“Jadi, berapa lama lagi kamu akan beralasan, Dirham?” tanya seorang pria bertubuh kekar dengan jas hitam yang menutup otot-ototnya.
Dirham hanya bisa duduk dengan keringat dingin di kursinya. Siapa yang tidak takut jika seorang penagih hutang yang dikirim, memiliki tubuh berotot dan memiliki senjata yang siap meledakkan kepalanya. Keringat pun membasahi wajahnya yang kini tampak pucat. Dirham sudah tidak bisa berkata lagi, hanya nyali yang kini dimilikinya untuk membuat alasan lagi.
“Se-segera, katakan pada Tuan Rafael untuk memberikan waktu padaku.”
“Tidak perlu, Dirham.” Suara itu berhasil membuat setengah nyawa Dirham hampir terlepas dari tubuhnya.
Seorang pria yang memiliki tubuh tegap dan sehat melangkah masuk dengan menghisap cerutu. Pria berambut hitam itu berdiri di belakang pria berbadan tinggi dan berotot yang kini meraih tubuh Dirham agar bisa berbicara langsung dengan sang Tuan.
Dirham terlihat menelan ludahnya beberapa kali saat sosok tua itu tersenyum dan menatapnya tanpa merasa kasihan.
Pundak Dirham ditekan dengan kuat hingga terduduk di lantai. Matanya bergetar seakan kematian kini ada di hadapannya. Dengan kikuk Driham mulai menggerakkan bibirnya kembali, “Tu-tuan Laos, maafkan aku. Sungguh bukan maksud untuk membohongimu, tapi … kenyataannya perusahaanku baru saja mendapatkan tender dan belum mendapat bayaran dari orang-orang itu. Bisakah Anda berbelas kasih memberikan waktu padaku?”
Asap disembulkan tepat di wajah Dirham hingga membuatnya terbatuk.
“Kamu pikir aku tidak tahu apa yang sedang terjadi pada perusahaan ini? Apa kamu mau aku membawa mereka yang bekerja sama denganmu kemari?” Laos berhasil membuat Dirham tak berkutik.
Berbagai cara muncul di kepala Dirham, semua membuatnya semakin tidak bisa berpikir dengan baik.
Laos berjalan ke kursi milik Dirham, duduk di sana dengan memainkan asap dari cerutu yang dihisapnya. Laos melihat ada foto keluarga di sana, ada tiga anak perempuan yang dimiliki Dirham dan sebuah ide pun muncul di kepala pria itu.
“Dirham, kamu memiliki putri yang cantik. Bagaimana jika kamu kirim salah satu dari mereka untuk menikahi cucu dari ayah mertuaku?”
Deg …
Dirham menatap foto keluarga yang ada di meja kerjanya. Ternyata Laos sudah memegang bingkai foto itu dengan sesekali memainkan bingkai tersebut.
Dirham ingat sekali siapa cucu yang dimaksud oleh Laos. Berita tentang kondisi terakhir cucu kesayangan Rafael muncul dan membuat pria itu semakin berhati-hati dengan siapa pun. Dirham tampak berpikir, siapa yang harus dikirim?
“Kamu tidak perlu menjawabnya sekarang. Aku berikan waktu sampai dua hari ke depan. Orang-orangku akan datang ke rumahmu secara langsung. Mereka yang akan menjemput putrimu saat kamu setuju dan mereka akan menghabisimu, jika kamu menolak.”
Laos berdiri lalu melangkah ke luar dari ruangan itu, diikuti oleh para pengawalnya, pria itu pun menghilang dari balik pintu ruang kerja Dirham.
Persaingan bisnis di negara itu memang terbilang sangat kejam. Siapa yang bertahan akan memiliki pamor untuk bisa sukses, tetapi sebaliknya untuk mereka yang tidak dapat bertahan.
***
Dirham kembali ke rumahnya dengan wajah kusut dan penampilan yang cukup mengerikan. Pria itu baru saja menghilangkan pikirannya tentang hutang dengan minum di sebuah kelab malam.
