Sekitar dua ratus tahun lalu benua Dua Bintang menjadi area peperangan tiada henti yang berlangsung amat sangat lama, di mana peperangan itu mencakup berbagai kalangan dari mulai pendekar hingga rakyat biasa yang mengabdi untuk kaisar mereka.
Perang itu sendiri terjadi akibat perebutan sumber daya pelatihan diri untuk pendekar yang kian semakin langka, membuat berbagai pihak dari mulai sekte bela diri hingga kekaisaran bertarung antara satu sama lainnya.
Semuanya menjadi semakin kacau saat peperangan itu tidak juga berhenti hingga berpuluh tahun setelahnya, sumber daya yang semakin menipis di benua Dua Bintang membuat peperangan itu bukan mereda malah menjadi semakin parah.
Para pendekar yang mengharapkan bertambah kuat dengan sumber daya, juga kekaisaran yang ingin memantapkan dominasi mereka dengan mendapat sumber daya serupa untuk memperkuat pendekar di pihak mereka. Membuat situasi seolah sudah tanpa harapan, seperti peperangan tidak akan pernah berakhir hingga salah satu dari kedua pihak lenyap.
Itu awalnya, hingga seorang pendekar muda tanpa nama muncul. Di mana kehadirannya berhasil mengguncang seisi benua dengan kekuatannya yang dapat dikatakan amat sangat tidak masuk akal.
Pendekar muda itu tidak berpihak di sisi manapun antara sekte bela diri tempat pendekar bernaung ataupun kekaisaran, membuat peta kekuatan yang awalnya sudah mantap kian mulai goyah.
Mendapat ancaman serta kecaman dari berbagai pihak, tidak membuat pendekar muda itu gentar. Di mana pendekar muda itu tetap bergerak sesuai kata hatinya, yaitu menjadi musuh bagi setiap dari mereka kelompok yang masih keras kepala memilih jalan peperangan.
Tidak peduli baik itu sekte bela diri atau kekaisaran sekalipun berhasil pendekar muda itu tekan dengan kekuatannya, membuat puluhan ribu nyawa pendekar melayang di bawah ayunan pedangnya.
“Teruslah berperang, selama itu pula kalian akan tetap melihatku sebagai mimpi buruk dalam peperangan kalian."
Sebuah perkataan yang hampir selalu pendekar muda itu ucapkan setelah membantai amat sangat banyak nyawa di tengah pertempuran antara kekaisaran melawan kumpulan sekte bela diri.
Kehadiran pendekar muda yang hampir pasti selalu merugikan kedua belah pihak baik kekaisaran ataupun kumpulan sekte bela diri, membuat kedua pihak itu akhirnya memutuskan untuk bekerja sama terlebih dahulu dengan tujuan menyingkirkan si pendekar muda sebelum melanjutkan pertempuran yang terjadi diantara mereka.
Di mana akhirnya terkumpul cukup banyak pendekar hebat dari sekte bela diri ataupun kekaisaran di bawah nama Aliansi yang siap menjadi pedang untuk menyingkirkan sang pendekar muda, dengan kata lain menghilangkan nyawa pendekar muda tersebut.
Clankkk!
Ctinkkk!
Ctankkk!
Suara keras terdengar dari banyaknya senjata yang beradu, menimbulkan suasana mencekam memenuhi area sekitar pertarungan antara pendekar Aliansi melawan sang pendekar muda.
Di mana sekitar ratusan pendekar hebat dari Aliansi, menggunakan seluruh kemampuan mereka untuk menjatuhkan satu orang pendekar muda yang menjadi target mereka.
Pertarungan hebat itu sendiri terjadi dari pagi hingga pagi berikutnya sampai pemenang akhirnya ditemukan, di mana di atas tumpukan jasad korban pertarungan tersebut telah berdiri satu pendekar muda yang sekujur tubuhnya telah dilumuri darah.
“Haha, lemah. Mengecewakan, datanglah padaku kapan saja maka aku akan dengan senang hati menyambut kalian."
Pendekar muda dengan senyum lebar yang menanamkan kengerian bagi setiap pendekar Aliansi yang melihatnya.
Waktu berlalu, di mana setelah pertarungan terakhir antara para pendekar hebat Aliansi melawan seorang pendekar muda. Semua apa yang terjadi setelahnya berangsur membaik untuk benua Dua Bintang.
Baik sekte bela diri maupun kekaisaran meski kerja sama mereka telah berakhir, kini mulai seperti sepakat untuk tidak lagi berperang antara satu sama lain. Di mana masing-masing dari mereka, mulai memilih mengembangkan kekuatan serta pengaruh mereka ketimbang melakukan peperangan berkepanjangan yang seolah tidak ada akhirnya.
