"Kapan kalian akan memiliki anak? Kalian sudah menikah selama 3 tahun. Mau sampai kapan kalian menundanya lagi Nathan? Apa kamu tidak kasihan terhadap Mama, Mama ini sudah semakin tua dan sangat ini menimang cucu dari kalian."
Ucapan ibunya itu selalu saja terngiang-ngiang di telinga Nathan Edward Collin, seorang pria tampan yang berusia 30 tahun. Ia merupakan Direktur dari Perusahaan AB Group.
Tiga tahun yang lalu ia terpaksa menikah dengan Clara Zamora, seorang model cantik ternama yang sudah goal internasional. Ia merupakan anak dari rekan bisnis orang tua Nathan. Perjodohan itu sendiri sengaja di atur oleh kedua pihak keluarga, selain karena untuk mempersatukan bisnis keluarga, juga karena Nathan yang baru saja patah hati dan uring-uringan karena wanita yang sangat dicintainya sudah menikah dengan pria lain pilihannya. Berbeda dengan Clara yang selalu asyik dengan dunianya sendiri, berhubungan dengan banyak pria tapi tanpa ikatan yang jelas, kelakuannya itu membuat orang tua Clara khawatir terhadap anaknya. Oleh sebab itulah para orang tua menjodohkan mereka berdua.
Akan tetapi Clara sama sekali tidak ingin memiliki anak, ia tidak mau karir yang sudah lama digelutinya dalam dunia modeling akan hancur begitu saja, karena Clara menganggap tubuhnya nanti akan berubah menjadi gemuk sehabis melahirkan. Bahkan ia sama sekali tidak mau disentuh oleh Nathan, meskipun usia pernikahan mereka sudah menginjak tiga tahun lamanya.
"Tidak Nathan, aku tidak mau hamil. Bagaimana jika kau membeli rahim wanita lain saja? Kau harus buat wanita itu hamil dan anaknya akan menjadi milik kita," kata Clara begitu entengnya saat Nathan berbicara mengenai permintaan ibunya itu.
Bagaimana bisa ada seorang istri yang ingin suaminya tidur dengan wanita lain? Tapi itulah kenyataannya, Clara. Ia sama sekali tak mau menghancurkan karirnya hanya demi seorang anak.
Semua itu membuat Nathan begitu stres memikirkannya, tentang permintaan mamanya yang ingin memiliki seorang cucu selalu saja terngiang-ngiang di pikirannya, sementara sang istri malah memintanya untuk mempunyai anak dari wanita lain.
Bagaimana bisa ia memiliki seorang anak sedangkan Clara saja tidak mau memilikinya, berhubungan badan saja Clara tidak mau. Memang Nathan selama ini menyetujui apa yang menjadi keputusan Clara, karena mereka juga menikah secara terpaksa dan tanpa rasa cinta sampai saat ini. Mereka bagaikan dua orang asing yang tinggal satu atap, bahkan kamar pun terpisah. Meskipun terkadang Nathan sebagai pria normal sangat tidak tahan melihat kemolekan tubuh sang istri, tapi ia berusaha untuk tidak menyentuhnya karena menghargai Clara sebagai istrinya. Bahkan mereka juga jarang berada di rumah bersama-sama, terkadang Clara yang entah menginap dimana, begitu juga dengan Nathan yang entah ada dimana. Mereka berdua sama-sama tidak pernah memusingkan akan hal itu. Karena menurut Nathan dan Clara, yang penting orang tua mereka bisa melihat kemesraan mereka di depan mata tanpa harus tahu bagaimana kehidupan rumah tangga anak-anaknya di belakang.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku harus berbicara lagi dengan Clara, kasihan Mama yang sudah sangat ingin memiliki cucu," gumam Nathan.
*****
Di usianya yang telah matang, Adinda Karina, wanita cantik berambut panjang, yang biasa disapa Dinda, sedang diburu untuk segera menikah dengan kekasihnya yaitu Gery Pratama, mengingat usianya yang kini sudah menginjak 25 tahun.
