"Kamu yakin mau nikahin anak saya?"
Seorang wanita paruh baya berperawakan kurus dan wajahnya yang pucat, tersenyum pada seorang pemuda yang datang bersama anak gadisnya.
Mereka duduk lesehan di lantai sebuah rumah kontrakan yang tak seberapa luasnya. Saling berhadapan, menunduk karena segan.
"Iya, Tante. Saya serius sama Naina. Saya mau nikahin dia secepatnya. Itu kalo Tante kasih kami restu buat menikah," ujarnya dengan yakin.
Tak terdengar getar keraguan dari lisannya, kalimat itu ia ucapkan dengan mantap untuk meyakinkan sang calon mertua.
Wanita yang tak lain adalah Lita menghela napas dalam-dalam. Menelisik raut wajah pemuda berkumis tipis di depannya, dengan penuh pertimbangan. Lalu, lirikannya jatuh pada seorang gadis yang duduk tak jauh dari mereka.
Ia tersenyum, menggantungkan harapan pada sang ibu untuk restunya. Naina memohon lewat sorot mata agar Lita merestui hubungan mereka.
"Baik, tapi sebelum itu kamu harus dengar dulu siapa Naina. Agar di kemudian hari nggak ada yang namanya penyesalan. Apalagi setelah menikah nanti, pastinya akan menjadi masalah untuk rumah tangga kalian kelak. Apa kamu siap mendengarnya?" ungkap Lita tanpa keragu-raguan sedikit pun.
Pandangannya jatuh pada Naina, gadis itu menunduk. Apa yang dikatakan Lita menjadi dilema untuk hatinya. Lita harus melakukan itu, agar kelak Naina bisa mendapatkan cinta sejati yang tak akan pernah menyakiti.
"Saya siap mendengarnya, Tante." Jawaban tegas dari lisannya, tak membuat kegelisahan Lita menghilang.
"Kamu yakin akan bisa menerima semua yang saya ucapkan apapun itu?" tanya Lita lagi menegaskan.
"Saya siap!" jawab sang pemuda dengan tegas pula.
Lita menghela napas, sekali lagi menatap anaknya yang kali ini pun tengah memperhatikan dia. Lita berbalik menghadap pemuda itu lagi, menilik keyakinan yang terpancar di raut wajahnya.
"Kamu harus tahu, Nak. Naina itu nggak sama seperti gadis yang lainnya. Dia berbeda, tapi dia istimewa. Saya cuma nggak mau nantinya dia disakiti oleh karena masa lalu yang terkuak. Jadi, saya mau bilang dari sekarang kalo Naina itu nggak punya wali karena dia anak yang terjadi diluar pernikahan. Kelak, kalo kalian menikah, wali hakim yang menjadi walinya."
Pemuda itu mengangkat wajah dengan kedua mata yang membelalak lebar. Kepalanya berputar pelan, menatap Naina yang termangu bersiap menerima takdirnya. Gadis itu meneguk ludah, menyerahkan keputusan sepenuhnya pada sang pemuda.
Lita menghela napas, sudah ia duga bahwa laki-laki itu sama saja dengan yang sebelumnya.
"Jadi, gimana, Nak? Apa masih yakin mau nikahin anak saya?" tanya Lita kemudian.
Naina memutuskan pandangan darinya, menunduk dengan hati yang telah siap menerima kenyataan. Dia selalu ingat nasihat Lita bahwa laki-laki yang menerimanya diawal dengan keyakinan, dia pasti akan menerima segala kekurangan di akhir kemudian.
"Saya ... saya." Pemuda itu ragu, dia butuh waktu untuk memikirkan itu semua. Keluarganya perlu tahu, karena pasti wali si gadis akan dipertanyakan saat ijab kabul terjadi nanti.
"Nggak apa-apa, kamu bisa pikirin dulu aja gimana baiknya. Nggak usah maksa buat nerima asal-usul anak saya. Karena kalo tetep maksa, ujung-ujungnya anak saya yang sakit hati dan saya nggak mau itu terjadi. Silahkan dipikir dulu aja," ungkap Lita setelah menangkap keragu-raguan di dalam dirinya.
