BRAK
Seorang pria paruh baya dengan wajah kaku dan rahang yang mengeras. Memukul meja di kantornya lantaran marah besar.
Para pria berjas yang berdiri di hadapannya hanya bisa menunduk takut.
"Menemukan putraku saja kalian tidak bisa!"
"Kenapa aku harus di kelilingi oleh orang-orang bodoh macam kalian!" Arkhan Sanjaya, pria arogan nan dingin pemilik dari perusahaan ALPHA CORPORINDO, tak mampu lagi menahan emosinya. Ketika para pesuruh yang ia pekerjakan gagal melakukan tugasnya yang ia berikan dalam kurun waktu lima tahun ini.
Bagaimana pun, ia harus menemukan penerus bagi bisnisnya. Atau para pesaingnya semakin gencar untuk berusaha menjatuhkan harga dirinya. Dimana seorang, Arkhan tidak memiliki pewaris.
"Aku pasti menemukanmu, anak nakal!"
___________
Terlihat seorang driver ojek online baru saja menurunkan penumpangnya di depan minimarket. Ia mengangguk dan mengucap terimakasih ketika sang customer memberi tips lumayan padanya.
"Alhamdulillah, dapet duit buat makan siang." Pria yang memiliki senyum manis di balik wajahnya yang kusam ini, nampak bersyukur dengan rejeki yang ia terima, meskipun itu hanya seharga sebungkus nasi padang saja.
Baru beberapa meter, ponselnya kembali berdering pertanda ada orderan yang masuk. Ia pun segera menepi, untuk membaca statusnya.
"Wah, gak jauh dari sini. Oke lah, berangkat!" Pria yang bernama Ghazali ini kali melajukan kendaraannya menjemput customer yang ingin menggunakan jasanya.
Hingga, ia tiba di depan sebuah pabrik kosmetik, kemudian menghentikan laju roda dua pada motor tuanya itu.
"Permisi, dengan Mbak Zahra Syahrini?" tanya Ghazali ramah, memastikan.
"Benar itu saya, Bang. Ini, dengan driver Ghazali Sanjaya, ya?" Gadis manis yang menutup kepalanya dengan pasmina lebar itu pun juga memastikan bahwa driver yang ia pesan sesuai dengan aplikasi.
"Benar, Mbak. Ini helmnya!" Ghazali pun mengiyakan dan menyerahkan pengaman kepala kepada penumpang cantiknya ini.
'Ya Allah, Al mimpi apa semalem? Dapet penumpang begini bening.' Batin Ghazali girang bukan main. Sepertinya ia akan semangat menjalani hari ini.
Sekitar baru melaju beberapa kilo meter, kendaraan yang Ghazali kemudikan mendadak bermasalah. Motornya, tiba-tiba berhenti di tengah jalan. Untung saja, kondisi jalanan tidak terlalu ramai. Langsung, Ghazali menepikan kendaraan itu dengan bantuan kedua kakinya.
"Kenapa, berhenti si, Bang? Mana masih jauh ini," heran Zahra, gadis manis, yang mengenakan pasmina untuk menutupi kepala hingga menjulur ke bagian depan tubuhnya. Suaranya terdengar bernada kesal, karena, driver ojek online itu tiba-tiba menghentikan laju kendaraan roda duanya. Disaat dirinya sedang mengejar waktu.
"Maaf, ya, Mbak ... biar saya periksa dulu," jawab, Ghazali dengan rasa tak enak hati. Ia pun segera turun dari kendaraannya setelah, Zahra yang turun lebih dulu tentu saja.
Gadis itu terlihat gusar, nampak dari gesturnya yang bergerak mondar-mandir. Sesekali, bahkan Zahra melihat ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
'Sabar, Ra. Semoga bunda baik-baik aja.' batin Zahra, risau.
'Ck! Komet ... lu kenapa dah? Jangan bikin malu gua dong!' rutuk, Ghazali, yang sudah penuh peluh di seluruh wajah hingga lehernya. Karena siang itu matahari sangatlah terik.
