NovelToon NovelToon

Benang Merah Pak Dekan

Dadakan

"Mama kenapa Elsa harus nikah sama orang yang gak dikenal? Hiks.. Elsa aja baru 18 tahun."

"Jangan lebay kamu. Kan katanya kamu mau kuliah, Mama gak punya duit. Gas LPG aja sekarang harganya naik." Mama Wina yang sibuk mengulek sambal itu hanya memutar bola matanya malas. 

"Yaudah, Echa gak perlu kuliah aja daripada harus nikah sama orang gak dikenal! Gimana kalau nanti Icha kena KDRT? Gimana?! Gimana?! Hiks… hiks…"

"Tahu bulat…  digoreng dadakan…  lima ratusan…" Namun nyatanya suara pedagang itu membuat Elsa langsung berhenti menangis dan berteriak, "Mang! Beli! Woyyy!" Sambil berlari keluar rumah. "Mang! Mau dagang apa gimana sih? Dipanggil gak berhenti berhenti!"

"Maaf, Neng. Gak kedengeran," Ucap sosok yang suka menggoreng di belakang. 

"Bentar! Mau ambil duit dulu, Mang!" Teriaknya kembali masuk ke dalam rumah. "Ma, minta sepuluh ribu. Mau beli sama sotong."

"Kalau mau jajan, harus mau nikah dulu."

"Ih kok gitu sih?" Tanya Elsa kesal. 

"Neng?! Jadi gak?! Mau berangkat lagi nih!"

"Jadi!" Menatap Mama Ine dengan mata berkaca kaca. "Yaudah mana duitnya!"

Itulah awal dimana Elsa akhirnya mau menikah dengan seorang pria yang tidak dia kenal. Kata Mamanya, menikah itu ibadah. Jadi selain mendapatkan pemasukan uang, juga mendapatkan pahala. Tapi masalahnya, Elsa jelas merasa asing dengan pria yang dinikahinya ini. 

"Sahhhh." Ketika terdengar suara orang orang disekitarnya, Elsa jadi ngeri sendiri. Dirinya sudah menjadi istri orang lain. Namun, yang lebih membingungkan adalah kepergian sang suami yang katanya ada tugas di luar negara yang mengharuskan dirinya untuk pergi setelah akad nikah berlangsung. 

Membuat Elsa berakhir sendirian di rumah barunya. Tapi, memang benar kata Mamanya, kalau orang yang menikah dengannya ini kaya, furniture nya saja begitu mewah. 

Namun, selama satu bulan Elsa harus sendirian di rumah itu. Kadang, dia pulang ke rumah Mamanya untuk membantu mempersiapkan diri masuk kuliah. Ada Bamba: Bimbingan mahasiswa baru fakultas Hukum. Banyak persyaratan yang harus disiapkan oleh Elsa. 

"Mamaaaa! Syal punya Echa mana?!"

"Udah ada di dalam tas. Kamu yang bener kalau liat liat kenapa?"

"Ihhh gak ada."

"Awas kalau Mama nyari terus ketemu!" Mama Wina naik ke lantai dua ke kamar sang anak, mencarinya di dalam tas gendong sang anak. "Ini ada! Makannya cari yang bener!"

"Tadi mah gak ada," Ucapnya mengelak dan menatap sang Mama dengan mata berkaca kaca. "Persyaratan yang lainnya gimana, Ma? Udah?"

"Kan itu mah buat hari kedua, kamu gimana sih. Makannya baca! Iqrooo!"

"Oh iya." Segera memakai name tag. Ini hari pertama Bamba, Elsa memakai kemeja putih, rok hitam dan syal merah yang menandakan kalau dirinya dari fakultas hukum. 

Ada alas duduk yang sudah dia buat dari karton. Meskipun sekarang Bamba tingkat Universitas: dimana nantinya Elsa akan diam di dalam audit dan mendengarkan penjelasan, tetap saja dia harus berangkat pagi. 

Di jadwal, Elsa harus berangkat pagi karena check in dibuka dari jam 5 sampai jam 6 pagi. "Mang! Ayo berangkat!" Teriaknya pada ojek yang sudah dipesankan Mamanya. 

Saat Elsa naik ke jok belakang, Mamanya berteriak dari lantai atas. "Elsa! Kamu sholat subuh belum?"

"Udah!" Teriaknya berdusta, mana sempat kalau bilang belum. 

