Seorang wanita tengah asik mengendarai mobilnya di tengah keramaian kota Hamburg sore itu. Ia baru saja pulang dari kafe, tempatnya melamar kerja.
Rencananya ia pun akan kuliah sambil bekerja paruh waktu. Tuntutan hidup di kota kosmopolitan sangatlah tidak murah dan juga tidak mudah.
Hal itu dikarenakan dirinya berada jauh dari kedua orang tua. Akan tetapi, dalam satu kota yang sama, ia masih memiliki sepupu yang juga belajar di kampus yang sama.
Musik di dalam mobilnya mengalun cukup keras membuat ia pun ikut bernyanyi. Ssst! Tanpa ada yang tahu, dia sedang galau.
"Because of you. I'm affraid ... "
Itulah sepenggal lirik yang menurutnya pas sekali dengan keadaannya saat itu. Sebuah lagu yang dinyanyikan oleh Kelly Clarkson dengan judul Because Of You, mampu membuatnya puas berteriak, meluapkan segenap perasaan yang terasa tak nyaman di dalam hatinya.
Meskipun suaranya tidak seindah penyanyi aslinya, tapi penjiwaannya cukup dapat kok. Ah, dia terlalu mendalami rasa yang sedang dinikmatinya saat itu.
Ketika sedang asik bernyanyi, getaran ponsel yang berada di atas dashboard membuat fokus menyetirnya pun teralihkan. Wanita itu melirik ke layar yang tengah menyala itu, lalu tangannya memutar knop berbentuk bulat untuk mengecilkan volume musik tersebut.
"Mama? Ada apa ya meneleponku?" gumamnya. Dia meraih ponselnya dan menggeser ikon warna hijau lalu menempelkannya di telinga sebelah kiri. Kecepatan mobil pun perlahan ia kurangi.
"Hallo Mama? Ada apa?" Matanya kembali menatap ke arah depan.
"Hyuna, kapan kamu pulang ke Inggris? Mama dan papa sudah kangen loh sama kamu." Terdengar kekhawatiran pada suara wanita yang ada di seberang telepon.
"Hmm ... " Matanya ditutup sebelah seraya berpikir. Padahal baru seminggu ia berada di kota itu. Mungkin karena ia anak bungsu, jadi terasa sepi karena tidak ada dirinya. "Hyuna belum tahu, Ma. Sebentar lagi kuliah akan dimulai. Masa iya harus ke Inggris sekarang? Lagi pula Hyuna masih betah di sini. Apalagi apartemen yang papa belikan nyaman sekali."
Keputusan wanita yang bernama Hyuna itu, memang sudah bulat. Berada di kota bebas seperti Hamburg, sudah menjadi incarannya sejak lama.
Kedua orang tuanya bahkan rela merogoh kocek yang lumayan besar, serta hampir menghabiskan separuh tabungan mereka untuk mewujudkan keinginannya membeli apartemen di pusat kota tersebut.
Kemudian des ahan napas panjang pun terdengar di telinga Hyuna. Mama-nya merasa kecewa. "Kamu itu anak bungsu kami, seharusnya ada disini bersama kami. Kenapa sih kamu malah inginnya jauh dari kami? Kalau begini, Mama tidak mengizinkanmu dari awal," gerutu wanita itu.
Mendengar celotehan Mama-nya, membuat Hyuna sulit untuk berkilah lagi. "Ma, Hyuna janji akan mengunjungi Mama dan papa di Inggris kalau liburan semester telah tiba," bujuknya supaya Mama-nya itu tidak terus memintanya untuk pulang.
"Ya sudah ... " Hyuna merasa lega akhirnya bujukannya itu berhasil. "Kamu lagi dimana? Kedengarannya sedang dijalan," tanya Mama-nya.
"Iya, Ma .... " Tiba-tiba seorang pria berlari begitu saja di depan mobilnya, membuat Hyuna seketika mendorong rem mobilnya secara mendadak untuk menghindari orang tersebut supaya tidak tertabrak olehnya.
"Aduh!" Hyuna sedikit terhempaskan ke depan. Ponselnya pun terjatuh tepat di samping pegal gas mobil. Hyuna berusaha mengambilnya sambil menggerutu. "Menyebalkan sekali itu orang! Apa tidak melihat ada mobil mau lewat?Main seenaknya sendiri saja kalau menyebrang!"
