Gina menatap Reyhan dan Tisha dengan bergantian lalu memperhatikan di sekelilingnya yang kebetulan sedang lumayan ramai.
"Mas..?"
Gina memanggil Reyhan sedikit berbisik, tapi Reyhan tetap menatap jauh kedepan. Dia tahu kalau Reyhan sedang marah, dan mungkin saja telah mendengar hinaan Tisha terhadapnya.
'Aku nggak mau buat keributan, apalagi bisa buat mas Rey malu'
Gina menyematkan jari-jarinya ke jari-jari Reyhan, yang seketika laki-laki 35 tahun itu menatap manik mata Gina dengan teduh. Gina memberikan senyuman nya agar Reyhan tahu kalau dirinya baik-baik saja.
Melihat Reyhan yang sudah sedikit mengendurkan otot-otot rahangnya juga tatapan tajam matanya, Gina segera membawa Reyhan menjauh dari sana.
Tisha yang melihat Gina pergi dengan seorang laki-laki dari belakang dan terlihat sangat dewasa, menatap jijik serta menyeringai licik. 'ternyata dia simpanan lelaki tua. Cih..'
Di dalam mobil mereka berdua masih saling terdiam semenjak beberapa menit yang lalu meninggalkan toko buku. Reyhan yang terus saja melirik ke arah Gina yang sedari tadi diam dengan tatapan kosongnya.
'Apa yang saat ini, dia pikirkan'
Terlihat Reyhan mengkhawatirkan Gina yang mungkin saja bersedih karena mendapatkan hinaan keji dari orang yang tidak berperasaan itu.
"Kenapa kamu tidak membiarkan mas untuk memberikan pelajaran karena menghina mu" Reyhan memulai pembicaraan.
Gina menoleh dan tersenyum sendu. "Tidak perlu Mas."
"Kenapa?"
"Karena tidak ada alasan ku untuk mengelak itu semua."
Reyhan terdiam, dia sebenarnya tidak mengerti kenapa Gina bisa berkata seperti itu. Tapi yang dia tahu soal asal usul Gina, adalah anak hasil hubungan gelap ibunya dengan seseorang. Itu saja! dan Reyhan pun tidak pedulikan akan siapa sebenarnya Gina dan dari mana Gina berasal. Yang dia tahu, Gina adalah gadis yang berbeda dari gadis-gadis yang lain dan itu yang Reyhan suka dari Gina.
"Mas, antarkan Gina pulang ya," ucapnya dan Reyhan hanya mengangguk.
Sesampainya di pelataran rumah bertiang delapan yang sangat sederhana milik Gina atau lebih tepatnya rumah peninggalan mendiang sang ibunda yang saat ini Gina tempati. Reyhan yang akan keluar mobil seketika terhenti ketika Gina berucap untuk berpamitan.
"Terima kasih ya Mas, aku masuk dulu. Mas hati-hati."
Gina berucap dengan dinginnya, seperti sedang ada yang di pikirkan oleh gadis 19 tahun itu. Tapi yang membuat Reyhan terenyuh pada Gina, dia tidak lupa mencium punggung tangan nya sebelum benar-benar turun dari mobil.
Reyhan menatap punggung Gina yang semakin menjauh dan hilang di telan mulut rumah bertiang delapan itu. Reyhan tidak langsung pergi, ia masih memperhatikan rumah sederhana milik Gina sampai ketika ada satu ruangan yang Reyhan yakini itu adalah kamar tidur Gina, yang semula lampu di ruangan itu menyala dan seketika mati.
Laki-laki dewasa itu kini hanya bisa menghela nafasnya dengan panjang, pikirannya terus saja tertuju pada Gina, memikirkan bagaimana perasaannya ketika mendapatkan hinaan keji tadi sore dari seorang gadis yang sebaya dengan Gina.
Setelah memastikan kalau Gina memang sudah istirahat karena bertanda cahaya lampu yang sudah di padamkan, Reyhan pun melajukan mobilnya meninggalkan pelataran rumah Gina yang ada di pemukiman penduduk yang cukup padat itu.
Yang Reyhan kira bahwa Gina sudah tidur dengan lampu yang sudah di matikan, namun tidak dengan kenyataan nya. Gina saat ini tengah merebahkan dirinya di tengah ruangan yang gelap.
