Suatu malam seorang perempuan melajukan mobilnya dengan kecepatan rata-rata. Tangan kirinya menerima sebuah panggilan. Bibirnya menyunggingkan senyum sembari mengeluarkan rentetan kalimat.
“Aku sudah perjalanan pulang, Bund,” ucapnya. “Jangan khawatir, nanti sampai Apartemen aku langsung tidur.”
“Yaudah tetap hati-hati jangan ngebut. Bye sayang.”
“Bye, Bund.” Panggilan diakhiri.
Kania Ayu Maharani, seorang perempuan cantik berumur 25 tahun. Sudah dua tahun ia hidup di Jakarta dan mendirikan sebuah perusahaan Skincare miliknya sendiri. Malam ini setelah menghabiskan waktunya bekerja seharian, ia bisa pulang dan mengistirahatkan tubuhnya.
Melirik jam tangan berwarna cokelat miliknya. Sekarang pukul 23.00, sudah larut malam dan kendaraan mulai sepi. Ia menoleh karena tiba-tiba dari arah samping kanannya ada sebuah motor yang menyalip mobilnya.
Sedangkan dari arah depan ada sebuah mobil berwarna hitam yang keluar dari jalur. Mobil bergoyang dan melaju sangat kencang sehingga kehilangan arah. Hingga. “BRAK.” Semuanya terjadi begitu saja.
Mobil itu menabrak motor yang tadi menyalipnya. Seketika ia menginjak pedal remnya sekuat tenaga hingga menimbulkan bunyi.
Dengan nafas yang tidak beraturan, Kania membuka mata. Melihat seorang pengendara motor yang tergeletak di atas aspal. Tangannya gemetar tidak karuan. Kania menoleh ke kanan kiri. Tidak ada kendaraan lain selain dirinya.
Menguatkan tekad dan keberanian. Akhirnya ia turun dari mobil dan langsung berlari ke arah seseorang yang tergeletak di atas aspal. Kemungkinan besar dugaaannya, pengendara ini terpental dari motornya.
“Excuse me, Sir.” Tangannya menyentuh bahu pria itu. “Wake up. Don’t close your eyes!”
Pria itu membuka matanya. Bibirnya mengeluarkan ringisan kecil. Setidaknya Kania bisa bernafas lega karena orang itu tidak mati. Merogoh ponselnya dengan panik. Kania mendial nomor Ambulan.
“Di jalan Delima nomor 24. Cepat datang ke sini. Korban mengalami luka parah.”
Kania kembali berjongkok. “Sebentar lagi ambulan ke sini. Bertahanlah,” ucapnya.
**
Ambulan datang. Semuanya bergerak menangani pria itu. Kania meremas jari-jarinya. Ia tidak bisa berhenti kawatir mengingat keadaan pria itu yang parah. Pria itu dibopong dan di masukkan ke dalam ambulan.
“Sebaiknya anda ikut kami. Anda harus mememberikan kesaksian,” ucap seorang perawat pada Kania.
Kania akhirnya mengangguk. Ia ikut ke dalam Ambulan. Duduk di hadapan seorang pria yang kini tengah terbaring dengan tangan yang sudah diinfus. Perawat yang berada di dalam ambulan bergerak dengan cepat. Memberikan pertolongan pertama semaksimal mungkin.
Beberapa menit kemudian mereka sampai. Ia keluar menepi dan memberikan ruang agar dokter dan perawat bisa membawa pria itu.
Beberapa polisi yang berada di sana mendekat. Menanyakan beberapa hal karena Kania yang pertama kali menelepon Ambulan.
“Saat saya keluar mobil untuk melihat korban yang tertabrak, saya tidak lagi melihat mobil hitam si penabrak. Saya tidak mencari tahu karena saya sudah panik dengan keadaan korban yang tergeletak di aspal,” kira-kira seperti itu penjelasan Kania. Ia berusaha menjelaskan serinci mungkin agar membantu dalam proses penyelidikan.
Kania menghela nafas. Ia duduk di salah satu bangku rumah sakit. Melihat kemeja putihnya yang terdapat bercak darah. Hembusan nafas panjang seakan menjadi bukti betapa lelahnya perempuan itu sekarang. Ia melupakan satu hal, meninggalkan mobilnya begitu saja di jalan. Ia mengetikkan pesan pada salah satu orang kepercayaannya untuk mengambil mobilnya.
“Saya Jefri, Manajer orang yang kamu tolong,” ucap seorang pria duduk di samping Kania.