Mobil pun berjalan semakin lambat. Karena ponselnya cukup sulit untuk diraih olehnya, sesekali Hyuna menunduk untuk memastikan keberadaan ponsel tersebut.
Saat itu Hyuna tengah berada diperempatan jalan. Dari arahnya lampu berwarna merah tiba-tiba menyala. Otomatis pengendara yang berada di belakang Hyuna pun berhenti tepat di belakang garis pembatas.
Namun karena masih dalam keadaan menunduk, Hyuna tidak memperhatikan rambu lalu lintas tersebut. Alhasil mobil yang dikendarainya terus berjalan.
Hingga saat Hyuna berhasil mengambil ponselnya, sambungan telepon pun masih terhubung dengan Mama-nya. "Hallo, Ma?" Hyuna memastikan lagi.
Tak di sangka dari arah sisi kanan mobil, sebuah truk melaju sangat kencang. Sebab memang dari arah tersebut lampu berwarna hijau sedang menyala.
Rupanya Hyuna tidak menyadari kalau dirinya menerobos lampu lalu lintas. Ditengah tertibnya perempatan jalan, sopir truk yang juga merasa terkejut sampai membunyikan klaksonnya berkali-kali supaya Hyuna pergi dari hadapannya.
Sopir itu bahkan sudah menekan rem dari jarak dua meter. Namun karena kecepatannya cukup tinggi, membuat mobilnya sulit dikendalikan.
Hyuna pun menoleh dan terkejut bukan main. Dia terlanjur panik sampai ... "Aaaaaaaaaaaaaaaa!"
*BRAK!!
*SREEEET, NYIIIIIIT, DUG!!!!
Tabrakan pun tak dapat terhindarkan olehnya. Alhasil truk mendorong mobil yang dikendarai Hyuna hingga ringsek tak berbentuk pada sisi kanan dan juga menabrak sebuah pembatas jalan.
Sopir truk masih selamat dan dalam keadaan sadar. Selain itu hanya bagian bemper depan mobil yang penyok bahkan lampunya pun pada pecah.
Sementara Hyuna tak sadarkan diri dengan darah yang mulai bercucuran dari kepalanya. Dia terpental ke sisi kiri dengan bagian lengan kanan serta kakinya lecet dan juga memar.
Akibat kecelakaan itu, aktifitas jalan raya yang tadinya ramai lancar, mendadak padat merayap. Meskipun pusat kota tidak pernah sepi, tapi kendaraan selalu saja ada yang melewatinya.
Orang-orang yang ada di tempat kejadian, berdatangan untuk berusaha membantu korban yang masih berada di dalam mobil. Hingga 20 menit berlalu, bising sirine polisi dan juga ambulance, samar-samar masih terdengar oleh Hyuna di sisa kesadarannya. Lalu setelah itu, hening dan gelap.
"Mama ... Papa, apa aku masih dapat bertemu dengan kalian? Apa aku baik-baik saja? Tolong aku ... " Hyuna berbicara dalam angannya.
Jiwanya yang terasa melayang, tapi sukar terlepas dari raganya. Apa dia benar-benar masih hidup?
...----------------...
Seorang pria sengaja pulang lebih cepat. Niatnya ingin sampai di rumah dan beristirahat. Namun jalan pulang yang dilewatinya ternyata mengalami kemacetan.
"Tumben jalanan ini padat sekali. Ada apa ya?" gumam pria itu. Dia terus melajukan mobilnya dengan pelan mengikuti mobil yang ada didepannya.
"Ternyata ada kecelakaan!" ujarnya menoleh lalu melihat korbannya seorang wanita yang baru saja berhasil dikeluarkan dari dalam mobil.
Entah kenapa, hati pria itu terdorong untuk menolong wanita tersebut. Dia pun meminggirkan mobilnya di samping trotoar jalan tepat dibelakang mobil polisi.
Pria itu turun dari kursi kemudi, lalu melangkahkan kakinya tanpa ragu menghampiri mobil ambulance. Sebab barusan saja wanita itu dimasukkan ke dalamnya.
