Pintu kamar pengantin terbuka, langsung menyeruak aura mencekam dan menakutkan. Alara langsung di tarik masuk ke dalam kamar itu secara paksa dan di hempaskan begitu saja di lantai kamar yang dingin oleh Matteo.
Suara bedebam dari pintu yang di banting kuat, membuat Alara semakin menciut tidak berkutik. Tubuhnya bergetar hebat, apalagi saat menangkap tatapan mat tajam Matteo yang seakan sudah menyakiti setiap pori-pori kulit tubuhnya.
"Apa yang tuan lakukan? Kenapa kasar sekali?" tanya Alara semakin ketakutan.
Matteo tidak menjawab, ia melangkah perlahan menghampiri Alara dengan tatapan tajam membunuh. Ketukan sepatu pentopel milik Matteo yang melangkah mendekatinya, menggema memecah kesunyian kamar yang dingin nan mencekam itu, semakin membuat Alara beringsut ketakutan.
Setelah berada di dekat Alara yang mendekap tubuhnya sendiri ketakutan, Matteo berjongkok mensejajarkan dirinya dengan Alara.
Laki-laki itu langsung mencengkram kuat dagu Alara, hingga gadis itu merintih kesakitan. Matteo mengamati tiap inci wajah Alara yang pucat karena katakutan, cengkraman tangan tidak mengendur sama sekali, malah bertambah kuat.
"T-tolong jangan sakiti saya," ucap Alara sambil memukul tangan Matteo yang mencengkram dagunya.
Bagai orang yang kehilangan kesadaran Matteo terus mencengkram dagu Alara kuat, tidak peduli atau bahkan tidak merasakan pukulan di tangannya karena Alara mencoba melepaskan diri, hingga terdengar isak tangis Alara yang memilukan menyadarkan alam bawah sadar Matteo untuk segera melepas cengkraman itu.
Matteo sampai jatuh terduduk setelah mendapatkan kesadarannya kembali, tapi dengan cepat ia menyadari situas karena melihat wajah Alara.
Wajah yang sudah ia tandai sebagai orang yang berhak ia siksa sedemikian rupa, Matteo kembali berdiri dengan cepat dan langsung menyambar tangan Alara.
Alara yang tidak siap akan tarikan Matteo yang tiba-tiba, membuat tubuh mungilnya sedikit terseret, laki-laki itu tidak peduli sama sekali dengan jeritan Alara yang minta di lepaskan.
"Lepaskan, ini sakit sekali!" Teriak Alara kesakitan.
Baginya, semua yang di rasakan Alara saat ini belum sebanding dengan lenyapnya nyawa Ayesha yang ia habisi begitu sadisnya.
Matteo menyeret Alara ke dalam kamar mandi lalu menghempaskan gadis itu tanpa belas kasih, tanpa sepatah katapun yang terucap sejak tadi, Matteo menghidupkan shower dan memutar air ke suhu yang cukup panas.
Lalu air itu ia arahkan ketubuh Alara, membuat gadis itu kembali menjerit tapi tidak mampu berbuat apa-apa, selain menjerit merasakan panasnya air shower tersebut.
Setelah Alara basah kuyup dengan kulit tubuhnya yang sedikit memerah akibat dari siraman air shower yang cukup panas, Matteo menghentikan aksinya.
Tapi, semua belum berakhir. Matteo mematikan shower itu lalu meletakkan benda itu sembarang. Laki-laki menyeringai jahat saat di otaknya melintas ide baru untuk menyisa Alara.
"Buka semua pakaianmu," titah Matteo.
Seketika membuat Alara beringsut, gadis itu langsung mendekap tubuhnya sendiri sambil menggelengkan kepalanya.
"Tidak, jangan lakukan, aku tidak membunuh Ayesha, bukan aku yang membunuhnya!" Alara sampai berteriak saat mengatakan jika bukan dia yang membunuhnya.
Tidak mungkin ia akan melakukan perintah Matteo begitu saja, meskipun saat ini Matteo adalah suami sahnya, orang yang paling harus ia patuhi saat ini.
Tapi, ia tahu Matteo menikahinya karena laki-laki itu berpikir dialah yang membunuh Ayesha calon istrinya, jadi tidak mungkin dia akan melakukan apa yang Matteo katakan, yang menyuruhnya membuka pakaian.
"T-tuan siksa saja saya atau bunuh saja sekalian jika saya pantas mendapatkannya, tapi jangan hancurkan kehormatan saya," ucap Alara memohon.