' Idup kek cepetan. Ini bukan waktunya mogok tau gak! Kasian tuh, si ukhty jadi kepanasan dipinggir jalan.' Terlihat driver ojek online itu sesekali memukul body motornya. Ia sudah mengotak-atik apapun yang sekiranya mempengaruhi keadaan motor tuanya saat ini. Namun, keadaan berkata lain.
" Kayaknya, busi motor saya abis, Mbak. Padahal baru tiga hari lalu saya ganti. Maklumlah motor tua, Mbak," jelas, Ghazali sambil mengusap tengkuknya. Ia khawatir jika customernya akan memberi feedback komentar jelek padanya. Tentu saja, hal akan berimbas pada nasib pekerjaannya nanti. Bisa saja ia disuspend sementara. Mana, plat nomer motor serta jenis motornya juga beda dengan yang ada di aplikasi.
Karena, pada saat mendaftar ia meminjam motor milik tetangganya. Ia berharap semoga Zahra tidak kecewa.
" Terus, gimana dong, Bang? "tanya, sang gadis berwajah manis itu bingung. Karena baru setengah jalan motornya malah mogok, niatnya ingin cepat sampai rumah. Ternyata kendaraan yang ia tumpangi justru mendapat kendala.
Sungguh apes bagi, Zahra. Mendapatkan driver yang menggunakan motor butut. Padahal harus segera sampai rumah agar segera dapat melihat keadaan bundanya yang sedang sakit. Walaupun begitu, ia tidak akan memberikan komentar negatif. Karena Zahra paham bagaimana dunia ojek online ini.
_________
"Ya Allah, Maryam. Badan kamu panas banget begini. Kita berobat aja ya, Ayah pinjam motor sama tetangga sebelah," ucap seorang pria yang mengenakan kopiah dan sarung. Wajahnya sangat teduh dan berkharisma. Dengan kumis tipis dan jambang halus yang menambah kesan wibawa diusianya yang tak lagi muda itu.
"Gak usah, Bang. Mar mau nunggu, Kakak pulang aja. Mar kangen," tolak wanita yang tengah bersandar pada kepala dipan. Wajahnya pucat dan bibirnya kering. Matanya juga terlihat sayu, menandakan ia tengah tidak baik-baik saja saat ini.
"Pagi ini kamu sudah mengeluarkan apapun yang masuk ke dalam perutmu berkali-kali. Aku khawatir, padamu. Tubuhmu saat ini pasti kekurangan nutrisi," bujuk pria berusia empat puluh delapan tahun itu berkata lembut seraya mengusap pipi tirus sang istri. Tatapan darinya terlihat begitu sedih dan penuh luka.
"Aku hanya ingin bertemu, Zahra. Kenapa juga dia belum pulang pekan ini. Aku khawatir padanya, Bang. Aku hanya ingin melihat putriku itu setiap hari," rengek Maryam, dengan suara parau. Tenggorokannya tercekat kala ia mengingat perihal mimpinya beberapa malam yang lalu. Hal itulah, yang membuat kondisinya drop.
"Maaf, ya sayang. Karena becakku rusak tertabrak mobil beberapa bulan lalu, sehingga Zahra lah yang harus menanggung seluruh kebutuhan keluarga ini. Aku memang seorang Ayah yang tidak berguna. Seharusnya, Aku yang berjuang untuk kalian. Bukan, putriku Zahra." Pria hampir paruh baya itu menunduk. Kala ia mengingat anak gadisnya kerja di luar kota demi menggantikan perannya sebagai kepala rumah tangga.
"Ini bukan salah, Bang Umar. Semua sudah menjadi kehendak dari Allah. Hanya saja, hati Mar enggak tenang selama beberapa hari ini. Aku terus memikirkan keadaan putriku di luar sana,"
Umar hanya bisa kembali menatap sendu. Ia tak bisa membujuk istrinya untuk berobat, juga tak mungkin menghubungi Zahra yang menurutnya pasti sedang bekerja.
