NovelToon NovelToon

Terikat Pak Dosen

Menanggung membayar hutang

“Haaaaaaaaa!! Ini di mana? Kenapa seluruh badanku terasa tidak nyaman?” ucap Arin sambil memegangi kepalanya yang terasa pusing sambil duduk di dalam sebuah kamar dengan lampu yang menyala redup.

Di saat yang bersamaan, pintu kamar pun terbuka dan Arin yang tadinya ingin segera kabur ini pun tiba-tiba terjatuh dan menabrak orang tersebut yang samar seperti terlihat seorang laki-laki.

Melihat Arin seperti itu, orang tersebut pun bertanya, “Kamu gak apa-apa?”

Arin yang sudah tidak kuat ini pun akhirnya dengan wajah yang memerah berkata, “Tolong aku. Aku benar-benar gak nyaman.”

Melihat kondisi Arin yang seperti itu, orang tersebut pun bertanya, “Apa kamu yakin mau melakukannya?”

Tanpa menjawab ucapan orang tersebut, entah mengapa Arin langsung mencium bibir orang tersebut sehingga membuat orang tersebut pun terkejut beberapa saat dan kemudian terjadilah seperti yang Arin inginkan.

Pagi harinya karena begitu sangat malu, Arin pun langsung pergi begitu saja meninggalkan pria tersebut tanpa mengetahui siapa orang yang semalam sedang bersamanya karena saat itu kondisi kamar yang masih redup.

Karena terburu-buru, Arin rupanya menjatuhkan kartu mahasiswanya di kamar tersebut.

Setelah setengah jam kemudian, orang yang semalaman bersama Arin ini pun terbangun. Betapa terkejutnya dia saat melihat perempuan yang semalam bersamanya sudah pergi meninggalkannya.

Sambil tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya orang tersebut bergumam, “Perempuan jaman sekarang benar-benar tidak tahu caranya berterima kasih.”

Namun di saat orang tersebut hendak turun, dia menemukan kartu identitas dari perempuan tersebut sehingga membuat dia berkata, “Tertangkap kamu sekarang.”

***

“Dari mana saja kamu semalaman, hah!?” tanya Mama Tya sesaat setelah melihat Arin pulang.

Arin yang merasa seperti sedang tertangkap basah ini pun tiba-tiba saja terkejut dan terdiam.

Sedangkan di sisi lain ada seorang perempuan yang tak lain dan tak bukan Adik tirinya yang bernama Yuke, dia berkata, “Aduh, Kak. Semalam aku cari Kakak ke mana-mana, kok tiba-tiba saja Kakak menghilang. Padahal waktu itu kakak sedang mabuk berat.”

Mendengar ucapan Yuke tersebut, Mama Tya pun langsung emosi dan berteriak, “Bagus ya. Sekarang jawab. Kamu pergi ke mana dalam keadaan mabuk hah!?”

Arin pun masih hanya terdiam seribu bahasa. Baginya, dia di rumah itu tidak memiliki hak untuk menjelaskan. Walau pun di jelaskan kalau dia sendiri juga kurang begitu paham dengan yang terjadi, siapa juga yang akan mau percaya.

Melihat Arin hanya diam saja, Mama Tya pun kemudian kembali berkata, “Baik. Jika kamu tidak mau bilang, gak apa-apa. Tapi, sebagai hukumannya, kamu harus bekerja di rumah Tuan Ardian. Kebetulan dia sedang memerlukan asisten rumah tangga. Jadi kamu Mama pekerjakan di sana untuk membantu mama membayar semua hutang-hutang mama dengan keluarga Ardian sampai hutang mama lunas.”

“A—apa, Ma? Maksud Mama, aku bekerja di sana sebagai pembantu tanpa terima gaji?” tanya Arin.

“Ya. Benar sekali,” sahut Mama Tya.

“Ta—tapi, Ma. Aku kan harus kuliah. Kalau aku bekerja di sana, lalu bagaimana caranya aku bisa kuliah?” tanya Arin memelas.

