NovelToon NovelToon

ORANG KETIGA

Prolog

"Berapa lama saya bisa sembuh total dok?" Tanyaku setelah memperhatikan gips tangan kananku.

"Sekitar dua sampai tiga bulan paling lama, saya sarankan supaya anda beristirahat dengan benar." Jawab pria tua itu sambil menuliskan resep obat untuk ku.

Setelah menerima resep obat itu, aku langsung pergi menuju ruang rawat nenek sebelum menebus obatku.

"Sial, kalau saja aku tidak mendengarkan perkataan nenek. Mungkin tangan berhargaku masih baik-baik saja sekarang." Gerutuku sambil menyibak rambutku frustrasi saat mengingat ocehan nenek pagi ini.

Nenek memintaku untuk berhenti bekerja dan pergi kencan buta dengan pria asing yang dikenal melalui aplikasi cari jodoh. Iya, nenek meminta Dara untuk memasang fotoku di aplikasi itu, tak berhenti disitu, nenek juga meminta Dara untuk menyebar fotoku di sosial medianya dan mengenalkanku pada teman-teman prianya yang sudah cukup umur untuk menikah.

Dan hari ini, setelah banyaknya penolakanku untuk bertemu dengan semua pria itu. Aku memutuskan untuk pergi menemui salah satu pria yang dikenalkan Dara, tentu saja aku pergi dengan paksaan nenek yang mengancam mogok makan. Aku mana mau pergi suka rela untuk menemui seorang pria setelah kejadian hari itu.

Tapi bukannya bertemu dengan pria itu, aku malah mendapatkan pesan permintaan maaf dari pria itu karena dia tidak bisa menemuiku, lalu terjadilah kecelakaan yang membuat tangan kananku harus di gips.

Bisa gila lama-lama aku.

"Memikirkannya saja sudah membuatku jengkel, bisa-bisanya Dara mengindahkan perintah nenek untuk menyebarkan fotoku di sosial media. Lalu pria itu, awas saja kalau aku bertemu dengannya!" Ocehku masih berjalan dilorong rumah sakit menuju kamar inap nenek.

Ku lihat suasana rumah sakit sore ini cukup ramai pengunjung. Dan mataku menangkap pemandangan yang mencuri perhatianku, aku melihat seorang pria tengah menangis keluar dari sebuah ruangan bersama beberapa perawat dan pasien wanita yang diangkut menggunakan brankar. Pemandangan yang sering terjadi di rumah sakit, Minggu kemarin pun aku mengalaminya. Saat kondisi nenek memburuk, aku terburu-buru mengekori para perawat yang membawa nenek menuju ruang ICU. Dan sepertinya, kali ini pria itu yang mengalami perasaan panik dan takut kehilangan sepertiku.

"Semoga wanita itu cepat membaik." Gumamku merasa iba pada sosok asing itu. Apalagi saat melihat penampilannya yang cukup kacau mengikuti gerombolan perawat dan pasien yang bersama mereka.

Setelah cukup lama berjalan menyusuri koridor rumah sakit, akhirnya aku sampai di depan kamar inap nenek. Dengan malas ku tarik napas sedalam mungkin sebelum masuk ke dalam ruangan itu, mengumpulkan seluruh keberanianku untuk menghadapi nenek.

Setelah dirasa cukup, dengan cepat tangan kiriku meraih daun pintu dan membukanya selebar mungkin supaya tubuhku bisa melewatinya dengan leluasa.

"Kau sudah da—tang? Ada apa dengan tanganmu?" Suara serak Dara sedikit terjeda bersamaan dengan tangan kiriku yang sudah menutup pintu ruang inap nenek.

"Apa yang terjadi?" Lanjut Nenek terlihat begitu terkejut.

"Bukan apa-apa ... apa ini? Bukannya nenek berencana mogok makan?" Jawabku melirik sekilas pada Dara yang tengah menyuapi nenek, sepertinya anak itu habis menggosip tentangku lagi dengan nenek.