Ia mengerti, tidak mudah memang menerima kenyataan bahwa Naina yang notabene adalah gadis yang baik itu anak yang terjadi diluar pernikahan. Siapapun tak akan menyangka, dan aib itu tetap terjaga sampai dia mendengar langsung dari mulut sang ibu.
"Maafin saya, Tante. Saya emang butuh waktu buat mikirin semua ini. Saya cuma nggak nyangka aja. Nggak apa-apa, 'kan, kalo saya minta waktu tiga hari aja," ungkap si pemuda gelisah.
Ia melipat bibir, memainkan jemari, apa saja dilakukan demi menutupi rasa cemas di hatinya. Dia ragu keluarga akan menerima Naina karena hatinya pun saat ini telah meragukan keyakinannya.
Lagi-lagi hembusan napas berat dilakukan Lita untuk mengurangi rasa sesak atas kenyataan pahit yang ia terima. Kesilapan di masa lalu yang dilakukannya, berbuah pada kelangsungan hidup sang anak. Ia hanya berharap suatu saat nanti, akan ada laki-laki yang dapat menerima asal-usul Naina.
"Baik, kalo gitu. Kamu bisa datang lagi setelah tiga hari nanti, saya juga nggak mau membebankan pikiran kamu-"
"Nggak perlu! Saya menolak langsung pernikahan mereka tanpa perlu waktu buat berpikir. Enak aja anak saya yang terpelajar, terpandang, mau dinikahkan sama anak yang nggak jelas asal-usulnya. Saya nggak sudi!"
Sebuah suara menukas ucapan Lita dengan ketus dan sengit. Diikuti munculnya dua sosok paruh baya dengan gaya yang elegan. Matanya melilau ke setiap sudut kontrakan, mencibir, mengejek, keadaan sang gadis idaman anaknya.
Naina mengangkat wajah terkejut, membelalak untuk kemudian menunduk lagi. Diam-diam menyeka air yang jatuh dari mata tak ingin Lita melihatnya menangis.
Sementara sang ibu, hanya bisa pasrah dengan segala yang diucapkan wanita tersebut.
"Kalo saya tahu dia itu anak haram, udah dari dulu saya nyuruh anak saya buat tinggalin dia. Kamu itu, ya. Nanti jadi apa cucu saya kalo lahir dari perempuan kayak kamu itu, hah? Ibunya aja nggak bisa jaga diri, apalagi anaknya. Udah berapa laki-laki yang nikmatin tubuh kamu itu, hah? Jangan-jangan kamu hamil, terus minta anak saya buat tanggung jawab. Iya?!" bentak wanita tersebut menuding Naina yang terisak menahan perih.
Lita meradang, berdiri dengan susah payah untuk membela anaknya.
"Saya yang salah. Anda jangan menghina anak saya. Dia nggak tahu apa-apa, dia anak yang baik-baik. Bawa saja pergi anak Anda dari rumah kami, tapi jangan pernah merendahkan kehormatan anak saya!" hardik Lita tidak terima Naina direndahkan.
Bukannya takut ataupun merasa bersalah, tapi wanita itu justru mencibirkan bibir mengejek. Menatap jijik pada Naina yang terus menunduk dengan kedua bahu yang terguncang.
"Siapa juga yang betah berlama-lama ada di sini. Rumah sempit, pengap, bikin sesak napas ditambah yang huni perempuan nggak bener semua. Ibunya p*l*cur anaknya anak haram. Cuih! Ayo, pergi! Ibu nggak sudi punya mantu anak haram, apalagi besannya wanita nggak bener. Bisa-bisa kamu diracuni sama mereka. Ayo!"
Dia menarik tangan anaknya yang hanya diam selama penghinaan terhadap Naina dan ibunya terjadi. Tak lagi menatap gadis itu meskipun untuk terakhir kalinya.
"Yah, pergi! Pergi aja kalian semua, jangan pernah datang lagi ke hadapan anak saya! Kalian manusia jahat yang nggak punya hati!" teriak Lita sembari menuding mobil mereka yang perlahan meninggalkan tempat tersebut.