“Itu urusanmu. Cepat sana kemasi barang-barangmu dan cepat pergi ke sana sekarang juga!” bentak Mama Tya.

“Sukurin,” ucap Yuke.

Dengan lemas Arin pun melangkahkan kakinya menuju kamarnya dan sesampainya dia di kamar, Arin pun menangis sejadi-jadinya. Dia meratapi nasibnya yang begitu buruk. Dari dikerjai orang, menyerahkan kesuciannya karena terpaksa dan kini harus menanggung membayar hutang-hutang Mamanya.

“Ayah, kenapa kau begitu cepat pergi meninggalkan aku dengan seorang ibu tiri yang benar-benar kejam seperti ini!?” gumamnya lirih sambil masih menangis.

Setelah beberapa saat kemudian, Arin yang telah selesai mengemasi barang-barangnya ini pun kemudian pergi melangkahkan kakinya menuju alamat yang diberikan oleh Mama Tya.

Dengan langkah yang lesu, akhirnya dia pun sampai di alamat tersebut dan ketika dia sampai di pintu gerbang, betapa terkejutnya dia melihat kemewahan dan kemegahan rumah tersebut.

“Wah, hebatnya. Orang yang tinggal di sini pasti kaya sekali,” gumam Arin yang begitu takjub dengan apa yang dia lihat.

Di saat Arin sedang mengagumi rumah tersebut, tiba-tiba datang seorang penjaga dan bertanya, “Adek ini mencari siapa?”

“Oh, Pak. Saya tadi disuruh datang ke sini oleh orang tua saya. Katanya saya harus menemui Tuan Ardian,” ucap Arin.

“O begitu. Kalau begitu, tunggu sebentar ya. Biar Bapak coba pastikan dulu,” ucap penjaga itu dengan sabar dan sopan.

Arin pun mengangguk dan kemudian berkata, “Terima kasih banyak, Pak.”

Setelah beberapa saat menunggu, Bapak itu pun akhirnya keluar kembali dan kemudian berkata, “Iya, dek. Masuk aja. Hanya saja tuan belum pulang. Jadi Adek ketemu aja dulu sama Bu Weni.”

Arin pun mengangguk dan kemudian melangkahkan kakinya masuk ke dalam.

Dengan di pandu oleh Bapak penjaga tersebut, maka tibalah dia di sebuah ruangan dan di sana dia di suruh untuk menunggu sebentar.

Hingga sesaat kemudian...

“Ehm.. jadi kamu orang yang akan bekerja di sini untuk membantu orang tuamu membayar hutang-hutangnya!?” ucap seseorang dari arah belakang Arin.

Merasa ada yang berbicara, Arin pun kemudian menengok ke arah sumber suara.

“Ok!? Kalau begitu, kenalkan dulu. Aku, Bu Weni. Kepala pelayan di rumah ini. Beberapa saat yang lalu Tuan bilang kalau akan ada orang ke sini untuk membantu orang tuanya membayar hutang-hutangnya dan berhubung kamu sudah datang, aku langsung saja menerangkan tugas-tugas yang akan kamu kerjakan di rumah ini,” ucap orang tersebut yang ternyata bernama Bu Weni.

Tanpa membuang waktu, Bu Weni pun langsung menjelaskan semuanya yang harus Arin kerjakan di rumah itu.

Setelah beberapa saat mendengarkan penjelasan Bu Weni, Arin merasa kalau pekerjaannya itu tidak ada cela agar dia bisa kuliah sehingga membuat dalam benaknya saat itu dia bergumam, “Bagaimana ini? Sebentar lagi akan ada ujian dan ini kesempatanku memperbaiki nilai. Kalau aku sampai gak ikut, bisa-bisa aku bakalan di DO.”

Sementara itu, setelah selesai menjelaskan semuanya, Bu Weni pun langsung bertanya, “Bagaimana? Apa ada yang ditanyakan?”

“Hmm, Bu. Begini, aku kan saat ini sedang kuliah, boleh tidak aku mengambil waktunya sedikit untuk berangkat ke kampus?” tanya Arin.