"Permisi, Pak," sapa pria itu kepada salah seorang anggota polisi.
"Iya, ada apa?" tanya polisi tersebut menoleh ke arahnya.
"Apa ada keluarga korban yang bisa dihubungi?" Pria itu memastikan.
"Kami belum tahu. Sementara ini, korban akan kami bawa ke rumah sakit terdekat untuk diberikan penanganan," jawan polisi. Namun pria itu merasa ragu dengan rumah sakit terdekat yang dimaksud oleh polisi. Sebab hanya rumah sakit itu dan belum secanggih rumah sakit besar yang lebih jauh jaraknya dari tempat kejadian. Melihat kondisi luka korban yang cukup parah.
"Boleh saya bawa saja korban ke rumah sakit terbesat di kota ini? Saya pastikan korban akan dapat penanganan terbaik dan segera pulih," kata pria itu tersengar sangat yakin.
"Apa Anda keluarganya?" Polisi itu menelisik dan menatap ragu.
"Bukan, anggap saja saya relawan. Mengingat keluarganya pun belum diketahui," jawabnya dengan tegas.
"Baiklah, Anda ikut saja bersama ambulance ke rumah sakit terbesar itu," kata polisi mengizinkan.
"Terima kasih, Pak." Pria itu kemudian pergi dari hadapan polisi.
Dia masuk ke dalam mobilnya lalu mengikuti mobil almbulance dari belakang.
Bersambung ....
Di sebuah rumah sakit terbesar, seorang pria memakai setelan kemeja berwarna biru langit serta celana bahan panjang berwarna hitam, tengah bernegosiasi dengan seorang perawat di dalam ruangan emergency.
"Tolong cepat tangani dia! Saya tidak tahu keluarganya. Dia ini korban kecelakaan. Biarkan saya yang membiayai dia sampai sembuh," ucap pria itu merasa gusar. Karena sejak tiba di rumah sakit, korban tidak langsung ditangani. Mungkin karena kondisi rumah sakit tersebut sedang ramai, terlebih di ruang emergency.
Dia bukan kekasihnya maupun sanak saudaranya. Pria itu hanya orang asing bagi seorang wanita yang tengah tak sadarkan diri selepas kecelakaan tadi. Bahkan wanita tersebut hampir kehabisan banyak darah.
"Kalau Anda ingin pasien segera di tangani. Cepat cari informasi tentang keluarganya," sahut perawat itu, terdengar ketus.
"Kenapa seperti itu? Saya hanya berniat untuk menolongnya. Ini adalah bentuk kemanusiaan! Apa Anda tidak punya hati?" Pria itu tidak terima dan sangat marah. Baru kali ini dia menemukan pelayanan di rumah sakit terbesar seperti itu.
"Maaf Tuan, ini adalah bagian dari peraturan di rumah sakit. Kecuali pihak yang berwajib membawanya ke sini, tak apa," jawab perawat itu setenang mungkin. Berbeda dengan pria itu yang tampak semakin gusar.
"Saya justru yang membantu mereka. Cepat tangani dia!" Pria itu bersikukuh.
"Maaf Tuan, Anda bukan siapa-siapanya. Panggil pihak berwajib ke sini, biar mereka yang tanda tangan tindakan itu," ujar perawat itu yang tetap mengedepankan peraturan yang telah dibuat.
"Baiklah. Saya akan segera menikahinya!" tegas pria itu tanpa berpikir panjang.
Perawat itu mendesah kasar. "Ya sudah. Segera urus administrasinya sekarang. Setelah itu pasien akan kami tangani," ucapnya kemudian pergi dari hadapan pria itu.
Pria itu pun sampai tidak ingat meminta barang berharga milik wanita itu dari polisi tadi. Beruntung sesaat setelah dia mengurus administrasi, seorang anggota kepolisian pun memberikan sebuah tas kepadanya.
"Tuan, ini ada tas yang kami temukan di dalam dashboard mobilnya. Akan tetapi, ponsel miliknya telah rusak dan tidak berbentuk. Mungkin bisa Anda simpan juga bersama tas tersebut," kata polisi tersebut.
"Baik, Pak. Terima kasih sekali lagi," ucapnya penuh syukur.
