NovelToon NovelToon

Istri Kecil Sang Dosen Killer

Gadis Pembayar Hutang

"Kami mohon, Tuan. Jangan ambil rumah dan tanah kami," isak Somad memohon pada 2 pria bertubuh kekar yang ada di hadapan mereka.

"Kalian harus membayar hutang-hutang kalian. Kalian sudah bertahun-tahun tak membayar hutang kalian pada kami," ujar salah satu pria bertubuh kekar itu

2 pria bertubuh kekar itu datang ke rumah Somad atas perintah dari majikannya, si pemilik lahan perkebunan yang luas yang ada di daerah Ranah Batahan, Kabupaten Pasaman Barat.

Tuan Adhitama mengutus 2 pria itu untuk menagih hutang Somad dan yang sudah bertahun-tahun tak pernah mereka bayar.

Hutang mereka saat ini sudah melebihi 100 juta, sehingga suami istri itu tidak sanggup membayarnya lagi.

Sepasang suami istri itu hanya bekerja sebagai buruh di kebun sawit milik Tuan Adhitama.

"Kami mohon, Tuan. Beri kami waktu untuk melunasi hutang kami," Pak Somad terus memohon pada 2 orang pria itu.

Saat 2 pria bertubuh kekar itu berdebat dengan sepasang suami istri, datanglah seorang gadis yang cantik dan anggun.

"Pak, Buk, apa yang sedang terjadi?" tanya Ayunda pada Ayah dan ibu tirinya.

Pak Somad dan istrinya tidak bisa menjawab pertanyaan dari putri mereka.

Mereka hanya bisa menangis dan menangis.

Beberapa tetangga mulai menyaksikan apa yang telah terjadi di rumah itu.

"Pak, beritahu saya apa sebenarnya yang telah terjadi?" tanya Ayunda pada kedua pria yang memaksa Pak Somad dan istrinya keluar dari rumah yang sudah bertahun-tahun mereka tempati.

"Bapak dan ibumu berhutang banyak pada majikan kami, mereka harus membayar dengan rumah dan tanah yang mereka miliki," jawab salah satu pria kekar itu.

"Apa? Jadi, kalian ingin mengusir kami dari sini, lalu kami akan tinggal di mana?" tanya Ayunda ikut menangis.

"Itu bukan urusan kami," sahut si pria bertubuh kekar.

"Saya mohon, beri kami wqaktu hingga kami memiliki rumah kontrakan," ujar Ayunda berharap dapat mengulur waktu.

"Tidak, bisa!" bentak si pria bertubuh kekar itu.

Drrrttt drrrttt drrrttt.

Saat itu juga terdengar bunyi ponsel salah satu pria kekar.

"Bagaimana?" tanya Tuan Adhitama pada anak buahnya.

"Mereka tidak mau keluar dari rumah itu," jawab si pria kekar itu.

"Tuan," panggil Ayunda.

"Tuan, aku mohon jangan usir kami," pinta Ayunda.

"Tuan, hiks hiks." Ayunda pun mulai menangis.

"Aku akan datang ke sana," ujar Tuan Adhitama.

"Baiklah." Si pria itu memutuskan panggilan dari majikannya.

Tak berselang 10 menit sebuah mobil HRV berwarna merah berhenti tepat di halaman rumah itu.

Seorang pria tua yang bisa ditebak umurnya sekitar 70 tahunan turun dari mobil itu.

Melihat si pria tua itu, Ayunda langsung berlari menghampiri si pria.

Gadis cantik yang masih mengenakan seragam sekolah itu langsung bersimpuh di kakinya.

Ayunda yakin bahwa pria itulah majikan 2 pria kekar itu.

"Tuan, saya mohon jangan usir kami. Hanya ini satu-satunya tempat tinggal kami." Ayunda terus memohon maaf pada pria tua itu.

Si pria tua itu meminta Ayunda untuk berdiri, dia menatap Ayunda dari ujung kaki hingga ujung rambut dengan sebuah tatapan yang sulit diartikan.

Ibu tiri Ayunda melihat gerak mata si Pria tua yang menatap Putri tirinya dengan tatapan yang sulit diartikan, dia yakin si pria tua itu menginginkan Putri tirinya.

"Tuan, jika Tuan menyukai putri kami. Bawalah dia," ujar Siti, si ibu tiri yang tidak memiliki perasaan.

Somad menatap tajam ke arah istrinya.

