🌻Assamuallaikum! 🌻
Kenalan yuk!
Ana Aprihati, nama itu diberikan oleh kedua orang tua saya yang lahir di Yogyakarta sebuah kota Gudeg.
Saya dibesarkan di sebuah desa yang jauh dari keramaian kota. Orang tua saya terutama ibu berasal dari kota Sleman Yogyakarta. sedangkan Bapak berasal dari Tasikmalaya.
Biarpun saya lahir di Yogyakarta tapi saya tidak menguasai bahasa Jawa. Saya hanya mengunakan bahasa Sunda dalam percakapan sehari harinya.
Dan dalam cerita ini kemungkinan besar bakalan mengunakan bahasa Sunda, dan saya akan mengunakan POV orang pertama ( Aku/ Ana), orang kedua, dan orang ketiga. Jadi saya tidak bakal seluruhnya mengunakan sudut pandang aku.
🌷🌷🌷
Sebelum menulis aku ucapkan terimakasih pada orang orang yang peduli pada kehidupan yang aku jalani, sampai titik ini mereka selalu mendukungku dalam duka dan suka. Aku benar benar tidak pernah bisa membalas kebaikan kalian, semoga saja Allah yang membalas nya.
Spesial buat; Suami dan ananda Nadzlyn Kurnia Setiawan.
Ibu, bapak dan adik adik yang selalu mendukung semua hal positif dari diriku, kalian adalah orang yang selalu memberikan yang terbaik.
Bude+pakde dan kedua mbak ku ( mbak Icha + Mbak Zahra )
Ucapan Terimakasih buat;
Noveltoon yang telah menerbitkan tulisan receh ini, Orang tua mas Gong ( semoga Allah menempatkan beliau di surgaNya ), mas Gong + Istri, Fey+ suami, Mey, mas Toto S.T + istri, Kak Anton Purwanto + istri, Teh Najwa+suami, mas Firman+ istri, Ayu + suami, Ita+ suami, Deden + istri, suami, Hilal + istri. FTBM Pandeglang dan FTBM Banten.
Semua teman teman Rumah Dunia dan FLP Cabang Serang dan maaf tidak disebutkan semuanya disini🙏.
Dan para pembaca yang telah Sudi mampir dan memberikan vote, bunga, kopi, koin, bintang lima, dll. Nuhun!
****
Insya Allah kisah perjalanan Ana menuju Rumah Dunia bakal menceritakan proses dirinya yang suka dengan membaca dan menulis, serta halangan dan rintangan yang dihadapi.
Sebuah perjalan yang cocok untuk dijadikan inspirasi buat para remaja, perjuangan seorang gadis bernama Ana Aprihati untuk menuju sebuah Rumah Dunia. Sebuah perjalanan yang mempertemukan seorang gadis berkacamata dengan pasangan suami istri Gol A Gong dan bidadari hatinya Tias Tatanka.
Dari pertemuan itulah ia mendapatkan ilmu menulis dari pasangan suami istri yang memliki 4 anak, perempuan dua, laki laki dua.
Ana ikut FLP cabang Serang yang diketuai oleh Nunung Nurhasanah seorang gadis asal Pandeglang. Sedangkan Ana sendiri asal kampung Ranca Jaya Desa Karyasari Kecamatan Sukaresmi Kabupaten Pandeglang.
Tapi sebelum ia bertemu dengan orang orang hebat seperti mereka. Ana mengalami hal hal yang penuh dengan air mata sebuah ketidak pedulian terhadap dirinya. Kejadian yang banyak pil pahit yang harus ditelan olehnya sebuah penolakan dari teman teman sekolah, apalagi saat ia mengekpresikan kegiatan menulisnya.
"Alah, dia Na. Nulis pagawean na, naon eweuh deui pagawean!" sembur Rani sambil merobek buku yang di pengang oleh Ana.
Entah setan mana yang ada di tubuh Rani, dengan cepatnya merobek buku yang ada tulis, Rani merampas buku yang ada di meja. kerena pagi itu Ana sedang duduk di kursi menuangkan ide membuat cerpen remaja percintaan.
Tapi tiba tiba Rani datang tanpa ba bi bu lagi gadis sebaya dengan Ana itu langsung merampas buku Ana langsung di sobek begitu saja.
Ana yang tidak menduga hanya mwngelangkan kepala saja, ia menatap wajah Rani yang begitu sinis pada dirinya..