"Kami juga berterima kasih karena Anda telah membantu korban," balas polisi itu dengan sopan.
Polisi tersebut kemudian pergi. Sedangkan pria itu duduk di kursi untuk mencari tahu siapa wanita yang ditolongnya itu.
"Hyuna Indira, kelahiran dua ribu dua. Itu artinya sekarang usianya sembilan belas tahun. Masih sangat muda sekali," gumam pria itu yang menemukan sebuah kartu identitas mahasiswi, serta brosur kampus. "Ternyata dia baru akan masuk kuliah di kampus kota ini!" serunya lalu memasukkan kembali kartu serta brosurnya ke dalam tas.
"Ya sudahlah, selama Leika tidak tahu kalau aku menikahinya, pernikahanku dengan Hyuna akan baik-baik saja. Toh aku juga tidak mencintainya. Hanya Leika satu-satunya wanita yang paling aku cintai," lanjutnya kemudian mengeluarkan ponsel untuk menghubungi seseorang supaya bisa membantunya mengurus pernikahannya dengan Hyuna secepatnya.
...----------------...
Setelah tindakan telah berhasil dilakukan oleh dokter dan tim medis lainnya, Hyuna dimasukkan ke dalam ruang ICU untuk diberi perawatan khusus.
Namun sayang, pasca tindakan tersebut Hyuna dinyatakan koma karena kehilangan banyak darah yang tadi terus keluar dari sudut kepalanya. Terlebih wanita itu belum dipastikan kapam dia akan sadar.
Kabar tersebut tidak sama sekali membuat pria yang menolongnya itu bersedih. Justru pria itu hanya merasa iba pada Hyuna. Sungguh malang nasib wanita itu.
Tak lama berselang, pria itu datang bersama dua orang pria lainnya. Dia meminta izin pada perawat di sana untuk bisa segera melakukan proses pernikahan secara mendadak. Salah satu perawat pun ditunjuk oleh pria itu untuk menjadi saksi Hyuna.
Tanpa pria itu sadari, perawat tersebut diam-diam mengambil gambar dirinya melalui ponsel. Setelah pengesahan pernikahan selesai, mereka semua satu per satu keluar dari ruangan tersebut dan membiarkan Hyuna beristirahat untuk memulihkan kondisinya.
"Foto ini akan aku tunjukkan padanya saat dia telah sadar dari koma. Semoga saja masih ada harapan untuk wanita itu bisa hidup. Kasihan juga dia ... " Perawat itu mendesah pelan. "Karena peraturan rumah sakit, membuatnya harus menikah tanpa dalam keadaan sadar. Sepertinya pria itu memang hanya berniat menolongnya saja." Dia menatap Hyuna yang tengah terbaring dengan sorot sendunya. "Ya, semoga hidupnya setelah ini bisa bahagia karena mendapat suami macam malaikat seperti itu," lanjutnya, sebelum akhirnya meninggalkan Hyuna sendiri di ruang ICU tersebut.
...----------------...
Enam bulan kemudian.
Hyuna Indira, berusia 19 tahun yang kini telah resmi menjadi istri dari pria bernama Deo Ainsley. Kedua orang tuanya tidak mengetahui kalau Hyuna mengalami kecelakaan. Bahkan setelah kejadian itu ponsel Hyuna pun hancur dan tak berbentuk.
Terlebih setelah hari pernikahan itu, Deo tidak pernah lagi menjenguknya di rumah sakit. Jadwalnya yang padat, membuat Deo hanya membayar tagihan rumah sakit saja.
Tidak, tidak. Bukan hanya jadwalnya yang padat. Bahkan pria itu hampir tidak ingat kalau statusnya telah berubah menjadi seorang suami dari Hyuna.
Selama enam bulan pula, Hyuna berada di ruang ICU. Tubuh yang tadinya berisi, kini menjadi kurus karena asupan makanan hanya dari selang infus.
Perlahan sayup-sayup terdengar suara derasnya hujan. Kesadaran Hyuna tiba-tiba saja ada kemajuan, seperti mendapat angin segar. Padahal pihak rumah sakit hampir saja putus asa karena Hyuna tidak kunjung menunjukkan tanda-tanda akan sadar dari komanya.
