka kinerja kamu. Saya suka dengan kelembutan kamu. Dan saya suka dengan kesabaran mu. Kamu sangat teliti, telaten dan juga cermat. Saya tidak menyesal telah memilih kamu sebagai pelayan putra saya."
Nayra tersenyum malu dipuji habis-habisan oleh Rhianna. Dia bersyukur bisa bertemu majikan sebaik Rhianna.
"Hmm, tapi saya kali ini meminta bantuan kamu. Apa kamu mau membantu saya?"
Nayra yang semula menunduk akhirnya memberanikan diri menatap nyonya besarnya.
"Bantu apa, Nyonya? Saya adalah pelayan biasa. Tapi saya berusaha untuk membantu Nyonya semampu saya." Dia memang gadis yang merendah juga baik hati. Rhianna menyentuh tangannya tiba-tiba.
"Saya ingin kamu mau menjadi istri Erland."
DEG.
Permintaan Rhianna seperti meteor yang tiba-tiba jatuh dihadapannya. Terdengar mustahil. Tapi tak terlihat raut wajahnya bercanda. Rhianna mengatakannya dengan keseriusan dan kewarasan yang tinggi.
"Nyo-nyonya, Anda sedang tidak bercanda, kan?" Seluruh tubuhnya bergetar, dia benar-benar terkejut. Apa mungkin ini sebuah jebakan? Atau mungkin saja majikannya ini sedang menyindirnya yang belum juga menikah. Perlu diakui umur Nayra sudah terlalu matang untuk seukuran wanita lajang. Usianya sudah 26 tahun. Tapi ia tak kunjung menikah.
"Nayra, lihat mata saya. Saya sedang berbicara serius. Saya ingin kamu menikah dengan putra saya Erland. Tapi jika kamu mau dan menyanggupi hidup bersama dengan pria yang lumpuh." Suara Rhianna melemah, memang sulit sepertinya mencari perempuan yang mau menerima segala kekurangan pasangan.
"Ma-maaf, Nyonya. Jika saya menolak bagaimana?" Takut-takut ia dalam menjawab. Takut jika menyinggung perasaan majikannya.
TUK!
Rhianna mengetuk cincinnya di atas meja. Raut wajahnya berubah masam.
"Jika kamu menolak dengan terpaksa saya harus memecat kamu!"
DEG.
Tubuhnya melemas, Nayra seakan kehabisan tenaga. Ini bukanlah meminta bantuan tapi ini adalah sebuah ancaman.
Nayra berdiri dengan kokohnya. Sedangkan Erland di atas kursi rodanya. Pandangan keduanya kosong walaupun sama-sama menatap ke arah depan.
Upacara pernikahan pun berjalan dengan sangat khidmat. Rhianna tak kuasa menahan air matanya. Ia begitu terharu melihat putra satu-satunya menikah. Juga Alvin yang langsung memeluk kakak perempuan yang sangat ia sayangi.
"Kakak, jangan lupakan aku!" rengeknya. Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam. Dia merasa ketakutan Nayra tidak akan memperdulikannya lagi. Takut jika waktunya dihabiskan bersama suaminya.
"Kakak tidak akan pernah melupakan kamu, Alvin. Kamu tetap bagian hidup Kakak yang berharga." Kakak beradik itu saling berpelukan erat. Sebelum Nayra ditarik untuk istirahat karna acara sudah selesai.
"Nayra, kamu sangat beruntung." Bi Har menepuk pundaknya. Ia terkejut saat Rhianna mengumumkan bahwa Erland akan menikahi Nayra. Seluruh pelayan berlomba-lomba menebak apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa tuan tampannya itu bisa mau menikahi seorang pelayan.
"Apa mungkin Nayra dilecehkan? Saat dia membantu merawat tuan Erland, mereka sudah pernah—"
"Ssstttt. Jangan bicara yang tidak-tidak. Nanti takut nyonya besar dengar. Kalian semua bisa dipecat kalau berbicara sembarangan."