Hubungannya dengan nenek juga terlihat lebih baik daripada hubunganku dengan nenek. Entah siapa cucunya disini? Kemudian ku alihkan pandanganku pada nenek yang tampak terkejut dengan ucapanku beberapa detik lalu.

"Padahal pagi ini mengoceh akan mogok makan kalau aku tidak datang bersama pria itu. Tapi pada akhirnya nenek makan juga, lapar ya?" Lanjutku sambil memberikan senyuman mengejek.

"Anak ini!" Serunya terlihat kesal dengan kerutan di keningnya.

"Apa? Aku benar kan?"

"Kau memang pandai membuat nenek kesal ya?"

"Sudahlah nek, Kitakan sama-sama tau watak anak ini. Jangan pedulikan dia." Sergah Dara bersiap menyuapi nenek, namun nenek menolaknya.

"Jangan pedulikan bagaimana? Lihatlah umur anak itu sekarang, aku tidak bisa tidak memperdulikannya disaat adiknya sudah menikah dan memiliki keluarga kecil. Sedangkan dia? Masih saja sibuk dengan pekerjaannya yang tidak berguna itu." Gerutu nenek lebih kesal daripada biasanya.

"Asal nenek tau ya, pekerjaan yang tidak berguna kata nenek itu menghasilkan lebih banyak uang dari yang nenek kira." Gumamku mencoba menahan rasa kesalku yang terus mendapatkan perbandingan antara aku dan adik ku dari nenek.

Ya, lagipula siapapun tidak akan suka jika terus-menerus dibanding-bandingkan dengan adiknya, apalagi dengan orang lain.

"Apa gunanya membuat banyak baju pengantin jika yang membuatnya saja belum menikah."

"Ah benar-benar deh ...," geramku segera membuang muka dan mendapati Dara yang sudah tersenyum canggung kepadaku. Ekspresinya juga mengatakan untuk bersabar padaku.

***

Salahku, harusnya aku tidak pergi menjenguk nenek. Batinku merasa dongkol di tengah perjalanan menebus obatku.

Aku langsung pergi setelah cukup menerima ocehan nenek, "rasanya hari ini nenek lebih bawel dari biasanya."

Aku juga tidak bisa mengabaikan keinginan nenek untuk melihatku menikah dengan orang yang ku cintai. Apalagi setelah melihat kondisi nenek yang lebih sering keluar masuk rumah sakit, aku jadi berpikir mungkin itu harapan terakhirnya sebelum nenek pergi meninggalkanku. Memikirkannya sudah membuatku sedih. Apalagi aku sudah tinggal bersama nenek cucup lama karena kedua orang tuaku berpisah.

Mungkin nenek merasa khawatir kalau aku bisa tinggal sendiri setelah nenek tiada, makanya nenek terus mendesak ku untuk menikah. Seolah-olah nenek tau waktu hidupnya sudah tidak lama lagi, sehingga dia tidak punya waktu untuk memikirkan perasaanku. Apakah aku trauma dengan kegagalan pernikahanku atau tidak?

6 bulan lalu aku sempat hampir menikah dengan seorang pria yang ku pikir aku sangat mencintainya, namun gagal karena aku memergokinya tengah berselingkuh dengan perempuan lain, yang tidak lain adalah sahabatku sendiri.

Jika harus mengingat keputusanku untuk membatalkan pernikahan itu, mungkin karena aku melihatnya tengah bermain gila bersama perempuan itu di rumahnya. Yang lebih parahnya, pria itu malah melindungi sahabat ku daripada calon istrinya sendiri. Lalu bukannya berhenti, orang gila itu malah melanjutkan permainannya tepat didepan kedua mataku.

Besoknya dia datang ke rumahku dan meminta ganti rugi karena keputusanku yang tiba-tiba membatalkan pernikahan dengannya. Memang tidak punya otak!