"Ibu! Ibu, udah. Jangan marah-marah, nanti sakit Ibu kambuh."
Naina yang mendengar Lita berteriak keras, bangkit untuk menenangkan ibunya. Ia memeluk tubuh Lita, menangis bersamaan menahan perih karena hinaan.
Lita lemah tak dapat menahan tubuhnya sendiri, ambruk di lantai menangis sesenggukan.
"Udah, nggak apa-apa, Bu. Nai nggak apa-apa, kok. Ibu jangan nangis lagi," ucap Naina sambil mengusap wajah Lita yang basah.
"Maafin Ibu, Nai. Kamu kayak gini karena kelakuan Ibu dulu. Semua karena kebodohan Ibu, kamu harus menanggung aib ini. Maafin Ibu, Nak," mohon Lita penuh penyesalan.
Penderitaan yang dialaminya belum seberapa bila dibandingkan dengan apa yang dia lakukan dulu terhadap Seira.
"Udah, Bu. Nggak apa-apa, nggak usah dipikirin lagi, ya." Naina mendekap tubuh Lita dengan erat.
Air matanya terus tumpah, ia bahkan menggigit bibir supaya tidak terisak.
"Ibu cuma berharap, suatu hari akan ada laki-laki yang bisa nerima kamu apa adanya, Nak. Mencintai kamu dengan tulus. Sabar, sayang. Ibu ... Ibu ... argh!"
Lita meringis sambil memegangi dadanya.
"Ibu! Ibu! Ibu kenapa?"
"Sa-sakit ... dada Ibu ... sa-sakit," ucap Lita terbata.
"Ibu, ya Allah. Ibu!"
"Naina! Ibu kamu kenapa?" pekik sebuah suara yang bagai angin segar di telinga Naina.
Gadis itu mengangkat wajahnya yang basah, mengiba pada mereka yang kebetulan berkunjung.
"Ibu Sei!" Dia berlari menghampiri Seira, memeluk wanita berhijab itu sambil menangis sesenggukan.
"Tolong Ibu, Ibu pingsan, Bu. Tolong Ibu," mohonnya sembari menangkupkan kedua tangan di dada.
Sigap anak lelaki Seira masuk ke dalam dan mengangkat tubuh Lita yang sudah tidak sadarkan diri.
"Kakak, ayo cepat! Buka pintunya, kita bawa Ibu ke rumah sakit," titah Rayan dengan panik.
Naina bersama Fathya bergegas mendekati mobil, membuka pintunya dan masuk ke dalam. Seira menyusul setelah memastikan pintu kontrakan Lita terkunci.
Ia masuk ke dalam, melirik Lita yang diapit kedua gadis di kursi belakang. Ibu Naina itu tampak pucat, sudah lama Lita menderita sakit, tapi setiap kali diajak berobat, dia selalu menolak.
"Ibu! Bangun, Bu!" rintih Naina sembari mendekap tubuh Lita yang terkulai. Rayan mempercepat laju mobil, menekan klakson meminta jalan pada pengemudi lain.
"Sabar, Nak. Jangan grasak-grusuk," ingat Seira melihat jalanan yang dipadati banyak kendaraan.
"Ah, pake macet segala lagi!" umpatnya seraya menoleh ke belakang memastikan keadaan Lita.
"Udah, Kak. Jangan nangis, kita berdoa sama-sama buat Ibu Lita supaya nggak kenapa-napa," ucap Fathya sembari mengusap-usap lengan Naina yang melingkari tubuh Lita.
Naina mengangkat wajah, menatap gadis remaja di depannya yang begitu serupa dengan sang ayah.
"Makasih, ya," katanya penuh haru.
Fathya mengangguk sambil tersenyum, berdoa dalam hati untuk kesembuhan Lita. Mobil tiba di parkiran rumah sakit, buru-buru Rayan keluar dan mengendong Lita memasuki ruang IGD.
"Dokter, tolong Ibu kami!" teriaknya disambut beberapa petugas medis yang membawa brankar.
