Sekolah Menengah Atas Darma Bakti sedang mengadakan acara perpisahan kelas dua belas, para siswa dan guru saling bersalaman dengan penuh haru. Ada beberapa siswa dan siswi yang menangis, ada juga yang biasa saja.
Di pojok aula, Kenan dan teman-temannya sedang berkumpul, kelima orang itu termasuk siswa yang biasa saja, mereka tak merasa haru apalagi menangis seperti yang lainnya, bahkan mereka menganggap teman-teman mereka yang menangis itu terlalu berlebihan.
Tak berapa lama, wanita cantik yang paling populer di sekolah itu pun datang menghampiri mereka.
"Hai, semua," sapa wanita bernama Jessi itu.
"Hai, Jes," balas Han, Ivan dan Radit serentak.
Kenan hanya tersenyum, namun tidak membalas sapaan Jessi, bahkan dia terlihat tak acuh pada wanita itu. Sedangkan Rendy justru memalingkan wajahnya, dia sepertinya enggan menatap Jessi.
"Nanti malam kalian datang, ya. Aku mengadakan pesta perpisahan di Royal Club and Hotel, ini undangannya," pinta Jessi sembari membagikan kartu undangan kepada lima sekawan itu.
"Wah, party!" seru Han.
"Boleh bawa pacar enggak?" tanya Ivan.
Radit mengernyit, "Memangnya kau punya pacar? Kok kami enggak tahu?"
"Pacar orang," jawab Ivan seenaknya.
"Dasar gila!" Han meninju lengan Ivan, membuat semua orang tertawa.
Jessi bergelayut di pundak Kenan, "Kamu datang, kan?"
Kenan mengangguk sambil melepaskan diri dari Jessi. Rendy hanya melirik sinis ke arah mereka, lalu membuang muka, namun di kejauhan dia melihat seorang gadis manis sedang duduk sendiri.
"Aku ke sana dulu, ya," ucap Rendy, dia bergegas meninggalkan Kenan dan yang lainnya.
"Mau ke mana dia?" tanya Ivan.
"Paling mau menemui si cupu," sahut Han sembari menunjuk gadis manis yang duduk sendiri itu.
"Rendy jadian dengan gadis itu, ya? Soalnya aku lihat mereka dekat." Jessi penasaran.
"Kata Rendy mereka cuma teman karena pernah ikut olimpiade sains bareng," jawab Han.
"Dari teman bisa jadi demen, kan?" seloroh Ivan.
"Dia bukan tipenya Rendy, jadi mana mungkin Rendy mau dengannya," sambung Ken.
"Kau jangan salah, Ken. Perasaan cinta itu bisa datang tanpa kita duga, apalagi kalau kita sering bertemu. Cinta bisa perlahan tumbuh dengan sendirinya, bisa saja Rendi jatuh cinta padanya," ujar Radit panjang lebar.
Kenan bergeming memandangi Rendy. Dia sangat yakin jika Rendy tidak mungkin tertarik dengan gadis itu, sebab dia tahu siapa yang sahabatnya itu cintai.
Sementara itu, Rendy duduk di samping seorang gadis manis nan sederhana bernama Nara. Di sekolah ini, satu-satunya orang yang dekat dengan Nara hanyalah Rendy, sementara siswa lain selalu memandang rendah gadis itu karena dia bukan anak orang kaya seperti mereka. Nara hanyalah siswa penerima beasiswa yang beruntung bisa bersekolah di tempat yang notabene isinya anak orang berada semua.
"Setelah ini kamu mau lanjut ke mana?" tanya Rendy.
"Aku enggak lanjut, aku mau bantu Om dan Tanteku saja," jawab Nara.
Rendy mengernyit, "Kenapa? Kan sayang, Ra. Kamu pintar dan berprestasi, masa harus berhenti?"
"Kamu kan tahu kalau aku enggak punya biaya, sekolah di sini saja karena dapat beasiswa."
"Iya, tapi nanti kamu juga bisa mengurus beasiswa untuk kuliah."
Nara menggeleng, "Sudahlah, aku enggak ingin membebani mereka lagi, meskipun mendapat beasiswa, tapi kan juga butuh biaya lain."
Rendy menghela napas pasrah, "Ya sudah, terserah kamu saja."
"Kalau kamu sendiri, setelah ini mau lanjut ke mana?" Nara balik bertanya pada Rendy.
"Aku berencana melanjutkan kuliah ke Amerika, aku mau ambil jurusan kedokteran."