Gadis itu berpikir kalau pun ia tidak bisa menjelaskan semuanya dan harus mati di tangan Matteo, setidaknya dia mati dalam keadaan masih suci.
Tawa Matteo langsung menggema mengisi setiap sudut kamar mandi itu setelah mendengar ucapan Alara, tawa yang terdengar sangat mengerikan bagi Alara.
Setelah tawanya reda, wajah tampan itu kembali dingin manakutkan. Tidak berkata apa pun lagi Matteo langsung menarik lagi tangan Alara.
Tubuh Alara yang mungil membuat Matteo dengan mudah untuk menarik Alara sesuka hatinya.
Alara terhempas jatuh di atas tempat tidur king size yang terdapat di kamar itu dengan posisi telentang, Matteo langsung menindi Alara yang masih mengenakan gaun pernikahan yang basah kuyup.
Matteo tidak peduli lagi, yang ada di otaknya saat ini adalah melampiaskan semua dendamnya pada Alara dengan menyakiti gadis itu tanpa ampun, bahkan ia berpikir akan menghancurkan Alara dengan merenggut kehormatan gadis itu secara paksa.
Alara yang lemah tidak bisa berbuat apa-apa, ia hanya bisa manangis sambil mengucapkan kata yang mungkin tidak akan pernah di percayai Matteo sampai kapan pun.
"Tolong jangan sakiti saya! Saya tidak membunuh Ayesha, mohon percayalah."
Hingga beberapa kali ia mengatakan itu dengan suara yang kadang keras dan kadang lemah, sesuai ritme permainan Matteo pada tubuhnya.
Laki-laki itu terus mengeksplor seluruh tubuh Alara yang sekarang sudah tanpa sehelai benang pun.
Antara dendam dan nafsu yang memuncak, dendam karena Alara membunuh calon istrinya dan nafsu yang tiba-tiba datang setelah ia membuka paksa gaun yang di kenakan Alara.
Terpampang jelas tubuh Alara yang putih mulus, Matteo adalah laki-laki dewasa yang normal, ia juga akan merasakan hasrat jika melihat tubuh seindah itu terpampang jelas di hadapannya.
Matteo langsung menyerang Alara bertubi-tubi, hingga pada saat Matteo menyerang pada inti tubuh Alara, gadis itu masih menyuarakan ucapan yang sama penuh dengan nada sakit dan tertekan.
Hancur sudah semua asa Alara di tangan Matteo, ia menangisi semuanya. Kematian Ayesha dengan semua bukti yang mengarah padanya.
Kehormatan yang sudah di renggut secara paksa oleh Matteo laki-laki yang ia nikahi beberapa jam lalu dengan terpaksa.
Nasib hidup yang tidak pernah berpihak padanya, air matanya terus mengalir tanpa henti, ia tidak peduli lagi dengan Matteo yang sedang menikmati tubuhnya, menghentaknya tanpa rasa iba bahwa ini adalah hal pertama untuk Alara.
Sakit itu bercampur menjadi satu, ingin rasanya ia mati saat itu juga. Menyusul Ayesha dan mendekapnya seperti ia masih hidup dulu.
Mengeluh dan menangis di pundak sahabatnya itu, menceritakan segalanya seperti biasa.
"Tolong jangan sakiti saya! Saya tidak membunuh Ayesha, mohon percayalah." kata-kata itu masih terdengar saat Matteo mencapai puncak kenikmatannya.
Suara erangan nikmat yang keluar dari pita suara Matteo seakan terdengar seperti ejekan untuk ucapan Alara sepanjang permainan Matteo.
Gadis itu masih menangis lirih merasakan semuanya, sedikitpun tidak ada gelora hasrat saat Matteo menggagahinya, justru hatinya terluka saat tiap inci tubuhnya di nikmati laki-laki itu.
Setelah puas bermain dan menghancurkan hidup seorang gadis, Matteo langsung bergegas ke kamar mandi meninggalkan Alara yang sudah tidak berdaya di ranjang sambil menangis.
Laki-laki membanting kuat pintu kamar mandi, disini bukan hanya Alara yang terluka, tapi Matteo juga.
Ia bukanlah orang yang tidak punya hati selama ini, tapi kematian Ayesha menutup segala kewarasannya.
Matteo mengguyur tubuhnya di bawah derasnya air shower, tidak akan ada yang melihat air mata laki-laki itu karena tersamarkan oleh derasnya air yang mengalir pada tubuhnya dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Dia bukan menangisi perbuatannya dengan Alara barusan, ia merasa itu pantas ia lakukan, bahkan lebih dari ini pun Alara pantas mendapatkannya.