Padahal, salah satu putranya yang baru kelas dua sekolah menengah pertama terlihat tengah mengotak-atik ponselnya. Ia terlihat beberapa kali mengirim voice note pada sang kakak.
_____________
Zahra terlihat semakin gusar karena, sang driver nampaknya gagal membuat hidup kendaraan tuanya itu.
" Mbak,"
"Iya, kenapa?"
"Mau tolongin saya gak?"
"Tolongin apa?" Zahra mengernyitkan keningnya.
"Bantuin saya dorong motor sampe depan sana ya, kayaknya ada bengkel sparepart tuh,"pinta, Ghazali enteng. Driver ojol yang memiliki wajah cukup rupawan ini tanpa malu sedikitpun, memerintahkan pengguna jasanya untuk membantu mendorong motor di jalanan yang agak menanjak ini, tanpa menunggu jawaban setuju sekalipun dari penumpangnya.
"Hah! Apa! Do–dorong motor?" Zahra melongo. Menatap bergantian kearah motor tua dan pengemudinya yang memasang wajah polos tanpa dosa.
Ghazali hanya tersenyum enteng.
Untung saja manis.
...Bersambung...
'Ya Allah! Yang bener aja!' Tak ayal, Zahra yang memiliki lesung di salah satu pipinya itu pun menggerutu dalam hati. Meskipun pada kenyataannya dia pun tak tega membiarkan sang driver mendorong motornya seorang diri.
Belum juga, Zahra sempat membuka mulut untuk mengatakan sesuatu. Ghazali sudah bicara lagi. "Tenang aja, Mbak. Nanti bayarnya saya diskon lima puluh persen kok, adil kan? Lagian ya, emang, Mbaknya mau ... kalau saya tinggal sendirian disini? Sepi lho ini," ucap Ghazali, memberi pilihan yang mana keduanya sama-sama menyulitkan sang customer.
"Iya, ini juga lagi saya bantuin. Gak jauh lagi kan?" sahut, Zahra pasrah. Habis, mau bagaimana lagi. Ia terus berdecak kesal dalam hati sambil memegangi belakang motor, dan terus mendorongnya.
"Ck, elu si pake ngadat segala, Met ... Komet! Kasian kan si Mbaknya. Mana cakep ... bening ... aduhai gitu, jadi gua suruh dorong-dorong elu! Jadi keringetan kan tuh. Mana tengah hari bolong gini, emang kebangetan elu, Met!" omel Ghazali pada benda mati yang saat ini benar-benar dalam keadaan mati.
Zahra hanya memutar bola matanya malas mendengar sang driver mengomel pada motornya sendiri. Padahal ini semua sudah jelas salahnya yang tidak perhatian dengan keadaan kendaraannya sendiri.
"Maaf, ya Mbak, jadi kepanasan. Padahal dari pagi, udah saya ajak bawa penumpang, tapi si Komet baik-baik aja. Apa ... mentang-mentang yang naek cakep kali ya? Si Komet jadi grogi," gombalnya garing. Membuat, Zahra semakin menekuk wajahnya kesal. Ghazali pun tersenyum getir, memasang ekspresi tak enak hati.
Sepertinya wanita di belakangnya ini tak bisa ia gombali.
"Beneran deh? Tadi pagi tuh, lancar-lancar aja. Eh, sekarang ... giliran saya bawa cewek cakep, dia malah ngadat," tambah Ghazali. Entah kenapa hari ini bersama Zahra ia terlihat begitu banyak bicara. Meskipun ia tau jika ekspresi Zahra sudah menunjukkan jika gadis itu kesal padanya.
" Gak usah gombalin saya, Bang. Enggak ngaruh juga," tukas, Zahra dengan nada kesal bin juteknya. Zahra memang sosok wanita yang tak mudah dirayu dan tak kan luruh hanya karena pujian dari laki-laki.