"Wah, keren! Ternyata kamu calon dokter!"
Rendy tersenyum, "Dari kecil aku sudah bercita-cita menjadi dokter, mengikuti jejak papaku. Apalagi sejak mamaku meninggal dunia karena sakit, aku semakin bertekad untuk bisa menjadi dokter yang hebat, agar bisa mengobati banyak orang."
"Kamu pasti akan menjadi dokter yang hebat seperti cita-cita mu, aku yakin itu," ujar Nara dengan senyum yang mengembang.
"Aamiin," balas Rendi.
Dari kejauhan Kenan bersama yang lainnya hanya memperhatikan interaksi Rendy dan Nara, bukan mereka saja, bahkan beberapa siswa lain mulai berbisik-bisik melihat kedekatan dua orang itu.
"Oh iya, Ra. Kamu datang ke pesta perpisahan yang diadakan Jessi?"
Nara mengerutkan keningnya, "Pesta perpisahan?"
"Iya, memangnya kamu enggak tahu?"
Nara kembali menggeleng, "Lagian kalau pun diundang, aku enggak bisa."
"Kenapa?"
"Kan kamu tahu aku harus membantu Om dan Tante berjualan nasi goreng sampai malam."
"Oh iya. Kalau begitu aku juga enggak datang, ah."
Nara mengernyit, "Loh, kenapa?
"Habis enggak ada kamu, enggak asyik!" sahut Rendy.
"Kan ada teman-teman yang lain."
"Tetap saja engga asyik, Ra! Mending tidur di rumah," pungkas Rendy.
Nara tersenyum menanggapi ucapan Rendy, jujur sebenarnya dia menyukai pemuda itu, tapi Nara cukup tahu diri dan dia juga tak ingin membuat hubungan pertemanan mereka rusak. Bisa menjadi teman Rendy saja sudah cukup baginya.
***
Kenan dan teman-temannya sedang berpesta, lantunan musik DJ dan gemerlap lampu menemani malam mereka. Beberapa dari mereka sudah mulai mabuk karena terlalu banyak minum minuman keras, termasuk Kenan sendiri.
"Lanjut sampai pagi!" teriak Han dan berjoget heboh.
Kenan merasa kepalanya mulai berat dan pusing, dia terduduk lemas. Tiba-tiba ponselnya bergetar, dengan malas Kenan mengeluarkan telepon genggamnya dan sontak berdecak sebal saat melihat yang menelepon adalah sang ayah. Kenan mengabaikan panggilan itu sampai akhirnya mati, lalu tak lama kemudian sebuah pesan masuk.
"PAPA DAN MAMA SUDAH DIPERJALANAN PULANG, SEBENTAR LAGI KAMI SAMPAI. KAMU MAU PESAN SESUATU?"
Mata Kenan membulat membaca pesan itu, dia langsung bangkit dan buru-buru pergi.
"Ken, mau ke mana?" Jessi berteriak tapi Kenan tak menggubrisnya.
Wajah Jessi berubah masam karena pria yang dia sukai itu pergi begitu saja.
Kenan segera masuk ke dalam mobilnya dan memacu kendaraan itu dengan kecepatan tinggi. Dia harus tiba di rumah sebelum orang tuanya.
Sementara itu, Nara sedang membantu Heri dan Anna berjualan nasi goreng di pasar kaget seperti biasanya, sejak ayah dan ibunya meninggal beberapa tahun yang lalu, Nara tinggal bersama Om dan Tantenya itu yang kebetulan belum memiliki momongan.
Heri yang merupakan adik kandung ibunda Nara menerima amanah sang kakak untuk menjaga putrinya itu, walaupun sang istri merasa tidak senang dan keberatan, Heri tak peduli sebab dia punya tujuan tertentu melakukan semua itu.
"Ra, telur habis. Kamu beli, dong!" pinta Anna sambil menyodorkan uang kepada Nara.
"Iya, Tante." Nara bergegas pergi ke salah satu warung yang berada di seberang jalan.
Nahas saat hendak menyeberang, sebuah mobil melaju kencang dan langsung menabrak tubuh Nara hingga terpental ke aspal, lalu banting setir ke kiri dan menabrak pohon. Darah segar langsung keluar dari kepala Nara yang terluka.
Heri dan semua orang yang melihatnya sontak histeris.
"Nara!" pekik Heri yang segera berlari menghampiri tubuh sang keponakan yang tergeletak tak bergerak. Sedangkan Anna hanya memperhatikan dengan cemas dari kejauhan sebab tak mungkin meninggalkan dagangannya.