Banyak omongan tidak enak yang menyebar. Tapi mereka akhirnya diam dengan sendirinya. Karna mereka takut akan dipecat.
Di sebuah kamar yang luas. Nayra menutup pintunya dengan pelan. Sudah ada Erland di sana. Masih duduk di kursi roda di dekat jendela. Ia memutar kursi rodanya menatap Nayra yang baru masuk.
"Tuan, apa Anda ingin bersih-bersih sekarang?" Nayra tak berani menatapnya, dia menunduk menghadap lantai kamar. Suasana mendadak hening. Hanya ada dentingan jam yang berbunyi. Membuat Nayra tambah canggung berduaan di dalam kamar.
Ia masih memposisikan diri sebagai pelayan bukan seorang istri.
"Kita bikin perjanjian!" Erland membuka suaranya. Dia mendorong kursi rodanya mendekat pada Nayra.
"Perjanjian apa, Tuan?" Ia perlahan mengangkat kepalanya. Berusaha melihat kedua matanya yang setajam elang.
"Kita bercerai setelah satu tahun pernikahan."
DEG.
Perjanjian apa ini? Maksudnya apa? Sebenarnya apa maksud dan tujuan Erland menikahinya? Ia kira, Rhianna menyuruhnya untuk mau menikah dengan putranya karna merasa kasian dengan kondisi Erland yang lumpuh. Sebagai seorang ibu pasti Rhianna takut tidak ada wanita yang mau dengannya.
"Ber-bercerai?" tanyanya terbata. Dia meremas gaunnya. Harga dirinya seakan tercabik. Ibunya memohon untuk mau menikah dengan putranya. Lalu kini putranya ingin membuangnya setelah satu tahun pernikahan? Dia manusia atau boneka?
"Iya. Aku tidak mencintaimu. Dan aku tidak akan pernah bisa hidup dengan orang yang tidak aku cintai."
Nayra membuang mukanya. Merasa konyol dengan perkataan pria di hadapannya ini yang sudah berstatus suami. "Cinta? Dia pikir, aku mencintainya?"
"Kenapa tidak sekarang saja!" tantangnya dengan mata berair. Hatinya sungguh tercabik. Bukan maunya menikah dengannya. Tapi seakan ia yang menginginkan pernikahan sehingga pria dihadapannya ini dengan mudahnya ingin membuangnya.
"Aku belum memiliki semuanya. Kekayaan yang mendiang ayahku miliki akan bertahap jatuh ke tanganku. Aku butuh waktu satu tahun."
Cih.
Nayra baru sadar bahwa dirinya hanya dijadikan alat untuk kepentingan dia saja.
"Terlalu lama! Aku ingin 6 bulan saja!" tawarnya. Nayra tak mau kalah, ia tidak ingin dimanfaatkan terlalu lama.
"Satu tahun! Setelah itu aku bisa memberikan kamu uang yang banyak. Kamu pasti butuh uang, kan?"
Hatinya begitu perih mendengar perkataan Erland yang terkesan merendahkannya.
"Maaf, Tuan. Saya ingin bersih-bersih lebih dulu."
Air matanya tak dapat lagi dibendung. Pertahanannya seakan runtuh bersamaan sakit hatinya. Dia merelakan meninggalkan kekasihnya hanya untuk menerima tawaran dari Rhianna untuk menikahi putranya. Tapi ternyata putranya tak membutuhkan seorang istri, ia hanya membutuhkan sebuah alat untuk mencapai sesuatu.
Cukup lama Nayra berada di dalam kamar mandi. Sehingga Erland menggedor pintunya dengan keras.
"Hey, apa kau tidur di dalam? Apa kau pingsan?" teriaknya.
Nayra membalut tubuhnya dengan handuk berbentuk piyama. Ia bahkan lupa membawa baju ganti.
"Maaf, Tuan," cicitnya saat melihat Erland di depan pintu. Ia berjalan melewatinya dan menuju lemari. Dirinya tidak tahu apa di dalam lemari itu ada pakaiannya atau tidak. Karna seingatnya dia tidak membawa apa pun kesini.