Akan tetapi orang tua Gery sama sekali tak menyetujui hubungan mereka, karena perbedaan status sosial keluarga mereka yang bagaikan langit dan bumi. Dinda hanyalah wanita yang bekerja di sebuah restauran milik keluarga Gery. Bahkan orang tua Gery juga mengetahui jika ayah Dinda hanyalah seorang karyawan biasa yang bekerja di salah satu Perusahaan terbesar di kota Jakarta dan ibunya yang hanya bekerja sebagai seorang Asisten Rumah Tangga. Tentu saja bagi mereka Dinda tidak selevel untuk menjadi pendamping Gery yang merupakan Direktur dari Perusahaan XY, sehingga orang tua Gery pun melarang mereka untuk berhubungan apalagi menikah.
Di saat pikiran Dinda sedang kalut mengenai hubungan percintaannya yang rumit, kini bertambah lagi dengan masalah baru yaitu ayahnya yang ternyata dituduh mengkorupsi uang perusahaan tempatnya bekerja, membuat Dinda merasa semakin stres.
Karena masalah itu juga membuat keluarga Dinda menjadi memiliki hutang yang sangat banyak dan tidak tahu bagaimana harus menebusnya. Sering kali orang suruhan dari pemilik perusahaan tempat ayahnya dulu bekerja datang untuk menagih dan menyiksa kedua orang tuanya, jika tidak segera membayarnya maka ayah atau ibunya akan dijebloskan ke dalam penjara.
"Ayah, Ibu, apa yang bisa Dinda lakukan sekarang? Bagaimana caranya agar Ayah dan Ibu bisa bebas dari hutang ini?" Tanya Dinda dengan isak tangisnya. Dia sangat tidak tega karena lagi-lagi anak buah suruhan dari pemilik perusahaan AB terus saja mengancam ayah dan ibunya serta menyiksanya.
"Hanya ada satu cara," kata Santi, ibunya Dinda.
"Cara apa Bu?" Tanya Dinda.
"Jual rahimmu kepada bos Ayah, beliau juga merupakan anak dari majikan tempat Ibu bekerja," jawab Santi dengan menahan perih di dadanya, entah setan apa yang sedang merasukinya sehingga ia tega mengatakan hal itu.
Dinda begitu terkejut mendengarnya, "Apa yang Ibu maksud dengan menjual rahim?" Tanyanya sembari menatap tajam mata sang ibu. Ia sama sekali tidak mengerti dengan maksud yang diucapkan oleh Santi.
"Dinda, kamu pasti mengerti maksud Ibu. Kamu harus tidur dengan anak dari majikan Ibu yang bernama Tuan Nathan itu agar kamu bisa hamil anaknya. Mereka akan membayar kamu mahal dan menganggap hutang keluarga kita lunas," terang Santi.
"Apa? Tidak Bu, kenapa Ibu begitu tega hendak menjual anak kita sendiri!" Bentak Doni, ayahnya Dinda yang kini juga ikut memelototi istrinya itu.
"Lantas apa yang bisa kita lakukan Yah? Ayah sudah dipecat, bahkan aku juga dipecat setelah mereka tau kita adalah pasangan suami istri. Bagaimana kita harus membayar hutang itu? Sedangkan Dinda hanya pelayan restauran yang gajinya tidak seberapa. Hanya ini satu-satunya jalan Yah," kata Santi yang kini membalas tatapan tajam dari suaminya itu.
Jalan pikirannya benar-benar sudah buntu, tiba-tiba ia teringat jika waktu itu anak dari majikannya yang juga merupakan bos dari perusahaan AB tempat suaminya bekerja, mengatakan jika ia hendak membeli rahim anaknya untuk menebus semua hutang keluarga mereka.
"Nggak Bu, aku nggak mau. Ibu macam apa yang tega menjual anaknya sendiri seperti itu!" Bantah Dinda, hatinya begitu sakit karena permintaan ibunya itu.
"Ibu tidak menjual kamu Dinda, tapi kamu hanya perlu menjual rahim kamu saja," kata Santi.
"Sama aja Bu, apa bedanya? Karena aku akan menyerahkan keperawananku untuk pria itu, pria yang sudah beristri dan sudah tega menyuruh anak buahnya untuk menyiksa keluarga kita saat ini," kata Dinda, lalu ia pergi dengan air matanya yang bercucuran.
...……… Bersambung ………...
"Bagaimana? Apa kamu sudah mendapatkan wanita yang mau menjual rahimnya untuk kita?" Tanya Clara dengan entengnya.