"Ran!" teriak Ana marah.
Gadis itu langsung mengambil buku yang dirobek oleh Rani. Ana dengan kesalnya langsung mendorong tubuh Rani. Masih untung Rani tidak terjatuh juga, secara diam gadis itu menitikkan cairan di pelupuk matanya.
Gadis berbuat panjang sepinggang itu dengan kasarnya langsung menyepak laki Rani dengan kerasnya, Rani tidak menduga langsung menjerit seketika saat kakinya di sepak dsn diinjak oleh gadis berambut lurus itu.
Setelah itu Ana meninggalkan Rani dengan puasnya, ada senyum sinis di wajahnya terhadap Rani. Ana langsung pindah tempat untuk menulis, ia kadang tidak suka sama orang yang suka jail padanya. Ia sama sekali tidak pernah melawan lalu ada orang yang jail dana menyakiti hatinya, tapi untuk sebuah tulisan ia murka kalau karyanya di sobek atau di hina.
Ana hanya menghela nafas kasar, saat melihat sobekan kertas yang berisikan cerpen yang ia tulis, ia hanya diam seribu bahasa.
'Ya Allah aku ingin jadi penulis,' bisik Ana dalam hati.
'Aku harus bisa menulis!' ujarnya dalam hatinya.
Keinginan Ana hanya satu ingin bukunya dibaca oleh orang tapi bagaiamana? Mau dibaca juga susah banget, malah cerpen cerpen yang ia tulis malah disobek oleh Rina. Rina bukan sekali dua kali menganggu dirinya menulis, tapi ia membiarkan saja. Kerena dirinya selalu diam mungkin Rani penasaran pada gadis 17 tahun itu.
Sebenarnya ada perasan marah, kesal, kecewa, tapi ia hanya diam saja dan melabuhkan hatinya melalui buku yang dibacanya. Rani sudah sangat keterlaluan pada Ana sampai Ana sendiri yang menyerang balik gadis itu. Kalau tidak berlebih mungkin Ana tidak akan melakukan pembalasan pada Rani. Entah ada setan' mana, Rani sellau bully Ana dengan kata kata kasar, fisik dan mental.
Bukan sekali dua kali sih Rani melakukan itu pada Ana, jadi tadi ia sengaja membalas prilaku Rani supaya membuat gadis itu jera. Dan tidak akan pernah mengulang perilaku pada dirinya.
Seorang wanita menghampiri Ana.
"Na, tolong bantuin ibu beresin buku." kata Ibu Elis menatap gadis 17 tahun yang sedang diam saja di depan perpustakaan.
Tapi gadis itu seperti tidak pernah mendengar suruhan ibu gurunya. Elis Nurlaila nama guru Agama Islam di sekolahnya.
"Ana ku naon?" tegur wanita usia 23 tahun itu menyentuh bahu Ana lembut.
"Nggak apa apa, maaf ada apa?" Ana gugup.
"Bantuin ibu yuk beresin buku," kata Ibu Elis sambil menatap wajah Ana. dengan herannya.
Tapi ia tidak menanyakan apa apa pada Ana, mungkin menurutnya ikut campur urusan anak remaja seperti Ana.
Ana akhirnya beranjak dari tempat duduk nya dan berjalan menuju perpustakaan, untuk membantu ibu Elis untuk beresin buku perpustakaan yang tadi dibaca oleh anak anak yang ke perpustakaan. Gadis itu memang senang sekali membereskan buku di perpustakaan apalagi ia juga suka baca buku di perpustakaan yang dikelola oleh ibu Elis.
"Na tolong ya buku yang ini ke rak ke sebelah kanan ya," pinta wanita berkerudung itu ramah.
Menunjukan buku buku yang menumpuk di samping tak buku, Ana mengangguk saj di suruh gurunya itu. Tapi secara diam ia suka sama ibu Elis, atas kelembutan hatinya dan kesabaran menghadapi muridnya. Gadis itu langsung membereskan buku buku dan menyimpan buku itu ke rak buku dengan rapinya.
"Bu, aku juga pengen banget bikin perpustakaan," ujar Ana setelah membereskan buku.
"Bagus, Na. Cita cita yang patut di contoh, bisa jadi kamu jadi pustakawan," dukung Ibu Elis tersenyum.