Berharap mendapat sambutan hangat dari istrinya—Marissa—Dirham justru mendengar caci maki. Marissa memang cukup berani untuk berkata-kata pada suaminya itu, apalagi kondisi keuangan mereka sedang dalam kondisi tidak stabil.
“Apa ini? Kenapa tubuhmu mengeluarkan aroma alkohol yang pekat?” tanya Marissa sembari mengendus tubuh suaminya.
“Tahu apa kamu tentang alkohol? Kamu tidak tahu apa yang aku alami hari ini, bukan?”
“Apa? Apa seseorang menagih hutang?”
“Benar sekali, kamu sangat pandai, Sayang. Aku tidak menyangka, hari ini adalah saatnya aku mengembalikan uang yang dipinjamkan oleh FX Group. Apa kamu punya uang? Bisakah kamu pinjamkan padaku dahulu?”
“Jangan gila! Mana mungkin aku memiliki uang sebanyak itu? Hutangmu jutaan dolar, Dirham!”
“Hahaha, bukankah kamu juga menggunakannya? Kenapa hanya aku yang mengembalikannya, hum?”
Tepat setelah mengatakan kalimat itu, tubuh Dirham terhuyung dan terbaring di ranjang dengan posisi menelungkup. Mariss yang kesal mengubah posisi tidur suaminya dengan kasar.
Keesokan paginya, Dirham tampak memijat kepalanya yang terasa pusing. Akibat minum sebotol wine, Dirham mabuk dan pulang dengan keadaan setengah sadar.
Matanya mengedar di seluruh ruangan kamar, dia tidak menemukan istrinya di sana. Lalu, pandangannya kini mengarah pada jam yang ada di atas nakas.
“Akh! Ternyata sudah siang, aku harus ke kantor.”
Dirham beranjak dan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Saat itu, di lantai dasar rumah milik Dirham. Marissa sedang membaca majalahnya, sebuah bacaan fashion dan berita tentang seputar brand terbaru membuatnya ingin memiliki apa yang ada di majalah itu.
“Ini sangat bagus, pasti mahal. Aku harus memilikinya,” ucap Marissa sembari menunjuk pada sebuah gambar tas dengan brand ternama.
“Sayang, apa semalam aku mengatakan sesuatu?” tanya Dirham yang kini telah siap untuk pergi ke kantornya.
Marissa melirik tajam pada suaminya itu, diletakkannya majalah di meja. Tangannya kini bersedekap seakan ingin mengeluarkan seluruh isi hatinya dengan mengomel.
“Kamu mengatakan FX Group meminta hak mereka.”
“Ah, benar. Tuan Laos datang ke kantor dan memintaku mengembalikan uang yang kita pinjam.”
“Lalu? kamu ingin aku yang membayarnya?”
“Tidak, Sayang. Tapi … Tuan Laos memberi keringanan pada kita.”
“Benarkah? Keringanan apa?”
“Dia meminta salah satu putri kita untuk menikah dengan keponakannya—Raiden.”
“Ra-raiden? Bukankah dia pria yang kini menjadi cacat?”
“Bukan cacat, Sayang. Dia mengalami kondisi vegetatif.”
“Terserah kamu menyebut apa? Jadi, siapa yang akan kamu kirim untuk menikah dengan pria itu? Tunggu! Aku tidak menyarankan putriku untuk datang ke rumah tua bangka itu dan menikahi cucunya.”
“Itulah, siapa yang bisa ke sana?”
Keduanya tampak berpikir keras, tetapi tidak lama kemudian, wajah Marissa berubah. Wanita itu tahu siapa yang bisa melakukannya.
“Sayang, bagaimana dengan Abigail? Bukankah dia sudah dewasa dan bisa menikah dengan siapa pun?”
Dirham tersenyum dan membenarkan apa yang dikatakan istrinya. Hanya saja, Abigail tidak ada di sana saat ini, dan seseorang harus menghubunginya agar wanita itu kembali.