Pukul 07.00 pagi waktu setempat. Perawat masuk ke dalam ruang ICU, seperti biasa akan melakukan pemeriksaan kondisi Hyuna.
"Hai, selamat pagi," sapa perawat itu ketika baru saja menutup pintu. "Aku berharap hari ini ada sebuah keajaiban untukmu. Kamu tahu? pihak rumah sakit hanya memberimu waktu sampai lusa. Jika kamu belum sadarkan diri juga, semua alat yang terpasang pada tubuhmu saat ini akan dilepas semua," lanjutnya lalu memeriksa dan mendata perkembangan Hyuna. Dia memang selalu menyapa Hyuna sebelum memeriksakan kondisi wanita tersebut.
"Kenapa setiap kali melihatmu, selalu mengingatkanku pada Yoona? Semoga Tuhan masih memberimu kesempatan untuk hidup," ucapnya lagi, lalu menghela napas panjang.
Ada rasa sakit yang tergores di dalam hatinya. Mengingat usia Hyuna saat ini sama seperti usia mendiang anak perempuannya. Kejadian nahas pun sama dialami keduanya.
Bedanya karena keterbatasan biaya, mendiang anak perawat itu tidak bisa diberi perawatan intensif seperti Hyuna. Pun di sisi lain, perawat itu bangga karena Hyuna termasuk wanita yang beruntung.
Saat perawat itu telah selesai dan hendak pergi dengan posisi sudah berbalik badan, tiba-tiba Hyuna mengeluarkan suara yang terdengar lirih. Perawat itu berbalik badan lagi untuk segera memastikan.
"To ... Long. Sa ... Kit."
"Nyonya? Apa Nyonya sudah sadar?" tukas perawat itu dengan rasa bahagia.
"Sa ... Kit."
Sebuah senter berukuran kecil dikeluarkan oleh perawat tersebut dari dalam saku bajunya. Senter itu kemudian di arahkan ke area mata Hyuna.
"Benar! Ternyata Nyonya sudah sadar," katanya lalu menekan tombol merah supaya dokter segera memeriksakan Hyuna lebih lanjut.
Tak lama berselang, dokter pun masuk ke dalam. "Apa pasien sudah sadar?"
"Sudah Dok. Dia mengeluhkan sakit," jawab perawat itu.
"Baik, biar saya periksa terlebih dahulu."
Dengan sigap, dokter mulai memeriksakan semuanya. Pun perawat itu membantu mencatat hasil pemeriksaan dokter.
"Semuanya sudah mulai stabil. Sus, segera laporkan kepada Tuan Deo kalau pasien akan dipindahkan ke ruang rawat inap," kata dokter memberitahukan kepada perawat itu.
"Baik, Dok."
Bersambung ....
Di sebuah ruangan yang sangat luas, Deo masih memimpin jalannya meeting di pagi ini. Dia masih fokus mendengarkan sekertarisnya berbicara mempresentasikan hasil kerja yang dirangkum dari semua divisi.
*Dreet dreeet dreeet*
Getaran meja yang berasal dari ponsel milik Deo, membuat fokus pria itu pun teralihkan. Matanya melihat pada layar yang menyala itu.
"Meeting kita cukupkan sampai di sini ..." ucap Deo kepada semua peserta meeting, lalu menoleh pada sekertarisnya yang masih berdiri di depan. "Zean, notulen jangan lupa dikirim ke email saya," lanjut pria itu, seraya berdiri lalu menjawab panggilan telepon tersebut.
Zean hanya menunduk hormat saat Deo keluar dari ruang meeting. Tak hanya itu, semua peserta yang hadir bernapas lega dan suasana menjadi cair seketika. Karena saat meeting berlangsung ruangan tersebut terasa mencekam.
Hingga tiba di ruang kerjanya, Deo telah selesai menerima panggilan telepon tersebut. Ternyata pihak rumah sakit hanya mengabarkan tentang Hyuna yang sudah sadar.
Apa Deo perduli? Tentu saja tidak. Namun pria itu merasa lega, wanita yang pernah ditolong olehnya akhirnya bisa melewati maut.
Deo hanya memberi pesan kepada pihak rumah sakit agar tetap menjaga dan merawat Hyuna dengan baik. Pria itu belum tahu kapan akan menemui Hyuna lagi.
