Di rumah kediaman keluarga Pratama, tengah menikmati sarapan pagi bersama anggota keluarga. Sayangnya putra sulungnya tak mampu berjalan layaknya orang yang sehat. Dialah Razendra Pratama yang kini tengah menikmati setiap suapan dari asisten rumahnya.
Namun apa yang terjadi saat itu juga, rupanya Razendra kembali berulah.
"Aaaaaaaa!" teriak Razendra dengan menampik piring yang ada di tangan Bi Darmi sebagai asisten kepercayaan keluarga Pratama sejak usia Razendra kecil hingga tumbuh dewasa.
"Tuan, tenangkan dulu pikiran Tuan." Ucap Bi Darmi yang takut terjadi sesuatu pada anak majikannya.
"Kenapa gak mati saja aku ini Bi? tidak ada gunanya aku hidup jika harus dengan kondisi yang seperti ini. Aku ingin pergi ke kantor, juga ingin bebas." Jawab Razendra dengan penuh geram.
"Tuan, bersabarlah. Semua butuh proses, dan juga gak instan untuk sembuh." Kata Bi Darmi mengingatkan.
Razendra tidak menanggapinya sama sekali, dirinya hanya mendengus kesal saat menerima kenyataan pahit yang tengah menimpa dirinya.
Kekasih yang dianggapnya setia, justru menjadi pengkhianat dan memilih untuk pergi ke luar negri bersama pacar barunya.
Dengan kondisinya yang tidak bisa berjalan dengan normal, semangat hidupnya pun hilang.
Marah, kesal, kecewa, sakit hati, dan kekecewaannya tengah menjadikan hilangnya semangat untuk menjalani kehidupannya dalam keseharian.
Bi Darmi yang sudah hafal dengan jadwal majikannya, selalu sigap untuk mengurus Razendra yang divonis lumpuh oleh dokter. Sesuai jadwalnya untuk mandi, Bi Darmi segera memanggil Pak Roni untuk membantu Razendra membersihkan diri.
Sedangkan kedua orang tuanya begitu sibuk dengan karirnya masing-masing. Sang ayah yang masih menduduki kursi kepimpinan, sedangkan ibunya pemilik Restoran.
Sesekali ibunya menemui putra kesayangannya yang ada di kamar, tentunya untuk melihat perkembangan kondisi fisiknya. Anak kesayangan, tetapi enggan untuk dekat dengan putranya. Kesibukannya melebihi dari perhatian kepada anaknya, tentu saja membuat sosok Razen seperti tak mendapatkan kasih sayang yang cukup dari ibunya.
"Kamu sedang apa, Nak? belum mandi?" tanya ibunya sambil berjalan mendekat.
Razen mengangguk.
"Belum, lagi nunggu pak Roni, Mama gak kerja?"
"Mama sudah putuskan untuk berhenti bekerja, dan Mama mau temani kamu di rumah. Sekarang Gilang sudah bisa diandalkan di kantor, juga Nandini sudah bisa mengelola butik. Jadi, Mama percayakan semuanya pada mereka berdua." Kata ibunya.
Razen yang mendengar adiknya sudah bisa diandalkan untuk bekerja di kantor, sedikit merasa iri karena dirinya tidak bisa seperti adiknya.
"Maafkan aku ya Ma, karena aku tidak bisa bekerja seperti Gilang." Ucap Razen yang terlihat bersedih dengan keadaannya yang sekarang ini.
"Kamu ini ngomong apa sih, Nak. Kamu tidak perlu meminta maaf, karena musibah tidak ada yang tahu. Yang harus kamu fokuskan itu ya, kesehatan ksmu." Kata ibunya yang mencoba untuk tidak membuat semangat hidup anaknya tidak kendor.
"Ya sih, tapi ya tetap saja kalau sebenarnya juga ingin seperti dulu yang sibuk di kantor. Tapi ya mau gimana lagi, kondisi ku yang tidak bisa memungkinkannya untuk bekerja." Ucap Razen yang sadar dengan kondisinya.
"Kamu ingin bekerja di kantor lagi kan, Nak? baiklah, Papa dan Mama akan mencarikan asisten baru untukmu. Tapi ada syaratnya, menikah."
Razen langsung melotot saat mendengar kalimat yang terakhir dari ucapan ibunya.
"Menikah?" tanya Razen sambil mengernyit.
Ibunya tersenyum saat menatap ekspresi putranya yang terlihat tengah bengong.
Razen benar-benar terkejut saat mendapatkan saran dari ibunya.
"Kenapa dengan menikah? apakah ada yang aneh?" tanya ibunya saat sudah duduk di dekat putranya.
"Tentu saja sangat aneh, saran macam apa itu. Ada-ada saja memberiku saran, memangnya tidak ada saran yang lainnya kah, Ma?"