Bagaimana, sang customer tidak kesal. Sudah kepanasan di siang bolong, dapat gombalan receh yang garing pulak. Niatnya ingin cepat sampai rumah, karena itu Zahra memesan ojek online. Siapa sangka, dirinya malah kena apes disuruh dorong motor pada lajur jalanan yang sedikit menanjak.
"Masih jauh gak sih, Bang? Saya, capek banget inih, baru pulang dari pabrik malah kena dorong motor, berat lagi!" protes Zahra yang mulai merasa haus dan gosong pada kulit wajahnya.
Zahra, menghentikan sementara dorongannya, kemudian ia terlihat mengipasi wajahnya dengan telapak tangan.
"Tuh, udah keliatan, Mbak. Lima meter lagi didepan," jawab, Ghazali dengan tersenyum manis. Sebenarnya ia kasihan juga terhadap Zahra. Gadis berwajah manis dengan tatapan mata teduh itu, terbakar matahari siang lantaran keadaan kendaraannya yang kambuh sakitnya.
Tak lama kemudian mereka sampai di tempat tujuan.
"Gimana, Bang? Udah bener belom motornya?" tanya, Zahra si gadis berpakaian yang serba tertutup itu mulai gusar. Pasalnya ia melihat banyak notifikasi pesan chat dari sang adik. Apalagi ketika voice note yang ia buka menceritakan keadaan sang bunda saat ini.
"Semoga saja, ya Mbak. Tapi, ini baru mau saya cek," jawab, Ghazali, sambil menyeka peluhnya.
Sekilas, Zahra memperhatikan tampang sang driver. Dengan rambut pendek lurus, serta perawakan lumayan tinggi. Jaket yang warnanya sudah pudar di padankan dengan celana levis belel, serta sepasang sepatu yang bisa di bilang kumal.
Namun begitu, kalau saja sedikit rapih, maka wajah pria ini lumayan juga. Hidung yang mancung, mata tegas, alis yang tebal dan bibir yang sedikit berwarna kehitaman akibat merokok, namun tetap bisa di bilang lumayan seksi.
'Haish. Kenapa ini mata segala memperhatikan dia sih? Jaga pandanganmu, Zahra, ingat batasan mu.
Karena sebaik-baiknya lelaki dan perempuan adalah yang menjaga pandangannya dari lawan jenis.
"Maaf ya, Mbak, sabar dikit ... lagi. Cewek yang sabar nanti bisa tambah manis lho," bujuk Ghazali.
Membuat, gadis muda berlesung pipi itu, hanya mendengus pelan, dan kemudian melengos.
Ghazali terlihat bersiap untuk mulai menyalakan starter motornya dan ...
"Alhamdulillah, nyala, Mbak!" seru Ghazali penuh syukur. Ketika mesin motornya kembali berbunyi nyaring.
" Alhamdulillah." dengan penuh kelegaan, akhirnya mereka bisa melanjutkan kembali perjalanan yang sempat tertunda tadi.
"Siap ya, Mbak," ucapnya sambil mengenakan helmnya. Dan, Ghazali kembali melaju dengan percaya diri di atas motor yang sudah kembali pulih. Ia tau jika penumpangnya ini tengah gusar dan harus memburu waktu.
'Sabar, ya, bun. Zahra, sebentar lagi sampai rumah. Semoga kali ini perjalanan lancar tanpa ada hambatan lagi.'
Singkat cerita, gadis manis yang di bonceng oleh Ghazali sudah sampai di depan gang rumahnya. Dan, ia pun segera turun dari motor, kemudian menyerahkan ongkos kepada sang driver ojol tersebut. Ia sengaja berhenti di sini karena gang menuju rumahnya sangatlah sempit.
" Mbaknya, enggak usah bayar," tolak Ghazali dengan mendorong pelan tangan Zahra yang menyodorkan uang lembaran berwarna hijau padanya.