"Jangan bohong kamu. Mukena kamu gak basah, ada di bawah juga. Sholat dulu! Biar berkah Bamba nya."

"Aaaa, nanti telat, Mama!"

"Sholat dulu! Kamu mau kecelakaan di jalan terus langsung mati dalam keadaan belum sholat?"

***

"Elsaaa cepetan!" Teriak salah satu temannya yang baru dikenal Elsa ketika Technical meeting satu minggu yang lalu. Namanya Ira. 

"Yang rambutnya kribo! Lariii!" Teriak sang kakak tingkat menyadari Elsa yang baru datang. 

Buru buru check in, peralatannya diperiksa. "Kamu telat, masuk ke barisan sana."

"Maaf, Kak. Tadi dijalan macet."

"Gak ada alesan. Sana masuk barisan."

Berakhir dengan Elsa yang memisahkan diri dengan kelompok terlambat. Dia dihukum harus menyebutkan isi dari butir pancasila, sit up dan menyanyikan yel yel kelompok. Elsa itu masuk ke kelompok satu, jadi setelah selesai hukuman, kelompok terlambat itu masuk ke audit dengan diantarkan oleh kakak tingkat sebagai panitia. 

"Kamu masuk ke kelompok kamu."

"Iya, Kak." Elsa langsung mendekati Ira. "Anjirr banget gue dihukum. Mana harus ngulang ngulang butir pancasila."

"Hahaha, makannya lu jangan telat. Heran banget deh," Bisik Mala sambil fokus ke depan. 

"Gue capek, mana tadi gak diizinin minum. Katanya nanti juga ada hukuman tambahan tau, katanya gue bakalan di sidang."

"Elsa jangan berisik. Ini pembukaan mau dimulai."

Elsa berdecak, memang sudah wataknya yang tidak bisa diam, jadi Elsa selalu mengajak teman di sampingnya bicara. "Si abdul mana ya?"

"Elsa diem ih, kita diliatin dekan fakultas kita loh."

"Yakali dia liatin kita gak ada kerjaan banget. Eh lu tau gak? Yang jadi Ratu Angkatan juga tadi terlambat loh." Elsa mencondongkan tubuhnya pada Ira. "Dia dihukum tapi gak sama kayak gue. Mentang mentang ratu angkatan."

"Elsa, diem gak lu. Itu diliatin," Ucap Ira sampai mencubit tangan temannya. 

"Aw! Sakit bego!"

"Jangan berisik kamu." Kakak panitia sampai menatap tajam Elsa. 

"Yah, kena lagi gue. Gara gara lu tau." 

"Diem ih, gue gak mau dikasih tanda sama pak dekan. Mana ganteng banget lagi. Gilaa ih suka. Tapi ditatap lama lama juga bikin gue dek degan."

Sekarang memang perkenalan pengurus Yayasan dan jajaran dari petinggi Universitas. Jadi membosankan kalau tidak bicara. "Lagian yang mana sih dekan fakultas kita? Gak ada kerjaan amat liatin." Saat Elsa melihat jajaran orang yang ada di depan, memang benar ada yang menatapnya sejak tadi. Tapi, kenapa wajahnya tidak asing ya? Elsa sampai membalas tatapannya tidak kalah tajam. 

"Silahkan kepada Pak Erlangga Adhiatama selalu dekan fakultas hukum untuk menyampaikan sambutan bagi mahasiswa fakultas hukum."

Elsa langsung menegang, tunggu! Nama itu tidak asing! Dengan cepat dia mengambil ponselnya dan membuka Galeri. Fokus pada foto keluarga ketika hari pernikahannya. "Aaaaa!" Refleks menjerit sampai ponselnya jatuh. 

***

Kesan pertama

BRAK! 

"Mama kok gak bilang kalau suaminya Elsa itu Dekan di Fakultas Hukum!"

"Waalaikumsalam," Ucap Mama Wina menatap tajam sang anak. "Gak usah teriak teriak, sebentar lagi Mama mau live streaming ini buat jualan sambel."

"Mama tau ya kalau Erlangga itu dekan di Fakultas hukum?"

"Yang sopan manggilnya, Elsa. Dia suami kamu, mana bedanya 12 tahun juga. Panggil Mas, atau gak ada makan malam."

Elsa menarik napas dan duduk di samping sang Mama. "Beneran dia dekan? Kenapa Mama gak kasih tau?"

Mana tadi Elsa sempat berteriak dan mendapatkan hukuman tambahan sebelum pulang. 