"Kamu ini, pulang ke rumah bukannya bertanya dulu suami sudah makan atau belum, ada makanan atau tidak, tapi kamu malah mementingkan urusanmu sendiri. Apa kamu pikir mudah mencari wanita yang yang mau menjual rahimnya. Aku ini cukup stress dengan permintaan Mama dan permintaan kamu yang sangat tidak masuk akal," hardik Nathan.
"Tapi hanya ini satu-satunya yang bisa kita lakukan? Come on Nathan, kamu itu kaya, tampan, apa susahnya sih. Kamu hanya perlu mencari wanita yang mau diajak tidur lalu kamu beli rahimnya sehingga anaknya nanti akan menjadi milik kita. Selanjutnya kita bisa katakan kepada Mama kamu jika anak itu adalah anak aku," kata Clara.
"Cih kamu yang jelas-jelas istriku saja tidak mau aku sentuh," sindir Nathan.
"Itu karena aku tidak mau hamil Nathan," celetuk Clara. "Kau bisa mencari wanita itu di club malam."
"Aku tidak mau tidur dengan wanita murahan," bantah Nathan.
"Lalu kamu mau mencari wanita yang seperti apa? Wanita terhormat? Ck, mana ada wanita baik-baik yang mau menjual rahimnya," cibir Clara.
Nathan mengepalkan erat kedua tangannya menahan emosi menghadapi istrinya saat ini, sudahlah tidak mau disentuh sama sekali olehnya, malah dengan sangat mudah memintanya untuk tidur bersama wanita lain hingga wanita itu hamil anaknya. Benar-benar pikiran yang tidak masuk akal, menurutnya.
Rasanya ingin sekali Nathan menghajar wanita yang ada didepannya saat ini, akan tetapi ia tahan karena bagaimanapun juga Clara adalah seorang wanita, terlebih lagi dia juga istrinya sah-nya meskipun tidak seperti seorang istri. Agar emosinya itu tidak semakin memuncak, Nathan pun memilih meninggalkan Clara dan melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar.
"Heh Nathan! Kamu mau kemana? Aku belum selesai berbicara denganmu. Bagaimana jika aku saja yang mencarikan wanita itu? Kamu hanya tinggal menerimanya saja Nathan!" Clara berteriak sekeras mungkin walaupun Nathan sama sekali tidak menggubrisnya.
Nathan masuk ke dalam kamar lalu mengunci pintunya tersebut, takut jika Clara akan masuk dan mengganggunya. Ia segera saja masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri di bawah air shower yang mengalir, kepalanya terasa sakit seakan mau pecah. Otaknya tidak dapat berpikir jernih, entah apa yang harus ia lakukan agar dapat memenuhi keinginan ibunya itu. Harus kah iya memaksa istrinya saja untuk berhubungan, bagaimanapun juga sudah hak-nya untuk mendapatkan anak dari clara, apa gunanya ia mempunyai istri jika harus berhubungan dan memilih memiliki anak dari wanita lain. Lagipula wanita mana yang rela memberikan tubuh dan rahimnya untuk orang-orang yang egois seperti mereka.
Akan tetapi mendadak Nathan teringat sesuatu yang membuatnya tersenyum smirk. Ia segera menyudahi aktivitas mandinya dan bersiap-siap, setelah itu bergegas pergi untuk menjalankan rencana apa yang saat ini sedang terlintas di dalam pikirannya.
Clara yang melihat Nathan sudah sangat rapi dan hendak keluar pun merasa keheranan dan membuatnya penasaran.
"Kamu mau kemana? Bukankah kamu baru saja pulang?" Tanya Clara.
"Bukan urusanmu. Memang kenapa jika aku baru pulang? Bukannya kita sudah terbiasa seperti ini," jawab Nathan ketus, lalu segera saja keluar dari apartemen meninggalkan istrinya itu.
"Yes, no problem," gumam Clara tersenyum sumringah, ia merasa sangat senang karena Nathan pergi meninggalkannya. Lalu ia meraih ponselnya dan menghubungi seseorang.
*****
Sementara itu, Dinda yang saat ini sedang bekerja sama sekali tidak bisa fokus. Pikirannya terus saja mengingat tentang perkataan ibunya yang hendak menjualnya demi menebus hutang.