Sesaat setelah Deo duduk di kursi kebesarannya, ponselnya bergetar lagi. Deo sengaja tidak menyalakan suara dering teleponnya, karena dia lebih suka dengan keheningan.
Sebuah masa lalu membuat dia menjadi lebih perduli terhadap sesama. Akan tetapi, lagi-lagi itu hanya sebatas rasa kemanusiaan saja, tidak lebih.
Deo pun menjawab panggilan telepon itu dari seseorang yang selama ini dia cintai, Leika.
"Beib, nanti malam aku akan terbang ke Prancis. Kemungkinan satu minggu aku akan berada di sana. Soalnya, project film kali ini bukan hanya sekadar layar lebar semata," ucap seorang wanita. Suaranya terdengar merdu dan lembut.
"Kenapa lama sekali? Lagi pula kenapa kamu tidak memberitahuku terkait film tersebut? Hari tunangan kita semakin dekat, Leika." Deo marah, dia merasa tidak terima dengan pekerjaan yang diambil oleh wanita bernama Leika itu tanpa sepengetahuannya.
Lagipula wajar sih Deo marah, karena selama ini aktifitas Leika pasti diketahui semua olenya. Namun ada yang berbeda dari Leika memang satu bulan terakhir. Wanita itu lebih sering sulit dihubungi oleh Deo.
"Beib! Harusnya kamu dukung aku. Setelah project film ini berhasil tayang, aku akan menjadi aktris terkenal!" Leika protes. Wanita itu lebih mementingkan egonya meniti karir ketimbang hubungan asmaranya.
"Terserah kamu saja!" Setelah berucap demikian, Deo langsung memutuskan sambungan teleponnya.
Setelah itu, Deo pun mengirimkan pesan kepada Leika.
[Temui aku sore ini di kafe tempat biasa]
Pesan itu kemudian terkirim dan langsung terbaca oleh penerimanya.
[Maaf Beib, aku masih di luar. Sore ini aku akan prepare.]
Deo semakin merasa kesal. Pria itu bahkan merumat ponselnya.
Deo Ainsley, pewaris pertama kerajaan bisnis yang sangat terkenal sukses di Jerman. Ainsley Company.
Pria berusia 29 tahun itu, menjadi pemilik termuda diantara para pengusaha lainnya yang ingin menduduki kekuasaannya saat ini. Dia lajang dengan bergelimang harta serta gaya hidup kalangan atas.
Deo sendiri memiliki adik yang merupakan seorang pria, Yundra Ainsley berusia 25 tahun. Sang adik masih betah dengan dunianya sendiri menjadi seorang seniman. Sayangnya, Yundra tinggal jauh dari mereka. Tepatnya di kota Santos, benua Amerika.
Sebenarnya Yundra sengaja mengasingkan diri. Karena dia tidak menyukai dunia bisnis seperti sang kakak. Kedua orang tuanya pun tidak melarangnya, dan membiarkan kedua anak mereka tumbuh dengan diri dan kepribadian masing-masing.
Lalu wanita yang bernama Leika tadi, adalah kekasihnya. Seorang publik figure yang tengah melambung namanya saat ini. Namun sayang, kisah percintaannya dengan Deo tidak sampai terekspose bahkan tercium oleh awak media.
Hubungan Deo dan Leika telah berjalan selama 9 tahun. Bukan waktu yang singkat untuk mereka supaya Leika bisa dimasuk dan diterima keluarga besar Ainsley.
Namun ketika restu telah mereka genggam, Leika justru lebih sibuk dengan dunianya. Begitupun dengan Deo. Keduanya tenggelam dengan aktifitas masing-masing, bahkan untuk sekadar bertemu pun sulit.
Hari pertunangan keduanya pun akan berlangsung 3 minggu lagi. Sedangkan segala persiapan belum dilakukan sama sekali. Itulah sebabnya Deo sangat marah kali ini. Terlebih pekerjaan yang sedang Leika ambil saat ini, tanpa sepengetahuannya.
Disaat pikiran serta perasaannya sedang tidak baik-baik saja, terdengar suara ketukan pintu. Deo menaruh ponselnya ke atas meja.
"Masuk!"