Bu Weni pun terdiam sejenak lalu kemudian akhirnya berkata, “Nanti akan aku tanyakan dulu sama Tuan.”

Padahal di saat yang bersamaan dalam hati Bu Weni, dia bergumam, “Sembarangan aja. Emang kamu siapa mau minta kelonggaran kerjaan. Cuma pembantu buat bayar hutang aja belagu.”

Sementara itu, Arin yang mendengar ucapan Bu Weni pun kemudian berkata, “Jangan sampai lupa ya, Bu. Soalnya aku harus masuk buat ujian.”

Bu Weni pun tersenyum namun dalam hatinya dia berkata, “Heleh, pembantu doank aja mau sok-sokan kuliah. Kalau emang pembantu ya pembantu aja sih. Gak usah mikirin kuliah. Dasar sok.”

Bersambung...

Diam-diam ke kampus

Keesokan harinya, Arin yang merasa kalau Bu Weni akan mengusahakan agar dia bisa tetap berangkat ke kampus ini pun melakukan aktivitas hari pertamanya sebagai asisten rumah tangga dengan tenang.

Dia melakukan itu semua tanpa berpikir macam-macam dan menjalani hari-harinya tanpa khawatir akan kuliahnya.

Karena ujian akan diadakan dalam waktu satu minggu lagi, ketika ada waktu senggang, Arin pun mempelajari kembali mata kuliah yang pernah dia dapatkan.

Sementara itu, Bu Weni pun tiba-tiba saja di panggil oleh si pemilik rumah untuk datang menemuinya di ruang belajar.

Setelah sampai di ruang belajar...

“Bagaimana? Apa orang yang akan bekerja di sini untuk membantu orang tuanya sudah mulai bekerja?” tanya pemilik rumah yang bernama Ryu Ardian.

“Sudah Tuan,” sahut Bu Weni.

“Bagus. Berarti kamu sudah menjelaskan semua tentang apa yang harus dilakukan olehnya di rumah ini kan?” tanya Ryu lagi.

“Sudah Tuan,” sahut Bu Weni lagi.

“Bagus. Sekarang kamu lanjutkan lagi pekerjaanmu,” perintah Ryu.

“Baik Tuan,” sahut Bu Weni yang kemudian langsung pergi.

Di saat ini, rupanya Bu Weni lupa dengan apa yang dipesan Arin padanya.

Sementara itu di saat yang bersamaan di ruang belajar...

“Baguslah. Aku sekarang bisa cek identitas sebenarnya pembantu ini,” gumam Ryu yang kemudian langsung beranjak pergi.

Hingga sehari sebelum ujian di mulai...

“Bu, Maaf. Apa Ibu sudah menanyakannya ke Tuan?” tanya Arin.

Saat mendapatkan pertanyaan seperti itu, Bu Weni yang tadinya sudah melupakan akan hal ini pun akhirnya teringat kembali.

Lalu dia berkata, “Oh, soal itu. Kata Tuan katanya mau dipertimbangkan lagi.”

“Dipertimbangkan!?” ucap Arin yang kemudian diangguki oleh Bu Weni.

“Aduh. Bu, bisa gak Ibu coba tanyakan lagi pada Tuan. Apa kira-kira keputusannya. Soalnya besok aku ada ujian dan harus berangkat ke kampus,” ucap Arin memohon.

“Iya. Nanti aku tanyakan lagi. Sudah. Sana lakukan tugasmu lagi,” perintah Bu Weni.

“Baik Bu,” sahut Arin yang kemudian langsung kembali melakukan aktivitasnya.

Sementara itu, di saat Arin sudah pergi, dalam hati Bu Weni, dia bergumam, “Dih ogah. Ngapain juga bilang ke Tuan. Kurang kerjaan.”

Setelah mengatakan hal itu, Bu Weni pun langsung melenggang kaki melanjutkan aktivitasnya sendiri.