Hingga pada saat Dinda hendak mengantarkan minuman untuk salah satu pelanggan, tidak sengaja ia menumpahkan minuman tersebut hingga membasahi pakaian pelanggannya tersebut.
"Maaf Tuan, saya benar-benar tidak sengaja," ucap Dinda sembari mengambil tisu hendak membersihkan baju pelanggan itu.
Pelanggan tersebut yang merupakan seorang pria menatap dinda yang saat ini tertunduk dengan tatapan tajam, ia begitu murka, kemeja yang ia kenakan itu menjadi basah karena ulah pelayan restauran.
"Berhenti! Apa yang kau-" ucapan Nathan terhenti saat Dinda kini menatapnya hingga mata keduanya bertemu.
"Jadi Kau?!" Tuding Nathan sembari menunjuk saat melihat sosok wanita yang tak asing baginya.
"Kau?!" sontak Dinda langsung berdiri dan sangat syok melihat pria yang ada di depan matanya saat ini.
"Jadi selain tukang ojek, kau juga seorang pelayan di sini? Pekerjaanmu begitu banyak, kasihan kau pasti begitu miskin," hina Nathan.
"Ya memang kenapa jika aku miskin dan hanya menjadi pelayan di sini? itu sama sekali bukan urusanmu. Yang penting pekerjaanku ini halal dan tidak melupakan hak orang lain," hardik Dinda.
"Apa maksudmu? Yang lakukan terhadapku ini benar-benar sudah membuat aku rugi. Apa kau tahu jika aku akan bertemu dengan klien yang sangat penting," ucap Nathan dengan tatapan tajamnya, akan tetapi sama sekali tak membuat Dinda bergidik. Malah ia semakin terang-terangan menentangnya.
"Maaf ya Tuan angkuh yang terhormat, aku benar-benar tidak sengaja. Jika memang aku harus mengganti kemeja Tuan yang kotor itu, anggap saja uang ojek yang dulu kau katakan akan membayarnya lima kali lipat itu, untuk mengganti kemeja Tuan," kata Dinda yang tak kalah tajam menatap Nathan.
"Berani sekali kau mengatakan aku angkuh, gajimu selama satu tahun di sini juga tidak akan bisa untuk mengganti kemejaku. Sudah aku katakan jangankan membayar ojekmu lima kali lipat, untuk membayar harga dirimu saja aku sanggup, gadis miskin!" hardik Nathan dengan angkuhnya, pantas saja jika Dinda memanggilnya Tuan Angkuh.
"Oh ya? Jika seperti itu, kenapa kau sama sekali tidak menjawab teleponku, bukan membayarnya tapi kau malah mengabaikan telepon juga pesanku begitu saja," kata Dinda.
Nathan terdiam, ia teringat jika memang saat itu ada nomor asing yang menelepon dan mengirim pesan kepadanya, tetapi Nathan mengabaikan begitu saja dan malah menghapusnya karena saat itu ia sedang sibuk. Ia pun segera merogoh uang di dalam sakunya, sebanyak lima juta rupiah.
"Ini uang lima juta untuk membayar ojekmu tiga tahun yang lalu. Cukup kan?" Nathan menyodorkan uang tersebut kepada Dinda.
Dinda mengarahkan tangannya ke uang tersebut, akan tetapi ia tidak mengambil semuanya melainkan hanya selembar uang berwarna merah senilai seratus ribu rupiah.
"Ini sudah cukup, terima kasih," ucap Dinda ketus lalu ia pun pergi meninggalkan Nathan.
"Hei lalu bagaimana dengan kemejaku?" Teriak Nathan, tetapi Dinda tidak menggubrisnya dan langsung saja kembali bekerja.
Untungnya saat itu pelanggan sedang sepi, sedangkan manager mereka juga sedang tidak ada di restauran, sehingga tidak ada yang melihat kelakuan Dinda.
"Wanita aneh, dikasih uang banyak tapi menolaknya. Sungguh wanita yang cukup langka di zaman seperti ini. Bahkan dia juga berani melawanku," gumam Nathan yang entah kenapa membuatnya kagum.
...……… Bersambung …………...
Bonus Visual...
Nathan Edward Collin.
Adinda Karina.
"Untuk apa lagi kamu menemuiku Ger? Kalau sampai orang tuamu tau, entah apalagi yang akan orang tuamu lakukan terhadapku," kata Dinda.