Lita dibawa masuk ke dalam, mereka meminta semua orang untuk menunggu di luar ruangan. Naina memeluk Fathya, masih menangis mengingat kondisi Lita yang tak sadarkan diri.
Seira mendekat, duduk di samping Naina usai memastikan Lita dari luar ruangan. Tangannya mengusap punggung gadis itu dengan lembut, menyalurkan kekuatan ke dalam hatinya yang rapuh.
"Kenapa? Kok, ibu kamu bisa pingsan kayak gitu?" tanya Seira dengan lemah lembut.
Naina masih sesenggukan, mengangkat kepala dari bahu gadis remaja Seira. Ia menunduk sambil mengusap kedua sudut matanya, terisak sedih mengingat kejadian saat di rumah tadi. Seira mengusap punggung Naina memberinya kekuatan.
Merasakan sapuan lembut di punggungnya, Naina sadar dia tidak seharusnya menyimpan kesedihan seorang diri. Mungkin dengan berbagi, akan sedikit meringankan beban yang dipikulnya. Ia menghela napas, mengangkat pandangan memberanikan diri untuk berterus terang.
"Ibu syok. Tadi pagi orang yang dekat sama aku ke rumah buat ngelamar, tapi waktu Ibu kasih tahu tentang aku dia cuma diem nggak bisa menjawab. Laki-laki itu nggak bisa terima dengan asal-usul aku. Awalnya Ibu masih biasa aja, tapi kemudian orang tuanya datang terus marah-marah, menghina ibu juga aku. Ibu nggak terima, terus mengusir mereka dan jadi kayak gini. Aku nggak mau kehilangan Ibu," ungkapnya seraya menutupi wajah ketika tangisnya semakin menjadi.
Mengingat setiap kata yang dilontarkan ibu laki-laki itu, membuat Naina merasa sakit. Apakah memang sehina itu anak yang terjadi di luar pernikahan? Apa mereka pantas direndahkan? Apa mereka layak untuk tidak dihargai? Padahal, percayalah, mereka pun tidak ingin dilahirkan dengan keadaan yang demikian.
"Kurang ajar! Laki-laki kayak gitu harus dikasih pelajaran, Kak. Lihat aja kalo ketemu nanti, aku pasti kasih dia hadiah," geram Rayan sembari meremas kepalan tangannya sendiri.
Seira pun merasa geram dengan hal tersebut, bila tidak bisa menerima setidaknya jangan menghina. Cukup katakan dengan bahasa yang tidak menyakiti untuk didengar.
"Kenapa Kakak nggak bilang sama Mamah? Coba aja kalo Mamah ada di sana, pasti dia nggak akan menghina Ibu Lita," ucap Fathya sangat menyayangkan apa yang terjadi di rumah Naina.
Gadis itu menoleh, tersenyum pada anak remaja yang tak banyak bicara itu.
"Kakak nggak mau selalu ngerepotin Ibu Sei. Kakak nggak berpikir dia akan sampai menghina Ibu juga Kakak kayak gitu, tapi ternyata mereka lebih jahat daripada binatang," sahut Naina sambil menggelengkan kepala dan menggigit bibirnya menahan tangis.
Seira yang mendengar, memeluk gadis itu dengan lembut.
"Ibu nggak ngerasa direpotin sama Nai. Kenapa bilang begitu? Kalo ada apa-apa, ngomong aja biar kita cari solusinya sama-sama. Jangan dipendam sendiri, kamu nggak sendirian di sini, sayang." Seira melepas pelukan, mengusap pipi Naina dan menyentuhnya dengan lembut.
Hati yang mana yang tak senang mendapat perlakuan baik dari orang yang dulu dibenci ibunya? Naina tak tahu harus menjawab apa, semua kebaikan yang Seira lakukan sungguh ia tak dapat membalasnya.
Suara langkah kaki yang terdengar cepat mengusik, seorang gadis lain berseragam putih datang dengan tergesa setelah mendengar kabar tentang Rayan yang mendatangi rumah sakit tempatnya bekerja.
"Kak Rayan!" panggilnya sembari mendekat.
Semua orang menoleh, Rayan berjalan pelan menyambut kedatangan gadis itu.