Matanya tidak sama sekali ingin terpejam, bahkan rasa kantuk pun tidak hinggap sedikit pun. Pertemuan nya dengan seorang gadis tadi sore di toko buku membuat dia terus saja termenung.
Bukan karena sakit hati dengan perkataannya, melainkan apa yang di katakan nya tengah mengganggu dirinya.
'Kasihan dengan lelaki yang akan menjadi pacar ataupun suamimu nanti, karena mendapatkan gadis yang asal usulnya tidak jelas, terlebih lagi anak hasil hubungan gelap"
Perkataan Tisha benar-benar membuat dia sulit mengalihkan ingatan nya. "Ya Allah, apa aku salah mengambil keputusan" lirih Gina.
.
Matahari sudah mulai meninggi, karena kebetulan hari ini memang sedang sangat cerah, bahkan baru jam 10 pagi pun terik matahari sudah terasa menyengat.
Jadwal mata kuliah hari ini kebetulan juga sedang kosong. Gina yang sudah bersiap untuk pergi bekerja walaupun dengan keadaan wajah yang pucat karena kurangnya jam tidur. Ya! Gina baru bisa memejamkan matanya ketika pagi sudah menjelang.
Menyibukkan dirinya dengan cara dia sendiri, karena hanya dengan cara inilah ia dapat melupakan sejenak apa yang membuat nya khawatir hampir semalaman.
"Gin, tolong antarkan ini ke meja 3 ya" teman satu kerjanya menunjuk pada meja yang terdapat beberapa orang di sana.
Gina mengiyakannya dan memapah beberapa gelas kopi ke meja yang di tunjuk temannya. Terdengar samar-samar orang-orang yang duduk di meja sebelah membicarakan sesuatu.
Semula ia tidak sama sekali ingin tahu, namun saat mendengar ada nama yang di sebut oleh salasatu dari orang-orang itu. Gina pun merasa tertarik untuk lebih tahu apa yang sebenarnya di bicarakan mereka dengan asiknya.
'Ya Reyhan Permana, dia lagi-lagi menduduki peringkat pertama di dunia bisnis'
'Wah! luar biasa. Tapi sayang dia belum juga menikah, padahal usianya sudah cukup matang'
'Tapi yang ku dengar, dia sudah di jodohkan dan sudah mempunyai calon istri '
'Benarkah? Heum, pasti calon istri dari Reyhan Permana, tidaklah wanita sembarangan, bisa jadi dia anak dari seorang pejabat'
Entah kenapa pembicaraan itu tidak membuat Gina berbangga hati karena ternyata dialah yang saat ini menjadi seorang yang di irikan oleh beberapa orang karena berhasil menjadi calon istri dari Reyhan Permana. Melainkan, Gina merasa itu semua adalah tamparan keras untuk nya, agar lebih bisa sadar diri akan kenyataan yang ada.
Gawainya bergetar di saku apron yang di gunakan nya saat bekerja. Terlihat nama 'Mas Rey' lah yang tertera di sana. Tidak! dia bahkan tidak sama sekali berniat untuk menjawab panggilan itu, hatinya sedang kacau saat ini.
Bahkan sudah terhitung sebanyak 11 kali saat malam tadi sampai sekarang, panggilan telpon dari Reyhan tidak sama sekali ia jawab, pesan yang di kirimkan Reyhan pun tidak satupun dia balas.
Jarinya bermain lincah pada layar ponselnya, mengetikkan sesuatu di sana yang ternyata ia mengirimkan pesan yang sangat singkat pada Reyhan yang berisikan ' Maaf mas, aku sibuk hari ini'.
Di sisi lain, Reyhan yang khawatir karena Gina yang tidak mau menjawab panggilannya dan ketika membaca pesan dari Gina rasa khawatirnya semakin membuncah.
"Ada apa sebenarnya. Apa yang kau pikirkan, Gin," gumam Reyhan di balik meja kerjanya.
Sejujurnya, Reyhan pun tidak bisa fokus bekerja karena dirinya terus saja memikirkan Gina. Benaknya menduga bahwa Gina sedang bersedih karena hinaan itu.