"Dinda, tapi aku mencintaimu, aku tidak peduli apapun kata orang tuaku. Bukankah kamu bilang sendiri kalau orang tuamu meminta kita untuk segera menikah? Aku akan menikahimu," kata Gery.
"Kamu sudah gila ya, mana mungkin kamu menikah tanpa restu orang tua kamu," tuding Dinda memutar bola matanya malas. Rasanya sudah sangat malas bertemu dengan mantan kekasihnya itu.
Meskipun restauran tempat Dinda bekerja adalah milik keluarga Gery, akan tetapi bukan Gery yang mengelolanya melainkan tangan kanan orang tuanya. Dinda tetap diperbolehkan untuk bekerja di restauran tersebut asalkan dia memutuskan hubungannya dengan Gery. Tentu saja Dinda sudah melakukannya selain demi keselamatan keluarganya.
"Kenapa tidak? Aku ini seorang laki-laki, menikah tanpa restu pun aku bisa. Yang penting kamu bersedia menerima kelebihan dan kekuranganku," kata Gery.
"Apa menurutmu selama ini aku tidak menerima kekuranganmu? Kesibukanmu? Aku selalu menerima semuanya Ger. Tapi aku sadar diri Ger, kalau aku memang sama sekali nggak pantas untuk bersanding denganmu, seperti apa yang orang tuamu bilang," kata Dinda dengan matanya yang berkaca-kaca.
"Sayang aku minta maaf ya sama kamu atas semua perkataan Mami aku," ucap Gery, lalu meraih tubuh Dinda ke dalam pelukannya.
Dinda sama sekali tak merespon, ia meneteskan air matanya teringat jelas sewaktu Raisa yang merupakan ibu dari Gery datang menghampiri dan menghina dirinya. Raisa meminta Dinda untuk segera berpisah dengan Gery, jika tidak maka ia pasti akan menghancurkan keluarganya dan tidak segan-segan untuk membuat orang tuanya menderita. Tentu saja Dinda tidak mau hal itu terjadi, lebih baik dia kehilangan cintanya daripada harus kehilangan kedua orang tuanya. Meskipun saat ini ibu kandungnya sendiri yang sangat ia sayangi dan ia bela mati-matian itu malah mau menjualnya kepada pria kaya yang hendak memiliki anak dari rahimnya.
Dinda mendorong kasar tubuh Gery sehingga pria tersebut terhuyung dan hampir saja terjatuh jika tidak segera menyeimbanginya.
"Din, aku nggak mau kita putus. Kenapa kamu nggak mau memperjuangkan cinta kita lagi? Aku akan selalu ada buat kamu Din," kata Gery.
"Bullshit, simpan saja kata-katamu itu Ger. Bukan baru kali ini saja kamu mengatakan hal itu padaku. Dari dulu kamu selalu mengatakan hal yang sama, akan berjuang dan akan berjuang. Tapi kenyataannya apa? Kamu malah sibuk dengan urusanmu sendiri, kamu lebih memilih bisnismu. Bukankah kamu sangat takut kehilangan bisnismu," ucap Dinda dengan sorotan tajam menahan emosi dan rasa kekecewaannya.
"Din, aku memperjuangkan bisnis juga demi kamu. Kamu bersabarlah sedikit, sedikit lagi. Ini semua juga demi masa depan kita. Memang kamu mau kalau kita menikah, terus aku nggak punya apa-apa? Nanti aku mau kasih makan kamu dan anak kita dengan apa?" Kata Gery.
"Bukankah kamu sendiri tadi yang bilang, kamu itu seorang laki-laki tanpa restu saja kamu bisa menikah, itu artinya kamu sudah siap dengan apapun resikonya. Kenapa sekarang kamu jadi bicara seperti ini? Kenapa kamu plin-plan sekali Gery," kata Dinda.
"Bukan itu maksud aku Din, ya aku bisa saja menikah tanpa restu orang tua, tapi setidaknya aku harus mendapatkan alih perusahaan Papi dulu. Kamu sabar sebentar lagi ya," pinta Gery yang meyakinkan sembari memegang bahu Dinda, tetapi lagi-lagi Dinda pun menepisnya dengan kasar,
"Maaf Ger, lebih baik sekarang kamu pergi! Aku juga mau pulang," kata Dinda, ia pun segera membalikkan badannya dan hendak meninggalkan Gery.