***

Keesokan harinya pun tiba dan Arin masih belum juga mendapatkan kabar dari Bu Weni tentang di perbolehkan atau tidaknya Arin ke kampus. Hal ini membuat Arin mengambil keputusan diam-diam untuk berangkat ke kampus setelah memastikan kalau yang menjadi tugasnya selesai dikerjakan.

Setelah selesai, tanpa membuang waktu, Arin pun langsung segera berangkat menuju kampus.

Sesampainya di kampus, tiba-tiba saja Arin dikejutkan oleh sebuah tepukan di pundaknya.

“Eh kutu kupret,” ucap Arin spontan dan menghentikan langkahnya sambil memegangi dadanya.

“Bwahahahahaha... Lo kenapa jadi latah banget sih!?” ucap Aryo.

Masih sambil memegangi dadanya, Arin pun langsung berkata, “Ya ampun Aryo. Gue kaget banget tahu. Lo itu ya. Kenapa sih datangnya gak pake ada suara gitu!?”

“Aih. Lo kok tega banget sih ngomong gitu ke gue!?” protes Aryo.

“Tega gimana sih?” tanya Arin.

“Lha tadi Lo bilang kalau gue datang gak ada suara. Emangnya gue itu makhluk astral apa!?” ucap Aryo.

“Lha emang bener gak kedengaran ada suara kok. Tahu-tahu lo udah nepuk pundak gue,” ucap Arin.

“Iya dah iya. O ya, kemarin-kemarin lo ke mana aja? Gue cari lo kok gak pernah nemuin,” tanya Aryo.

Untuk sesaat, Arin pun terdiam sehingga membuat Aryo menjadi bingung.

“Lo kenapa, Rin?” tanya Aryo.

“Gak. Gak ada apa-apa. Sudahlah. Ayo kita ke kelas. Sebentar lagi masuk,” ucap Arin yang kemudian langsung melanjutkan langkahnya.

Aryo yang mendapatkan respons seperti ini pun sebenarnya ingin sekali bertanya namun dia urungkan.

Hingga hari pertama ujian pun berakhir dan dengan segera Arin pun langsung kembali ke rumah dan melanjutkan pekerjaannya yang seharusnya dia lakukan sesuai jadwalnya.

Karena merasa hari pertama berjalan tanpa ada masalah, Arin pun berniat melakukan hal yang sama di hari selanjutnya.

Dan benar saja. Arin melakukan hal yang sama hingga hari-hari selanjutnya selama ujian.

Kini ujian tinggal dua hari lagi dan setelah itu, Arin tidak harus melakukan hal seperti ini lagi. Hal di mana dia harus diam-diam menyelinap pergi ke kampus.

“Hai Rin,” ucap Aryo sambil menepuk pundak Arin yang membuat Arin terkejut.

Karena merasa kesal dengan sahabatnya itu, Arin pun langsung berkata, “Ar, lo bener-bener ya. Cocok lha kalau lo jadi makhluk astral aja deh. Soalnya datang gak ada suara sama sekali.”

“Haiss... Rin, lo tega bener ya jadi temen,” ucap Aryo.

“Biarin. Suruh siapa selalu aja gak ada suara begitu kalau lagi datang,” ucap Arin.

“Haisss,...” ucap Aryo, “O ya, Rin. Lo yakin kalau ujian kali ini lo gak bakalan gagal lagi?”

“Mudah-mudahan Ar. Gue ngeharapnya sih juga gitu,...” ucap Arin, “dah ah, mendingan kita langsung ke kelas aja.”

Arin pun kemudian melangkahkan kakinya meninggalkan Aryo.

***

Sementara itu satu jam kemudian dan di tempat yang berbeda...

“Ariiiiin!!!” panggil Bu Weni namun tidak mendapatkan jawaban dari Arin.

Karena merasa tidak mendapatkan jawaban, Bu Weni pun akhirnya mengulangi lagi memanggil Arin.

Hingga sekali, dua kali, tiga kali bahkan sampai berkali-kali Bu Weni memanggil Arin namun tidak juga mendapatkan sahutan dari Arin.