"Ya kamu gak nanya, tiap Mama mau jelasin juga bilangnya males males aja. Udah pulang ya dia? Sana kamu juga pulang ke rumah."

"Gak mau ah! Mau di sini aja, lagian kadung Bamba 3 hari lagi. Kan semua peralatan di sini, Ma."

"Kasian suami kamu di rumah sendiri gak ada yang nemenin, Elsa. Kewajiban kamu layanin dia."

Mengetahui kalau dia adalah dekan fakultas hukum saja sudah membuat Elsa pusing, sekarang harus pulang dan melayaninya? Elsa takut, umurnya baru 18 tahun dan pria itu sudah 30 tahun. "Ma, Elsa kayaknya pusing deh. Mau ke kamar dulu ya."

"Heh, jangan menghindar kamu. Pulang sana, sambut suami kamu."

Tapi Elsa lebih dulu naik ke kamarnya di lantai dua. Ketika ponselnya berbunyi, Elsa melihatnya. Itu telpon dari nomor suaminya. Ck, mau apa? Kenapa Elsa jadi takut sekarang? Melihat riwayat chat mereka hanya sebatas:

Mas Tama: Aku masih ada urusan pekerjaan. Baik baik di rumah. 

Mas Tama: Jaga kesehatan, lagi musim sakit. 

Itu juga beberapa minggu yang lalu. 

***

Erlangga Adhiatama, setelah perjalanan dinasnya ke luar negara, dia langsung mengumumkan hasilnya dalam rapat bersama dengan petinggi yayasan. 

"Pak Tama, mau kemana?" Tanya sang rektor ketika Tama memakai kembali jasnya. 

"Pulang, Pak. Saya sudah rindu rumah."

"Gak makan malam di sini dulu, Pak? Sama yang lain?"

"Terima kasih, saya sudah rindu rumah." Tama menolaknya dengan sopan. Dia menggunakan mobil pergi menuju rumah sang mertua, istrinya berada di sana. 

Sampai ketika hampir maghrib, Tama membawa beberapa oleh oleh dari Thailand. 

"As–"

"Waalaikumsalam, menantunya Mama. Masuk, Nak."

Tama sampai memegang dadanya yang kaget. Dia mencium tangan mertuanya. "Ini oleh oleh dari Thailand, Ma."

"Eh, makasih banyak loh." Menerimanya dengan mata berbinar. "Istri kamu ada di atas, disuruh pulang malah gak mau."

"Gak papa, Ma. Tama izin naik ke kamar Elsa ya."

"Masuk aja. Tapi nanti kalian makan malam di sini ya. Mama mau masak banyak ini."

"Iya siap, Ma." Tama melangkah naik ke lantai dua dan menatap pintu yang bertuliskan, 'Tidak perlu pakai narkoba, kemiskinan ini sudah membuatku berhalusinasi.'

Kata kata itu membuat Tama speechless. 

"Itu katanya buat motivasi, anaknya emang gitu kalau si Elsa." Mama Wina sedari tadi menatap Tama yang berdiri di ambang pintu. 

Tama hanya terkekeh pelan sebelum mengetuk pintu. 

"Masuk aja, Tam. Anaknya palingan lagi tidur."

Benar saja, saat Tama masuk ternyata Elsa sedang tidur. Posisinya terlentang dengan leher yang dipakaikan bantal hingga kepalanya mengadah. "Ya Allah, dia mimpi kena azab apa?" Namun, Tama terkekeh melihat betapa menggemaskan nya wajah Elsa kalau dijadikan sticker whatsapp. Jadi dia memotret nya diam diam dan kembali keluar kamar. 

"Loh, kok keluar lagi, Tam?"

"Kasian lagi tidur, Ma. Biarin aja."

"Ini udah mau maghrib loh."

"Lima belas menit aja lagi, Ma. Dia banyak masalah pas Bamba tadi." Tama turun ke bawah untuk mengambil pakaian santainya di mobil. "Ma, ikut mandi ya."

"Ya ampun  gak usah bilang segala. Ini juga rumah kamu, Tam. Sana kamu mandi. Biar Elsa kelepek-klepek liat kamu."

***

Elsa terbangun dari tidurnya, tubuh nya terasa sangat pegal. Mendudukan dirinya dan menarik napas dalam. "Baru juga jam enam," Gumamnya menggaruk kepala yang terasa gatal. "Hah?! Jam enam?!"