"Lho, kan tadi, Abangnya bilang, saya bayar setengah harga aja ... kok sekarang malah jadi digratiskan? " tanya, Zahra, bingung dengan tangan yang masih dalam keadaan menyodorkan uang.
"Anggap aja upah dari dorong motor tadi mbak!" Ghazali tersenyum sangat lebar, hingga menampakkan gigi depannya yang rata.
"Ya gak bisa gitu, Bang. Perjanjiannya tadi, saya dikasi diskon karena bantuin dorong!" tolak Zahra. Bagaimana pun ia tak sampai hati kalau digratiskan. Driver, juga kan butuh bensin dan makan.
"Beneran, Mbak, karena semua kan kesalahan saya, waktu perjalanan juga jadi ngaret," jelasnya lagi dengan lugas menolak kembali sodoran uang dari Zahra.
" Mbak, enggak cancel orderan saja saya merasa sangat tertolong. Cukup kasih bintang lima, dan jangan komen kecewa, udah gitu aja, " ucap Ghazali sungguh-sungguh kali ini, bahkan wajahnya begitu terlihat ... serius.
"Ya ... udah. Abangnya ikhlas, saya juga ikhlas, biar kita sama-sama ridho!" ujarnya dengan senyum tipis.
Namun, Ghazali menyadarinya.
Dan ...
NYES!
Serasa ada air es yang masuk melewati tenggorokan yang kering kerontang.
Sejuk ... itu lah sensasi yang tiba-tiba, Ghazali rasakan.
Serasa minum air mineral pegunungan yang ada manis-manisnya gitu.
Setidaknya memberi sedikit rasa pada hidup Ghazali yang hambar bahkan pahit ini. Dimana ia kini harus bertarung dengan nasib demi mempertahankan hidupnya.
Meski tak butuh waktu lama baginya untuk beradaptasi dengan kerasnya hidup di jalanan. Bukan suatu masalah, meskipun hanya bisa mengontrak satu kamar kos yang lumayan pengap dan sempit.
Perbedaan yang nyata sampai pada kisaran tiga ratus enam puluh derajat dengan kehidupan di masa lalunya. Setidaknya, Ghazali kini merasa lebih tenang tanpa tekanan.
_____________
"Kakak lama banget sih! Bunda udah muntah lagi. Kak Zahra ...," gumam pemuda kecil risau, hingga ia berjalan mondar-mandir didepan teras rumahnya sambil sesekali menengok ke arah jalanan.
...Bersambung...
Kazenia, wanita berusia tak lagi muda itu meletakkan kopi tanpa gula yang masih mengepulkan uap panas, ke atas meja bundar di hadapan Arkhan yang sedang intens menatap pada layar laptopnya.
Sang istri tidak tau jika suasana hati sang suami sedang tidak baik-baik saja. Karena, Arkhan baru saja mengamuk pada anak buah di kantornya
"Hari libur santai kenapa si Pa!"
"Biar kerutan gak tambah banyak," ucap Kazenia sambil meletakkan tubuhnya di kursi rotan itu.
Arkhan hanya sepintas melirik tanpa berniat menimpali ucapan istrinya itu, ia kembali fokus pada apa yang di lakukannya sejak tadi.
" Kamu tu ngejar apa si Pa? Harta banyak ... sudah, kedudukan tinggi ... sudah. Seharusnya kau itu hanya tinggal menikmati hidupmu di masa tua," gemas, Kazenia melihat kesibukan prianya yang tak kenal waktu dan tempat itu.
"Urusanku! Haruskah semua kau tau?"
sarkas Arkhan melirik sebentar kemudian membenarkan letak kacamata nya.
"Berpuluh tahun mendampingiku. Seharusnya kau tau. Aku,paling tidak suka di dikte!"
Arkhan, kemudian berdiri dan hendak berlalu meninggalkan kopi yang bahkan belum di liriknya itu.