"Kenapa? Siapa yang masuk IGD?" tanya Rani, gadis kecil Rayan, tumbuh menjadi seorang dokter yang cantik.
"Rani? Kamu nggak kerja? Kenapa ke sini?" tanya Rayan, pasalnya Rani adalah seorang dokter umum di rumah sakit tersebut.
"Aku baru dateng, terus lihat ada mobil Kakak. Kata pak satpam Kakak ke sini," jawab Rani menjelaskan.
"Ibu Lita pingsan, kami membawanya ke sini, Kak," jawab Fathya.
Rani menoleh, dan melihat Naina yang masih sesenggukan. Ia merasa lega karena bukan salah satu dari mereka yang sakit.
"Dokter Rani!" Gadis itu menoleh saat sebuah suara memanggilnya.
Ia mengangguk ketika sebuah isyarat menjadi tandanya untuk segera bekerja.
"Kalo gitu aku pergi dulu, ya. Mudah-mudahan Bu Lita nggak kenapa-napa," pamitnya pada semua orang.
Seira mengangguk sambil menyematkan senyum di bibir. Melihat anak Jago itu, selalu membuat dirinya merasa tak percaya.
"Maaf, ada yang bernama Naina di antara kalian?" Dokter dari ruangan IGD muncul memanggil Naina.
"Saya, Dok. Ada apa?" Naina lekas bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiri sang dokter.
Ia tidak dapat menyembunyikan kecemasan di wajahnya. Rasa kehilangan menjadi momok menakutkan untuk sepanjang kehidupan yang dia jalani. Berkali-kali merasakan kehilangan, dan setiap itu terjadi hatinya semakin sakit.
Zafran, juga laki-laki yang mengaku mencintainya, semua pergi begitu saja meninggalkan dia. Tidak! Jangan Lita!
"Ibu Anda ingin melihat anaknya. Mari, ikut saya ke dalam," ucap dokter seraya membawa Naina masuk ke dalam IGD.
Rayan bereaksi, memanjangkan leher demi dapat melihat keadaan dalam ruangan. Sayang, dokter menutup tirainya. Ia berdecak cemas, berharap semuanya akan baik-baik saja.
Di dalam ruangan yang dipenuhi dengan peralatan medis, juga beberapa pasien dengan sekat masing-masing, Naina mendatangi ranjang di mana Lita berada. Wanita itu bernapas dibantu selang oksigen, infus terpasang di tangan kiri, terpejam dengan damai, dada naik dan turun dengan berat.
Naina mengusap air mata, menahan tangisnya. Dia tidak boleh terlihat lemah, dia harus menjadi kekuatan untuk wanita yang tak berdaya di sana.
Ia berdiri di sisi ranjang Lita, menatap dengan hati yang sakit melihat kondisi tubuh dari wanita paruh baya itu. Tubuh kurus tinggal tulang yang dibalut kulit, tak lagi dapat dibanggakan seperti saat muda dulu.
Naina duduk di kursi samping ranjang, meraih tangan Lita dan menggenggamnya dengan hangat. Ditempelkannya tangan itu ke pipi, seraya dikecupnya cukup lama untuk merasai kasih sayang yang dilimpahkan Lita padanya.
Lita membuka mata, menatap putri satu-satunya yang tampak cantik seiring waktu mendewasakan.
"Gimana perasaan Ibu? Udah baikan?" tanya Naina bergetar menahan tangis.
Lita tersenyum, mengangguk pelan tanpa mengalihkan pandangan dari wajah cantik sang putri. Genggaman tangan mereka menguat, perasaan pun membuncah, ketakutan muncul menyerang.
"Kenapa, Bu? Ada apa?" tanya Naina lagi ketika Lita hanya diam dan terus menatap wajahnya.
Lita mengeluarkan sesuatu dari kepalan tangan yang lain, memberikannya kepada Naina. Secarik kertas yang bertuliskan sebuah alamat.
"Alamat siapa ini, Bu?" tanya Naina setelah membaca deretan huruf di permukaannya.