***
Keesokan harinya, Heri dan Anna sedang menunggu Nara yang masih belum sadarkan diri sejak semalam. Akibat kecelakaan itu Nara mengalami gegar otak ringan dan patah tangan.
"Bagaimana ini, Mas? Siapa yang akan membayar rumah sakit dan perobatan Nara? Kita mana ada uang," keluh Anna kesal.
"Nanti aku akan menemui orang yang menabrak Nara dan meminta pertanggung jawabannya, kita bisa minta biaya berobat Nara pada dia," ujar Heri, dia belum sempat menemui si penabrak yang kini sudah ditahan di kantor polisi.
"Mas, minta ganti rugi juga. Gara-gara dia, kita jadi enggak bisa berjualan dan dapat uang," cetus Anna.
"Cckk, bagaimana caranya aku meminta ganti rugi?"
"Minta uang kalau dia mau damai, dia pasti anak orang kaya dan banyak uang. Lihat saja mobilnya bagus banget."
Heri termangu, dia mencoba memikirkan saran istrinya itu.
Sementara itu di kantor polisi, sepasang suami istri sedang berusaha menenangkan putra mereka yang tadi malam menabrak Nara. Dialah Kenan Mahendra, bocah sombong yang sering bertindak sesuka hati.
"Pa, Ma, tolong keluarkan aku dari sini! Aku enggak mau dipenjara," rengek Kenan nyaris menangis, ini sudah kesekian kalinya dia memohon kepada kedua orang tuanya itu.
"Enggak bisa! Kau sudah mencelakai orang lain, dan kau terbukti bersalah karena mengemudi mobil dalam keadaan mabuk," ujar Hendra yang tak lain adalah ayah Kenan.
"Tapi dia juga salah, Pa. Dia menyeberang sembarangan," bantah Kenan.
"Papa dengar itu, anak kita enggak sepenuhnya salah. Tolong lakukan sesuatu untuk membebaskan dia!" Windy yang merupakan ibunda Kenan memohon pada suaminya itu.
"Ma, biarkan saja dia di dalam sana, ini pelajaran buat dia agar tidak bertingkah macam-macam lagi, agar berubah jadi anak yang baik," kecam Hendra yang kesal dengan tingkah laku putra semata wayangnya itu.
"Papa tega!" umpat Windy.
"Pa, aku janji akan berubah, aku enggak akan membuat Papa marah lagi. Tapi aku mohon bantu aku keluar dari sini, aku bisa mati kalau lama-lama berada di sini!" Kenan kembali memohon dan menatap sang ayah dengan mata berkaca-kaca.
Hendra merasa iba melihat sang putra, sejujurnya dia pun tak tega melihat buah hatinya itu berada di balik jeruji besi.
"Baiklah, Papa akan bantu kau keluar dari sini, tapi kau harus menepati janjimu itu," ucap Hendra kemudian.
Kenan mengangguk cepat, "Iya, Pa."
Windy tersenyum senang karena akhirnya suaminya itu luluh juga.
"Ya sudah, kalau begitu Papa pergi dulu."
Kenan mendadak panik dan kebingungan, "Papa mau ke mana? Bukankah Papa mau keluarin aku dari sini?"
"Papa harus menemui keluarga korban dan meminta mereka mencabut perkara, karena itu satu-satunya cara biar kau bisa bebas," sahut Hendra lalu melangkah pergi.
Kenan mengembuskan napas kesal, wajah tampannya berubah masam.
"Kau sabar dulu, ya, sayang. Papa dan Mama akan membantumu keluar dari tempat menjijikkan ini," bisik Windy sembari mengusap kepala putra kesayangannya itu.
Kenan mengangguk lesu, "Iya, Ma. Tapi cepat, ya! Aku sudah enggak tahan berlama-lama di sini."
"Iya, sayang. Kau tenang saja! Mama pulang dulu, nanti Mama ke sini lagi."
Kenan kembali mengangguk dengan sedih, dia kesal sekaligus menyesal karena tadi malam minum terlalu banyak hingga mabuk dan menabrak seseorang yang bahkan dia tak tahu seperti apa wajahnya, karena kejadian itu sangat cepat. Korban yang dia tabrak buru-buru dibawa ke rumah sakit sebelum Kenan sempat keluar dari dalam mobilnya.