"Apa maksud perkataanmu?" tanya Somad tidak mengerti dengan perkataan sang istri.

"Pak, bagaimana kalau kita jual saja si Ayunda untuk melunasi hutang-hutang kita," usul Siti bersemangat.

Dia yakin si pria tua itu menyukai anak tirinya itu.

"Apa? Tidak bisa, kasihan Ayunda," bantah Somad pada istrinya.

"Lalu kamu mau bayar hutang kita dengan apa? kamu mau mereka mengambil rumah dan tanah kita?" bentak Siti tidak terima.

Somad hanya bisa terdiam, di sisi lain dia tidak tega menjual putrinya. Di sisi lain dia terjepit tidak tahu harus bagaimana.

"Apa benar kalian ingin menebus hutang kalian dengan gadis cantik ini?" tanya Tuan Adhitama dengan mata mengagumi kecantikan gadis belia yang kini berada di hadapannya.

"Benar," jawab Siti cepat.

Somad tak bisa berbuat apa-apa, dia hanya bisa menatap sendu ke arah putrinya.

Dia meras bersalah pada sang putri.

"Kalian bisa melunasi hutang kalian dengan memberikan gadis cantik ini, tapi kalian tidak boleh lagi bertemu dengannya. Jika, kalian memberikan gadis ini padaku maka kalian harus bisa menganggap gadis cantik ini sudah tiada," ujar Tuan Adhitama.

Dia tertarik pada Ayunda, dan ingin membawa Ayunda, tapi dia tidak mau gadis cantik itu berurusan lagi dengan kedua orang tua yang tidak punya hati itu.

"Baiklah, mulai hari ini kami akan mengganggap Ayunda sudah tiada," ujar Siti dengan senang hati.

Dia merasa tidak ada lagi beban hidup yang harus dipikirkannya. Dia tidak perlu lagi berbagi penghasilan suaminya demi uang saku dan biaya sekolah anak tirinya itu.

Somad hanya diam, sedangkan Ayunda sejak tadi hanya menatap pada ayahnya, dia berharap ayahnya mencegah niat jahat ibu tirinya.

Hati Ayunda terluka melihat ayahnya tak bisa berbuat apa-apa.

Dia benar-benar kecewa, hatinya hancur berkeping-keping.

Hanya buliran bening yang jatuh ke pipinya, sebagai tanda kesedihan yang dirasakannya saat ini.

"Baiklah, jika begitu." Tuan Adhitama menoleh ke arah anak buahnya.

"Anton, siapkan surat perjanjiannya," perintah Tuan Adhitama.

Salah satu anak buah Tuan Adhitama pun mengangguk, lalu dia pun menaiki sepeda motor miliknya meninggalkan kediaman Pak Somad.

Tak menunggu lama Anton pun datang dengan membawa map di tangannya.

"Saya akan bawa gadis ini sekarang juga, Setelah kalian menandatangani surat perjanjian ini maka hubungan kalian dengan gadis cantik ini putus. Dan jangan pernah berharap untuk bertemu lagi dengan gadis cantik ini saat ini dia sudah menjadi milikku," ujar Tuan Adhitama tegas.

"Cepat tanda tangani surat ini," ujar Anton mendesak sepasang suami istri itu.

Siti bergegas menandatangani surat yang disodorkan Anton kepadanya, setelah itu dia pun meminta Somad untuk menandatangani surat perjanjian tersebut.

"Sudahlah, Pak. Saat ini yang paling penting adalah hutang kita lunas," ujar Siti membujuk suaminya agar mau menandatangani surat perjanjian tersebut.

Mau tak mau akhirnya Somad pun menandatangani surat perjanjian itu, dia tak bisa berbuat apa-apa lagi.

"Pak, begitu tega kamu menjual diriku. ternyata kamu sama saja dengan ibu, kalian berdua tak jauh berbeda, hiks," tangis Ayunda pecah.

"Waktu kecil ibu meninggalkan aku demi ikut dengan pria lain, sekarang bapak pun menjual diriku, hiks." Ayunda teru menangis.

Dia meluapkan apa yang kini dirasakannya.

"Baiklah, Pak. Mulai hari ini jangan pernah anggap aku ada, aku tak sudi menjadi putrimu lagi," ujar Ayunda.

"Ayo, ikut kami!" ujar Tuan Adhitama.

Bersambung...

Sebuah Rumah Mewah

Tuan Adhitama pun mengajak Anda masuk ke dalam mobil miliknya. Diikuti langkah dua orang pria bertubuh kekar itu.