“Aku akan menghubunginya agar dia segera kembali dari Los Angeles. Baiklah, aku hanya perlu mengatakannya pada Tuan Laos. Setelah itu, kita bisa terbebas dari hutang yang begitu banyak.”
“Benar sekali.”
Keduanya tertawa mendapatkan jalan keluar dari masalah yang sedang Dirham hadapi. Hanya saja, di tempat lain, seseorang tidak tahu akan menjadi korban dari semua ini.
Abigail adalah anak dari istri pertama Dirham yang meninggal. Dalam keluarga itu, dia memang tidak terlalu disukai bahkan oleh Marissa juga dua saudara tirinya.
“Halo, Sayang. Bisakah kamu kembali ke rumah secepatnya? Ada yang perlu Papa sampaikan padamu, Abigail.”
“Baiklah, aku segera kembali, Papa.”
Sebuah tiket didapatkan Abigail dengan bantuan dari seorang teman. Kini, Abigail sedang duduk di ruang tunggu sembari membaca buku. Tiba-tiba saja ponsel di sakunya berdering. Dia bisa melihat nama Dirham di sana, hingga tidak membutuhkan waktu lama untuk segera menjawab panggilan.
“Ada apa, Papa?” tanya Abigail sembari menatap papan bertuliskan gate.
“Kapan kamu kembali?”
“Aku sedang di bandara. Dalam beberapa jam aku sampai di sana.”
“Bagus sekali, Papa tunggu kedatanganmu, Abigail.”
“Ada apa sebenarnya? Kenapa Papa menyuruhku segera kembali ke rumah?”
“Nanti saja, ada kejutan untukmu.”
“Benarkah? Baiklah, aku segera sampai di Kolombia, Papa.”
Wanita berambut cokelat dengan blazer hitam itu mengakhiri panggilan dengan tersenyum bahagia. Tidak biasanya sang ayah memberikan kejutan, tetapi … apa yang akan diberikan Dirham membuatnya bertanya-tanya.
“Hem, apa aku akan mendapatkan rumah pribadi? Atau … aku akan mendapatkan kendaraan? Kenapa aku merasa sesuatu akan terjadi di sana?” gumam Abigail sembari merapikan barang dan memasukkannya ke tas.
Pesawat yang ditumpangi Abigail siap lepas landas, membuatnya semakin tidak sabar untuk segera sampai di rumah orang tuanya.
***
Di rumah Dirham,
Marissa sedang bersantai dengan kedua anaknya. Mereka bahkan tidak merasa kesulitan dengan masalah yang dihadapi Dirham saat ini.
“Mama, apa itu benar? Apakah Abigail akan menikahi pria cacat?” Klarisa bertanya setelah mendengar kabar tentang pernikahan yang diinginkan oleh FX Group.
“Benar, Sayang. Setelah ini, tidak aka nada lagi yang membuat posisi kalian terancam. Abigail sebentar lagi ke luar dari rumah ini dan menjadi istri pria cacat. Sungguh malang, tetapi dia pasti menerima semua dengan baik,” jelas Marissa pada anaknya.
Dari pintu masuk, Dirham berjalan dengan melonggarkan dasinya. Melihat istrinya hanya duduk, Dirham pun mengajukan protes.
“Aku datang dengan kelelahan setelah bekerja, apa kamu tidak ingin menyambutku?”
“Ayolah, jangan membuat suasana menjadi canggung. Mereka baru saja mendapatkan waktu untuk bersantai,” jawab Marissa dengan menunjuk pada kedua anaknya yang kini menikmati waktu.
“Baiklah, malam ini kita makan malam di luar bersama Abigail.”
“Untuk menyambutnya saja perlu makan malam di luar? Kamu jangan menghabiskan uang dengan hal tidak berguna seperti ini.” Marissa protes karena tidak ingin membuat pengeluaran itu ditujukan pada Abigail.
“Sayang, sebentar lagi Abigail akan menikah dengan cucu dari Tuan Rafael. Bersikaplah dengan baik karena sebentar lagi, dia yang akan membantu kita keluar dari masalah ini.”