Kenan benar-benar apes, saat dia sedang merayakan kelulusannya, saat itu pula kedua orang tuanya tiba-tiba pulang dari luar negeri, padahal seharusnya mereka pulang lusa. Hal itulah yang membuat Kenan mengemudi mobil dengan kecepatan tinggi dalam keadaan mabuk agar segera tiba di rumah sebelum orang tuanya, sebab Kenan tahu sang ayah sangat marah kalau tahu dia keluyuran sampai malam dan mabuk-mabukan.
***
Hendra dan Windy berjalan tergopoh-gopoh menuju kamar rawat inap Nara, setelah menanyakan kepada polisi akhirnya mereka tahu identitas korban yang ditabrak putra mereka itu.
"Permisi, selamat pagi," sapa Hendra.
Heri yang sedang menunggu Nara terkejut dengan kedatangan pasangan suami-istri itu.
"Selamat pagi," balas Heri, dia beranjak dan menghampiri Hendra dan Windy.
"Perkenalkan, saya Hendra. Saya papa nya Kenan, pemuda yang menabrak anak anda," terang Hendra.
Heri terkesiap, dia mengamati Hendra dari bawah sampai atas, lalu tersenyum, "Saya Heri, Om nya Nara."
"Oh, maaf. Saya pikir anda ayahnya," ucap Nara.
"Bukan, ayah dan ibunya sudah meninggal. Saya yang merawatnya," beber Heri.
"Hem, maaf. Saya tidak tahu," ucap Hendra tak enak.
"Tidak apa-apa."
"Bagaimana keadaannya?" tanya Hendra.
"Kata dokter dia mengalami gegar otak ringan dan patah tangan. Sampai sekarang dia belum sadarkan diri," terang Heri dengan wajah sedih.
Hendra tertegun, dia lantas memandangi Nara yang terbaring dan masih belum sadarkan diri. Seketika hatinya merasa iba pada gadis itu. Sedangkan Windy sejak tadi hanya bergeming dengan wajah angkuh.
"Saya minta maaf yang sebesar-besarnya atas apa yang terjadi pada keponakan anda, saya turut prihatin," ucap Hendra.
"Iya, enggak apa-apa, Pak. Namanya juga musibah, mau gimana lagi."
"Saya berjanji akan menanggung semua biaya perobatannya sampai dia sembuh, tapi saya mohon agar anda bersedia mencabut perkaranya, kita selesaikan secara kekeluargaan saja," lanjut Hendra memohon.
Heri termenung, dia teringat ucapan Anna tadi, dia tentu tak ingin masalah ini selesai begitu saja tanpa mendapatkan keuntungan. Dia harus memikirkan alasan agar bisa menghasilkan uang dari orang-orang kaya ini.
"Pak Heri kenapa?" tegur Hendra saat melihat Heri melamun.
Heri tersentak dan pura-pura memasang wajah muram, "Hem, begini, Pak. Bukannya apa-apa, tapi selama ini Nara yang membantu saya berjualan, kalau dia sakit begini, siapa yang akan membantu saya? Sementara itu satu-satunya mata pencarian kami."
Windy yang dari tadi diam menyimak, akhirnya protes, "Hei, suami saya minta kamu cabut perkaranya, kenapa malah curhat segala, sih!"
"Mama, tenanglah!" Hendra menyentuh pundak Windy.
Heri mendadak kesal mendengar ucapan Windy itu, "Saya hanya ingin Bapak dan Ibu tahu jika putra kalian sudah menyebabkan keponakan saya terluka dan saya jadi enggak bisa cari makan, kalau begini saya enggak akan mencabut perkaranya, biar saja anak kalian mendekam di penjara!"
Hendra dan Windy tercengang dengan keputusan Heri.
"Jangan begitu, Pak! Saya minta maaf atas sikap dan ucapan istri saya," ujar Hendra mengalah.
"Papa!" Windy melotot tak terima, tapi Hendra tak peduli.
"Saya akan ganti rugi, saya akan kasih berapa pun yang anda minta. Tapi saya mohon cabut perkaranya!" pungkas Hendra, dia tak ingin berdebat lagi sebab dia tahu apa yang Heri inginkan.
Heri tersenyum samar, "Baiklah kalau begitu."
Wajah Windy sontak berubah masam, dia kesal sebab sadar jika Heri sedang berusaha memeras mereka dan mengambil keuntungan dari kejadian ini.
***
Hendra dan Windy meninggalkan rumah sakit setelah mendapatkan kesepakatan dari Heri, sejak tadi Windy terus saja mengomel sebab kesal dan tidak terima dengan permintaan Heri yang seolah-olah ingin mengambil keuntungan dari kejadian ini.