Percakapan Ana dengan ibu Elis disampaikan pada bapaknya.
"Jarang Na orang yang bisa menghibahkan buku untuk perpustakaan apalagi kita diam di desa seperti ini," kata pak Mamat bapaknya Ana.
Gadis itu hanya terdiam saja mendengarkan apa yang bapaknya sampaikan, ia hanya mengangguk mengiyakan kata kata bapaknya. Apalagi minat baca di desa lebih memperhatikan dibandingkan di kota kota besar seperti Jakarta. Ana hanya bisa diam saja tidak bisa berbuat apa apa.*
Tahun 2002
SMUN I Panimbang ( sekarang SMAN 9 Pandeglang ) telah meluluskan angkatan ke 3, tapi kegiatan kelulusan itu di meriahkan oleh aksi corat coret Kelas 3 IPA Dan IPS. Aksi corat coret siswa siswi SMU Negeri 1 Panimbang dilakukan oleh anak anak setelah mereka menerima ijazah dan surat kelulusan dari sekolah.
"Na, rek kuliah dimana?" tanya Ihah menatap Ana yang duduk di dekat gerbang sekolah.
"Duka, duka kuliah duka teu sih!" jawab Ana.
Gadis itu hanya menghela nafas panjang, kalau ditanya kuliah malah blank, ia tidak bisa menjawab pertanyaan teman temannya. Bukan tidak mau kuliah tapi mengambil jurusan apa nanti kalau kuliah, ia Sam sekali tidak mau kalau ia kuliah salah ambil jurusan.
"Kok duka sih! Na, Ana kan suka menulis, mening kuliah di sastra bae?" usul gadis Caringin Labuan.
Ana hanya menghela nafas panjang, ya banyak teman teman mendukung dirinya untuk kuliah di sastra Indonesia, kerena mereka pikir cocok buat diri Ana.
"Ha, sastra itu berhubungan ya dengan guru Ana nggak mau jadi guru," protesnya.
Itu yang menghalangi gadis yang rambutnya selalu dikepang menatap ranting ranting pohon beringin yang berdiri diantara dua gerbang SMU. Sesungguhnya yang ia inginkan adalah ia belajar memperdalam ilmu kepenulisan itu dulu, masalah kuliah bisa di tunda dulu.
Ihah hanya mengangkat bahu,emdengar alasan dari gadis berkacamata itu.
"Kamu kuliah dimana?" tanya Ana.
"Entah!"
"Kok, entah."
Akhirnya kedua gadis itu hanya saling diam satu sam lainnya. Angin nakal mempermainkan rambut Ana, dan kerudung Ihah. O,ya pada masa itu SMU membebaskan siswinya untuk tidak mengunakan kerudung, mau pake mau tidak juga tidak jadi masalah.
Ana dari kelas 1 tidak pernah mengunakan kerudung, untuk pergi ke sekolah. Sedangkan Ihah kelas 3 SMU baru mengunakan kerudung.
Jadi waktu itu Ana lebih baik tidak menggunakan kerudung sama sekali, setiap sekolah selalu lepas begitu saja. Apalagi rata rata cewek masa itu jarang rambut panjang.
Gadis berambut panjang lurus itu tidak ada niatan untuk kuliah, ia.masih blank untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Apalagi harus mengambil jurusan, itu yang ia tidak inginkan untuk kuliah mengejar cita citanya.
Sebagian teman temannya, ada yang kuliah di Untirta, UPI Serang, sedangkan Ana hanya menggelengkan kalau ditanya masalah kuliah, dsn ia juga tidak berani mengungkapkan kalau dirinya ingin sekali mendalami ilmu menulis nya.
O,ya Ana adalah putri pertama dari pasangan suami istri Mamat dan Tri Murwanti, mempunyai tiga adik yaitu; Puspita Efditasari, Bhakti Adhie Mutasia dan Yuliet Swastanti Astuti.
"Geus kuliah di jurusan Bahasa sastra Indonesia," usul bapak pada putri pertamanya.
"Pak, Ana alim jadi guru. Lamun ambil jurusan Bahasa Sastra mah ujug ujug nya jadi guru, nggak mau?" tolak Ana dengan ketusnya.
"Kunaon Na? Dari pada menganggur, mening jadi guru," protes pak Mamat menatap putrinya lembut.
"Pak, kalau ambil jurusan sastra, bising jadi guru," lirih Ana kesal.