Setelah mengucapkan kalimatnya, Dirham melanjutkan langkah menuju kamar tanpa menyapa kedua anaknya yang lain.
Setelah kepergian Dirham, sosok yang baru saja mereka bicarakan pun datang. Dengan menarik tas kopernya, Abigail menyapa Marissa dan kedua adik tirinya.
“Cepat sekali kamu datang?” ucap Marissa dengan melirik dari ekor mata.
“Iya, kebetulan aku mendapatkan jadwal pagi, meski ada sedikit kendala tapi akhirnya aku bisa sampai dengan selamat,” ujar Abigail tanpa mengubah raut wajahnya.
Pandangan mata Abigail mengedar, seperti mencari seseorang di sana. “Apa Papa ada di rumah?” tanyanya.
Sebelum Marissa menjawab, suara Dirham membuat Abigail tersenyum lebar dan berhamburan menghampirinya.
“Papa, mana kejutan yang akan aku dapatkan?”
“Tunggu. Sebaiknya kamu segera membersihkan diri, kita akan makan malam bersama di luar.”
“Benarkah? Baiklah, aku akan segera bersiap.”
Abigail berjalan ke kamarnya dengan perasaan bahagia.
Dirham menatap Marissa dan menyuruhnya untuk bersiap. Begitu juga dengan Klarisa, dan Sintia.
Jam menunjukkan pukul enam, semua orang berkumpul di ruang tamu untuk pergi makan malam di restoran yang sudah dipesan Dirham.
Namun, sebelum mereka berangkat, Dirham mendapat telepon dari Laos.
“Bagaimana?” tanya Laos dari seberang sana.
“Aku sedang membujuk anakku, Tuan. Tenang saja, dia pasti mau melakukannya.”
“Bagus, aku tunggu sampai besok.”
Panggilan selesai, tetapi di depannya saat ini sudah ada Abigail yang berdiri dengan bertanya, “Siapa, Pa? kenapa wajah Papa pucat seperti itu?”
“Ti-tidak, bukan siapa-siapa.”
Abigail hanya mengangguk dan mereka pun berangkat menggunakan mobil yang dikendarai oleh Dirham sendiri.
Sampai di restoran, makan malam berjalan dengan lancar. Tidak ada kecurigaan yang muncul di sana. Bahkan, Abigail sangat menikmati waktunya bersama keluarga itu. Meski selama ini Abigail menjadi bahan siksaan batin oleh Marissa, tetapi tidak sekalipun dia mengatakan benci pada ibu tirinya.
“Papa, apa aku bisa mendapatkan kejutanku sekarang?” tanya Abigail membukan keheningan di sana.
Dirham menelan makanan terakhirnya, lalu mulai mengatur napas agar tidak salah dalam berbicara.
“Begini, Abigail. Papa sudah memutuskannya, kamu akan menikah dengan cucu dari pemilik FX Group. Namanya Raiden, pria tampan dan mapan.”
Mendengar kejutan itu, Abigail tidak berkata-kata lagi. Wajahnya menunjukkan tanda tanya besar pada sang ayah.
“Ta-tapi, Pa. Abigail masih kuliah dan … tidak mungkin menikah.”
“Apa yang tidak mungkin? Kamu bisa saja membicarakan jadwal itu dengan suamimu kelak. Kamu bisa minta padanya untuk mengembalikanmu ke universitas,” sahut Marissa dengan wajah mengintimidasi.
Abigail terdiam sejenak, kejadian mala mini sungguh membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Dia meminta waktu untuk menjawab, tetapi Dirham menjelaskan tidak ada waktu untuk menunggu jawaban.
“Setuju atau tidak, kamu tetap akan menikah.”
Dirham beranjak dari kursinya dan berjalan keluar restoran bersama istri dan kedua anaknya yang lain.