“Ni orang ke mana sih!?” gerutu Bu Weni sambil mengecek satu persatu setiap sudut rumah namun tidak juga dia temukan keberadaan Arin.

Hingga beberapa saat kemudian Bu Weni pun teringat kalau beberapa hari yang lalu Arin pernah bilang kalau dia harus berangkat kuliah karena ada ujian.

“Baiklah. Aku ingat sekarang. Kena kamu sekarang,” ucap Bu Weni dengan nada seolah-olah dia akan melakukan sesuatu pada Arin.

Di sisi lain, Arin yang sedang fokus mengerjakan ujiannya ini pun tiba-tiba bersin sehingga dia pun memencet-mencet hidungnya.

“Jangan-jangan mau flu. Nanti beli obat flu dulu ah sebelum pulang,” gumam Arin dalam hati sambil masih berusaha melanjutkan mengerjakan ujiannya.

Beberapa saat kemudian, ujian hari itu pun berakhir. Karena merasa kurang sehat, Arin pun melangkahkan kakinya dengan lesu.

Hingga beberapa saat kemudian...

“Rin, lo kenapa?” tanya Aryo.

Arin pun hanya menggelengkan kepalanya tanpa menjawab pertanyaan Aryo.

Walau mendapatkan respons seperti itu, Aryo tetap merasa ada yang aneh pada Arin hingga membuat Aryo langsung memegang kening Arin.

Arin yang tiba-tiba saja keningnya di pegang Aryo ini pun spontan langsung menghentikan langkahnya.

“Rin, lo agak demam. Gue anter ke klinik aja ya,” ucap Aryo.

Sambil menggelengkan kepalanya, Arin pun menjawab, “Gak, Ar. Makasih. Gue harus buru-buru balik. Gak apa-apa. Nanti biar gue beli obat demam aja di apotek.”

“Ta—tapi Rin,...” ucap Aryo yang tidak melanjutkan ucapannya karena Arin sudah terlebih dahulu melangkah jauh meninggalkan Aryo.

Sesuai dengan niat awal sebelum pulang, Arin pun langsung mampir ke apotek untuk membeli obat dan setelah itu langsung pulang.

Sesampainya di rumah, tiba-tiba saja..

“Hmm, bagus ya. Seharian dari mana saja kamu?” tanya Bu Weni yang ternyata sudah menunggu Arin pulang.

“Hmm, Bu Weni. A—aku tadi dari,...”

Arin tidak dapat melanjutkan ucapannya. Dia bingung harus mengakui apa di hadapan Bu Weni.

Sementara itu, Bu Weni yang melihat Arin tidak dapat melanjutkan ucapannya ini pun langsung berkata, “Dari mana? Kok gak di lanjut ngomongnya?”

Arin pun terdiam seribu bahasa. Bukan hanya tidak tahu harus menjawab apa, Arin pun sedang merasakan badannya yang benar-benar kurang sehat.

“Ok!? Kalau kamu gak bisa kasih tahu kamu habis dari mana, berarti kamu harus dapat hukuman,” ucap Bu Weni sehingga membuat Arin langsung spontan melihat ke arah Bu Weni.

“Apa, Bu!? Hu—hukuman!?”

Bersambung...

Hukuman

Ketika mendengar kata hukuman dari Bu Weni, Arin pun langsung merasa lemas. Tubuhnya yang sedang kurang sehat membuat dia merasa syok.

“Baiklah. Kita mulai saja hukumannya. Sekarang kamu ke belakang dan cuci semua pakaian para pembantu di sini! Dan ingat, harus manual. Gak boleh pakai mesin cuci,” perintah Bu Weni.

“Ta—tapi, Bu. Aku bekerja di sini hanya untuk melayani Tuan. Bukan mencucikan baju pembantu di sini,” bantah Arin.

Mendengarkan bantahan dari Arin ini, sontak membuat Bu Weni pun emosi dan kemudian berkata, “Eh eh eh.. pakai acara ngebantah lagi. Udah sana ke belakang dan cuci semuanya. Kamu jangan harap mendapatkan makan jika hukumanmu belum selesai.”