Aura dingin itu ternyata sudah menyulut bara di dalam sekam.
"Sekarang, aku tahu apa itu penyesalan!"
Arkhan menoleh mendengar ucapan ambigu dari istrinya, Kazenia.
"Ya, penyesalan terbesarku, adalah bertahan untuk mendampingimu! Hingga, berharap kau berubah dan sadar!" Ucapan, Kazenia barusan sontak membuat rahang Arkhan mengeras Seketika.
"Tapi, ternyata semua harapan itu ku sadari adalah kemustahilan belaka. Kau adalah manusia berhati sekeras baja. Berharap kau berubah, sama saja berharap agar batu kali menjadi bongkahan emas!" Kazenia berteriak kepada lelaki tegap yang berdiri membelakanginya itu.
Meskipun, pria yang berambut setengah putih itu, tetap tidak bergeming dalam posisinya. Namun, nampak jelas jika ia terlihat mengatupkan rahangnya kuat. Arkhan, menahan emosinya yang hampir meluap dari dadanya.
Kazenia, seakan mengeluarkan semua isi hatinya saat ini. Sesak yang ia pendam bertahun-tahun. Kini bagaikan larva yang di muntahkan oleh gunung merapi.
"Kau bahkan rela menyiksa dirimu sendiri!Menyiksaku dan juga anak-anak kita! Lalu, untuk apa dan siapa harta yang kau kumpulkan ini!"
"Tutup mulutmu, Kazenia!"
"Aku muak dengan kemewahan yang menggerogoti hidupku dan juga putriku secara perlahan. Aku, muak!"
"Kazenia!"
"Jangan kau pikir aku tidak bisa bertindak tegas terhadap dirimu!" ancam Arkhan tegas dan penuh penekanan.
"Kau ... bukan lagi manusia yang ku nikahi dua puluh delapan tahun yang lalu! Kau sudah berubah menjadi iblis Arkhan ...!" Kazenia berteriak histeris dan menepis cangkir kopi panas yang ia letakkan tadi di atas meja. Hingga suara dentingan beling pecah, begitu nyaring menyusul pekikan darinya.
Dua orang wanita pekerja di rumah itu segera menghampiri dengan tergopoh-gopoh.
Ketika suara barang pecah itu terdengar di iringi teriakan, mereka berdua sedang membersihkan halaman samping.
Namun, seketika langkah mereka terhenti.
Ketika melihat aura panas dari sepasang suami istri itu. Mereka berdua nampak terkejut.
Pasalnya, pasangan ini belum pernah bertengkar antara satu sama lain selama bertahun-tahun mereka bekerja disini.
Pertengkaran hebat yang pertama kali mereka saksikan adalah ketika, Arkhan menghajar sang putra sulung hingga berakhir pada pengusirannya, lima tahun yang lalu.
Karena mereka tidak mau terlibat urusan kedua majikan mereka itu. Mereka berdua mundur perlahan. Biarlah nanti saja membersihkan apa yang berserak itu.
"Kau--"
Arkhan, terlihat mengepalkan tangan nya. Dadanya terlihat naik turun menahan emosi, dengan napas yang memburu ia mendengus kasar. Sang istri yang selalu menurut padanya selama ini, mulai berontak rupanya.
Cih.
"Kau menyesal setelah menikmati semuanya?Kau lupa, bahwa harta dan kedudukan lah yang mengangkat kita sampai setinggi ini! Semua karena kerja kerasku ... kegigihan ku! Kau lupa, hah!"
"Aku, bahkan meraih semua ini dengan luka dan air mata! Berbekal hinaan dan di cambuk caci segala manusia! Kini, aku berhasil membalik posisi ku dari mereka. Dan, kau ... wanita yang sudah ku jadikan ratu di istanaku ini, mengatakan jika ... aku iblis!"