Dan untung saja di dalam sana ada setelan piyama untuk perempuan. Hatinya lega karna menemukan piyama lengan panjang.
"Maaf, Tuan. Saya ganti baju dulu. Setelah itu saya akan membantu Anda membersihkan diri." Nayra kemudian masuk lagi ke dalam kamar mandi. Dengan cepat ia memakai piyama itu. Tak mau Erland menunggu lama.
Nayra sudah berganti baju. Dia segera membantu membuka pakaian Erland. Ini sudah ia lakukan saat menjadi pelayannya. Sudah menjadi hal yang biasa untuknya. Tapi untuk membuka celananya, ia memang sengaja menutupi bagian sensitifnya dengan sebuah handuk. Itu sebagai bentuk kesopanan. Dia tak mau melihat apa yang seharusnya tidak ia lihat.
Ia hanya membawa Erland masuk ke dalam kamar mandi. Lalu mendudukkan dia di bath up. Lalu saat ia sudah selesai membersihkan diri, Nayra membantunya untuk duduk kembali ke atas kursi rodanya. Memang awalnya terasa sulit, juga berat mengangkat tubuhnya tapi lama kelamaan Nayra terbiasa. Erland juga tak serta-merta menggantungkan dirinya pada bahu Nayra, dia juga ikut mengangkat tubuhnya sendiri semampunya.
Air hangat telah sedia di dalam bath up. Itu adalah permintaan dari Erland.
"Tuan, saya permisi. Panggil saya kalau sudah selesai." Wanita itu lantas keluar. Dia duduk di tepi ranjang dengan pandangan mengarah pada pintu kamar mandi. Telinganya berjaga barangkali Erland memanggil dirinya.
"Nayra! Keluarlah! Aku di luar!" Satu pesan masuk ke dalam ponselnya. Itu dari Frans. Dia memang mencintainya, tapi terkadang sifat Frans yang pemarah dan egois membuatnya tak nyaman. Walaupun hubungan mereka sudah lama. Tapi Frans juga tak ada keniatan membawa hubungan mereka kearah serius.
Dia langsung berlari menuju jendela. Dia menatap ke bawah, dan benar saja ada Frans yang sedang berdiri di halaman gedung ini.
"Dia benar-benar kesini?"
Nayra bingung ingin menemuinya atau tidak. Dan pada akhirnya ia berjalan keluar menemui Frans. Daripada pria itu lebih nekat lagi mencarinya ke dalam.
Untung saja keadaan di luar aman. Hanya ada para staf kebersihan yang sedang membereskan semua.
"Kenapa kamu datang ke sini? Kamu jangan bikin masalah!" Nayra langsung memarahi Frans.
"Jangan bikin masalah? Apa kamu bilang? Aku bikin masalah? Kamu benar-benar wanita tak punya hati, Nayra. Aku kecewa denganmu. Kenapa kamu bisa-bisanya menikah dengan pria lain. Sedangkan aku masih berstatus sebagai kekasihmu." Terlihat kekecewaan yang nyata di kedua mata Frans. Tapi perlahan ia menggenggam jari jemari Nayra. "Aku mencintaimu, Nayra. Sebenarnya apa alasan kamu mau menikahi pria lumpuh itu? Apa karna dia kaya?"
Nayra menggeleng. "Tidak. Bukan karna itu." Dengan cepat Nayra melepaskan tangannya. Tak ingin ada orang yang melihat keduanya. Apalagi jika yang melihat adalah orang rumah, bisa-bisa Nayra dalam bahaya.
"Frans, aku mohon kamu pulang saja. Kita akan bicarakan ini nanti. Aku janji akan menemui mu secepatnya." Nayra mengusir Frans seraya mendorong tubuhnya untuk pergi.
"Janji ya? Aku tunggu." Frans mengedipkan matanya sebelah lalu tersenyum lebar sebelum meninggalkan kekasihnya sendirian di sana.