Kania menoleh. Hanya bisa mengernyit bingung.
“Saya mengucapkan terima kasih pada kamu yang cepat menelepon Ambulan. Saya tidak tahu nasib Drake jika tidak ada orang yang menolongnya. Saya mengucapkan terima kasih banyak, apalagi kamu sampai ke rumah sakit dan mau memberikan keterangan pada Polisi.”
Kania mengerti dan mengangguk. “Sama-sama.” Ia berdiri. “Saya harus pergi sekarang.”
“Boleh saya tahu nama kamu?”
“Kania.”
**
Keesokan paginya, di dalam kamar rumah sakit. Seorang pria yang salah satu kakinya di perban, perlahan membuka mata. Ia merasakan tubuhnya kaku luar biasa. Tangan kanannya juga tidak bisa digerakkan karena diperban.
“Akhirnya bos sadar juga,” ucap seorang pria yang duduk di samping ranjang.
“Aku masih hidup.”
“Yaiyalah Bos masih hidup dan aku masih menjadi Manajer setiamu, mendampingimu dikeadaan susah maupun senang.”
“Di mana perempuan yang menyelamatkanku?” tanyanya.
“Drake Cole.” Panggilnya. “Dia pulanglah, masa mau nungguin Bos sampai sadar.”
Drake Cole. Seorang pria tampan yang berusia 29 tahun. Pekerjaan menjadi aktor. Menjadi aktor dengan paling mahal dan kekayaan paling banyak. Namanya sedang berada di puncak dan menjadi trending topik hari ini. kecelakaan yang dialaminya membuat semua penggemarnya kawatir dan menaikkan hesteg ‘Save Drake.’
Bibirnya menyunggingkan senyum. “Cari tahu tentang dia.”
Drake masih ingat betul wajah seorang perempuan cantik yang menolongnya tadi malam. Memanggilnya dengan sebutan ‘Sir.’ Ia masih ingat jelas lengannya di genggam tangan mungil itu agar ia tetap terjaga dan tidak menutup mata.
Jefri mengangguk. “Agensi diserang sama penggemar Bos.” Ia menunjukkan sebuah komentar di twitter pada Drake. Di sana berbagai cemohan untuk Agensi Drake katanya yang lalai mengurus artisnya.
“Padahal ini juga kesalahan Bos sendiri. Siapa yang nyuruh nyetir motor malem-malem tanpa diawasi siapapun,” komentar Jefri.
“Sudah jadi hobi, gak mungkin ditinggalin begitu saja. Lagian yang namanya kecelakaan mana ada yang tahu. Tiba-tiba ada mobil yang oleng terus nabrak,” balas Drake.
“Pantesan kayak gak asing,” ucap Jefri yang masih fokus menghadap ponselnya. “Kania, cewek yang nyelametin Bos tadi malam.”
“Kania Ayu Maharani. Pemilik brand Skincare yang bulan lalu coba jadiin Bos Ambassador-nya. Tapi Bos langsung nolak karena perusahaannya masih kecil dan gak mungkin seorang Drake mau nerima tawaran dari brand kecil.” Jefri menunjukkan layar yang menunjukkan potret Kania menghadiri sebuah acara.
“Kania,” lirih Drake sembari menyunggingkan senyum.
**
Satu bulan kemudian, di ruang rapat sebuah perusahaan. Masih begitu jelas jika rapat belum usai. Layar yang masih terisi bahan materi presentasi. Mereka duduk di kursi masing-masing. Membahas mengenai acara launching produk terbaru bulan depan dan Ambassador yang akan mereka pilih. Sangat penting karena tidak bisa memilih sembarang, perusahaan kecil yang berkembang butuh orang yang benar-benar bisa membawa produk dikenal masyarakat.
“Oh ya kemarin pihak Artis Drake bersedia menjadi Ambassador kita dan mereka meminta minggu depan bertemu untuk membahas kerja sama,” ungkap kepala bagian Marketing.
Kania mengangguk. “Jika mereka terlalu berbelit-belit. Ganti saja. Aktor yang terkenal banyak. Kita harus segera memiliki Ambassador untuk produk.”
“Baik, Miss.”
“Rapat hari ini selesai. Saya ingin launching yang direncanakan untuk bulan depan bisa berjalan lancar,” jelas Kania.
Semuanya mengangguk. “Terima kasih dan selamat makan siang,” setelah mengucapkan beberapa kalimat, Kania melangkah keluar dari ruangan.