Mau tak mau Ayunda terpaksa ikut naik ke dalam mobil itu, gadis belia itu meninggalkan desanya dengan uraian air mata.

"Ya Allah, tak satu pun dari orang tuaku yang menginginkan aku," gumam Ayunda di dalam hati.

Dia menahan perih kehidupan yang harus dijalaninya. Air matanya terus mengalir membasahi pipinya.

Tuan Adhitama yang duduk di samping supirnya melirik Ayunda dari kaca spion, dia merasa kasihan pada Ayunda.

"Sudahlah, jangan menangis lagi! Menangis pun kau tak ada gunanya, orang tuamu tidak pantas menjadi orang tua bagimu," ujar si pria yang bernama Anton pada Ayunda.

Ayunda menoleh pada Anton, dia tak percaya pria yang tadi sempat berkata kasar pada kedua orang tuanya bisa berbicara seperti itu.

Meskipun Ayunda berusaha untuk tidak menangis, tapi air matanya terus jatuh membasahi pipinya.

Saat ini gadis belia itu tidak tahu akan dibawa ke mana oleh para pria bersamanya.

Pikiran Ayunda kini telah melayang ke mana-mana. Dia berpikir pria tua itu akan menjualnya pada germo dan disuruh untuk menjual diri.

Bahkan Ayunda juga berpikir, pria tua itu akan menjual semua organ tubuhnya, dan pria tua itu akan kaya raya dengan hasil penjualan organ tubuhnya.

7 jam perjalanan mereka pun sampai di kota Padang.

Mobil itu berhenti di depan sebuah rumah megah dengan ornamen klasik menandakan rumah itu milik orang berada dan terpandang di kota itu.

"Hei, bangun!" ujar si Anton pada Ayunda sambil mengguncang tubuh gadis itu.

"Mhm," gumam Ayunda berusaha keras untuk membuka matanya.

Dia merasa kelopak matinya seperti ada lem di sanna karena sejak tadi dia menangis dan membuat kepalanya terasa pusing.

"Bangun! Kita sudah sampai," ujar Anton dengan nada tinggi.

"Hah?" Ayunda mengangkat paksa kepalanya yang masih pusing.

Ayunda mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya, dia tak percaya kini telah berada di depan rumah megah dan mewah.

"Ayo, turun!" bentak Anton kesal karena Ayunda masih saja celingak-celinguk tak menentu.

Ayunda yang masih mengenakan seragam sekolah itu turun dari mobil.

Dia memperhatikan rumah besar itu, dia menatap rumah itu dengan tatapan kagum.

Seumur hidupnya baru kali ini dia melihat rumah megah dan mewah berada di depan matanya.

"Ayo, masuk! Tuan Adhitama sudah menunggumu di dalam," ujar Anton lagi.

Anton melangkah masuk ke dalam rumah, Ayunda mengikuti pria bertubuh kekar itu dari belakang.

Mata Ayunda menatap kagum pada setiap sudut rumah besar yang ada di hadapannya saat ini.

"Wah, rumah ini benar-benar besar dan mewah sekali, pasti pemilik Rumah ini orang yang kaya dan kekayaannya tidak akan habis tujuh turunan," gumam Ayunda di dalam hati.

"Anton!" panggil Tuan Adhitama.

Pria tua itu kini sedang duduk di sebuah sofa yang ada di tengah-tengah ruangan di rumah itu.

Anton langsung menghampiri Tuan Aditama lalu menundukkan kepalanya tepat di hadapan pria tua itu.

"Antarkan gadis itu ke kamar yang ada di lantai 2, lalu sediakan segala kebutuhannya sore ini juga," perintah si pria tua pada bawahannya.

"Baik, Tuan," sahut Anton.

Anton pun menghampiri Ayunda.

"Mari, Nona. ikuti saya," ujar Anton pada Ayunda.

Anton pun melangkah menaiki anak tangga menuju lantai 2 rumah megah itu.

Ayunda hanya bisa mengikuti langkah pria yang ada di hadapannya kini.

Dia tidak tahu kemana pria itu akan membawanya.

"Silakan masuk, Nona. Sekarang ini adalah kamarmu," ujar Anton pada Ayunda.

Ayunda membulatkan kedua bola matanya melihat apa yang kini berada di hadapannya.

Dia tidak menyangka akan memiliki sebuah kamar yang luas melebihi luas rumah yang dimiliki oleh kedua orang tuanya di desa.