Abigail terdiam sejenak untuk mencerna apa yang dikatakan Dirham. Hingga akhirnya, dia beranjak dan mengikuti langkah Sintia dan Klarisa.
Kembali ke rumah, tanpa adanya pertanyaan lagi, Abigail mendekati Dirham dan berkata, “Papa, aku tidak mau menikah.”
Setelah itu langkahnya begitu yakin untuk masuk dalam kamar. Bahkan, Abigail tidak peduli dengan umpatan yang diucapkan Dirham setelah kepergiannya.
Keesokan harinya, Dirham berharap Abigail mengubah pilihannya. Dia tidak ingin menjadi korban selanjutnya, sebab beberapa kali dia mendengar bahwa Rafael tidak segan-segan untuk mengakhiri orang yang memiliki hutang.
“Abigail, dengarkan Papa.”
“Tidak mau! Sudah aku katakan, aku menolak untuk dijodohkan!”
Brak!
Terdengar suara pintu yang terbuka dengan paksa. Sosok pria yang beberapa hari lalu datang ke kantornya pun muncul di sana. Dirham menelan ludahnya dengan kasar, seakan bersiap untuk akhir dari hidupnya.
“Tuan Dirham, seseorang menunggu jawaban darimu,” ucapnya dengan tersenyum miring.
Abigail berjalan maju dan mengomel di depan pria itu. Dirham buru-buru menarik tangan anaknya agar tidak mendapat pukulan seperti yang diterima sebelumnya.
“Abigail, menjauh dari pria itu! kamu tidak tahu siapa dia.”
Bugh!
Satu pukulan mendarat di wajah Dirham membuat Abigail berteriak karena terkejut.
“Papa!”
“Abigail, mundur! Tuan, tunggu sebentar, aku belum sempat menjelaskan pada anakku ini.”
“Tuan Laos sudah menunggu dan memberikan waktu beberapa hari ini.”
Sayangnya, belum sempat Dirham menjelaskan pada Abigail, sebuah tinju kembali didapatkannya hingga tubuh Dirham tersungkur.
Tidak sampai di sana, pria bertubuh besar itu kembali menyerang dengan menendang perutnya hingga Dirham terbatuk. Abigail hanya bisa menangis melihat siksaan yang didapatkan sang ayah. Sedangkan Marissa memeluk kedua putrinya dengan tubuh bergetar karena takut.
“Uhuk! Uhuk!” Dirham memuntahkan darah dari mulutnya.
Wajah pria itu lebam dan beberapa bagian luka mengeluarkan darah segar. Saat sebuah senjata di arahkan pada Dirham, Abigail menjadikan tubuhnya sebagai tameng.
“Tidak! Uhuk! Tuan, biarkan aku menjelaskannya dulu.”
Akhirnya Dirham pun menjelaskan pada Abigail tentang hutangnya dan permintaan pernikahan. Abigail menangis mendengar berita itu dan mengiyakan pernikahan untuk melindungi keluarganya.
“Papa, jika keputusan ini bisa menyelamatkanmu, baiklah, aku bersedia.”
“Tuan, anakku setuju.”
Kesepakatan dibuat, Abigail pun bersedia menikahi Raiden—cucu pemilik FX Group. Pernikahan diadakan dengan sederhana, ini dilakukan untuk menghindari media yang bisa saja membuat berita tidak sedap tentang Keluarga Rafael.
Setelah melakukan prosesi pemberkatan, Abigail pun dibawa ke rumah megah milik Rafael. Tidak hanya Raiden dan Rafael yang menghuni rumah mewah itu. Tentu saja di sana juga tinggal anak kedua Rafael yang bernama Yudith dan suaminya Laos.
Awalnya, Abigail merasa takut untuk masuk dalam rumah yang memiliki suasana baru untuknya. Abigail mencoba membuat dirinya tetap tenang meski banyak tatapan tajam mengarah padanya saat melangkah masuk.
Rafael yang terlihat kejam justru menyambut kedatangan Abigail dengan ramah. Seakan Abigail adalah cucunya sendiri. Sikap itu membuat Abigail bertanya-tanya tentang Rafael karena berita di luar tidak sepenuhnya benar.