Sungguh naas nasib Arin. Di samping tubuhnya yang sedang kurang sehat, kini dia harus mendapatkan hukuman seperti itu.

Dengan lemas dia pun berniat berjalan ke kamarnya untuk meminum obatnya terlebih dahulu. Namun tiba-tiba saja langkahnya harus terhenti karena Bu Weni langsung berteriak, “Hei, mau ke mana? Itu bukan jalan ke belakang. Balik!”

Untuk sesaat Arin pun terdiam. Dia berpikir jika dia tetap memaksakan diri untuk ke kamar dan minum obat, maka Bu Weni akan menambahkan hukumannya. Tapi jika dia langsung ke belakang dan mencuci pakaiannya, khawatirnya demamnya akan semakin meningkat.

“Bagaimana ini?” gumamnya dalam hati.

Sementara itu, Bu Weni yang melihat ini pun langsung berteriak, “Hei, kenapa diam saja. Sudah sana ke belakang sekarang!”

Dengan enggan dan juga lemas, Arin pun langsung mengikuti keinginan Bu Weni. Dia pun akhirnya melangkahkan kakinya ke belakang dan kemudian mencuci semua pakaiannya.

Di saat dia sedang mencuci pakaian, hatinya menangis pilu. Kenapa nasibnya begitu sengsara seperti ini. Hanya untuk mencari kesempatan buat minum obat pun dia tidak bisa.

“Ayah, jika seperti ini terus, aku gak kuat Yah,” teriak Arin dalam hati sambil mencuci semua pakaian pembantu yang ada di rumah itu.

Setengah jam, satu jam bahkan hingga hampir dua jam lamanya dia mencuci semua pakaian tersebut. Tapi entah kenapa tidak juga selesai. Entah ini karena tubuhnya yang sedang kurang sehat sehingga kecepatannya menurun atau memang pakaian yang sangat banyak.

“Ini tuh sebenarnya pakaian berapa orang dan berapa hari sih!?...” gumam Arin, “tubuhku sudah merasa tidak sanggup lagi.”

Walau dirinya sudah merasa tidak kuat lagi, Arin tetap berusaha untuk bertahan hingga pekerjaannya pun selesai di kerjakan.

Dengan segera Arin langsung bergegas ke kamarnya dan memakan camilan yang diam-diam sudah dia beli lalu kemudian minum obat.

Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam ketika Arin sedang merebahkan diri di atas tempat tidur dan mengistirahatkan tubuhnya yang lelah dan kurang sehat. Di saat seperti ini, tiba-tiba saja...

“Arin! Siapa bilang kamu udah boleh santai!? Cepat gosok semua baju-baju yang sudah kering,” perintah Bu Wani.

“Ta—tapi, Bu. Itu bukan tugasku,” ucap Arin yang lagi-lagi membantah.

“Iya. Memang itu bukan tugasmu. Tapi ini hukuman buatmu yang meninggalkan pekerjaanmu sendiri.

“Tapi, Bu. Aku pergi ketika semua tugasku sudah selesai semuanya,” ucap Arin yang lagi dan lagi membantah Bu Weni.

“Gak usah banyak tapi-tapian, pokoknya kamu harus mengerjakannya sekarang juga dan harus selesai malam ini juga!” perintah Bu Weni yang tidak mau mendengar alasan apa pun lagi.

Setelah mengatakan hal itu, Bu Weni pun langsung pergi meninggalkan Arin. Sementara itu, Arin yang ditinggalkan pergi ini pun hanya bisa menunduk pasrah sambil menghela nafas panjang.

“Gak. Pokoknya aku harus kuat. Aku harus segera menyelesaikan semuanya setelah itu beristirahat dan besok hari terakhir ujian. Aku gak akan seperti ini lagi,” gumam Arin menyemangati diri sendiri.