'Si Gina anak haram!'
Sebuah julukan dari teman-teman sekolah ku dulu membuat ku selalu tersenyum miris akan nasib ku yang terlahir dari hubungan yang terlarang antara seorang pegawai dengan atasannya. Terkadang aku menyesali atas kelahiran ku, tapi ku sadar, ini semua adalah takdir yang bahkan tidak akan bisa di hindari walaupun aku sangat ingin untuk memilih agar tidak di lahirkan kedunia ini.
Gina Utami, gadis cantik dengan usia yang masih sangat muda, harus memutar otaknya untuk mendapatkan penghasilan lebih agar bisa menyelesaikan pendidikannya dan mewujudkan cita-cita nya untuk menjadi seorang yang berdedikasi tinggi serta sukses walaupun ia sadar akan sulit untuk mencapai itu semua.
Gina tahu akan cerita bagaimana dia ada sampai terlahirkan kedunia, tapi dia juga tidak bisa menghindari rasa benci terhadap wanita yang telah melahirkannya. Gina selalu berpikir penyebab julukan itu tak lain dari ibunya sendiri, ia selalu menyalahkan ibunya atas Bulyan yang dia terima semenjak duduk di bangku sekolah menengah dulu bahkan sampai sekarang.
Nur, wanita paruh baya yang selalu merasa bersalah atas apa yang anaknya hadapi. Ya, Nur adalah ibu dari Gina. Nur selalu berusaha untuk membuat Gina bahagia. Tapi, dia merasa usahanya sama sekali tidak di lihat oleh anaknya.
Sampai tiba ibu Nur pun jatuh sakit, tanpa Nur sadari Gina selalu mengkhawatirkannya tanpa ingin ibu nya tahu. Hari demi hari penyakit yang saat ini Nur derita semakin parah Gina pun membawa ibunya ke rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan yang pantas walaupun lagi-lagi Gina tidak ingin ibu-nya melihat sikap peduli darinya.
''Maaf, apa anda keluarga dari ibu Nur?'' tanya seorang dokter yang baru saja keluar dari ruangan ICU untuk memeriksa keadaan Nur.
''Emmm, iya. Saya anaknya," jawab Gina dengan ragu.
''Begini, tumor yang tumbuh di dalam tubuh ibu Nur harus segera di angkat, dan itu harus melalui tindakan operasi.''
''Tumor?''
''Apa anda tidak tahu soal itu?'' Gina pun menggeleng.
''Oprasi?maaf Dok, berapa kira-kira biaya nya untuk operasi nya, Dok?'' Dokter pun menyebutkan angka nominal yang lumayan besar dan itu membuat Gina kebingungan.
Dari balik pintu berbahan material kaca, Gina menatap wajah pucat ibu nya, wanita yang selama ini selalu ia benci, wanita yang selama ini tidak pernah ia harapkan keberadaan nya, wanita yang selalu menerima sikap buruknya dengan ikhlas dan membalasnya dengan senyuman juga perhatian layaknya ibu ke anak terkasihnya.
Rasa bersalah itu muncul, bahkan ia merasa sangat sedih dan takut akan kehilangan sosok wanita tegar itu. ''Aku yang tahu kalau sebenarnya ibu tidak bersalah, tapi aku tetap membencimu,'' ucapnya dengan bergumam.
Suara sepatu Gina menggema di sepanjang koridor, ia menyeret kakinya dengan pikiran yang entah melayang kemana. Gina memutuskan untuk duduk di sebuah kursi taman, ia benar-benar bingung, harus mencari kemana biaya sebesar itu untuk pengobatan ibunya.
''Dari mana aku bisa mendapatkan uang sebesar itu, bahkan jika aku menjual rumah ibu, itupun tidak akan bisa menutupi seluruh nya,'' ucap Gina menatap setangkai bunga yang dia petik dari taman rumah sakit.
''Saya rasa, saya bisa membantu kamu,'' ucap seseorang yang duduk di kursi belakang Gina.
Mendengar suara itu, yang sepertinya memang sengaja menyahuti ucapannya barusan, akhirnya Gina menoleh, alisnya terangkat dan menatap heran, ''Apa nenek sedang bicara padaku?'' tanya Gina pada seorang perempuan tua yang menyahuti gumaman nya.