Kakinya melangkah masuk ke dalam ruangannya. Ia menghela nafas. Mendudukkan dirinya di kursi. Memejamkan mata sebentar dan tak lama terdengar pintu terbuka.
“Sorry, Miss. Ini begitu tiba-tiba tapi Drake Cole datang dan ingin bertemu dengan anda,” ujar Sekretarisnya yang berdiri di ambang pintu.
Kania terdiam sebentar. Ia tahu orang yang ditolongnya adalah Drake Cole. Si Aktor yang namanya sudah tidak asing lagi ditelinga masyarakat. Ia mengetahui sejak satu hari setelah kecelakaan. Tepatnya saat tidak sengaja melihat berita di layar ponselnya.
“Biarkan dia masuk,” balas Kania.
Pintu terbuka. Menampilkan seorang pria yang menggunakan serba hitam. Dari topi hingga sepatu. Tidak lupa mengenakan masker hitam juga. Drake, di tangannya membawa sebuah bunga.
“Hai Kania. We meet again,” sapa Drake ketika masuk ke dalam ruangan Kania. Entah kenapa aura Drake membawa hawa dingin di ruangan.
Kania tersenyum tipis. Ia berdiri dan menghampiri Drake yang tidak jauh dari tempatnya duduk. “You look so good. Sudah sembuh?” tanyanya.
“Ya, berkat pertolonganmu.” Drake menyerahkan bunga yang telah ia bawa pada Kania.
Kania menerimanya. “Thanks.”
Drake membuka maskernya. Hingga wajah tampannya tidak terhalang apapun. Kania hanya terdiam. Melihat lagi wajah Drake namun sekarang dengan keadaan yang jauh lebih baik. Tentu Kania mengakui jika Drake sangat tampan. Ditambah dengan postur tubuh tinggi dan tegap. Kania sempat terpaku beberapa detik.
“Tentang kerja sama yang akan kita lakukan. Aku bersedia menjadi Ambassador produkmu. Tapi ada syarat yang ingin kuajukan,” ucap Drake mendekati Kania. Langkahnya pelan dan semakin dekat dengan perempuan itu.
Kania mundur. Namun berhenti ketika punggunya sudah menyentuh pinggiran meja.
“Hanya satu syarat,” ucap Drake dengan suara beratnya.
“To the point, please.” Suara Kania terdengar sangat pelan. Sial, mendadak ia menjadi seorang tikus kecil berhadapan dengan Drake.
Drake mendekat. Menunduk dan mendekatkan bibirnya di telinga kanan Kania. “Satu syarat yaitu kau menjadi milikku.”
Kania mengepalkan tangan. “Tidak akan.”
Sontak jawaban Kania membuat Drake semakin tertarik. Ia menyunggingkan smirknya. “Berarti kau tidak ingin perusahaanmu maju?”
“Setelah melihat riset tentangmu, kau membawa pengaruh besar pada masyarakat dan tentu akan berdampak sekali pada perusahaanku nantinya.” Kania menatap datar Drake. “Tapi aku tidak ingin ada masalah pribadi yang sengaja dimasukkan ke dalam urusan kerja. Kau maupun aku seharusnya adalah dua orang asing yang hanya menjalankan profesionalisme kerja.”
Drake mengambil langkah lebih dekat lagi dengan Kania. “Tidak ada orang yang bersih di dunia ini, Kania. Hanya menjadi milikku kau akan mendapatkan segalanya. Perusahaanmu akan sukses di tanganku. Aku akan membawa relasi yang bagus untukmu.”
Kania tertawa remeh. Ia berkacak pinggang sembari menatap pria di depannya ini. Ternyata bukan malaikat tampan yang membawa kedamaian, melainkan iblis yang membawa kehancuran.
“Tuan Drake yang terhormat—jika anda menawarkan syarat yang tidak masuk akal dan berbelit-belit untuk kerja sama dengan perusahaanku, lebih baik tidak usah. Kita batalkan saja. aku juga bisa mencari aktor yang lebih baik darimu. Aku juga bisa memajukan perusahaanku sendiri. Tidak usah sombong hanya karena kau dikenal banyak orang!”
Dengan lancangnya Drake meraih pinggang Kania. Hingga perempuan itu terpekik dan tubuh depannya menempel pada tubuh Drake.
Kania berusaha melepaskan diri. “Lepaskan aku!” tangannya berusaha mendorong dada Drake menjauh.