Setelah bergumam seperti itu, Arin pun langsung beranjak dari kamarnya dan sesegera mungkin pergi ke ruang menggosok pakaian.

Betapa terkejutnya Arin saat melihat tumpukan baju yang seperti gunung.

“I—ini baju siapa saja? Gak mungkin kan kalau ini semuanya baju Tuan!?” gumam Arin.

Dengan tekad yang kuat, akhirnya Arin pun memulai menggosok pakaiannya.

Satu persatu pakaian dia gosok hingga halus. Setelah halus, pakaian pun ada yang dia gantung dan ada juga dia lipat dengan rapi.

Setelah setengah jam, satu jam hingga bahkan hampir tiga jam lamanya dia pun bergelut dengan tumpukan baju tersebut dan selama itu pula, tiba-tiba saja ada rasa hawa dingin menyusup di tubuhnya.

“Sepertinya aku akan demam lagi,” gumam Arin yang kemudian langsung dengan segera berusaha menyelesaikan semua gosokannya.

Hingga empat jam kemudian, tepatnya pukul 11 malam, akhirnya dia pun dapat menyelesaikan semuanya.

Dengan tanpa membuang waktu, Arin pun langsung menuju kamarnya dan meminum obatnya.

Setelah selesai meminum obatnya, dia pun bergumam, “Mudah-mudahan besok pagi keadaanku sudah jauh lebih baik.”

Arin pun memejamkan matanya dan tertidur. Dalam tidurnya, dia bermimpi bertemu Bundanya yang sudah lama bercerai dengan Ayahnya.

“Bun, aku rindu Bunda. Jangan pergi lagi ya, Bun. Ayah udah pergi, Bunda jangan pergi juga,” ucap Arin dalam mimpi yang seolah-olah saat itu dia sedang memeluk tubuh Bundanya.

Tanpa menjawab ucapan Arin, Bunda dalam mimpinya pun menghilang sehingga membuat Arin pun bersedih dan menangis.

“Bun, jangan pergi lagi Bun. Bunda!” teriak Arin yang kemudian langsung terbangun dengan nafas tersengal-sengal.

Mengetahui itu semua hanyalah mimpi, Arin pun memegangi pucuk rambutnya dan bergumam, “Bun, bunda di mana sekarang? Aku sangat menderita, Bun.”

Dalam ingatan Arin, Bundanya Arin itu bernama Andira. Bundanya bercerai dengan Ayahnya Arin saat Arin berusia 4 tahun. Ayahnya Arin lebih memilih selingkuhannya, Mama Tya karena Mama Tya di rasa jauh lebih cantik dan montok serta bahenol dibandingkan Bunda Andira yang terlihat kumuh dan kurus.

Karena Bunda Andira tidak memiliki penghasilan, maka hak asuh atas Arin pun jatuh pada Ayahnya.

Namun siapa sangka, selingkuhan yang lebih Ayahnya pilih ini malah membuat Ayahnya meninggal dalam keadaan menanggung beban hutang.

Setelah selesai mengenang Bundanya, Arin pun melihat ke arah jam. Di sana terlihat sudah masuk pukul 4 pagi dan saat itu dia bergumam, “Hari ini hari terakhir ujian. Bagaimana pun caranya aku harus bisa ke kampus.”

Dengan segera Arin pun menyelesaikan apa yang menjadi pekerjaannya. Hingga waktu pun menunjukkan pukul 5.30 pagi.

Tanpa menghiraukan apa lagi hukuman yang akan dia terima nanti saat dia pulang, Arin pun langsung bergegas pergi menuju kampus.

“Semoga saja hari ini semuanya bisa berjalan lancar,” ucap Arin penuh harap.

Waktu masih menunjukkan pukul 6.30 pagi saat dia sampai di kampus. Karena merasa masih ada cukup waktu untuk sarapan, Arin pun langsung pergi ke warung.

Namun setelah sampai di warung..

“Ya ampun. Uang tabunganku tinggal segini. Aku harus bagaimana sekarang? Hanya tersisa 10 ribu.”

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!