Saat ingin masuk lagi ke dalam gedung, Nayra menoleh ke kanan dan kiri. Saat situasi sudah aman, ia perlahan masuk ke dalam.
"Darimana saja kamu?" Tiba-tiba Erland sudah duduk di atas kursi roda. Nayra kebingungan untuk menjawab. Dan juga tak percaya bahwa Erland bisa naik ke kursi roda itu tanpa bantuannya.
"Tu-tuan, Anda—"
"Aku dari tadi memanggilmu. Tapi malah pelayan yang datang," ungkapnya dengan kesal.
Ia menghela napasnya, dalam hatinya syukurlah jika ada pelayan yang datang.
"Hey, jawab! Darimana saja kamu?" bentaknya.
Erland memang tak bisa berbicara lembut, ia selalu meninggikan suaranya. Nayra tidak bisa membayangkan apa jadinya pernikahannya nanti.
"Maaf, Tuan. Tadi saya keluar sebentar mencari angin."
Pria itu memandanginya dari atas sampai bawah. Ini pertama kalinya Erland melihat Nayra pakai baju bebas. Biasanya ia akan memakai pakaian khas pelayan saat bekerja di rumah. Bahkan rambutnya yang biasa diikat ke atas, kini dengan bebasnya digerai.
"Soal perjanjian tadi, kamu setuju, kan?" tanya Erland memastikan.
Nayra tanpa keraguan mengangguk. Baiklah dia akan jadi istri Erland selama setahun. Dan setelah itu dia bisa kembali ke pelukan Frans.
"Iya, Tuan. Saya menyanggupi perjanjian itu. Berarti itu artinya saya bebas—"
"Tidak! Kamu tidak akan bebas melakukan apa pun tanpa seijin ku. Karna apa yang kamu lakukan akan berdampak juga denganku. Jadi jangan coba-coba melakukan hal yang membuat reputasi ku hancur. Aku adalah seorang pengusaha yang cukup terkenal di kota ini, semua orang hampir mengenalku. Jadi, kamu juga harus bersikap yang baik saat berada di luar."
Wanita itu mengangguk patuh. Ia tahu, menjadi istri seorang pengusaha tak semudah yang ia bayangkan. Apa pun yang akan dilakukan nanti harus ia pikirkan matang-matang.
"Hm, baik, Tuan. Berarti tugas saya—"
"Tugas kamu masih seperti seorang pelayan. Dan kita punya batasan. Aku tidak mau tidur satu ranjang denganmu. Kamu tidur saja di bawah." Erland lagi-lagi memotong perkataannya. Begitu menyebalkan sekali.
"Hah? Apa? Selain pemarah dia juga sangat tega."
Dengan sabar, Nayra mengangguk. Tak apa lah tidur di bawah, lagipula ia sudah terbiasa tidur di bawah.
***
Pagi ini Nayra sudah membuat janji dengan Frans, setelah ia meminta ijin untuk keluar dengan alasan ingin menemui adiknya di rumah. Alvin memang masih tinggal di rumah, ia sendirian di sana. Setelah menemui Frans, dia juga akan ke rumah.
Sebuah cafe yang menjadi favorit mereka selama bertahun-tahun. Mereka sering berkunjung kemari. Tempatnya yang nyaman dan juga harga makanan yang murah menjadi pilihannya.
Cukup lama Nayra menunggu, hingga minuman yang ia pesan sudah hampir habis. Tak sabar ia menunggu kekasihnya yang memang sering sekali ngaret. Frans jarang sekali tepat waktu. Pria itu sering sekali membuatnya kesal.
Sosok pria bertubuh tegap masuk ke dalam cafe. Ia memakai jaket levis dengan rambut setengah berantakan. Sepertinya ia baru saja bangun tidur dan langsung menuju kemari.
"Lama sekali!" Nayra menyebikkan bibirnya. Ia tak punya banyak waktu. Apalagi meminta ijin pada Erland susahnya minta ampun.
"Maaf, sayang. Aku baru bangun tidur."
Dan benar saja, Frans selalu saja menggampangkan segala sesuatu. Bahkan bertemu dengannya tak membuatnya excited.