Namun dari segi kekuatan tentu saja Kania kalah. Tangan Drake terlalu kuat memeluk pinggangnya. “So, dengan penolakanmu aku semakin tertarik.” Tangan kanananya digunakan menelusuri lekuk wajah cantik Kania. “Kau tidak tahu aku sebenarnya. Yang diberitahu pegawaimu hanya 10 % dariku. Mari kita lihat seberapa jauh kau akan bertahan.”
Drake melepaskan Kania. Pria itu tersenyum mengerikan kemudian keluar dari ruangan. Meninggalkan seorang perempuan yang siap meledakkan emosinya.
“DRAKE SIALAN!” umpat Kania dengan wajah yang memerah.
**
Hanya dalam kurun 1 minggu. Segala rencana yang telah disusun mulai berantakan. Dari gedung tempat yang akan digunakan launching produk mendadak disewa perusahaan lain. Tim bagian syuting yang tiba-tiba mengundurkan diri. Wartawan dan portal berita yang ingin bayaran jauh lebih tinggi dari biasanya. Paling parahnya adalah aktor maupun aktris yang dihubungi untuk menjadi Ambassador semuanya menolak dengan alasan sibuk.
“Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi semuanya berantakan. Jika memulai lagi dari awal. Waktunya tidak akan cukup,” jelas kepala bagian pelaksana acara.
“Tidak hanya itu, para pemegang saham ingin mencabut sahamnya dengan alasan tidak masuk akal. Katanya Perusahaan ini kecil dan tidak bisa berkembang, mangkanya mereka ingin segera menarik sahamnya.” Kini bagian Keuangan angkat bicara.
Kania memejamkan matanya sebentar. Semua orang yang berada di ruang meeting bisa melihat pimpinan mereka meremas botol air mineral hingga airnya muncrat kemana-mana.
“Akan kuhabisi kau, Bastard!”
Tidak ada yang tahu pasti Bastard yang dimaksud Kania siapa. Semua pegawai yang berada di sana hanya terdiam membisu, seakan mengunci mulut mereka rapat-rapat. Merinding karena baru pertama kali melihat Kania semarah ini. Bos mereka yang dikenal cantik dan ramah menampilkan sisi baru yang berbeda.
**
“Kau yakin melakukan semua itu, Bos?” tanya seorang pria.
Di dalam sebuah penthouse mewah. Seorang pria tampan melipat kakinya. Jari-jari tangannya mengampit seputung rokok. Terbit sebuah senyum dari bibirnya. “Ya. Dia menarik. Aku suka sekali melihat raut wajah marahnya.” Drake tertawa kecil membayangkan betapa kacaunya Kania sekarang. “Dia telah membangunkan sisi iblisku. Seorang Drake tidak mungkin ditolak. Kau juga berpikir begitu?”
Jefri menegakkan tubuhnya. Ia mengangguk. Dalam hati ia berdebar takut melihat Drake yang seperti Psikopat. “Tentu, Bos. Memangnya wanita seperti apa sampai menolak pria sempurna seperti dirimu.”
Tangan Drake mengambil gelas kecil yang berisi cairan vodka. Meminumnya perlahan, menikmati bagaimana cairan itu melewati kerongkongannya.
“Lihat seberapa jauh dia bertahan,” ujarnya. Ia menghisap rokoknya, lalu mengeluarkan asap dari bibirnya. “Kania Ayu Maharani—youre mine.”
Publik hanya tahu seorang Drake adalah aktor tampan dengan kepribadian baik. Ramah dan sering mengajak mengobrol penggemarnya. Mereka tidak akan tahu Drake yang sebenarnya adalah pria dengan aura mematikan, harus mendapatkan apa yang dia mau dan tidak menerima kata kekalahan.
“Sebenarnya apa alasan Bos mengusik perempuan itu?” tanya Jefri.
“Kania—perempuan lancang yang menolongku. Secara tidak langsung dia telah menyerahkan diri masuk ke kehidupanku. Aku tidak bisa membiarkannya pergi begitu saja dariku.”
**
Di dalam ruangannya, Kania tidak bisa menahannya lagi. Perlahan-lahan semuanya terasa begitu jelas jika kekacauan yang terjadi memang ulah seseorang yang tak lain adalah Drake Cole. Kepalanya terasa akan pecah karena terlalu banyak memikirkan solusi apa yang harus digunakan untuk mengatasi semau kekacauan ini.
Ia mengambil ponselnya. Mendial nomor yang kemarin menjadi nomor daftar hitamnya.
“Hallo—aku ingin bertemu denganmu,” ucap Kania.
“Akhirnya kau menghubungiku. Sekacau apa dirimu sekarang?” tanya Drake meremehkan.