"Mama yakin dia memang mau memeras kita, Pa. Dasar orang miskin enggak punya otak, kurang ajar! Bisa-bisanya memanfaatkan situasi untuk mendapatkan uang," gerutu Windy.
"Ma, sudahlah! Biarkan saja, yang penting anak kita bisa bebas. Mama mau Kenan dipenjara?"
"Ya enggak lah, Pa! Tapi Mama kesal sama orang tadi, Papa juga lembek banget, harusnya tegas dikit, dong!"
"Ma, anak kita bersalah, kalau kita keras dan enggak mau mengalah, Pak Heri pasti enggak akan mau mencabut perkaranya. Sudahlah jangan diributkan lagi!" pungkas Hendra dan berhasil membuat sang istri terdiam meski wajahnya ditekuk.
Sementara itu di ruang perawatan, Nara mulai sadar. Dia terbangun sembari merintih menahan perih di kepalanya, Heri yang melihatnya bergegas menghampiri keponakannya itu.
"Kamu sudah bangun?" tanya Heri.
"Aku di mana, Om?" Nara balik bertanya.
"Di rumah sakit, semalam kan kamu ditabrak sewaktu menyeberang," terang Heri.
Nara mencoba mengingat-ingat kejadian semalam, tapi kepalanya mendadak sakit.
"Aduh!"
"Kamu kenapa?" Heri sedikit panik melihat Nara meringis sambil memegangi kepalanya.
"Kepalaku sakit sekali, Om," adu Nara.
"Kalau begitu Om panggil dokter dulu." Heri langsung berlari mencari dokter.
Nara merasakan sakit yang luar biasa di kepalanya, dia bahkan sampai menangis. Tak berapa lama Heri kembali lagi dengan seorang dokter dan perawat yang langsung memeriksa keadaan Nara.
***
Siang ini akhirnya Kenan dibebaskan setelah Heri mencabut perkaranya.
"Terima kasih, Pak Heri," ucap Hendra.
"Sama-sama, Pak. Tapi jangan lupa, ya?" Heri cengengesan dan salah tingkah.
"Iya, Pak. Nanti saya akan transfer ke rekening yang anda kasih sesuai dengan yang anda minta," sahut Hendra.
"Baiklah, saya tunggu, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu, soalnya mau gantian jaga dengan istri saya," terang Heri.
"Iya-iya, Pak. Silakan," balas Hendra, sementara Windy dan Kenan hanya terdiam.
Heri pun bergegas pergi dengan perasaan senang, karena sebentar lagi dia akan mendapatkan banyak uang dari Hendra sebagai ganti rugi.
"Memangnya Papa janji apa sama orang itu?" Kenan yang penasaran pun bertanya.
"Orang itu meminta uang pada Papa sebagai ganti rugi karena kamu sudah menabrak keponakannya, padahal Papa sudah menanggung biaya perobatannya, tapi masih saja diperas," ujar Windy dengan wajah masam.
Kenan terkesiap, "Benarkah? Kenapa Papa setuju saja?"
"Papa kamu terlalu baik!" sindir Windy sinis.
"Sudahlah, yang penting kamu bisa bebas! Enggak perlu dipermasalahkan permintaan mereka!" pungkas Hendra.
"Iya, tapi ini keterlaluan, Pa," sungut Windy kesal.
"Sebaiknya sekarang kita pulang! Papa masih banyak pekerjaan." Hendra yang malas meladeni istrinya itu bergegas pergi.
"Papa kamu itu enggak bisa dibilangin, keras kepala!" Windy menggerutu.
Kenan hanya bergeming walaupun di dalam hati dia juga merasa kesal atas sikap tidak tahu malu Heri.
***
Seminggu kemudian, Nara sudah diperbolehkan pulang sebab keadaannya mulai membaik, hanya tinggal pemulihan saja. Dan selama itu juga Kenan beserta keluarganya tidak pernah datang menjenguk Nara. Sebenarnya bukan karena Hendra tidak peduli, tapi sehari setelah Kenan bebas, Hendra kembali berangkat ke luar negeri karena ada pekerjaan. Tapi lelaki itu berjanji akan segera mengunjungi Nara jika dia kembali ke tanah air dan dia juga sudah meminta alamat rumah Heri.
Sementara Kenan sendiri sebenarnya sudah diminta Hendra untuk menjenguk ke rumah sakit, tapi bocah itu tidak mau dan lebih memilih nongkrong dengan teman-temannya tanpa sedikitpun merasa bersalah karena sudah melukai orang lain.