Pintu ruangan terbuka lebar. Tampak seorang wanita berdiri di gawang pintu, mengenakan pakaian sederhana nan bersahaja. Di sampingnya ada Zean, sekertaris Deo.
Zean menunduk hormat lalu berkata, "Pak Deo, nyonya ingin bertemu dengan Anda."
Belum juga Deo mengizinkan, wanita itu sudah lebih dulu berjalan masuk ke dalam. Zean pun tidak mampu melarangnya, begitupun dengan Deo. Zean memilih langsung menutup pintu ruangan itu kembali.
"Ada apa Mommy ke sini? Ada sesuatu yang penting kah?" tanya Deo lalu beranjak dari kursi kebesarannya, menghampiri wanita tersebut yang tak lain adalah ibunya.
"Tebakanmu benar, Mommy memang ingin membicarakan sesuatu yang penting padamu," jawab wanita tersebut seraya duduk di sofa kemudian menaruh tasnya ke atas meja.
Dovi Hans, wanita berusia 55 tahun yang masih terlihat awet muda dan berenergik. Perawakan tinggi semampai, kulit masih terlihat kencang, serta rambut pun belum beruban.
Tak heran kalau Fabios --ayahnya Deo-- tidak bisa berpaling dari Dovi, meskipun ribuan wanita mencoba menyingkirkan dirinya. Dovi tetap menjadi satu-satunya di hati Fabios Ainsley.
"Sesuatu yang penting apa?" tanya Deo lagi yang kemudian ikut duduk di sofa saling berhadapan dengan Dovi. Keduanya terpisahkan oleh meja kaca.
"Mommy tahu kau dan Leika sudah lama bersama. Mungkin kalian sudah saling mengenal satu sama lain. Lantas bagaimana perkembangan acara pertunangan kalian nanti? Apa tidak seharusnya langsung menikah saja?" usul Dovi terlihat setenang mungkin. Tutur katanya yang lembut pun membuat putra sulungnya selalu memberi tatapan teduh pada ibunya.
"Entah Mom. Dia sedang ada project film di Prancis. Biarkan saja, aku ingin tahu sampai dimana dia puas dengan karirnya," jawab Deo. Tersirat ada kekecewaan dari wajah pria itu dengan rasa marah yang mulai bergejolak di dalam hatinya. Sebisa mungkin masih dia tahan.
"Maksudnya biarkan saja, ditunda? Seperti itu?" tukas Dovi, sedangkan jawaban Deo hanya bergumam sambil menganggukkan kepala. "Sampai kapan? Usiamu, karirmu, semua sudah mapan. Mommy ingin segera mendapatkan cucu, Deo," lanjutnya, melengkungkan kedua alis, tampak sedih.
"Mommy, please ... aku sedang tidak ingin membicarakan hal itu untuk saat ini. Bukankah semua pasti ada masanya? Kalau Mommy ingin memiliki cucu, kenapa tidak Yundra saja yang menikah?" timpal Deo merasa tidak terima dirinya terus di desak.
Apa pria itu tidak ingat kalau dirinya sudah memiliki seorang istri yang masih terbaring lemah di rumah sakit? Oh iya ... Deo hanya sekadar menolongnya, bukan menjadikan Hyuna istri yang sesungguhnya.
"Ck!" Dovi berdecak. "Kamu itu anak sulung. Memangnya kalau dilangkah, kamu mau jadi perjaka tua? Harta dan kekayaan kamu mau diwariskan ke siapa, kalau bukan ke anakmu sendiri?" cecar wanita itu.
Mendengar ucapan sang ibu, Deo hanya menggelengkan kepala lalu tersenyum simpul. Pria itu pun berdiri dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana.
"Kalau Mommy hanya ingin membicarakan hal itu, aku tidak punya waktu banyak. Karena banyak hal yang harus aku kerjakan di hari ini," ucap Deo. Pria itu mulai malas dengan hal yang dibicarakan oleh ibunya.
"Deo!" sentak Dovi, suaranya tiba-tiba meninggi. "Kalau Leika sampai tidak ada kepastian, biar Mommy yang akan mencarikanmu istri. Titik!" ancam wanita itu dengan tegas.
"Mommy ... "
Bersambung ....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!