"Kamu sebenarnya sayang beneran sama aku gak sih? Kenapa kamu seakan menyepelekan hubungan ini?" tanya Nayra dengan raut wajahnya yang kesal. Bertahun-tahun mereka menjalani hubungan, tak pernah sekalipun Frans memanjakannya. Ia selalu saja bersikap cuek.
"Kamu tanya? Aku sayang sama kamu atau enggak? Sekarang yang gak sayang itu siapa? Aku atau kamu? Kamu tiba-tiba mengatakan akan menikah dengan pria lain secara mendadak. Yang merasa disakiti sekarang itu siapa?" Frans menggebrak meja dengan pelan. Ia menatap Nayra dengan matanya yang berapi. Jujur saja hatinya masih sakit menerima kenyataan yang ada. Tapi kecintaan Frans kepada Nayra seakan menutupi kekecewaannya yang besar.
"Aku tidak punya pilihan. Aku membutuhkan banyak uang untuk menyekolahkan Alvin," kata Nayra. Ia mengusap sudut matanya yang basah.
"Karna uang? Karna uang kamu rela menukar cintamu?" Frans tersenyum sungging. Ia menggelengkan kepala tak percaya pada ucapan Nayra yang begitu berani. "Kamu membutuhkan uang?" sindirnya.
"Sudahlah. Aku tidak mau berdebat. Aku akan berpisah dengannya setelah satu tahun pernikahan. Setelah itu aku akan bebas dari ikatan pernikahan ini."
Frans terkejut mendengar pengakuan Nayra. Sebenarnya apa yang terjadi di dalam pernikahannya. "Maksudmu? Kalian nikah kontrak?" tanyanya.
Nayra membuang muka. Dia tidak tahu apakah ini nikah kontrak atau bukan. Tapi itulah perjanjian yang diucapkan Erland.
"Jika kamu mau menungguku sampai satu tahun silakan. Tapi jika kamu mau mencari wanita lain juga tak masalah." Nayra berdiri, ia ingin meninggalkan kursinya. Rasanya sudah cukup pertemuannya kali ini dengan Frans.
Frans menarik tangannya, ia menatap sendu kedua matanya yang indah. Hatinya sangat berharap mereka akan bersama-sama selamanya.
"Jangan tinggalkan aku, Nayra. Aku sangat mencintaimu." Ucapan Frans membuat kedua matanya berkaca-kaca. Ia juga mencintai Frans, karna hanya dialah yang mau bertahan dengannya selama ini. Segala kesusahan dan juga masalah yang menimpa dirinya selama ini, tak membuat Frans meninggalkannya. Walaupun secara ekonomi Frans tak selalu membantunya, tapi ia selalu mendukungnya lewat semangat. Frans juga tak memiliki banyak uang, ia hanyalah karyawan swasta yang gajinya tak seberapa.
Frans mengantarkan Nayra ke rumah. Di sana sudah ada Alvin. Karna kebetulan hari ini hari libur. Jadi Alvin ada di rumah.
Walaupun hubungan keduanya sudah berjalan bertahun-tahun, tapi Alvin tampak tak suka dengan Frans. Ia selalu menghindar saat Frans datang.
"Adikmu kenapa tidak menyukaiku? Apa karna aku miskin?" Frans merendah, selama ini Alvin selalu bersikap cuek padanya. Tapi Nayra selalu mengatakan bahwa Alvin memang susah bergaul.
"Kalian hanya belum saling mengenal. Lagipula Alvin tidak pernah melarang ku untuk berhubungan denganmu. Itu artinya dia tidak masalah dengan hubungan kita."
Jam menunjukkan pukul 10. Sebentar lagi akan memasuki waktu makan siang. Ia harus segera pulang. Menyiapkan makanan untuk Erland. Ini sudah terlalu lama ia di luar.
"Kenapa buru-buru. Aku masih rindu." Frans tak mau berpisah, ia masih bergelayut manja dengan Nayra.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!