Sejak saat itu, aku memutuskan untuk tidak menikah. Dan aku tidak mengatakannya pada nenek karena takut dengan reaksinya. Meski samar, mimpi buruk itu juga terus menghantuiku. Apalagi saat mereka melakukan hal gila, "kenapa harus ingatan itu yang paling membekas di kepalaku? Sial!"

Dan kenapa pula dia harus berselingkuh dengan sahabatku sendiri?

"Nona Lifia!" Suara apoteker membuatku bergegas menghampirinya.

Setelah mendapatkan obatku, aku memutuskan untuk kembali ke butik kecil milik ku. Begitulah rencanaku sebelum menerima panggilan dari Caesar.

Dengan malas ku angkat telpon masuk darinya, "Lifi sayang? Kamu di mana?" Tanyanya membuatku geli. Apalagi saat mengingat hubungan tidak serius ku dengan pria yang menelponku saat ini.

Kami tidak sengaja bertemu disebuah kafe, lalu aku melihat pemandangan memalukan saat pria itu ditampar oleh kekasihnya di depan semua orang, alasannya karena pria itu menghajar selingkuhan kekasihnya. Nasibnya sama denganku kan? Meski tidak semengenaskan diriku.

Aku yang merasa kasihan padanya memutuskan untuk mendekatinya, menawarkan balas dendam kekanakan padanya. Tentu saja awalnya tidak berhasil. Namun setelah berjalan beberapa hari, entah apa yang terjadi, pria bernama Caesar ini datang menemuiku dan menerima tawaranku.

Awalnya tidak berjalan dengan baik karena hubungan kami hanya sebagai rekan balas dendam yang saling memanfaatkan satu sama lain. Namun entah sejak kapan, pria ini menjadi begitu lengket padaku?

"Di rumah sakit? Haruskah aku pergi ke sana?" Tanyanya terdengar khawatir.

"Tidak perlu, aku dalam perjalanan pulang."

"Di mana? Biar aku jemput."

"Sudah ku bilang tidak perlu."

"Tapi—aku ingin bertemu denganmu. Sudah tiga hari kita tidak bertemu kan? Aku—"

"Merindukanku?"

"Be—benar, uhuk itu benar." Jawabnya terjeda dengan suara batuk yang dibuat-buat, terdengar menggemaskan bukan?

Padahal sebelumnya kamu sangat dingin, menyetujui tawaranku saja sepertinya terpaksa karena kamu hanya menginginkan bantuan dariku untuk balas dendam mu.

.

.

.

To be continued...

Episode 01

"Kapan hujannya akan berhenti?" Gumamku memperhatikan derasnya hujan dari dalam mobil.

Kemacetan sore ini juga cukup padat karena hujannya yang begitu deras, dalam kondisi cuaca yang seperti ini memang berbahaya untuk berkendara. Tapi aku tidak ingin menahan perasaan rinduku terlalu lama, jadi aku memutuskan untuk pergi mengemudi menuju kediaman Vino tunanganku.

Meski dia melarang ku untuk datang karena khawatir dengan hujan yang begitu deras, aku diam-diam pergi tanpa sepengetahuannya dengan pikiran dia akan terkejut jika melihatku di depan pintu rumahnya. Akan selucu apa ekspresinya nanti? Itulah yang ku pikirkan sepanjang jalan dengan penuh perasaan. Tanpa tau apa yang akan terjadi.

Setelah melewati kemacetan yang cukup panjang dan melelahkan, akhirnya aku sampai di tempat tujuanku setelah hari benar-benar gelap.

Tanpa membuang banyak waktu lagi, aku bergegas turun dari dalam mobilku dan berlari menuju pintu rumah Vino. Mengetuknya dengan perasaan riang seperti orang bodoh.

Lama tak kunjung dibukakan pintu, aku berinisiatif untuk membuka pintu itu sendiri dengan kunci rumah yang sudah diduplikat oleh Vino, kunci duplikat itu sengaja diberikan olehnya padaku supaya aku bisa datang ke rumahnya kapanpun.