"Na, guru eta!"
Geus, pak. Pokoknya Ana nggak mau kuliah di sastra bising jadi guru!" protes Ana kesal mendengar ia harus kuliah pada jurusan yang tidak pernah ia impikan sama sekali.
Ia langsung meninggalkan bapaknya yang berada di teras rumahnya. Laki laki itu hanya menatap kepergian putrinya, sambil mengusap dada dan mengelengkan kepalanya.
Pendirian gadis itu kekeh banget, lalu ia bilang tidak ya tidak. Ana langsung masuk kamar dan menghempaskan badannya ke tumpukan buku yang ada di kamar yang berukuran 3x3².
Gadis yang kemarin lulus dari SMU itu hanya menghela nafas panjang, dari kecil sampai sekarang tidak ada niatan dirinya jadi guru sedikitpun, biarpun hati kecilnya mengakui kalau tanpa gitu ia juga tidak bakal bisa menulis, tidak mungkin bisa membaca. Ketulusan guru pun mengantarkan siswa nya ke pintu keberhasilan.
Benaknya memuji kalau pekerjaan guru itu sangat mulia, tapi hatinya tidak pernah bergetar untuk menjadi guru, ia lebih fokus pada pendidikan non formal dari pada pendidikan formal.
Ana dan adik adiknya tidak pernah memungkiri kalau mereka sering diberi uang hasil jerih payah orang tuanya sebagai pahlawan tanpa saja. Ya ibu dan bapaknya seorang guru SD yang hidupnya penuh kesederhanaan setiap harinya, tapi mereka bahagia dan bapak juga sosok seorang ayah yang selalu mengajari keempat anak anaknya cara bersyukur sama Allah.
"Kunaon deui pak?"
"Bapak mah hayang ninggali Ana kuliah," keluh pak Mamat pada istrinya.
"Ari budak na nggak mau susah pak."
"Trus kita sebagai orang tua harus bagaiamana?"
"Udah jangan dipikirkan,"
Ibu Tri langsung meninggalkan suamianya, wanita itu tahu sekali kalau suaminya ingin sekali putrinya kuliah mendapat gelar sarjana tapi Ana sama sekali tidak mau kuliah.
Ia juga bukan tidak pernah bicara masalah kuliah dengan putrinya itu, tapi anak pertama itu keras kepala dan tidak pernah mengubris nasehat kedua orang tuanya.
"Bu, Ana ingin kuliah tapi di IPB," kata Ana waktu itu.
"Atuh jauh Ana, komo kudu ngontrak/ kos ibu nggak mau Ana jauh jauh. Kuliah di dekat saja," protes ibu Tri tidak setuju.
Seorang ibu mana yang tega melepaskan putri nya kuliah jauh, apalagi jarak Ranca Jaya dan Bogor jauh sekali apalagi waktu itu (2002).
Sebenarnya tidak dapat dipungkiri, Ana suka pada pertanian. Daripada tidak kuliah ia mengisi hati hatinya dengan menanam cabe, rawit, terung di pot.
Cita cita sejak kecil ingin mencapai Sarjana Pertanian dan bisa kuliah di IPB ( sebenarnya di kampus Untirta juga ada sih jurusan pertanian🤭 nggak kepikiran, maunya di Bogor).
"Geus Na Ari kitumah mening ulah kuliah daripada kuliah!" teriak ibunya kesal.
Ia berpikir kalau misal Ana kuliah di Bogor, apalagi kota Bogor jaraknya juga jah sekali, yang ia takutkan adalah pergaulan bebas remaja. Apalagi Ana belum sama sekali mengenal kota, apalagi yang ia takutkan dunia malam di kota.
"Ya udahlah jangan kuliah," uajr Ana kesal.
"Nikah aja Na," celetuk ibu Tri sambil tersenyum menatap putrinya.
"Ngapain sih ibu? Nikah nikah aja ngomongnya," protes Ana sebal.
Biarpun Ana sudah umur 18 tahun tapi ia tidak pernah berpikir nikah, menurutnya nikah serem banget😂😂🙏🙏harus melayani suami, masih untung kalau suaminya baik.
Ana langsung meninggalkan ibunya yang senyum senyum melihat putrinya marah marah seperti itu, ia bukan ingin anaknya menikah tapi memang gadis yang ia urus mungkin tidak pernah mengalami jatuh cinta dibandingkan adiknya Ita🤭
"Pak, Ana mening kursus komputer bae," pinta Ana.