"I-itu alamat paman dan bibi kamu. Kalo Ibu nanti nggak ada, pergilah ke sana. Tinggal sama mereka. Mereka nggak punya anak, dan mereka orang yang baik," ucap Lita nyaris seperti bisikan.
"Paman dan bibi?" Naina bergumam dengan kerutan di dahi. Pasalnya, dia tak pernah tahu jika masih memiliki keluarga lain selain Lita.
"Iya, Nak. Ibu akan tenang kalo kamu tinggal sama mereka. Ibu ngantuk, Ibu mau tidur dulu. Bismillahirrahmanirrahim," jawab Lita lagi seraya memejamkan mata karena rasa kantuk datang melanda.
Naina menyimpan kertas tersebut di sakunya, mengusap dahi Lita yang berkeringat banyak. Dikecupnya kedua pipi sang ibu, kemudian duduk kembali menunggui.
"Bu! Apa Ibu udah tidur? Nai mau tanya sesuatu sama Ibu," ucap Naina sembari mengguncang tubuh Lita dengan pelan.
Kelopak itu kembali terbuka, menunggu pertanyaan darinya.
"Apa Ibu tahu, siapa ayah biologis Nai?" tanyanya ingin tahu meskipun percuma.
Lita tersenyum, kembali mengangguk pelan menjawab pertanyaan Naina.
"Yang sabar, ya, Nak. Perjalanan hidup nggak selamanya mudah dilalui. Kamu orang-orang pilihan yang harus berjalan di atas rasa sabar. Hinaan, cacian, makian, semua yang mereka lakukan sama kamu anggap sebagai batu pijakan untuk menuju hidup lebih baik lagi. Dengerin Ibu, Nak. Jangan dengerin orang lain. Kamu anak yang istimewa, jangan pernah merasa jadi orang paling rendah di muka bumi. Kamu istimewa ... istimewa."
Lita berdesis setelah menuntaskan kalimatnya, terpejam sembari menghela napas panjang. Kalimat thoyibah menguar lirih dari sela-sela bibirnya yang nyaris terkatup. Semakin lama semakin tak jelas.
"Ibu, Ibu kenapa? Jangan nakut-nakutin Nai, Bu." Naina gemetar panik.
Ia menoleh kian kemari mencari siapa saja untuk membantu. Lita menarik tangannya ketika Naina hendak beranjak.
"Ajal itu pasti, Nak. Semua makhluk yang bernapas pasti akan bertemu dengan ajalnya. Inilah waktu Ibu ... Allah ... Naina anak yang kuat, Naina anak yang baik. Argh ... ya Allah."
Napas Lita semakin berat dan sesak, genggaman tangannya menguat seolah-olah ingin berbagi rasa sakit yang sedang dirasakannya.
"Ibu. Jangan tinggalin Nai. Nai nggak mau Ibu pergi tinggalin Nai, Bu. Nai sama siapa kalo Ibu pergi. Jangan pergi, Bu!" Naina memeluk tubuh Lita. Menumpahkan tangisan mendalam, ketakutan itu akhirnya datang. Perpisahan tak terelakan.
Tautan tangan mereka yang menguat beberapa saat lamanya, perlahan mengendur dan tangan Lita jatuh terkulai. Naina panik dan takut, ia beranjak dari tubuh Lita dengan perasaan tak menentu. Matanya tak henti berkedip, napas semakin kuat memburu.
"IBU!" jeritnya cukup kuat, mengundang perhatian semua orang.
Para tenaga medis berdatangan, dengan cepat menangani Lita.
"IBU! JANGAN PERGI! JANGAN TINGGALIN NAI, BU!" Suara Naina cukup lantang, ia jatuh tersungkur menabrak sebuah kursi roda ketika seorang petugas medis mendorongnya menjauh.
Tirai ditutup, menghalangi pandangan Naina dari menatap sang ibu. Ia tak berdaya, bahkan untuk bangkit pun rasanya tak mampu. Hilang kekuatannya, hilang sandaran hidupnya, pada siapa lagi dia akan mengadu tentang mereka yang selalu merendahkannya.