Namun, saat aku memasukan kunci rumah itu dan berniat untuk membuka kuncinya, tiba-tiba saja pintu rumah Vino sedikit terbuka karena dorongan tanganku, pintunya tidak terkunci?

"Sebenarnya apa yang sedang dia lakukan sampai lupa mengunci pintu?" Gumamku tak habis pikir sambil membuka pintu rumah Vino dan masuk ke dalam tanpa permisi.

"Padahal akan jauh lebih baik jika Vino membukakan pintu untuk ku." Lanjutku segera menutup pintu rumahnya dan ku lihat sepasang heels cantik berwarna merah didekat sepatu familiar yang sangat ku kenali, sepatu siapa? Tentu saja sepatu milik Vino tunanganku.

Heels? Itu ... siapa yang bertamu?

"Sayang siapa yang datang?" Teriak ku sambil berlari kecil menuju ruang tamu. Ku lihat tidak ada siapapun di sana, "aneh, kenapa tidak ada siapapun?" Lanjutku merasa heran dengan situasi hening di dalam rumah Vino.

Apa di ruang kerja Vino ya?

Dengan cepat aku pergi ke ruang kerja Vino bersama suara hujan yang kembali berjatuhan setelah sempat mereda barang sesaat.

"Sayang?" Masih tidak ada jawaban, mungkin karena suara hujan jadi suaraku tidak terdengar. Begitulah pikirku sebelum sampai di ruang kerja Vino. Dan pikiranku berubah saat tidak menemukan siapapun di ruang kerja Vino, bersamaan dengan itu suara petir berhasil mengejutkanku. Mengubah perasaan gembiraku untuk bertemu dengan Vino.

Ada apa ini? Perasaan janggal apa yang ku rasakan ini? Batinku sambil merasakan degupan jantungku yang mulai berpacu. Berusaha untuk menepis rasa curiga ku pada sepasang heels yang ku lihat di depan pintu. Memperburuk perasaanku.

"Sayang ... aku hng itu ...,"

Samar-samar aku mendengar suara perempuan dari dalam kamar Vino yang berada tepat di samping ruang kerjanya, dengan ragu aku mencoba untuk pergi ke sana sambil menepis semua pikiran buruk ku yang tidak ingin berpikiran buruk tentang tunanganku.

"Ku mohon hentikan, aku lelah." Suara familiar itu semakin jelas terdengar ditelingaku.

"Benarkah? Tapi wajahmu mengatakan sebaliknya."

"Tidak, uh itu ... Vino—"

"Kau bilang apa?"

"Tidak uhm ... ah sayang."

"Apa yang mereka lakukan?" Gumamku ketika mendengar suara des*han perempuan dari balik pintu dihadapan ku. Dengan tubuh gemetar ku buka pintu kamar Vino, sontak membuatku terkejut setengah mati saat melihat pemandangan tak mengenakan dihadapan ku.

Ku lihat Vino dan perempuan itu juga terkejut dengan kehadiranku, dengan cepat perempuan itu menarik selimut didekatnya dan membungkus tubuh telanjangnya dengan selimut itu. Sedangkan Vino, pria itu segera meraih piyamanya untuk menutupi tubuh telanjangnya dan berdiri membelakangiku disamping tempat tidurnya.

"Ini ... apa yang—" Tuturku terhenti saat pandanganku terfokus pada sosok perempuan di tempat tidur. Berusaha memastikan penglihatan ku akan sosok perempuan yang begitu ku kenali, siapa? Perempuan itu tidak lain adalah Gina sahabat baik ku.

"Hah~ menyebalkan. Kenapa kau datang di saat seperti ini?" Tanya Vino membuatku terkejut. Bagaimana bisa dia terlihat seperti orang tak bersalah dihadapan ku sekarang? Padahal dia tertangkap basah sedang melakukan hal terlarang bersama Gina sahabat ku.

"Kamu dan Gina? Kenapa kalian melakukan ini dibelakangku?" Tanyaku bersama tumpahnya air mata yang tak bisa ku bendung lagi saat merasakan sakit jauh di dalam hatiku. Sedangkan Vino, laki-laki itu mulai mendekat ke arahku.