"Tidak ada, hanya itu saran yang pas untukmu. Mama sudah siapkan calon istri yang baik untukmu, dia tidak hanya menjadi asisten mu, tetapi juga istri sah yang bisa membantumu apa saja, termasuk mandi." Jawab ibunya dengan detail.
Razen lagi-lagi melotot dengan kalimat terakhir, juga susah payah untuk menelan ludahnya. Benar-benar seperti mau jantungan.
"Enggak enggak enggak, aku gak mau menikah dengan perempuan pilihannya Mama atau Papa, sangat mengerikan jika diluar ekspetasi." Kata Razen sambil bergidik ngeri ketika membayangkannya ketika mempunyai istri yang jauh dari luar dugaannya.
"Pokoknya keputusan Papa sudah bulat, kamu akan Papa jodohkan dengan keponakannya Bi Darmi. Tenang saja, terserah kamu mau dalam sebuah perjanjian atau apa, yang terpenting ada yang mengurus kamu di rumah. Tentunya kalau malam tidak lagi banyak drama yang kamu suguhkan kepada Pak Roni. Selama ini Pak Roni sudah sabar, tapi rupanya kamu tetap saja sama. Jadi, keputusan Papa sudah bulat untuk menjodohkan kamu dengan keponakannya Bi Darmi, titik."
"Aih Papa, perjodohan macam apa itu. Mana ada aku nikah sama keponakannya Bi Darmi, yang benar aja."
"Terus, kamu mau menikah sama siapa kalau bukan sama istri yang mau merawat kamu, Razen? Leoni saja tidak mau punya pacar yang tidak bisa berjalan seperti kamu. Terus, kamu mau menikah dengan siapa? gak bakal ada yang mau sama kamu. Jika mau, itupun hanya akan memanfaatkan kamu saja. Jadi, terima saja keputusan dari Papa. Kamu tenang aja, calon istrimu cantik dan juga pintar, serta baik dan mau menerima syarat dari Mama dan Papa." Ucap ibunya memberi komentar yang dapat membujuk putranya.
Razen yang sebenarnya tidak mau ada perjodohan dalam hubungan pernikahan, dirinya sama sekali tidak bisa menolaknya.
"Gimana, mau ya?" rayu ibunya sambil mengusap punggung tangan milik putranya.
"Enggak tahu, soalnya kalian berdua itu suka memaksa." Jawab Razen sedikit kedengaran ketus.
Kedua orang tuanya yang melihat ekspresi anaknya, pun menahan tawanya.
"Mau tidak mau, ya tetap saja kalau kamu akan tetap Papa jodohkan dengan keponakannya Bi Darmi yang dapat dipercaya. Kalau kamu sembuh, kamu bisa bercerai, itupun kalau kamu gak jatuh cinta duluan. Soalnya anaknya cantik, baik lagi." Kata ayahnya sambil meledek putranya.
Razen mendengus kesal, juga merasa geram dengan keputusan dari orang tuanya yang sengaja mau menjodohkan dirinya dengan perempuan yang sama sekali tidak disukainya.
Lain lagi di tempat pangkalan terminal, sosok perempuan yang jatuh miskin karena ibu tirinya yang suka menghamburkan uang milik ayahnya, juga saudara tirinya yang suka berfoya-foya.
"Lu kenapa, Ven? tumben dibuat cemberut gitu, ada masalah, Lu?"
"Enggak, aku cuma lagi bete aja. Oh ya, aku pulang dulu ya Do. Makasih banyak ya, udah mau pinjemin aku uang. Janji deh, besok aku akan ganti kalau udah dapat pekerjaan, ok." Jawab Venza yang langsung pamit pulang.
"Kamu gak perlu balikin uangnya, yang terpenting bisa kamu gunakan untuk kebutuhan kamu." Ucap Ardo.
Saat itu juga, datang seorang ibu-ibu yang langsung menyambar uang yang hendak mau dimasukkan ke saku celananya.
"Sini! uangnya, enak aja minta sama anakku. Makanya kerja, jangan bisanya minta sama anakku. Bilangin tuh sama ayah kamu, gak usah belagu nikahin janda kalau gak bisa kasih duit anaknya." Bentak ibunya Ardo yang tengah merampas uang yang Venza pinjam.
Ardo yang melihat ibunya merebut uang dari tangan Venza, juga merebutnya lagi dari tangan ibunya.
"Lepaskan tanganmu, Do! kamu itu hanya dimanfaatkan saja oleh perempuan miskin ini." Bentak ibunya yang tetap bersikukuh untuk tidak memberikan uangnya pada Venza.
"Ma, Venza itu pinjam, tidak meminta. Tolong kembalikan uang itu pada Venza, kasihan dia." Jawab Ardo yang berusaha meminta dan merebut uangnya pada ibunya.
"Gak usah Do, aku bisa pinjam ke yang lainnya aja. Benar kata ibu kamu, seharusnya aku gak pinjam uang kamu. Ya udah ya, aku pulang." Ucap Venza yang akhirnya berpamitan.