“Tutup mulutmu! Aku hanya ingin bertemu denganmu.”
“Datang ke Penthouseku.”
Setelah itu panggilan terputus, disusul dengan sebuah pesan yang masuk. Sebuah alamat lengkap Penthouse pria itu. Kania menghela nafas. Ia menatap cermin yang menampilkan dirinya.
Ya malam ini ia memang harus menemui pria itu. Ia menyapukan lipstik pink ke bibirnya. Setidaknya bisa mengurangi wajahnya yang tidak begitu fresh, bisa dibilang kacau. Ia merapikan penampilannya sekali lagi.
Kemeja berwarna brown. Bawahan celana panjang berwarna hitam dan sebuah scarf yang menggantung di lehernya. Kania tidak akan mau repot-repot mengganti pakaian hanya untuk bertemu dengan iblis seperti Drake.
Ia keluar dari kantornya. Langsung masuk mobil dan menuju alamat yang dimaksud. Sekitar 20 menit ia sampai. Terdiam sebentar mengamati gedung tinggi menjulang di depannya. Perlahan ia keluar. Langkahnya pelan seiring dengan jantungnya yang berdebar. Perasaan was-was dan khawatir menjadi satu.
Setelah keluar dari lift. Ia menuju sebuah pintu. Tangannya terulur menekan bel. Tak lama karena pintu terbuka. Menampilkan sosok yang menempati urutan pertama yang paling ia benci.
“Kania—kau memang tidak terduga,” ucap Drake ketika pertama kali mendapati Kania berdiri di depannya. Ia mempersilahkan Kania masuk.
Kania melangkahkan kakinya masuk ke dalam Penthouse Drake. Matanya langsung disuguhkan ruangan mewah dengan interior super elegan. Berkali-kali lipat lebih bagus dari Apartemennya.
Mata elang Drake menyusuri wajah cantik Kania. Pandangannya turun pada bibir pink perempuan itu. Bayangan kotor melintas di otaknya. Bayangan bibirnya menyapu bibir pink itu dengan lembut. Oh tidak! jangan pikirkan itu sekarang!
“Kau yang menyebabkan semua kekacauan di perusahaanku. Boleh kutahu apa alasannya?” tanya Kania. Tangannya bersindekap. Menunjukkan betapa elegannya dirinya sekarang meski perasaan gelisah terus membayangi dirinya.
Drake menaikkan satu alisnya. “Well kulakukan agar kau menjadi milikku.”
“Permisi, Sir.” Kania tertawa remeh. “Di luar sana banyak wanita. Kenapa harus aku? Dari sekian banyaknya wanita di luar sana kenapa harus aku? Kenapa kau ingin sekali menghancurkan hidupku? Apa aku berbuat salah padamu—Drake?”
Pertama kalinya Kania menyebut nama Drake. Hal tersebut membuat Drake sedikit menyunggingkan senyumnya. “No—kau tidak pernah berbuat salah padaku. Hanya saja…..” Drake melangkah, semakin mendekat pada Kania. “Kau telah masuk ke dalam hidupku.”
Kania semakin pusing dibuatnya. “Bagaimana bisa? Bahkan sebelumnya aku tidak tahu dirimu sama sekali. Aku tidak pernah mencoba masuk ke dalam kehidupanmu!”
“Kau menyelematkanku, yang artinya secara tidak langsung kau masuk ke kehidupanku.” Tangan Drake terangkat menyelipkan helaian rambut Kania ke belakang. “Kau tahu—setelah masuk, aku tidak akan memberi jalan pulang.”
Kania menepis tangan Drake. Ia beringsut mundur. “Kau salah besar. Aku tidak pernah masuk ke kehidupanmu. Aku menolongmu sebagai rasa kemanusiaan. Hanya ada aku di sana. Aku tidak punya pilihan selain menolongmu. Sebagai manusia, aku tidak bisa mengabaikan manusia lain saat membutuhkan bantuan.”
“Itu menurutmu, bukan menurutku. Disini aku yang berhak menilai, Kania. Kau terlalu menarik perhatianku.” Drake menunduk. Membisikkan sesuatu yang mampu membuat Kania berdebar. “Your mine, Kania.”
“Aku tidak pernah menjadi milik siapapun. Aku hanya milik diriku sendiri!”
“Oke, aku akan menghancurkan perusahaanmu hingga tidak ada yang tersisa. Bukankah Karyawanmu mempercayaimu. Secara tidak langsung kau akan membunuh mereka jika kau membiarkan perusahaanmu hancur.”