Akan tetapi Gery dengan sangat cepat menarik tangan Dinda dan meraih wajahnya. Dengan sangat kasar Gery langsung mencium bibir Dinda itu serta melu***nya. Dinda sangat terkejut dan memberontak, ia memukul tubuh Gery yang saat itu semakin menekannya sehingga ia pun kesulitan untuk bernafas. Saat itu tiba-tiba saja ada seseorang yang menarik tubuh Gery hingga terlepas dari Dinda.
Bug …
Pria tersebut langsung saja melayangkan pukulannya tepat di wajah tampan Gery hingga terlihat memar.
Dinda begitu syok melihatnya, terlebih lagi saat melihat pria yang memukul Gery itu adalah Nathan, pria yang baru saja berdebat dengannya tadi siang. Dinda pun segera menghampiri mereka.
"Stop! Jangan pukul Gery lagi," Dinda berteriak. "Aku mohon Tuan!"
Nathan yang hendak memberikan pukulannya sekali lagi terhadap Nathan pun mengurungkan niatnya.
Bug …
Akan tetapi di saat Nathan sedang lengah, Gery malah mengambil kesempatan membalas pukulan tersebut ke wajah Nathan hingga sudut bibirnya terluka. Nathan meringis lalu memegangi sudut bibirnya dan mendapati darah yang ada di jarinya itu. Saat ia hendak mendekati Gery lagi, Dinda dengan cepat berada di tengah-tengah mereka.
"Stop! aku mohon kalian jangan bertengkar di sini. Aku mohon," pinta Dinda dengan tatapan sendunya menatap kedua pria tampan yang saat ini sedang ada di dekatnya secara bergantian.
Nathan dan Gery pun saling bertatapan tajam, lalu menatap Dinda.
"Siapa dia Din? Kenapa dia bisa ada di sini dan ikut campur urusan kita?" Tanya Gery.
"Tuan ini adalah salah satu pelanggan di restauran kamu Ger," jawab Dinda.
"Oh … aku adalah pemilik restauran ini, jadi lebih baik kau pergi saja dari sini karena kau sudah ikut campur mengenai urusanku," kata Gery.
"Jadi Kau pemilik restauran ini? Apakah seperti itu caramu bersikap terhadap pelanggan setia? Apa kau pikir aku juga senang berada di restauran ini? Sama sekali tidak," ucap Nathan dengan sangat sombong.
"Aku tidak peduli, aku sangat tidak suka ada orang yang mencampuri urusanku," kata Gery.
"Aku tidak akan ikut campur jika kau tidak bersikap kasar terhadap wanita. Kau pikir aku tidak lihat jika tadi kau memaksa untuk mencumbunya," kata Nathan.
Dinda sangat tersentuh, ia tidak menyangka jika pria angkuh itu juga bisa menghormati wanita.
"Sama sekali bukan urusanmu. Dia kekasihku, kau sama sekali tidak berhak untuk menghakimiku," kata Gery.
"Kita sudah putus Ger, kamu bukan siapa-siapa aku lagi. Tuan, terima kasih karena kau telah menolongku. Tapi sebaiknya kau tidak usah ikut campur masalah pribadiku. Kalau Tuan memang sudah tidak ada urusan lagi di sini, sebaiknya Tuan pergi dari sini," usir Dinda secara halus.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Nathan segera saja meninggalkan restauran.
"Dinda, aku minta maaf ya Sayang. Kamu mau pulang kan? Biar aku yang akan mengantarmu pulang," kata Nathan.
"Jangan ganggu aku Ger, aku mau sendiri," kata Dinda lalu pergi meninggalkan Gery begitu saja. Gery tidak mengejarnya, ia memilih untuk tidak mengganggu Dinda dulu untuk saat ini, karena ia juga merasa bersalah atas sikap yang baru saja dilakukannya.
*****
"Brengsek! untuk apa juga aku harus menolong wanita tadi. Padahal aku masih ada urusan yang jauh lebih penting. Ya, lebih baik sekarang aku ke rumah Bi Santi," gumam Nathan dan melajukan mobilnya.
...……… Bersambung ………...
Visual Gery Pratama.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!