"Ven! Venza! tunggu, ini uangnya." Teriak Ardo memanggil Venza.
Sedangkan Venza melambaikan tangan sambil berlari tanda menolak pemberian dari Ardo.
Ardo yang hendak mengejar Venza, pun dicegat oleh ibunya.
"Pulang, mulai sekarang kamu di larang untuk mengawasi terminal ini. Tugasmu di rumah hanya menjaga toko, ngerti." Bentak ibunya.
"Ma, Venza menemui aku itu hanya pinjam uang doang, gak lebih. Mama kenapa sih, apa salahnya dia. Venza itu anak baik-baik, juga aku mencintainya."
"Cinta kamu bilang, apa jangan-jangan mata kamu udah rabun? Venza itu keluarganya jatuh miskin. Jadi, lebih baik kamu itu menikah sama anaknya Pak Lurah, jelas-jelas kualitasnya. Terhormat dan juga kaya raya, dan kamu tidak akan kesusahan menikah dengan Lena." Ucap ibunya, dan menepuk punggung Ardo.
"Enggak, aku gak mau menikah dengan Lena. Dia perempuan bukan tipeku, aku hanya mencintai Venza, titik." Jawab Ardo dan bergegas pergi meninggalkan ibunya.
Sedangkan Venza yang tengah berjalan kaki menyusuri jalanan, merasa sedih karena harus mendapat hinaan dari ibunya Ardo. Lebih lagi dirinya susah mendapatkan pekerjaan, benar-benar membuatnya terasa pening.
"Andai saja Papa tidak menikah lagi, mungkin tidak akan seperti ini. Mana Ersa maunya dwit dan malas kerja, kurang ajar banget itu anak. Awas saja, aku bakal perhitungan dengannya." Gumamnya sambil menggerutu dalam perjalanan pulang.
Cukup jauh menempuh perjalanan dari terminal menuju rumahnya, tidak terasa sampai juga di halaman rumah yang seperti rumah penuh misteri, bak horor karena kedatangan ibu tiri dan saudari tiri.
Pintu pun ia buka dengan mudahnya, lantaran kunci serep ada padanya.
Terkejut itu sudah pasti, rupanya ibu tiri dan ayahnya maupun saudara tirinya sudah berdiri di hadapannya ketika pintu dibuka.
Sudah seperti zombie yang siap menerkam, seorang ayah yang dianggap menjadi tempat pelindung, sama saja seperti ibu tirinya, kejam.
"Mana uangnya?" tanya ibu tirinya sambil menengadah.
"Enggak ada, kenapa?" jawab Venza dan balik bertanya.
"Siap-siap aja dijodohin sama laki-laki lumpuh, emang enak." Sahut Ersa yang langsung menyambar.
Venza langsung menatap saudara tirinya itu penuh kesal.
"He! jaga mulut kamu itu. Bukan aku yang akan menikah dengan laki-laki lumpuh, tapi kamu sendiri yang akan menikah, paham." Bentak Venza yang sudah hilang kesabarannya selama tinggal bersama ibu tiri dan saudara tirinya.
Saat itu juga, Venza langsung masuk ke kamarnya karena merasa kesal dengan paksaan untuk menikah dengan laki-laki yang bukan pilihannya.
Sang ayah yang haus dengan uang, akhirnya kembali menemui putrinya untuk membujuk agar mau memenuhinya keinginannya untuk mendapatkan uang yang jumlahnya sangatlah besar.
Pintu pun diketuk dan berharap Venza akan membukakan pintu.
"Papa ingin bicara sama kamu, ayo ikut Papa." Ucap sang ayah mengajak putrinya untuk membicarakan sesuatu di lain tempat.
Venza langsung keluar dari kamar dan ikut ayahnya ke ruangan tertentu.
"Duduklah, Papa ingin bicara penting denganmu."
Venza segera duduk di hadapan ayahnya.
"Keputusan Papa sudah bulat, besok kamu akan di jemput oleh Bi Darmi. Tidak ada pilihan lain untuk menyelamatkan perekonomian Papa. Jadi, Papa mohon sama kamu untuk menikah dengan anak dari Bosnya Bi Darmi. Papa jamin kebutuhan hidupmu akan terpenuhi, dan kamu akan menyandang gelar menjadi majikan. Walaupun mempunyai kekurangan, suami kamu nanti dari keluarga kaya raya, dan kamu tidak akan pernah kekurangan dan akan hidup enak." Ucap ayahnya yang langsung pada pokok intinya.
"Kenapa harus Venza, Pa? kenapa gak Ersa aja, dia kan anak tirinya Papa."
"Ersa akan menikah dengan Bos tanah di Kampung ini. Jadi, kamu juga jangan kalah dari Ersa." Ucap sang ayah, Venza hanya mendengus kesal.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!