Bruk! Elsa jatuh tersangkut kakinya sendiri. Dia bergegas masuk ke kamar mandi. Bergerak cepat supaya tidak mendapatkan hukuman lagi dari panitia. "Huaaa! Mana belum sholat subuh!" Teriaknya saat sedang menggosok gigi. 

Sementara itu, Tama sedang menyusun makanan di atas meja. Mengobrol bersama dengan mertuanya juga. "Enggak, Ma, buat sekarang fokus dulu di sini. Lain kali kalau ada tugas keluar negara, pasti ajak Elsa kok."

"Ajak aja. Dia belum pernah keluar negeri tuh. Kamu kapan ke rumah Bunda kamu?"

"Nanti, Ma. Minggu depan kayaknya sambil ajak Elsa juga ke sana."

"Anaknya kalau rada ribet dimaklum ya, Tam. Dia anak satu satunya jadi agak manja kayak gitu."

Tama sendiri tidak sabar mengetahui semanja apa istri kecilnya tersebut. 

"Mamaaa! Elsa telat! Mang Ojeg udah ada di depan belum? Aduhh! Pasti nanti kena hukuman lagi ini!" Teriak Elsa yang baru saja keluar kamar. Dia sudah memakai kemeja, rambut dikucir dua sesuai aturan dan name tag bahkan sudah terpasang. Dia berlari keluar rumah tanpa menatap ke arah dapur. "Mamaaa! Mana tukang ojeg nya? Kok belum ada sih?!" Air mata sudah mengenang di pelupuk matanya. 

Sampai tukang ojeg yang selalu mengantarkan Elsa itu berjalan kaki melewati rumah Elsa. "Neng," Sapanya. 

Pria itu memakai koko, sarung dan peci. "Loh, ospek lagi, Neng? Duh bentar ya, saya sholat maghrib dulu."

"Hah? Maghrib?" Elsa menatap ke arah barat, adzan baru dilantunkan dan matahari baru saja tenggelam. 

***

Satu kamar

"Hehehehe." Pria berambut coklat itu tertawa saat melewati Elsa yang duduk di sofa. Masih dengan memakai pakaian yang sama ketika hendak pergi ke kampus tadi. 

Mengejutkan lagi ada pria yang menjadi suaminya di sini. Dia menyebalkan sekali, menertawakannya dirinya. 

"Nanti salim kalau suami kamu udah pulang dari masjid. Terus ngobrol."

"Ngapain sih dia ke sini, Ma?"

"Jangan kayak gitu, Elsa. Dia suami kamu. Mama denger kamu ngomong gak sopan sama dia, Mama jitak kepala kamu." Menatap tajam sang anak. "Sana ganti baju, terus sholat."

Elsa melangkah menuju ke kamarnya, mengganti baju dengan pikiran melayang antara sadar dan tidak. Juga terbelah karena memikirkan Tama yang ada di sini. Dia mau apa sih? Sudah tenang hidup Elsa sendirian, dia berharap pria itu pulang pulang menjadi almarhum supaya Elsa bisa melepas tali pernikahan ini. 

"Aduh lapar." Ingat tadi ada makanan yang enak di meja, jadi Elsa bergegas sholat sebelum turun lagi ke bawah. Tenang, sekarang dia sudah berganti pakaian. 

"Jangan makan duluan. Nanti nunggu suami kamu."

Mamanya selalu datang di saat yang tepat ketika Elsa hendak mengambil cumi. "Udah kadung lapar, Ma. Nanti kalau Elsa pingsan gimana."

"Nanti nunggu suami kamu dulu. Jangan makan sekarang." Mama Wina melepaskan mukena dan membawanya ke belakang untuk dicuci. Ini kesempatan untuk Elsa mencicipi menu yang sangat menggiurkan. Menusuk dengan garpu dan memakannya. "Enak banget," Ucapnya dengan mata berkaca kaca. 

"Enak ya? Itu buatan aku."

"Uhuk! Uhuk! Uhuk!" Kenapa pria ini dimana mana? Kapan dia masuk dan kenapa sekarang menatap Elsa dengan datar dan tajam, tapi bola matanya menyiratkan kalau dia itu predator wanita. 

***

"Elsa kamu pulang sama Tama, barang barang kamu bisa dibawa ke dalam mobilnya suami kamu."

"Males, Ma. Besok lagi aja. Elsa mau bobo di sini."