''Ya, memangnya disini ada orang lain selain kita berdua?'' Gina memperhatikan setempat, kepalanya menggeleng secara spontan, karena memang tidak ada orang lain yang berada di dekat sana, ya hanya ada mereka berdua saja.
''Saya bisa menyelesaikan permasalahan mu, tapi ada syaratnya,'' ucap perempuan tua dengan ketus nya.
''Nenek mau membantu ku? tapi kita kan tidak saling kenal.''
''Anggap saja bantuan ku ini sebuah kesepakatan yang saling menguntungkan.''
''Maksudnya?''
''Nenek akan membiayai operasi ibumu, bahkan ibumu bisa mendapatkan fasilitas yang paling bagus asalkan kamu mau menikah dengan cucuku.''
Ucapan nenek itu mengundang rasa heran pada diri Gina, ya.. mengenal pun tidak, tapi nenek yang baru saja di jumpainya itu berniat ingin membantunya dengan syarat yang menurutnya tidak masuk akal.
''Hah? menikah? Nek, kita tidak saling kenal, kenapa tiba-tiba Nenek mau aku menikah dengan cucu Nenek. Nek saat ini aku sedang kebingungan jangan buat aku semakin bingung. Kalau begitu aku permisi.''
Gina melangkah pergi namun langkahnya terhenti saat perempuan tua itu berkata sesuatu lagi padanya.
''Jangan terburu-buru mengambil keputusan, pikirkan saja dulu tawaran ku. Nenek akan kesini lagi besok untuk menemui mu, dan nenek mau kau sudah memikirkan itu.'' Perempuan tua itupun pergi meninggalkan Gina yang terpaku di tempatnya.
Pertemuan nya dengan seorang nenek itu membuat nya terus terbayang-bayang, dan Gina juga baru menyadari, dari mana nenek itu tahu kalau dia membutuhkan uang untuk biaya operasi ibunya, karena seingatnya ia tidak menyebutkan perihal itu.
''Dari mana nenek itu tahu kalau aku butuh duit untuk biaya operasi ibu?'' gumam nya.
Gina pergi dari taman dan menuju kamar ibunya di rawat hanya untuk berpamitan pulang, tangannya mengusap kaca penghalang antara ibu dan dirinya. Air matanya menetes begitu saja tanpa permisi, hatinya sakit melihat sang ibu terbaring lemah di atas ranjang kesakitan itu, tapi dia sendiri tidak bisa berbuat apa-apa.
"Aku tidak ingin kehilangan mu, Bu."
Kakinya melangkah pergi dengan berat, meninggalkan rumah sakit dengan sebuah bis kota yang selalu ramai pada saat jam pulang orang-orang bekerja, berdesakan dengan penumpang lainnya tapi Gina tidak mengeluh akan hal itu.
Dirinya memang berada di sana berdesakan dengan orang-orang, tapi pikiran nya tidak, pikiran nya berada di rumah sakit, bagaimana nasib ibunya jika ia tidak mendapatkan uang untuk biaya operasi.
Sesampainya ia di rumah sederhana yang di beli Nur dari hasil kerjanya semasa muda itu, Gina terus mengedarkan pandangannya, mengingat sikap buruknya terhadap sang ibu. Di rumah itulah ia tumbuh besar dengan kasih sayang nyata dari ibu tapi bahkan tidak sama sekali ia hargai kasih sayang itu.
Kakinya melangkah lagi menuju kamar yang pintunya hanya terbuat dari gorden usang, membuka lemari pakaian dan mengambil sebuah berkas yang ternyata itu adalah surat kepemilikan tanah dan rumah, ia menimbang-nimbang untuk menjualnya, tapi menjual rumah tidak seperti menjual permen yang hanya menunggu beberapa saat akan terjual dengan mudah.
Berulang kali Gina membuang nafasnya, merasa tidak berguna sebagai seorang anak, tangannya bergerak lagi mengambil sesuatu dari dalam tasnya, sebuah buku kecil berwarna biru yang ternyata sebuah buku tabungannya hasil ia bekerja selama ini.