"I-ini kamarku?" tanya Ayunda tak percaya.

"Iya, Tuan Adhitama menyuruhmu tinggal di kamar ini," ujar Anton lagi.

Ayunda menatap setiap sudut kamar yang ada di hadapannya saat ini, di dalam kamar itu terdapat tempat tidur berukuran besar dengan kasur yang sangat empuk yang ada tepat di tengah-tengah ruangan itu.

Tak lupa di bagian kanan kamar itu terdapat sofa yang menghadap ke sebuah TV besar.

Di dalam kamar itu juga terdapat kamar mandi.

"Beristirahatlah terlebih dahulu saya akan menyiapkan segala kebutuhan untuk Nona," ujar Anton sebelum dia keluar dari kamar itu.

Anton meninggalkan Ayunda seorang diri di kamar yang luas itu.

"Ya Allah, Apakah aku saat ini tengah bermimpi bisa berada di rumah mewah seperti ini," gumam Ayunda di dalam hati.

Ayunda pun menghentaskan tubuhnya di atas tempat tidur yang sangat empuk, dia tidak bisa membayangkan harga tempat tidur yang saat ini di tempatinya.

"Sampai kapan aku akan tinggal di rumah ini?" lirih Ayunda.

Ayunda mulai memikirkan apa yang akan terjadi padanya untuk hari esok. Dia mulai membayangkan hal-hal negatif yang akan terjadi pada dirinya.

Lagi-lagi buliran bening kini mulai jatuh membasahi pipinya. Dia kembali mengingat perlakuan dari kedua orang tuanya.

Tok tok tok.

Tak berapa lama Anton meninggalkan kamar itu, seseorang mengetuk pintu kamar.

Ayunda mengusap air matanya, Dia turun dari tempat tidur lalu melangkah menuju pintu kamar dan dia pun membuka pintu tersebut.

"Maaf, Nona. Saya mengganggu," ujar seorang pelayan wanita saat Ayunda membukakan pintu kamar untuknya.

"Eh, iya." Ayunda tersenyum pada wanita itu.

Wanita yang kira-kira umurnya hampir sama dengan ibu tiri Ayunda.

"Nona, saya disuruh Tuan Aditama untuk membawakan segala keperluan yang Nona butuhkan," ujar wanita itu lalu membawa beberapa paper bag yang ada di tangannya masuk ke dalam kamar tersebut.

Ayunda hanya diam lalu terus memandangi apa yang dilakukan oleh wanita tersebut.

Wanita itu terlihat sedang menyusun beberapa pakaian di dalam lemari.

"Nona, pakaian Nona sudah saya susun di dalam lemari, Nona bisa memakai yang mana yang Nona inginkan," ujar si pelayan setelah menyelesaikan tugasnya.

Ayunda menautkan kedua alisnya, dia heran melihat sikap pelayan itu terhadap dirinya yang hanya seorang gadis desa.

Dia diperlakukan baik oleh wanita tersebut.

"Te-terima ka-kasih," ucap Ayunda gugup.

"Jika Nona membutuhkan bantuan saya Nona bisa menggunakan telepon yang ada di samping tempat tidur dengan menekan angka 1," pesan si pelayan sebelum keluar dari kamar.

Pelayan itu melakukan apa yang telah diperintahkan oleh Tuan Adhitama kepadanya.

"Mhm, Bu." Ayunda menahan tangan si pelayan itu yang hendak keluar dari kamar tersebut.

Pelayan itu pun membalikkan tubuhnya lalu menatap tersenyum kepada Ayunda.

"Bu, saya harus panggi ibu apa?" tanya Ayunda.

"Terserah, Nona. Nama saya Nur Jannah, Nona bisa memanggil saya dengan No Nur, atau Bu Nur," jawab wanita itu.

Bersambung...

Pria Tampan.

Ayunda tersenyum.

"Terima kasih, Bu Nur," ucap Ayunda.

Setelah itu Bi Nur keluar dari kamar itu, dia meninggalkan Ayunda yang mulai merasa nyaman setelah bertemu dengan Bi Nur.

Gadis itu pun melangkah menghampiri lemari, dia membulatkan kedua matanya saat tahu pakaian yang ada di lemari itu merupakan barang-barang yang mahal.

Dia ragu untuk memakai pakaian tersebut, tapi dia juga tidak memiliki pilihan lain.

Mau tak mau dia harus mengenakan pakaian yang tersedia di lemari itu.