Ia menangis karena teringat kembali pada sang kekasih yang sudah kembali kepada tuhan, ingatan kebersamaan selama lima tahun hanya mengisahkan duka yang mendalam baginya.
Hatinya tidak menerima kenyataan ini, ia membenci takdir yang merenggut cintanya. Bahkan yang sangat ia sesali adalah, ia tidak punya kuasa dengan hidup dan mati.
Bukankah jika ia kuasa, ia bisa menghidupkan Ayesha lagi. Pikiran yang paling tidak mungkin pun bisa terlintas di pikiran orang yang sedang bersedih dan terluka karena merasa takdir terlalu kejam padanya.
Bayangan wajah cantik penuh senyuman itu terlintas lagi saat Matteo memejamkan mata menikmati guyuran derasnya air shower di wajahnya yang sedikit menengadah.
Sosok itu tidak akan pernah mati di dalam sanubari seorang Matteo, seseorang yang teramat sangat ia cintai di dunia ini setelah ibunya.
Gadis yang sudah ia nobatkan akan menjadi ibu dari anak-anaknya kelak, ibu yang penuh kelembutan dan kasih sayang yang besar pada anak-anaknya.
Tanpa sadar Matteo tersenyum, memang sebegitu indahnya ciptaan Tuhan yang bernama Ayesha Uzma itu, hingga mampu mengubah seorang Matteo menjadi pendendam dan kejam.
Tadi, saat Matteo mulai menghidupkan shower di kamar mandi, Alara bergegas menghampiri kopernya untuk mengambil baju ganti, meski agak kesulitan untuk berjalan sebab denyutan pada inti tubuhnya, Alara tetap berusaha meraih kopernya.
Setelah memakai piyama satinnya, Alara kembali membaringkan tubuhnya yang terasa remuk redam ke atas ranjang lagi.
Saat tubuh sudah terbaring miring, air mata yang sempat berhenti tadi kembali mengalir, bahkan lebih deras dari sebelum hidupnya benar-benar hancur di tangan Matteo.
"Apa salahku," lirih ucapan itu terdengar.
Segala duka lara menyelimuti hatinya, mengapa hidupnya selalu lemah seperti ini, mengapa ia tidak bisa melawan sama sekali. Bukankah dia punya hak untuk membela diri, dia punya hak untuk didengarkan.
Namun nyatanya, semua terbantahkan saat Matteo memutuskan untuk menikahinya, alih-alih menuntutnya ke pengadilan. Kepada siapa lagi ia akan meminta pertolongan, bahkan semua orang saat ini tidak ada yang mau mempercayainya.
Keluar dari rumah ini pun terasa tidak mungkin, akan kemana dia? Bahkan tujuan pun ia tidak punya. Apa dia harus kembali ke panti asuhan tempatnya di besarkan? Tidak! Tidak mungkin dia pergi ke tempat itu dengan membawa beban yang sangat berat kesana.
Ia tidak ingin membebani ibu panti jika ia pergi kesana, lalu iya akan kemana? Bukankah jika ia pergi lari, Matteo akan semakin dendam kepadanya? Dia tidak melawan saja Matteo seakan ingin mengulitinya hidup-hidup.
Membayangkannya saja Alara tidak sanggup, apalagi kalau sampai dia benar-benar pergi dan Matteo akan mengerahkan kuasanya untuk mencarinya dan dia akan menyiksa dirinya lebih parah lagi.
Akhirnya niat untuk lari dia usir jauh-jauh dari pikirannya, dia memutuskan tidak akan lari, dia akan menghadapi semuanya dengan ikhlas, ia berharap suatu saat Tuhan yang maha baik akan menunjukkan kebenaran atas dirinya.
Pintu kamar mandi terbuka, membangunkan Alara dari lamunannya. Gadis itu semakin meringkuk, rasa takut kembali menderanya, takut kalau-kalau Matteo akan melanjutkan siksaannya.
Saking takutnya, Alara sampai menggenggam erat selimut yang membungkus dirinya saat langkah kaki Matteo semakin mendekat pada ranjang. Gadis itu memejamkan mata seperti menanti sesuatu yang akan dilakukan Matteo pada dirinya.
Ternyata nihil, tidak ada suara pergerakan lagi dari Matteo. Tapi Alara sungguh tidak berani untuk berbalik dan melihat laki-laki itu sedang apa. Jangankan berbalik, bergerak sedikit saja, tidak, Alara bahkan menahan nafasnya sebentar saking takutnya.
Semetara itu Matteo masih berdiri di dekat sisi ranjang sambil memperhatikan Alara yang meringkuk. Terlihat bahu Alara yang sudah terbungkus piyama, sudah tidak polos seperti tadi.