"Mana cukup," keluhnya lagi. Namun tiba-tiba ia teringat seorang nenek tua yang menawarkan kerjasama dengannya, tapi ia buang pikiran itu jauh-jauh karena merasa tawaran itu hanyalah bualan seorang nenek yang sedang bosan.
Gina yang baru saja keluar dari tempat kerjanya karena sudah waktunya ia pulang tiba-tiba menabrak seseorang dan membuat seseorang itu terkena tumpahan jus buah yang dia bawa.
Warna dari jus buah yang menodai kemeja membuat sang empunya menatap tajam Gina.
''Apa kau tidak punya mata, hah!!'' bentak pria yang di tabrak nya.
''Maaf pak, saya tidak sengaja, lagipula anda juga bersalah,'' jawab Gina. Bukan merasa takut akan bentakan pria itu, Gina seakan tidak mau hanya dia yang di salahkan.
Mendapatkan jawaban dari gadis itu, si pria semakin di buat marah, bukan merasa bersalah tapi seakan malah menyalahkan balik dirinya, tangannya terkepal kuat, andaikan yang mencari masalah dengannya seorang pria, mungkin sudah lain judul. Tapi beruntung dia adalah seorang gadis.
''Tuan, apa perlu aku menghubungi butik langganan untuk memesan pakaian baru untuk mu, Tuan?'' tanya seorang pria yang berada di belakang nya.
''Hidihh, berlebihan sekali, itu hanya terkena noda jus, di bersihkan sedikit dengan air, selesai,'' gumam Gina yang merasa ucapan pria yang sepertinya bawahan dari pria yang di tabraknya itu, terdengar sangatlah berlebihan.
Karena malas meladeni wanita yang bahkan melihat wajah serta penampilan nya saja membuatnya muak, pria itupun berlalu masuk ke dalam tanpa permisi meninggalkan Gina yang merasa aneh dengan sikap dua orang itu.
''Mereka bak tuan muda dan sekertaris nya di dunia pernovelan. Sangat-sangat, Ber–le–bi–han,'' gumam Gina menilai penampilan dua orang pria yang baru saja ia temui itu.
Di dalam kafe, pria yang di tabrak Gina memerhatikan-nya dari dalam sana, berharap tidak akan bertemu lagi dengan gadis modelan seperti dia, gadis yang arogan menurutnya, tidak mencerminkan seorang gadis pada umumnya.
Gina pun berlalu menghentikan sebuah bis lalu pergi dari sana untuk kembali ke rumah sakit.
Sesampainya ia di rumah sakit, Gina langsung menuju ke meja bagian administrasi tapi hatinya sedikit ragu untuk membicarakan niat yang akan di bicarakan nya itu. ''Ya, ada yang bisa saya bantu?'' tanya pihak administrasi.
''Emmm,, maaf mbak saya keluarga dari pasien yang ada di kamar 301b, apa bisa biaya untuk operasi di bayar dengan cara menyicilnya?'' tanya Gina dengan ragu.
''Maaf, kalau untuk mencicil biaya operasi belum bisa. Tapi anda bisa membuat surat keterangan tidak mampu untuk meringankan biayanya,'' jelas wanita yang bekerja di bagian administrasi itu membuat Gina menunduk pasrah.
Gina sungguh kebingungan, bermula dia terpikirkan untuk menjual rumah yang saat ini ia dan ibunya tinggali dan untuk kekurangan nya dia akan mencari pinjaman, tapi pihak rumah sakit tidak menerima itu. Dan untuk mengurus surat yang di sebutkan oleh wanita administrasi itu pastilah membutuhkan waktu lama dan ibunya yang harus segera di operasi, sungguh membuat Gina putus asa.
''Berarti tawaran ku kemarin, tidak kamu pikirkan ?'' suara yang tidak asing terdengar dari belakang, dengan cepat Gina berbalik badan dan benar saja, orang itu adalah nenek yang kemarin di temui nya saat di taman.
''Nenek?''
''Mungkin kamu menganggap tawaran ku hanya bualan, tapi aku tidak bermain-main akan hal itu.''
''Tapi Nenek tahu dari mana kalau saya butuh duit untuk biaya operasi?''
''Kemarin saya tidak sengaja mendengar pembicaraan mu dengan seorang dokter.''