Ayunda memilih satu stel piyama berwarna biru muda. Lalu dia pun membawa piyama itu masuk ke dalam kamar mandi.

Ayunda memutar bola matanya takjub melihat kamar mandi yang luas.

Saat masuk ke dalam kamar mandi, Ayunda telah dihadapkan dengan sebuah westafel mewah seperti hotel-hotel yang pernah dilihat Ayunda di drama Korea yang pernah ditontonnya di ponsel temannya.

Setelah itu, Ayunda juga melihat shower beserta bathtub mewah,. pikiran Ayunda kini membayangkan artis Korea yang digemarinya tengah berendam di bathtub tersebut.

"Wah, apakah aku tengah bermimpi? Aku berasa di surga dunia," gumam Ayunda takjub.

Biasanya dia harus mandi di kali kecil yang jaraknya jauh dari rumahnya. Pergi mandi ke kali untuk menyegarkan tubuh, sampai di rumah pun kembali berkeringat.

Ayunda langsung masuk ke dalam bathtub, dia menyalakan air keran untuk mengisi bathub tersebut.

Dia mengambil sabun yang sudah tersedia di kamar mandi itu, dia pun melakukan hal yang sama seperti artis Korea yang pernah ditontonnya itu.

Ayunda merasa senang dengan apa yang kini dilakukannya, seketika dia melupakan apa yang telah membuat hatinya sedih.

"Ayun, nikmati saja harimu yang ada di hadapanmu saat ini, tidak usah pikirkan apa yang akan terjadi esok hari," gumam Ayunda di dalam hati sambil mengusapkan busa sabun ke tubuhnya.

Tanpa disadarinya, hampir satu jam dia berada di dalam kamar mandi. Dia begitu menikmati kehidupan mewah yang ada di hadapannya saat ini.

Tok tok tok.

Terdengar seseorang mengetuk pintu kamar mandi.

"Nona, Apakah anda sedang di dalam kamar mandi?" tanya Bi Nur.

Wanita itu takut Ayunda kabur, karena dia tidak mendapati Ayunda berada di dalam kamar saat masuk ke dalam kamar itu.

Meskipun gadis itu tidak bisa keluar dari rumah tersebut, bi Nur tetap takut karena dialah saat ini yang bertanggung jawab untuk menjaga dan memperhatikan segala kebutuhan Ayunda.

"Nona!" panggil bi Nur lagi.

"Eh iya, Buk," seru Ayunda menanggapi ucapan Bi Nur.

Bi Nur menghela nafas panjang, rasa paniknya hilang seketika.

"Apakah Nona masih lama?" tanya Bi Nur.

"Tidak, Buk. Aku sebentar lagi selesai," seru Ayunda dari dalam kamar mandi.

"Baiklah, Ibuk akan menunggumu di sini," seru Bi Nur dari luar kamar mandi.

tak berapa lama menunggu, Ayunda keluar dari kamar mandi dengan menggunakan piyama berwarna biru muda, dia melilitkan handuk di kepalanya agar tetesan air di rambutnya tidak membasahi lantai.

"Kamu sudah mandi?" tanya Bi Nur sekadar berbasa-basi.

"Iya, Bu. Aku sudah mandi, kamar mandinya begitu luas aku merasa senang mandi di kamar mandi ini. Kalau di Desa aku harus mandi di kali, apalagi kalinya sangat jauh dari rumah." Ayunda bercerita begitu saja kepada wanita yang hampir seumuran dengan ibunya.

Bi Nur tersenyum mendengarkan kisah yang diceritakan oleh gadis desa yang ada di hadapannya saat ini.

"Semoga setelah ini nasib kamu menjadi lebih baik," gumam bi Nur di dalam hati sambil tersenyum menatap wajah ceria gadis desa itu.

Bi Nur juga merasakan apa yang dirasakan oleh Ayunda semasa dia muda. saat ini dia bersyukur bisa bekerja di kediaman Tuan Adhitama.

Kehidupannya berubah drastis Setelah dia bekerja di rumah tuan Adhitama, bahkan saat ini dia sudah bisa merenovasi rumah milik orang tuanya yang juga ada di desa.

"Nona, bersiaplah untuk turun ke lantai 1 karena tuan Aditama sudah menunggumu di sana," ujar Bi Nur memberitahukan apa yang harus dilakukan oleh Ayunda saat ini.

"Baiklah, Buk," sahut Ayunda.