"Kamu tidak lupa kan? Sebentar lagi kita akan menikah, tapi kamu dan Gina—" Lanjutku terhenti saat mendengar helaan napas yang keluar dari mulut Vino. Bahkan ekspresi dinginnya membuatku terkejut karena selama ini pria yang ku anggap baik ini tidak pernah menunjukan ekspresi dingin itu untuk ku.

"Aku lelah terus berpura-pura mencintaimu Lifi, biar ku beritahu kalau aku—"

"Kau berpura-pura?" Tanyaku tak bisa menghentikan tangisku, membuat suaraku bergetar hebat. Bagaimana bisa dia berpura-pura mencintaiku setelah menjalin hubungan selama ini denganku, bahkan yang mengajak aku menikah duluan adalah dia bukan aku. Tapi kenapa dia juga yang mengkhianatiku?

"Vino?" Suara Gina berhasil membuat darahku memanas, ku lihat dia sudah berdiri disamping Vino dengan selimut yang masih menutupi tubuhnya.

"Kau! Semua ini, sebenarnya kenapa kamu melakukan semua ini padaku? Bukankah aku ini sahabatmu? Kenapa harus Vino?" Ucapku sambil mengguncang tubuh Gina dengan seluruh kekuatanku, menuntut penjelasan darinya.

"Karena aku mencintainya dan Vino juga mencintaiku, apalagi?" Tuturnya berusaha melepaskan kedua tanganku dari bahunya. Namun tidak ku biarkan semudah itu, karena saat ini emosiku berada di luar kendaliku. Rasanya aku mau gila.

"Kau serius mengatakannya? Kenapa? Sejak kapan? Kamu tau kan aku dan Vino sudah bertunangan, kamu bahkan menjadi orang yang ikut berbahagia bersamaku dihari itu. Jadi kenapa? Kenapa kamu harus melakukan ini dibelakangku? Kenapa kalian mengkhianatiku? Kenapa?" Tanyaku lagi bersama buliran air mata yang terus berjatuhan dari mataku, bahkan tanpa sadar cengkraman tanganku semakin menguat mencengkeram kedua bahu perempuan dihadapan ku, perempuan yang tidak pernah ku pikir dia akan melakukan hal sejahat ini padaku. Dan dia tidak mengatakan apapun, hanya memasang ekspresi menahan sakit akibat cengkraman ku.

"Apa yang kau lakukan? Sudah cukup Lifi, cepat lepaskan dia!" Seru Vino menjauhkan ku dari Gina saat dia berhasil melepaskan tanganku dengan paksa dari perempuan itu.

"Sebenarnya ... apa yang kalian pikirkan?" Teriak ku benar-benar marah, kali ini aku mencengkeram tangan Vino dengan kuat. Menatapnya dalam-dalam, berusaha mencari jawaban disana. Tapi tidak ku temukan, mata itu, mata yang seharusnya menunjukan perasaan cinta padaku kini metapku dengan dingin.

"Jahat! Kamu, bahkan kamu Gina. Dari sekian banyak laki-laki, kenapa kamu harus melakukannya dengan Vino?" Lanjutku kembali mengguncang tubuh perempuan itu.

"Cukup Lifi!" Bentak Vino sambil menarik tangan kiriku dengan paksa, membuatku melepaskan lagi cengkraman tanganku dari Gina. Dan setelahnya aku merasakan tamparan keras di wajahku. Tamparan yang menyadarkan diriku akan sosok Vino yang sebenarnya tidak pernah mencintaiku.

"Kau? Menamparku? Serius?" Gumamku menatap nanar sosok Vino, berharap dia akan mengatakan tidak sengaja. Tapi itu mustahil kan? Mana ada orang yang tidak sengaja menampar orang lain setelah membalikan tubuh orang itu untuk mendapatkan posisi yang pas saat menampar.