“Masuklah, Abigail! Raiden sudah menunggu di atas,” ucap Rafael menunjuk pada anak tangga menuju lantai dua rumah itu.
Di sisi kanan Rafael ada Yudith yang terlihat jelas tidak menyukainya. Wanita itu memperlihatkan sikap dingin dan kaku saat Abigail memperkenalkan diri untuk pertama kalinya.
“Sa-saya Abigail, uhm—“ Ucapan Abigail terhenti saat Rafael menyahut.
“Yudith! Berikan sikap terbaikmu untuk Abigail, jangan membuatnya takut.”
“Ayolah, Papa. Dia bukan penanam saham di perusahaan kita, dan sikapku ini sangat wajar untuk wanita yang akan merawat dan menjaga Raiden.”
“Sudahlah, sebaiknya kamu ke atas, Abigail.”
Mendengar perintah dari Rafael membuat Abigail segera berjalan menuju anak tangga dengan menyeret tas kopernya. Namun, tidak ada satupun dari pelayan atau seseorang di sana yang membantu Abigail, seakan bukan orang penting dalam rumah itu.
Sampai di lantai dua rumah mewah tersebut, Abigail merasa bingung dengan keberadaan kamar Raiden. Akhirnya, dia memutuskan untuk berjalan kembali sembari melihat dari celah pintu terbuka tentang keberadaan kamar suaminya.
Saat Abigail melihat ada dua penjaga di depan kamar Raiden, dia pun berjalan mendekat dan bertanya pada mereka.
“Maaf, apa kalian tahu di mana kamar Tuan Raiden?”
“Nona, masuklah ke dalam. Tuan Raiden menunggu Anda.”
Sosok pria berjas hitam dan terlihat rapi itu membuka pintu. Di dalam sana terlihat sudah ada sosok pria yang baru saja menikah dengannya, pria tersebut hanya terbaring di atas ranjangnya tanpa adanya pergerakan.
“Uhm, di mana aku meletakkan barang-barangku?” tanya Abigail dengan sopan.
“Anda bisa meletakkannya di sana, itu adalah kamar berjalan yang bisa Anda gunakan bersama Tuan Raiden. Di sana tentu ada banyak barang-barang milik Tuan Raiden, jadi Anda tidak akan kesulitan untuk mendapatkan kebutuhan Tuan di kamar ini.”
“Terima kasih, aku akan meletakkan tas ini dulu di sana, lalu kembali kemari.”
Abigail berjalan melewati Raize—pengawal setia Raiden—untuk sampai di lemari berjalan yang ada di sudut kamar.
Setelah kembali, Raize menjelaskan pada Abigail tentang pekerjaan yang dilakukannya selama menjadi seorang istri. Tidak, lebih tepatnya pengurus pria yang tidak bergerak dari tempatnya.
“Di sini Anda hanya merawat dan menjaga Tuan Raiden saja. Memberikan semua yang dibutuhkan oleh Tuan. Setiap perkembangan, Anda harus mengatakannya padaku atau pada dokter yang biasa memeriksa Tuan Raiden.”
Mendengar penjelasan Raize, Abigail hanya mengangguk untuk menjawab. Dalam diri wanita itu merasa keberadaannya lebih tepat dianggap sebagai seorang pengasuh atau perawat daripada seorang istri dari pewaris utama FX Group.
Lihatlah dia, hanya tidur di atas ranjang. Matanya terbuka dan itu mengerikan untuk dilihat, batin Abigail.
Setelah mendengarkan penjelasan Raize, Abigail mulai melakukan tugasnya untuk membersihkan tubuh Raiden.
“Nona, Anda bisa menggunakan air hangat untuk membasuh tubuh Tuan Raiden. Siapkan beberapa peralatan di nakas itu jika dibutuhkan.”