Matteo diam sambil memperhatikan Alara yang meringkuk menutupi sebagian tubuhnya dengan selimut bukan karena iba, dia tahu apa yang di lakukannya pada Alara sangat kasar dan tidak manusiawi.
Justru dia sedang mengukur sudah seberapa besar gadis itu tersiksa, karena dia akan menambahkan siksaan itu setiap harinya,tidak, setiap detiknya untuk gadis itu.
Matteo tidak peduli belas kasih sampai tujuannya menikahi Alara tercapai, yaitu membuat gadis itu tidak ingin hidup lagi dan akan mengakhiri hidupnya sendiri.
Bukankah itu sangat adil untuk Ayesha, Alara mati dengan keputusasaan yang tidak sanggup ia tanggung sendiri. Sebesar itulah Matteo membenci Alara saat ini.
Setelah puas memikirkan sesuatu hal yang mengerikan, Matteo melangkah menghampiri lemari baju miliknya dan membiarkan Alara yang larut dalam kesedihan.
Sungguh tidak ada sedikitpun rasa iba di hati Matteo pada seorang gadis yang bertubuh mungil seperti Alara, bahkan Matteo tidak pernah melihat Alara sebagai seorang gadis cantik bertubuh mungil, di pandangan matanya saat ini Alara tidak lebih hanya seorang pembunuh berdarah dingin yang memanfaatkan kepolosan wajah imutnya itu.
Cih! Aku tidak akan tertipu dengan wajah sialan itu.
Tidak ada yang bisa memungkiri wajah Alara memang cantik dan imut, sekali pun rasa dendam bergelayut di hati seseorang. Wajah bulat dengan hidup kecil dan mata yang lebar menggemaskan, bahkan seorang Matteo juga mengakui itu, walau dengan bahasa yang berbeda, pembunuh berwajah menggemaskan.
Cih! Dia benci itu.
Masih memilih baju apa yang akan dikenakan, membolak-balik dan mencari lagi. Tapi tidak satu pun baju yang ingin dia pakai dari lipatan baju itu, ia kembali menutup pintu lemari dengan dibanting, membuat seseorang di meringkuk di tempat tidur telonjak.
Matteo melihat hal itu langsung menyeringai jahat lalu berjalan kembali mendekati ranjangnya. Tanpa aba-aba dia langsung menarik paksa selimut tebal dari tubuh Alara.
Gadis itu langsung reflek terduduk dan memeluk dirinya sendiri, wajahnya tertunduk dan terlihat sangat menyedihkan.
Deg
Jantung Matteo berdebar saat melihat wajah menyedihkan Alara, tapi dengan cepat ia menggelengkan kepalanya dan membesarkan lagi egonya untuk mendendam kepada Alara.
"Kau pikir siapa dirimu, turun dari ranjangku!" Bentak Matteo keras.
Membuat Alara kembali melonjak kaget atas bentakan tersebut, dengan seluruh tubuh yang gemetar, Alara turun dari tempat tidur.
Rasa takut dan rasa perih pada inti tubuhnya membuat Alara sampai tidak sanggup untuk menopang tubuhnya sendiri saat kakinya menginjak lantai.
Alhasil Alara tersungkur di lantai, gadis itu kembali menangis, kali ini suara tangisnya kuat menggema di dalam kamar tersebut. Bukankah hidupnya selama ini sudah susah, kenapa harus di hancurkan lagi hanya karena tuduhan yang belum valid. Sungguh di dunia ini keadilan terlalu kejam mengintimidasi, apalagi pada manusia kecil dan rendahan seperti dirinya.
"Cih, dasar tidak berguna." Matteo meludahkan liurnya ke lantai merasa jijik dengan tangisan Alara yang seperti di buat-buat agar dirinya iba. "Begitu saja kau sudah menangis dan merasa tersiksa, tidakkah kau berpikir sesakit apa Ayesha saat kau menikamnya berkali-kali, sialan!" Amarah itu datang lagi, ingin rasanya saat itu juga dia menghabisi Alara dengan tangannya.
Matteo sampai mengepalkan kedua tangannya untuk meredam emosi yang membuncah pada Alara yang menurutnya sok bersedih itu.
"Aku tidak pernah menikam Ayesha, aku tidak membunuhnya, harus berapa kali aku mengatakannya, aku tidak membunuhnya!" Nyaring suara lemah itu membantah.
"Hei, Tuan Matteo yang terhormat! Ayesha adalah sahabatku, aku mengenalnya lebih dulu dari pada anda!" Alara yang masih terduduk dilantai sambil menuding Matteo penuh emosi.