"Sayang?" Bisik perempuan itu mengintip dari balik punggung Vino. Dengan samar aku melihat senyuman tipis yang terlihat licik terukir di wajah Gina sahabatku itu.

Rasanya aku seperti sedang di permalukan oleh perempuan itu, padahal aku tidak melakukan hal memalukan seperti yang sudah dia lakukan. Tapi dengan sikap Vino yang lebih memihak Gina daripada aku sebagai calon istrinya, tentu saja itu menjadi kemenangan besar bagi perempuan itu.

Tatapannya melihatku seperti mengatakan "lihatlah! Kau tidak ada apa-apanya di mata Vino."

"Kau tidak suka aku melakukan hal ini dibelakangmu kan?" Tanya Vino tiba-tiba, membuatku menatap tajam manik hitamnya. Mengalihkan perhatianku dari sosok Gina yang bersembunyi dibelakangnya.

"Tentu saja."

"Kalau begitu biar ku lakukan dihadapanmu." Ucapnya segera menarik perempuan dibelakangnya dan mencium bibir perempuan itu dengan penuh perasaan, membuat lubang dihatiku semakin membesar. Pria itu—Vino, dia benar-benar sudah gila!

Dalam ketidakberdayaan dan rasa sakit yang ku terima, aku hanya bisa melihat sosok Vino yang melirik ku dengan dingin sebelum terhayut dalam kegiatannya, menikmati ciuman panas dengan sahabatku yang tidak memikirkan perasaanku sedikitpun. Dan tanpa tau malunya dia juga membalas perbuatan Vino tanpa memperdulikan kehadiran ku.

Ku gigit bibir bawahku tanpa sadar sambil mengepalkan kedua telapak tanganku, menahan semua perasaan kesal, sakit dan marah yang sudah mencapai puncaknya.

"Ayo batalkan pernikahannya, tidak! Kita batalkan pernikahannya." Ucapku kemudian setelah mengambil foto mereka yang tidak mereka sadari saking terhanyutnya dalam permainan panas mereka.

Mereka yang baru selesai dengan kegiatan menjijikan itu membuatku mual dan bergegas pergi dari sana.

"Sial!" Umpatku merasakan denyutan hebat di kepalaku, apalagi saat aku mengingat betapa bodohnya aku hari ini. Berniat mengejutkannya, malah aku yang dibuat terkejut olehnya.

Berpura-pura mencintaiku ya? Kenapa?

.

.

.

To be continued...

Episode 02

Ku buka mataku saat merasakan sentuhan seseorang di wajahku, lalu aku melihat sosok Caesar yang menatapku dengan tatapan sendu lengkap dengan senyum tipisnya.

"Kamu bermimpi buruk?" Tanyanya kemudian sambil mendekatkan wajahnya kehadapanku sampai berjarak satu jengkal tangan. Dan aku merasakan basah di kedua sudut mataku, apa karena aku menangis saat tertidur?

"Kapan kamu datang?" Ucapku balik bertanya sambil mendorong tubuhnya untuk menjauh, memberiku sedikit ruang untuk bangkit dari posisi berbaringku.

"Kenapa tidak tidur di rumah saja? Malah tidur di butik disofa pula, tanganmu kan sedang terluka. Harusnya dirawat dengan baik supaya cepat sembuh. Kalau seperti ini kapan sembuhnya coba?" Ocehnya sambil membantuku yang kesulitan untuk bangun karena tangan kananku yang di gips.

Sepertinya aku langsung tertidur saat sampai di butik, dan sekarang pria bernama Caesar ini benar-benar datang menemuiku. Padahal aku sudah melarangnya, tapi orang ini tidak mendengarkan ku.

"Jadi kenapa kamu datang? Bukankah aku bilang jangan datang?" Tanyaku setelah menemukan posisi yang nyaman untuk duduk.

"Sudah ku katakan kalau aku merindukanmu kan? Apa aku tidak boleh menemuimu karena alasan itu?" Jawabnya tak berani menatap mataku. Namun manik coklatnya terus mencuri-curi pandang, berusaha untuk bertemu tatap dengan mataku.