Pada siapa lagi dia akan berlabuh ketika hidup terus menerus membuatnya lelah. Ibu, satu sandaran kokoh telah hilang dan tak akan pernah ia temukan lagi. Seperti si Buta yang kehilangan tongkat dan tak dapat melakukan apapun.
"IBU!" Naina meremas udara, menyesali ketidakberdayaannya.
Seira dan kedua anaknya yang menunggu di luar, tersentak ketika mendengar suara jeritan Naina. Mereka menerobos masuk dan mendapati gadis itu sedang duduk di lantai sambil menangis.
"Naina! Ya Allah!" pekik Seira bergegas mendatanginya.
Ia memeluk gadis itu dan membantunya untuk beranjak.
"Ibu ... Ibu ... Ibu mau pergi tinggalin Nai. Ibu juga mau pergi, Bu. Tolong bilang sama Ibu jangan pergi. Jangan tinggalin Nai sendiri. Tolong bilang sama Ibu, Bu," ratap gadis itu sembari memohon kepada Seira.
Melihat air matanya yang terus jatuh, Seira tak mampu menahan tangis. Ia memeluk tubuh Naina dengan erat. Teringat pada saat dia kecil dulu, memohon maaf untuk Lita.
"Bilang sama Ibu jangan pergi. Rayan, Fathya, tolong pinta Ibu jangan pergi. Ibu nggak boleh pergi tinggalin Kakak. Ibu nggak boleh pergi!"
Fathya memalingkan wajah, membenamkannya di dada Rayan. Menyembunyikan tangis karena tak kuasa melihat Naina yang terus memohon. Pemuda itu pun terguncang, kali ini ia tak berdaya karena tak dapat melakukan apapun untuk mencegah kematian yang datang.
"Udah, sayang. Udah. Nai harus kuat, ya. Nai nggak boleh lemah kayak gini. Ibu pasti nggak akan senang kalo Nai jadi lemah kayak gini," ucap Seira menenangkan.
Ia mengurai pelukan, mengusap wajah Naina yang basah. Gadis itu tak henti menangis, merasa dipermainkan takdir. Satu per satu orang-orang yang disayanginya pergi. Meninggalkan dia sendiri.
"Ibu ... jangan tinggalin Nai, Bu." Dia terus meracau mencegah kepergian Lita.
Tirai dibuka, mereka melihat dengan jelas seorang petugas medis menutup tubuh Lita dengan kain putih.
"IBU! NGGAK! IBU NGGAK BOLEH MATI! IBU NGGAK BOLEH MATI!" teriak Naina sembari berlari mendekati ranjang Lita dan memeluk jasad yang telah terbujur kaku itu.
Ia menggelengkan kepala, menolak takdir perpisahan. Rayan sungguh tak tega, pemuda itu bergegas keluar setelah melepas pelukan Fathya. Tak kuasa berada di dalam ruangan yang membuatnya lemah tak berdaya.
"Kakak!" Fathya menyusul keluar.
Sementara Seira, mendekati Naina yang menangisi jasad Lita. Mengusap punggung gadis itu, menatap wajah damai seorang sahabat yang pernah menjadi musuhnya dalam selimut.
"Innaa lillaahi wa Inna ilaihi raaji'uun. Semuanya datang dari Allah, dan akan kembali kepada-Nya. Ajal adalah sesuatu yang pasti, dan tidak dapat ditolak datangnya."
Mendengar kalimat Seira, tangis Naina perlahan mereda. Mulai beranjak dari tubuh Lita yang terbujur. Air mata tak henti mengalir, terus menetes menjatuhi selimut yang menutupi tubuh itu.
"Nai, jangan memberatkan kepergian Ibu menghadap Allah, Nak. Dengan kamu yang terus menerus menangis, langkah Ibu menuju sisi Tuhan menjadi berat. Ikhlaskan, Naina. Ikhlas, karena kematian tidak dapat ditolak dengan obat," ucap Seira memberi pengertian kepada Naina.
Gadis itu terus meratap, memandangi wajah sang ibu dengan lekat. Biarlah untuk terakhir kali sebelum jasad itu berkalang tanah.
****
“Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya. (QS. Al-A'raaf:34).
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!