Arkhan menyeringai kecil, mengingat kata terakhir yang diucapkan oleh wanita yang teramat di cintainya itu.
Hatinya tertohok, kalbunya terasa tertancap panah beracun yang membuat seketika urat nadinya berhenti berdenyut.
Apakah seperti itu ia di mata wanita pujaannya itu?
Mengapa ia nampak begitu jahat dan kejam?
Apa?
Apanya yang salah?
Bagian mananya yang salah?
Ia hanya berniat ingin membahagiakan keluarganya. Mendidik sang putra agar siap menjadi penerusnya.
Berkat perjuangan dan kerja kerasnya, Arkhan, kini mampu membungkam mulut-mulut yang mencerca mereka sejak bertahun-tahun lalu.
Apa yang salah?
Arkhan pun tak habis pikir.
Istrinya dengan kejam mengatakan bahwa dirinya iblis.
Ya, memang ia akan melakukan apapun demi kelancaran usahanya.
Tidak ada kamus halal dan haram.
Semua harus berjalan seperti kehendaknya.
Meski itu semua harus menyingkirkan nyawa manusia kecil seperti menghempas kerikil.
Setiap yang menentangnya, menghambatnya akan di singkirkan tanpa tapi.
Termasuk putranya sendiri.
Ya, inilah caranya mendidik sang penerus kerajaan bisnis, ALPHA CORPORINDO, dari tekanan para musuh yang berasal dari saingan usahanya.
Ya, meskipun ia harus menjalin kerja sama dengan seorang ketua mafia terkuat sebagai pelicin dari usahanya.
Arkhan, berpikir akan membuat jera sang putra dengan membiarkannya hidup terlunta-lunta.
Lalu, sang putra akan kembali setelah ia merasakan hidup susah diluar sana.
Dan, pada saat itu Arkhan sudah melenyapkan semua musuh-musuhnya. Pria maskulin dengan sorot mata setajam elang ini, bahkan mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk memberantas para tikus-tikus itu.
Jika saja sang putra mau menuruti perintahnya, tentu semua akan lebih mudah. Arkhan tak perlu mengeluarkan biaya, maka sekutu akan berada di pihaknya.
Kazenia, masih sesenggukan di tempatnya.
Kenapa, suaminya itu tidak menghampirinya dan menenangkannya.
Apa sekarang ia sudah tidak berarti lagi?
Apa kerajaan bisnisnya itu lebih penting?
Ia hanya kesal karena terlalu merindukan kehangatan suaminya.
Arkhan terlalu sibuk dan dingin padanya.
Sehingga, Kazenia kesepian merasa dijauhkan dari anak dan di acuhkan oleh suaminya sendiri.
Hormonnya yang kacau karena pra-monopause.
Membuatnya sensitif dan meledak-ledak. Sejatinya, Ia hanya haus perhatian dan kasih sayang.
Ketika Arkhan, hendak beranjak meninggalkan ruangan kacau itu. Shireen, putrinya yang baru saja mendaftar kuliah di fakultas hukum menghampiri mereka berdua dengan tatapan bingung. Pasalnya, gadis ini belum pernah menyaksikan kedua orang tuanya bertengkar hebat sekalipun. Wajar saja jika dirinya bingung saat ini, kala melihat sang mama berlinang air mata.
"Apa yang terjadi? Kenapa, Mama menangis? Pa?" Shireen memandangi wajah keras kaku sang papa berharap jawaban. Pria berambut setengah putih itu pun mengelus pucuk kepala putri kesayangannya.
Uratnya mengendur seketika, dan ia memaksakan kedua bibirnya melengkungkan senyum dari kedua sudutnya yang tipis. Seraya berpikir, apa yang akan ia katakan pada putri kesayangannya ini. Shireen Sanjaya.
"Sebaiknya kau hibur, Mama. Papa ada urusan sebentar di kantor."
Arkhan hendak berlalu pergi, tapi, sang putri mencekal lengannya.
...Bersambung ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!