"Hah~ kau bercanda?" Gumamku setelah menghela napas letih sambil memijat bahu kananku yang terasa pegal karena tangan kananku yang di gips terus digendong menggunakan arm sling sejak kembali dari rumah sakit.

Sudah berapa jam ya aku menggunakan benda ini sampai ketiduran di sofa? Lanjutku dalam hati, berusaha mengingat semua waktu yang sudah terlewati tanpa ku sadari karena merasa begitu lelah.

"Apa aku terlihat bercanda?"

"Hah?"

Ku lihat Caesar sudah mengernyit serius menatapku kesal, lalu menghilangkan jarak di antara aku dan dirinya. Membuatku tidak nyaman, dengan cepat aku mendorong tubuhnya untuk menjauh dari sisiku. Namun dengan cepat Caesar meraih tangan kiriku dan menggenggamnya cukup erat, membuatku bertanya-tanya dengan isi pikirannya sekarang.

"Kenapa kau selalu menghindari ku? Bukankah aku ini kekasihmu?" Tanyanya memecah keheningan, membuatku bergidik ngeri saat manik coklatnya menatap dalam padaku. Seolah-olah dia tau isi hatiku yang sebenarnya.

"Kekasih? Maksudmu kekasih kontrak? Bukan begitu?" Jawabku mempertegas hubunganku dengannya, dan ku lepaskan tanganku dari genggaman pria itu sebelum bangkit dari posisi duduk ku.

Kemudian ku langkahkan kedua kaki ku menuju meja kerjaku yang terletak di dekat jendela sebelah barat, berusaha menjauhi sosok Caesar yang terlihat aneh di mataku, tidak seperti biasanya.

"Menurut perjanjian, kontrak kita akan berakhir akhir Minggu ini seperti yang sudah kita sepakati di awal. Jadi kau bisa berhenti bersikap sebagai seorang kekasih mulai sekarang. Toh balas dendam mu sudah tuntas, kau berhasil membuat mantanmu menyesal." Tuturku sambil meraih dokumen perjanjian ku dengan Caesar yang ku simpan di dalam laci meja kerjaku.

"Jadi kau berniat membuangku juga?" Tanyanya membuatku terkejut dengan kehadirannya di belakangku, membuatku refleks berbalik badan menghadap ke arahnya berdiri. Aku benar-benar tidak menyadari kehadirannya sampai dia mengeluarkan suara. Sepertinya dia mulai mengekoriku sejak awal.

Ku tatap manik coklat itu dengan lekat, berusaha memahami apa yang tersembunyi di dalam matanya yang terlihat mendung itu. Tapi tidak berhasil.

"Jangan tinggalkan aku Lifi, aku ...," tuturnya terhenti bersamaan dengan naluriku yang merasakan bahaya dari sosok Caesar yang berdiri di hadapanku.

Entahlah, sejak awal aku sudah merasakan ada yang tidak beres dengan pria satu ini. Tapi karena rasa marahku saat melihatnya dipermalukan oleh mantan kekasihnya membuatku buta dan kasihan padanya. Mungkin tanpa sengaja perempuan itu sudah mengingatkanku akan sosok Vino dan membuatku ingin membalas perbuatannya.

Lalu tanpa pikir panjang aku menawarkan bantuan pada Caesar. Hanya karena mengingat perbuatan b*jingan itu sekilas membuatku lepas kendali dan melakukan hal tidak berguna. Hanya karena dia mirip denganku ....

Jika dipikir-pikir, kenapa aku mau repot-repot membantu pria ini ya? Padahal saat aku terjatuh dan terluka tidak ada seorangpun yang memperdulikan perasaanku. Bahkan pria ini, dia tidak pernah benar-benar bersikap tulus padaku. Sorot matanya selalu terlihat jelas memperlihatkan niat aslinya.