"Iya tidur di sini aja, Ma. Gak papa," Ucap Tama menyela. "Kasian Elsa juga, lagi betah betahnya di sini."

"Duh, untung kamu punya suami yang baik, Elsa. Kadang Mama suka insecure kalau liat kamu yang gak ada apa apa bisa dapet jodoh yang kayak Tama, yang banyak apa apanya."

Elsa memutar bola matanya malas. Di liriknya sangat suami yang makan dengan lahap. Selesai makan, Elsa langsung naik ke kamarnya. "Makasih makanannya, Elsa mau siapin buat besok dulu," Ucapnya meninggalkan dua orang itu. 

"Hei, suami kamu ketinggalan. Elsa!"

"Gak papa, Ma. Biar Tama yang nanti nyusulin."

"Haduh, maaf ya, Tam. Anaknya emang kayak gitu. Dia kadang gak ideng," Ucap Mama Wina meminta pengertian. Untung sekali dia memiliki menantu yang pengertian bahkan membantunya mencuci piring. "Udah, Tam. Kamu ke kamar aja istirahat. Biar Mama yang cuci. Sekalian mau ngevlog ini."

"Oh iya siap, Ma." Tama baru ingat kalau mertuanya ini seorang vlogger makanan. Diusianya yang senja, Mama Wina masih aktif. 

Memberikan ruang untuk mertuanya, Tama naik ke lantai dua. Dia mengetuk pintu kamar sang istri sebelum masuk. 

"Heh! Ngapain?"

"Tidur di sini lah. Kan kita suami istri."

"Ih gak mau. Tidur di kamar lain aja." Elsa beringsut mundur dengan bibir mengerucut. 

"Mau dosa? Nanti Mama marah, mau? Sana bilang sama Mama kalau berani."

"Minggir." Elsa melangkah menuju pintu. Baru juga dia membukanya. Kriettt… hingga menimbulkan suara, Mama Wina yang ada di lantai bawah itu langsung menoleh ke kamar Elsa setajam silet. 

Bruk! Elsa langsung menutupnya dan berbalik menatap Tama dengan berkaca kaca. "Takut Mama."

"Yaudah Terima aja. Ngomong ngomong bikinin teh dong, aku gak bisa tidur kalau gak minum air anget."

"Di kamar mandi ada water heater." 

Ketika Tama menatapnya tajam, langsung Elsa beranjak dari atas ranjang. "Iya iya ini dibikinin!"

***

"Elsa, ngapain kamu turun lagi?"

"Minta dibikinin teh anget dia." Datang ke dapur sambil menghentakan kakinya. "Males banget."

"Jangan gitu, itu kadang pahala buat kamu, Elsa."

"Pahala apanya." Teringat kalau mereka akan tidur satu kamar, Elsa menatap Mamanya dengan berkaca kaca. "Ma, Elsa gak mau bobo bareng Tama. Gak siap punya anak. Elsa gak mau. Mama jangan maksa buat punya cucu."

"Lah? Emang Mama maksa kamu buat hamil sekarang? Enggak, Elsa. Lagian suami kamu itu udah dewasa, dia gak bakalan macem macem sama kamu."

"Masa gak macem macem. Kan udah suami istri!" Teriak Elsa panik. 

"Cie yang mau di macem macem sama Tama. Tar deh mama bilangin sama anaknya."

"Mama!"

"Jalani aja dulu kenapa. Lagian kamu udah satu bulan jadi istrinya. Semuanya aman aman aja tuh. Rekening kamu aman kan?"

Ya memang aman, tapi mereka baru satu atap sekarang. Elsa juga tidak tertarik pada pria yang sudah matang itu.

"Kalau kamu ngebantah, bukan cuma satu kutukan yang kamu dapet. Tapi dua. Satu dari Mama karena jadi anak pembangkang, dua dari suami kamu karena jadi istri yang gak nurut."

Sudah, Elsa kalah kalau berdebat dengan Mamanya. Saat kembali ke kamarnya, Elsa mendapati Tama yang sedang mengganti sprei. "Kenapa diganti?"

"Ini bau banget sprei nya. Kamu suka ileran ya?"

Bola mata Elsa membulat. Iya dia suka ileran, tapi enggan mengakui dan memilih mengatakan, "Suka ada kucing tetangga ke sini! Jadinya suka pipis dimana mana! Enak aja ngatain aku ileran!"

****

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!