“Baik, Tuan—“
“Panggil saja Raize, Nona. Saya pengawal kepercayaan di sini. Saya akan berjaga di depan kamar, satu lagi … kamar ini dilengkapi dengan kamera pengawas, setiap pergerakan Anda akan diawasi dari sana.”
“Aku mengerti, Raize.”
Setelah mendengarkan semua yang dijelaskan, Abigail memulai hari pertamanya sebagai seorang istri dengan merawat sang suami yang mengalami kondisi vegetatif.
“Menyebalkan, kenapa tidak langsung saja menyebutku dengan pengasuh atau perawat? Kenapa mereka harus menikahkan kita?” keluh Abigail sembari berdiri di depan Raiden.
Mata Abigail mengedar pada tubuh hingga wajah Raiden. Dia sedang mengamati pria yang terlihat tampan itu.
“Kamu tampan, sayang tidak ada yang merawatmu dengan baik. Hum, baiklah, aku akan melakukannya.”
Abigail meraih perlengkapan untuk membasuh kulit Raiden yang tampak kering karena ruangan itu terasa dingin. Tidak hanya itu, Abigail mencari keberadaan mereka menyimpan alat untuk mencukur bulu halus di sekitar wajah Raiden.
“Sebaiknya aku bertanya pada—“ Ucapan Abigail terhenti saat melihat sosok Yudith di pintu masuk kamar itu.
Yudith memanggil Abigail dan mengajaknya berbicara di luar.
“Aku harap kamu tahu posisimu di sini sebagai apa? Jangan pernah berharap lebih dari ini. Kamu hanyalah bayaran atas semua hutang ayahmu.”
“Sa-saya mengerti, Nyonya.”
“Bagus! Sekarang … sebaiknya kamu segera menyelesaikan tugasmu di sana, lalu temui aku di bawah.”
Yudith melanjutkan langkahnya menuju lantai dasar rumah itu.
“Apa-apaan ini? Kenapa dia sangat kejam padaku?” gumam Abigail yang kini kembali ke kamar Raiden.
Abigail mendekati Raiden, lalu mulai membersihkan tubuh suaminya dengan perlahan dan penuh kelembutan.
“Kulitmu sangat kering, aku yakin kamu sudah lama berada di kamar ini.”
Meski dalam keadaan yang tak bisa melakukan apa pun, Raiden bisa mendengar semua ucapan Abigail dan sentuhan yang dilakukannya.
Tanpa sadar, Abigail terkejut dengan lirikan mata Raiden yang tertuju padanya. Abigail tahu, pasti Raiden tidak akan menyukainya karena dia bukanlah wanita cantik dan kaya.
“Tuan, kenapa menatapku seperti itu? Aku sungguh melakukannya karena ayahku memiliki hutang yang begitu banyak pada keluargamu. Aku harap, setelah Anda sembuh dan sadar kembali, Anda bisa melepaskan aku, asal jangan membunuhku atau membuangku ke tengah hutan,” ucap Abigail.
Tiba-tiba saja Ekspresi Raiden seperti tidak menyukai sentuhan yang dilakukan Abigail. Hal itu membuat Abigail terkejut dan sedikit takut untuk kembali menyentuh Raiden.
“Tuan, apa Anda marah dengan sikapku ini? Tenang saja, Tuan. Aku tidak akan berani menyakiti Anda, bagaimanapun keluarga Anda sudah berbaik hati.”
Dari kamera pengawas, Raize bisa melihat apa yang dilakukan Abigail di dalam sana. Pria yang selalu menjaga Raiden itu merasa senang karena ada yang bersedia berada di samping Tuannya.
“Tuan Raiden, jangan bersikap seperti itu!” seru Abigail yang tiba-tiba saja mengeluarkan suara lebih keras.
Raize pun segera masuk dan bertanya apa yang terjadi di sana? Abigail hanya menjelaskan padanya mengenai kejutan yang didapatkannya dari tatapan mata Raiden.
Sialan! Kenapa aku harus berada di samping pria ini?, batin Abigail yang lagi-lagi merutuki nasibnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!