“LANTAS APA MAUMU?!” jerit Kania tak tertahan.
“Kau menjadi milikku.” Drake menampilkan raut datarnya. Bersabar? Tidak ia bukan orang yang mau lama-lama bersabar. Ia menarik tangan Kania ke arah meja besar. Di atas meja terdapat sebuah dokumen yang telah dipersiapkan Drake jauh-jauh sebelum Kania datang ke Penthouse-nya.
“Tandatangani dan kekacauan perusahaanmu selesai.”
Kania membuka dokumen itu. Di sana tertulis perjanjian antara dirinya dan Drake. Selama 6 bulan ia akan menjadi kekasih dan milik pria itu. Sebagai gantinya, Drake akan melakukan segalanya untuk membuat perusahaannya maju.
Kania menghela nafas. “Tambahkan satu, tidak ada kontak fisik antara kedua belah pihak.”
“Are you kidding me?” Drake memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. “Kita sama-sama dewasa. Sentuhan fisik adalah hal biasa. Kau tidak pernah melakukan sama sekali? Kau dari planet mana?”
“Kalau begitu kontak fisik atas persetujuan kedua belah pihak.” Kania hanya melirik Drake dari ekor matanya. “Tambahkan satu syarat itu dan aku akan langsung menyetujuinya.”
**
Malam ini Kania melangkah masuk ke dalam sebuah restoran. Dress berwarna navy melekat di tubuh indahnya. Sebuah dress dengan potongan sabrina yang menampilkan bahu indahnya. Jepitan rambut berwarna silver terselip disela-sela helaian rambutnya.
Restoran bintang lima yang hanya didatangi oleh kelas atas. Sebuah restoran tertutup dan hanya orang yang telah mereservasi yang bisa datang. Restoran yang hanya bisa dijangkau di lantai paling atas sebuah hotel. Langkahnya terhenti, menyusuri bangku-bangku untuk mencari seseorang.
Hingga dapat, seorang pria yang menggunakan setelan kemeja hitam tanpa jas. Pria yang menggunakan jam Rolex seharga ratusan juta. Kania melangkahkan kakinya menuju ke arah Drake yang telah menunggunya.
Mendengera derit kursi ditarik, membuat sepasang mata elang mendongak. Melihat perempuan yang sedari tadi telah ia tunggu. Drake menyunggingkan senyumnya.
“Beautiful.” Suara Drake rendah. Bertopang dagu dengan mata yang tidak lepas dari perempuan cantik di hadapannya.
“Aku tidak punya waktu mendengar rayuanmu,” balas Kania sengit.
“Kau pasti sengaja berdandan cantik agar aku tidak bisa mengalihkan pandanganku.” Nyatanya Drake semakin gencar menggoda Kania.
Kania mendengus. “Dasar player,” cibirnya pelan.
“Yes, its me.” Diiringi dengan seringaian bangga.
Dua pelayan datang. Menaruh beberapa makanan di atas meja. Kania memperhatikan sembari diam. Sampai pelayan pergi, barulah mereka makan dengan tenang. Tidak ada obrolan sama sekali antara mereka. Hanya dentingan sendok bergesekan dengan piring yang terdengar.
“Lets talk about contract,” ucap Drake. Ia mengeluarkan sebuah dokumen. Dokumen yang seharusnya sudah diperbaiki sesuai dengan permintaan Kania.
Kania mengambil dokumen itu, membukanya dengan pelan. Ia hanya meminta satu syarat dan benar akhirnya syarat itu tercantum di atas kertas bermaterai yang sedang ia pegang sekarang. Sebelum menandatangani kertas itu, ia lebih dahulu menarik nafas panjang.
Tangannya akhirnya meraih bolpoin dan menandatangani kertas itu. Kemudian menyerahkannya pada Drake. Sedangkan Drake, tanpa membacanya terlebih dahulu, pria itu langsung menandatanginya begitu saja.
“Welcome to Drake world.” Drake menatap Kania. Wajah tampan berkali lipat lebih tampan saat memandang Kania.
Kania hanya diam membisu. Ia berdiri, ingin segera pergi dari hadapan pria di hapannya ini. Namun saat baru saja membalikkan badannya, jutru pergelangannya ditarik. Hingga membentur tubuh bidang seseorang.
Drake memeluk Kania, dengan tangan yang berada di pinggang mungil perempuan itu. Ia mendekatkan wajahnya ke ceruk leher Kania. “Do you wanna see butterflies tattoo?” tanyanya dengan suara berat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!