Ya sekarang masuk akal, dari mana nenek itu tahu bahwa Gina membutuhkan duit untuk biaya operasi ibu-nya.
.
Di sebuah kedai yang ada di kantin rumah sakit, di sanalah nenek itu mengajak Gina berbincang, bertujuan agar lebih nyaman untuk mengobrol. Di depannya sudah ada beberapa piring makanan juga minuman yang nenek itu pesankan untuk Gina, tapi tidak ada yang Gina sentuh, ia hanya diam termenung karena memikirkan kembali tawaran nenek tua itu.
''Makanlah, lepas itu kamu baru bisa jawab untuk tawaran saya.''
''Nek, Nenek meminta saya menikah dengan cucu Nenek, tapi apa cucu Nenek sendiri akan setuju untuk menikah dengan saya?''
''Untuk soal itu, kamu tidak perlu khawatir, karena itu sudah menjadi urusan Nenek, kamu hanya perlu siap dan setuju saja.''
''Heeuumm… , baiklah, saya setuju Nek!''
Keputusan Gina pun sudah final setelah berpikir panjang, dan nenek tua itupun bisa bernafas dengan lega.
''Tapi Nek, saya memiliki syarat.''
''Katakan!''
''Kelak, Nenek ataupun cucu Nenek, tidak akan melarang saya untuk bekerja dan juga membiarkan saya untuk melanjutkan pendidikan saya sampai selesai, bagaimana?''
''Setuju, dan silahkan tanda tangan.'' Alis Gina terangkat sebelah menatap selembaran kertas yang sudah tertulis akan perjanjian itu lengkap dengan materai nya.
''Untuk berjaga-jaga, jika kamu tidak menepati janji, Nenek bisa menuntut mu.''
Gina menelan ludahnya dengan susah payah dan mengambil bolpoin lalu mentanda tangani surat perjanjian itu dengan ragu.
''Biaya rumah sakit sudah Nenek bayar plus perawatan untuk kedepannya. Dan besok kau bersiaplah, akan ada yang menjemput mu. Saya pergi dulu, makan yang banyak agar tubuh mu berisi sedikit.''
Nenek tua itupun berlalu pergi setelah mengusap kepala Gina meninggalkan Gina dengan beberapa makanan yang memang sudah di pesankan untuknya.
Gina membuang nafasnya, tubuhnya ia senderkan di senderan kursi, entah keputusannya ini akan menguntungkan baginya atau malah sebaliknya, Gina hanya bisa berpasrah diri untuk semuanya.
Perutnya berbunyi, matanya menatap makanan yang terhidang di meja dan pada akhirnya ia memakannya dengan lahap karena seharian ini dia hanya meminum jus buah yang bahkan sudah tumpah di kemeja orang tadi.
"Biarlah masalah pernikahan itu menjadi sebuah pengalaman, yang terpenting ibu bisa mendapatkan pengobatan yang layak," gumam Vlora dengan mulut yang penuh terisi makanan.
Perut kenyang hati pun senang, aahh bahkan pribahasa itu tidak sama sekali Gina alami. Perut ramping Gina memang kenyang tapi pikiran nya masih kacau memikirkan nasibnya kelak, bagaimana rupa si cucu nenek itu, bagaimana sifat-sifatnya, tabiatnya dan apakah dia akan menerima dia yang akan menjadi istrinya, semua itu Gina khawatirkan.
Matanya melihat piring-piring kosong, entah hatinya belum tenang, apa benar makanan itu sudah di bayar oleh perempuan tua tadi dan untuk memastikan Gina pun langsung menanyakannya pada pemilik kedai, kalaupun memang belum di bayar ia pasrah jika makanan tadi harus ia bayar sendiri karena memang dia sendiri yang menikmati-nya.
"Bu, makanan yang saya makan total berapa semuanya?" tanya Gina dengan cemas.
"Oh, itu sudah di bayar dengan nenek tadi neng," jawab sang penjual dan Gina pun bisa bernafas dengan baik.
"Oh ya? kalau begitu terima kasih ya, Bu." Gina akhirnya pergi dari kantin rumah sakit dengan bibir yang tersenyum karena duit di dalam dompet nya bisa terselamatkan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!