Tapi hari ini? Kenapa dia terlihat berbahaya? Aku bahkan tidak bisa melihat niat sebenarnya Caesar. Sebenarnya apa yang sudah terjadi padanya saat kami tidak bertemu? Batinku bertanya-tanya dan mengingat suara Caesar siang ini saat menelponku di rumah sakit.

"Lifi." Ucapnya membangunkan ku dari lamunanku, ku lihat Caesar sudah menyusupkan wajahnya di bahuku selagi tangan kirinya menyingkirkan helaian rambut dileherku dan tangan lainnya sibuk memegangi ujung meja, mengunci tubuhku disana yang entah sejak kapan aku sudah duduk dibagian atas meja kerjaku.

"Apa yang—" Tanyaku terhenti saat merasakan bibir Caesar dileherku, membuat gelenyar aneh diperutku saat dia menciumi leherku dengan perlahan. Rasanya geli dan membuatku merinding.

"Caesar! Tunggu, apa yang ... kau lakukan?" Lanjutku berusaha melepaskan diriku darinya saat merasakan sakit di leherku, tapi tenagaku tidak cukup. Apa dia membuat kiss mark disana?

"Hentikan!"

"Apa kalau aku berhenti kau tidak akan jadi membuangku?"

"Apa?" Tanyaku saat kembali bertemu tatap dengan manik coklat Caesar. Ku lihat dia mengernyit lagi dan memasang ekspresi murungnya.

"Tidak ya?" Gumamnya sambil meraih wajahku, aku yang mengetahui niatnya langsung menutup mulutnya dengan telapak tangan kiriku dan menatapnya tajam. Berbeda dengan Caesar yang terlihat kecewa dengan reaksiku.

"Cukup sampai disana. Kau pikir aku akan membiarkanmu memperlakukanku sesukamu?"

Dengan perlahan Caesar melepaskan tanganku dan menunjukan senyum tipisnya sebelum menghela napas dalam.

"Baiklah aku menyerah, aku memang tidak bisa menang ya ...," gumamnya segera menjauh dari hadapanku dan kembali berjalan ke arah sofa tempatku tidur tadi.

"Sepertinya kau benar-benar menjadi gila ya?" Ketusku segera turun dari atas meja dan berdiri di depan jendela yang menampilkan keramaian jalanan sore ini. Pemandangan langit orange saat matahari tenggelam membuat suasana kota semakin indah.

"Ayo perpanjang kontraknya." Suara Caesar tiba-tiba mengejutkanku, membuatku menoleh kembali ke arahnya terduduk.

"Apa?" Tanyaku, memastikan indra pendengaran ku.

"Ku bilang perpanjang kontraknya."

"Apa untungnya memperpanjang kontrak?"

"Kau bisa membatalkan perjodohanmu dengan pria yang dikenalkan oleh sahabatmu itu dengan kehadiranku. Kau tidak mau menikah kan? Atau jangan-jangan kali ini kau benar-benar ingin menikah?"

"Jangan sembarang berbicara. Aku memang tidak ingin menikah, tapi bukan berarti aku harus meminta bantuanmu dengan memperpanjang kontrak. Kau tidak perlu khawatir, aku punya caraku sendiri untuk mengurus masalahku. Jadi jangan ikut campur dan akhiri semuanya dengan tenang." Tuturku panjang lebar sambil mengacak rambutku frustrasi.

"Kau punya rencana?" Gumamnya membuatku melirik kearah Caesar yang terlihat berpikir keras. Entah apa yang sedang dia pikirkan, tapi ekspresi seriusnya itu benar-benar menggangguku.

"Hah~ kau lupa siapa aku?" Tanyaku mengalihkan perhatiannya.

"Lifia, itu namamu kan." Jawabnya sambil memiringkan kepalanya sedikit selagi kedua tangannya terlipat rapi diatas dadanya.

"Ya—itu benar, salahku bertanya. Lupakan dan pergilah dari hadapanku sekarang! Aku ingin beristirahat." Dengusku merasa kesal dengan jawabannya yang tidak sesuai dengan ekspektasi ku.

.

.

.

To be continued...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!