Namun yang membuat miris, begitu Nara tiba di rumah, Heri dan Anna langsung meninggalkannya seorang diri. Kedua pasutri itu sudah tidak sabar ingin pergi liburan menggunakan uang yang Hendra berikan pada mereka sebagai ganti rugi, mereka sama sekali tidak memikirkan bagaimana nasib Nara yang sedang sakit jika mereka tinggal sendirian di rumah.
Nara hanya bisa pasrah, walaupun dia sedih karena Om dan Tantenya itu benar-benar tidak peduli padanya. Memang sejak dulu Heri dan Anna tidak pernah memperlakukan dia dengan baik, mereka menjadikan Nara tak ubahnya seperti pembantu. Tapi Nara tak masalah, yang penting dia masih mendapatkan makan, tempat tinggal dan bisa sekolah. Apalagi hanya merekalah satu-satunya keluarga yang Nara punya setelah kedua orang tuanya meninggal dunia beberapa tahu lalu.
"Aduh, aku lapar sekali," keluh Nara sambil memegangi perutnya yang keroncongan, sejak semalam dia belum ada makan apa-apa.
Nara melangkah pelan ke dapur, dia mengamati sekeliling, mencari apa yang sekiranya bisa dia makan, tapi tidak ada makanan sama sekali. Dia membongkar lemari makan dan hanya ada mie instan. Nara mendesah pasrah, dia meletakkan wajan berisi air di atas kompor, lalu menyalakan apinya. Dia kemudian mengambil mie instan tersebut tapi dia kesulitan membuka bungkusnya dengan sebelah tangan, karena tangan kirinya masih di gips.
Nara mencari akal, dia lantas menyobek bungkus mie instan itu dengan gigi dan berhasil terbuka.
Setelah mie instan itu matang, Nara hendak menuangnya ke dalam mangkuk, tapi apes mie tersebut malah tertumpah dan mengenai kakinya.
"Aduh!" Nara sontak memekik kesakitan, kakinya seketika merah.
Di saat bersamaan terdengar suara ketukan pintu, ada seseorang yang datang. Sambil menahan perih di kakinya, Nara pun melangkah dengan terpincang-pincang menuju pintu lalu membukanya, berharap itu adalah Om dan Tantenya yang pulang.
"Selamat pagi, Nara."
Nara mengernyit, "Selamat pagi. Bapak siapa? Kok kenal saya?"
"Saya Hendra, ayah dari orang yang menabrak kamu waktu itu," ujar Hendra, dia baru tiba di Indonesia tadi malam dan pagi ini dia langsung datang menjenguk Nara untuk memastikan kondisi gadis tersebut.
Nara termangu, dia baru kali ini bertemu dengan Hendra, dia bahkan tak tahu siapa orang yang telah menabraknya.
"Om kamu ada?" tanya Hendra.
Nara tersentak lalu menggeleng, "Enggak ada, Pak. Om dan Tante pergi."
"Ke mana?"
"Katanya mau liburan," jawab Nara polos.
"Liburan? Kapan perginya?"
"Kemarin sore."
"Jadi kamu di rumah dengan siapa?"
"Sendri, Pak," sahut Nara sembari meringis menahan sakit di kakinya.
Hendra terperangah mendengar pengakuan Nara, lalu perhatiannya tertuju pada kaki gadis itu yang merah dan nyaris melepuh.
"Kaki kamu kenapa?" Hendra bertanya dengan cemas.
"Enggak apa-apa, Pak. Cuma terkena tumpahan mie instan tadi," jawab Nara.
Hendra terenyuh, dia merasa iba dan prihatin dengan Nara.
"Kamu harus ke rumah sakit, itu harus diobati!"
Nara kembali menggeleng, "Enggak usah, Pak. Enggak apa-apa, kok."
"Nanti bisa infeksi, saya antar kamu ke rumah sakit, ya?"
"Saya enggak mau merepotkan Bapak," tolak Nara sungkan.
"Enggak sama sekali. Malah saya akan merasa bersalah jika membiarkan kamu sendiri dalam keadaan begini."
Nara tertegun dan terdiam.
"Yuk, kakimu itu harus segera mendapatkan penanganan medis!" desak Hendra.
Nara pun akhirnya mengangguk setuju dan menerima tawaran Hendra untuk pergi ke rumah sakit sebab dia sudah tidak tahan merasakan perih pada kakinya.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!