"Terus tanaman yang kamu tanama bagaiamana?" tanya pak Mamat yang sedang membaca buku langsung menghentikan membacanya.
Matanya menatap putrinya dengan lembut sekali, ia menemukan kesungguhan di mata Ana putrinya itu.
"Udah kasih ibu aja biar ibu yang merawat nya," ide Ana.
"Enak bae dikasih ke ibu!" sembur ibu Tri yang tidak setuju usul Ana.
"Bu wayahna bu wayahna bu. Daripada Ana disini malah banyak omongan orang, masa lulusan SMU nganggur," kata Ana.
Ya udah kalau kamu maunya kaya gitu, lebih baik besok saja ke Pandeglang." ujar ibunya sambil meninggalkan anak dan suamianya.
Keinginan untuk belajar komputer terlaksanakan dengan baik sekali, pagi Ana dsn bapaknya pergi ke Pandeglang tepatnya Pandeglang.*
POV Aku/Ana
Aku juga heran kenapa Allah memberikan aku kelebihan untuk menulis, kadang aku sering protes pada Allah kenapa harus aku bukan orang lain. Aku protesnya kerena setiap waktu aku menulis banyak sekali teman teman mencipir kegiatan yang aku lakukan, memangnya tidak cape ya mereka berkomentar kaya gitu.
Oya aku dari SD sebenarnya bercita cita kuliah di IPB, alasannya aku ingin kuliah di IPB kerena aku ingin sekali melestarikan pertanian yang ada di desa yang aku tempati.
Desa Karyasari tempat aku diam bersama dengan orang tuaku. Tapi sebelum aku dan keluargaku diam di Karyasari, kami pernah kuliah di desa Kramat Manik sebuah desa yang benar benar jauh dari keramaian kota kabupaten.
Aku menempuh pendidikan SD Negeri 1 Jambubol ( sekarang SDN 1 Kramat Manik ), salah satu guru yang aku kagumi adalah bapak. Bapak sendiri. Bapak mengajar Bahasa dan sastra.
Aku senang diajar sama bapak kerena tanpa sadar bapak lah yang mengiringi aku menyukai dunia menulis. Bapak lah yang selalu mengalir ide ide kreatif aku di sekolah dan di rumah. Bapak lah yang selalu memberikan hadiah buku cerita untukku.
"Hari ini kalian jangan menulis di papan tulis ya, tapi kalian keluar dari kelas tulis apa yang kalian rasakan diluar." kata bapakku waktu mengajar di kelas 4 SD.
"Hore!" teriak kami sama sama.
Aku lebih semangat untuk keluar kelas. Kami keluar dari kelas dan mencari tempat yang nyaman sedangkan bapak ke ruang guru lagi.
"Iiih! pusing aku dikasih pekerjaan seperti ini," celetuk seorang murid yang tidak jauh dari diriku.
Aku langsung mengambil pulpen dan memukulkan ke kepala orang itu.
"Nyeri sih Na, main pukul Bae." jerit cowok itu sambil balas pukul.
Aku melirik ke kertas temanku yang tadi, aku melihat kertasnya masih kosong melompong tidak ada satu kalimat pun yang temanku tulis, sedangkan aku dengan mudahnya menuangkan kata kata dalam pikiranku.
Ya aku sendiri bingung juga kenapa aku bisa menulis ya biarpun masih seperti ceker ayam. Tapi kalau ditanya masalah cita cita aku hanya ingin kuliah di IPB Bogor, cita cita menjadi Sarjana pertanian.
Aku hanya ingin sekali mengubah pikiran para petani dalam soal menanam padi, ya para petani di desa ku mengunakan lahar pertanian dengan tadah hujan. Jadi mereka bisa menanam padi saat hujan berlangsung, sedangkan kalau tidak hujan lahan pertanian itu digunakan untuk tanaman palawija.
"Pak, kumaha sih supaya petani bisa panen padi dalam setahun itu mereka panennya 4 kali panen. Jadi nggak menunggu hujan," celetukku waktu aku masih duduk di SD.
"Atuh duka Na." ujar bapak merasa heran.
"Ana baca buku ieu pak," ujarku memperlihatkan buku bacaan hadiah dari bapak.