"Jika kau ingin keadilan untuk sahabatku yang kau anggap kekasihmu itu, buka kasus ini di pengadilan. Aku bisa menjamin jika bukan aku yang membunuh Ayesha," tantang Alara sengit.
Mendengar itu Matteo tersenyum miring, bagaimana bisa dia membuktikan jika bukan dia pembunuhnya, padahal sudah terbukti hanya ada sidik jari Alara di tubuh Ayesha dan barang bukti yang ditemukan di tempat kejadian.
"Kau pikir aku percaya? Sampai mati pun aku tidakan pernah percaya padamu, sialan! Aku tidak akan melakukannya, aku yang akan menyiksamu dengan tanganku sendiri. Sampai kau frustasi dan mengakhiri hidupmu sendiri."
Tidak ingin melihat drama yang diciptakan Alara berlanjut, Matteo menghampiri Alara yang masih terduduk di lantai, ia segera menarik paksa tangan gadis itu untuk berdiri.
Alara meringis kesakitan, rasa perih pada inti tubuhnya kembali merasakan sakit saat Alara bergerak terlalu kencang, akan tetapi Matteo tidak peduli itu.
"Pilihkan baju dan celana untukku, setelah itu buatkan aku sesuatu, aku lapar." Matteo mendorong tubuh Alara agar gadis itu segera melakukan perintahnya.
Mau tidak mau Alara menuruti semua perintah Matteo walau langkahnya terseok-seok, setelah mengambil baju dan celana untuk laki-laki itu, Alara langsung bergegas keluar kamar untuk memasak.
Setelah pernikahan selesai, Matteo mengatakan akan langsung pindah ke salah satu rumah miliknya dan hanya tinggal berdua dengan Alara.
Matteo juga berpesan kepada ibunya dan keluarga dari Ayesha, untuk tidak pernah menganggu hidupnya, tidak ada satu orang pun yang boleh berkunjung ke rumahnya tanpa izin darinya, ia mengatakan itu karena hanya ingin menyiksa gadis itu tanpa dilihat oleh siapapun.
Awalnya ibu Matteo yang sangat baik menolak semua itu, sebenarnya dari semua orang hanya ibu Matteo yang belum yakin jika Alara yang membunuh Ayesha calon menantu kesayangannya itu.
Karena pada saat persiapan pernikahan Alara selalu ikut serta, mulai dari memilih WO, catering, sovenir pernikahan, fitting baju pengantin, bahkan untuk sovenir, Ayesha menyerahkan semuanya pada Alara.
Gadis itu tampak antusias saat Ayesha memberinya tanggung jawab, tidak ada wajah iri dan tidak suka, justru gadis imut itu berbinar seperti merasa bangga saat mendapat tugas khusus dari Ayesha.
Ibunya Matteo tidak tahu seperti apa persahabatan antara almarhum calon menantunya dan seberapa lama mereka sudah bersahabat.
Akan tetapi, saat bertemu beberapa kali, Ayesha selalu membicarakan Alara, calon menantunya itu selalu mengatakan jika Alara itu baik, Alara itu pintar dan juga pekerja keras.
Bukan hanya cerita dari Ayesha, bahkan ibunya Matteo melihat sendiri gadis itu memang ramah, tutur katanya lemah lembut, wajah imut yang selalu berbinar.
Semua hal itu membuat ibunya Matteo tidak terlalu percaya jika gadis seperti Alara mampu membunuh seseorang, apalagi itu adalah sahabatnya sendiri.
Bahkan ibunya Matteo pernah menceritakan hal itu pada suaminya secara peribadi, akan tetapi suaminya hanya mengatakan bukti yang ada, bukti yang sangat valid, yaitu sidik jari.
Sidik jari yang terdapat di tubuh Ayesha dan barang bukti berupa pisau dapur memang sidik jari Alara. Tapi, entah mengapa ibunya Matteo tetap tidak bisa percaya begitu saja jika Alara sanggup melakukannya.
Ingin sekali rasanya ia menyelidiki semuanya, akan tetapi ia tidak bisa melakukannya tanpa dukungan suaminya. Ayahnya Matteo juga tidak terlalu peduli dengan kejadian ini, sebab ia menganggap semua sudah selesai jika anaknya sudah turun tangan dan tidak ingin orang lain ikut campur.
Seperti biasa ayahnya Matteo selalu percaya, apa pun yang akan di lakukan oleh putranya, semua itu tidak akan mencoreng nama baik keluarganya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!