Ayunda pun langsung mencari sisir yang ada di meja rias. Dia mengikat rambutnya yang masih basah dengan ikat rambut miliknya yang sudah terlihat lusuh.

"Nona, nanti turunlah ke lantai 1 dan langsung menuju ruang makan. Tuan Adhitama sudah menunggumu di sana," ujar Bi Nur sebelum dia keluar dari kamar itu.

Ayunda mengangguk, dia kembali melanjutkan kegiatannya.

setelah selesai menyisir rambutnya, gadis desa itu melangkah keluar dari kamar.

Dia menuruni satu persatu anak tangga sambil menatap kagum ke sekeliling rumah megah itu.

Tanpa disadarinya, dia menabrak seseorang yang sedang menaiki anak tangga.

Dia hampir saja terjatuh dari tangga, beruntung pria yang ditabraknya itu menarik tangannya lalu mendekapnya sehingga dia pun tidak jadi terjatuh.

Perlahan Ayunda mengangkat wajahnya, saat itu dia melihat wajah tampan seorang pria yang berusia sekitar 30 tahunan.

"Maaf, Om," lirih Ayunda merasa bersalah.

Pria tampan itu menautkan kedua alisnya, dia heran melihat sosok seorang gadis belia berada di dalam rumah milik ayahnya.

"Siapa wanita ini? Apa yang dilakukannya di rumah ini?" gumam sang pria tampan yang kini masih saja mendekap tubuh mungil sang gadis desa.

"Kalau jalan itu hati-hati, jangan celingak-celinguk sana-sini," bentak si pria tampan.

"Maafkan aku," lirih Ayunda dengan hati kesal.

Ayunda berusaha melepaskan diri dari dekapan si pria tampan itu.

Lalu dia melangkah meninggalkan pria tampan yang masih saja sewot padanya.

Rakha menggelengkan kepalanya, saat hatinya bertanya-tanya akan keberadaan si wanita, dia juga merasa kesal karena kecerobohan wanita yang baru saja menabrak dirinya.

"Masih ada orang yang ceroboh di dunia ini," gumam Rakha.

Setelah itu Rakha pun melangkah menuju kamarnya, dia tidak mau mengambil pusing keberadaan gadis yang baru saja ditemuinya.

Ayunda baru saja masuk ke ruang makan, dia mendapati Tuan Adhitama tengah duduk di bangku kepala keluarga.

Sebagai tuan rumah di rumah itu, dialah yang paling berkuasa.

Dengan langkah takut, Ayunda mendekati tuan Adhitama.

"Duduklah," ujar tuan Adhitama tanpa melihat ke arah Ayunda.

Ayunda pun duduk di kursi yang ada tepat di samping tuan Adhitama.

Jantung Ayunda berdetak dengan kencang, saat ini dia sangat takut apa yang akan terjadi pada dirinya.

"Bi, ambilkan makanan untuknya," perintah tuan Adhitama kepada bi Nur.

Wanita paruh baya itu bergegas menghidangkan makanan untuk si gadis desa.

Mata Ayunda terbelalak melihat makanan lezat yang ada di hadapannya saat ini. Perutnya yang memang sejak tadi sudah terasa lapar semakin menjadi lapar.

Tuan Aditama membiarkannya menikmati makanan yang telah terhidang.

Ayunda menyantap makanan itu dengan lahap, bertahun-tahun dia tidak merasakan makanan lezat seperti yang kini ada di hadapannya.

Bi Nur menatap iba kepada gadis desa itu, wanita paruh baya itu membayangkan betapa sulitnya kehidupan si gadis saat berada di desanya.

Seketika Ayunda melupakan keberadaan Tuan Adhitama di sampingnya.

"Aaaaaaaa." Ayunda bersendawa di hadapan tuan Adhitama.

Seketika dia menutup mulutnya, wajahnya berubah menjadi merah karena malu.

"Mhm," gumam tuan Adhitama saat Ayunda telah menghabiskan makanan yang ada di hadapannya tadi.

Tuan Adhitama memaklumi apa yang baru saja dilakukan oleh Ayunda.

Ayunda pun perlahan melirik ke arah tuan Adhitama.

"Siapa namamu?" tanya tuan Adhitama.

"Na-namaku, A-ayunda Ra-rahayu," jawab Ayunda terbata-bata.

"Aku sudah membelimu, maka mulai hari ini hidup dan matimu ada di tangan ku," ujar tuan Adhitama tegas.

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!