Buku itu berisikan cara mengairi sawah tadah hujan untuk diberikan air supaya sawah sawah tetap basah. Entah aku juga tidak tahu apa yang dipikirkan bapak padaku. bapak hanya menatapku, dan mengucek rambutku.
Ya sejak kecil aku menyukai pertanian, mungkin kerena darah dari ibu dan bapak. Kerena orang tua, ibu dsn bapak ku juga seorang petani. Yupz! mbak putri dan Mbah Kakung di Yogya hidup dari hasil tani dan bisa menyekolahkan anak anaknya.
Keinginan kuliah di IPB mengebu dibandingkan harus kuliah di Sastra😂.
***
Akhirnya Ana ikut kursus komputer di Pandeglang, dengan resiko kost disana nya. Awal kost di ruang yang masuk gang kecil.
Ia kost di sebuah rumah warga yang menurutnya mewah sekali, tapi waktu ia menginjakan kaki di rumah itu seperti rumah itu penuh aura yang membuat dirinya menolak berada di rumah itu.
Tapi ia berusaha untuk bertahan, ia tetap mengikuti kursus komputer..
"Na, kamu lagi apa sih! Cepat beresin semua peralatan yang kamu pakai!" teriak Bunga sambil merampas kertas yang ditulis Ana.
"Teh, ulah!" teriak Ana saat Bunga melihat apa yang ditulis Ana.
"Hahahaha! Tulisan kamu jelek banget, nulis apaan sih!" Bunga langsung melempar kertas yang ada tulisannya Ana.
"Tetap," Ana pasrah.
Gadis itu langsung mengambil kertas yang di remas remas oleh Bunga. Tapi saat Ana mau jongkok dan mengambil kertas itu, tiba tiba Bunga mendorong tubuh Ana sambil terjungkal.
"Teteh!" teriak Ana saat tubuhnya terantuk meja.
Gadis itu langsung menyerang Bunga yang masih berdiri di tempat semula, Bunga yang tidak menduga langsung terkaget kaget saat tubuhnya di dorong keras, Samapi bunga terpelanting ke arah depan. Ana dengan teganya langsung menarik kerudung yang dipakai oleh Bunga dan dibuang begitu saja.
PLAK!
Sebuah pukulan mendarat di pipi Bunga, ia meringis kesakitan saat telapak tangan Ana menyentuh pipi Bunga dengan kerasnya. Bunga menjerit kesakitan, melihat itu Ana tersenyum puas sekali dan meninggalakan Bunga dalam keadaan tidak baik baik saja, Bunga terlihat sangat kesal mendapat perilaku yang tidak enak dari Ana.
"Na!" panggil Ida.
Ana yang sedang berada di luar langsung membalikan badannya saat telinganya mendengar nama nya dipanggil seseorang. Ia membalikan badannya, Ida sekarang berada di depan dirinya.
"Kamu ngapain si Bunga sampai segitunya?" tanya Ida.
"Biar kapok, coba aku menulis di kertas emang sebelum nya aku menulis di laptop membuat cerpen, eh malah diginiin sama Bunga," kata Ana memperlihatkan kertas HVS yang terdapat tulisan nya.
Ida meraih kertas itu.
"Kamu bisa menulis cerpen?" tanya Ida menyelidiki.
Ana hanya mengangguk saat ia mendengar pertanyaan Ida, Ida melihat anggukan kepala Ana hanya memberikan jempol buat Ana.
Ia melihat Ida memberikan jempol dihadapannya hanya tersenyum manis sekali.
"Kamu rajin menulis nanti juga bakal bagus sendiri,"puji Ida memberikan motivasi.
"Makasih ya, Da."
"Iya, udah jangan di ladenin, Bunga itu seperti itu," ujar Ida.
Akhirnya keduanya langsung pergi meninggalkan tempat kursus. Di tempat kursus itu bukan hanya kursus komputer saja, tapi juga kursus bahasa Inggris, pernah Ida mengajak Ana untuk kursus bahasa Inggris tapi Ana menolak secara halus.
"Penting Na kalau.kita bahasa inggris, ya buat diri kita juga," kata Ida waktu itu..
Tapi Ana hanya mengelengkan kepala saja, ia sering mendengar kalau anak kursus bahasa Inggris berbicara Inggris, tapi tetap saja Ana biasa saja.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!