Meski itu hanya yang terlihat dari luar, sebab yang terjadi di dalam kenyataanya mereka hanya melakukan itu untuk mempersiapkan diri hingga nanti sang pendekar muda kembali menampakan diri. Di mana mereka tidak ingin sekali lagi dipecundangi oleh pendekar muda tersebut.
Satu tahun, dua tahun dan bertahun-tahun setelahnya. Tanpa di duga sang pendekar muda seolah lenyap di telan bumi, menyisakan kisah heroiknya saja yang di ceritakan turun-temurun oleh masyarakat biasa sebab karenanya mereka kini tidak harus lagi menderita karena pertempuran yang dahulu hampir selalu terjadi di berbagai tempat.
“Pendekar Pedang Harimau Surgawi."
Itulah bagaimana pendekar muda itu di kenal, sebab keganasannya yang bak harimau terlebih ketika tengah mencoba menikam musuhnya.
Waktu berlalu cepat hingga tidak terasa sudah dua ratus tahun terlewat sejak terakhir kali Pendekar Pedang Harimau Surgawi menampakan diri, di mana dalam kurun waktu itu nama Pendekar Pedang Harimau Surgawi mulai perlahan lepas dari ingatan setiap orang hingga seolah menghilang setiap kisahnya layaknya Pendekar Pedang Harimau Surgawi itu sendiri.
***
Di sebuah puncak bukit yang ada amat sangat jauh dari pemukiman, seorang pria yang terlihat ada di usia awal dua puluhan tahun tengah duduk tenang dengan mata terpejam tidak peduli walau terpaan angin cukup kencang menerpa wajahnya.
Hingga di saat pria itu membuka matanya, segera terlihat dua bola mata bewarna biru gelap diikuti sorot mata yang menunjukan kesan teramat sangat terkait ketidakpedulian.
Wajah pria itu memiliki rona pucat, diikuti rambut panjangnya yang memiliki warna serupa dengan matanya membuat ketampanan pria itu menjadi semakin terlihat dan melekat bagi setiap dari siapapun yang pernah melihatnya.
Uhukkk!!!
Pria itu dengan darah mengalir dari tepi bibirnya tepat setelah membuka mata, di mana ekspresinya amat sangat menunjukan jika pria itu seperti tengah begitu kesakitan.
“Setelah sekian lama, bahkan luka dalam dari bekas pertempuran itu belum juga sembuh. Akan berbahaya untukku jika para pendekar dari Aliansi menemukanku," ucap pria itu sedikit khawatir.
Pria itu sendiri nampak bingung setelahnya, tidak pernah menyangka kalau ternyata akan sesulit itu untuk menyembuhkan luka dalam yang dideritanya bahkan setelah bermeditasi cukup lama dengan segala macam sumber daya sebagai penyokongnya.
“Aku harus mencoba mencari cara lain untuk menyembuhkan luka ini, tetapi sebelum itu sudah berapa lama aku bermeditasi?" ucapnya penuh tanda tanya.
Pria itu dengan segera bangkit dari duduknya sebelum berjalan menyusuri medan menurun bukit untuk pergi dari sana, berniat mencari jawaban dari rasa penasarannya.
Hao Zhao merupakan nama pria itu, di mana dirinya lebih di kenal sebagai Pendekar Pedang Harimau Surgawi di dunia persilatan benua Dua Bintang.
Benar, dirinya merupakan pendekar muda legendaris yang namanya begitu menggelegar dua ratus tahun lalu. Di mana Hao Zhao tidak sadar, jika meditasi yang dilakukannya sudah berlangsung selama dua ratus tahun dari saat Hao Zhao pertama kali mencoba menyembuhkan lukanya dengan bermeditasi.
Di mana dalam kurun waktu itu, jelas semua telah berubah demikian berbeda dengan apa yang ada di ingatan Hao Zhao.
“Apa? Kenapa aku seperti terus berjalan memutar sedari tadi? Dari apa yang aku ingat seharusnya tidak jauh dari sini ada sebuah desa, kenapa aku tidak juga menemukannya?"
Hao Zhao tengah dibingungkan saat itu akan apa yang sebenarnya tengah terjadi, sebab tidak biasanya bagi Hao Zhao bisa sampai bingung seperti itu hanya untuk mencari suatu tempat yang normalnya amat sangat mudah untuknya.
“Ingatanku kuat, jadi tidak mungkin aku tersasar, kan?"
Hao Zhao terus mencoba mencari kemungkinan terbesar akan apa sebenarnya yang tengah dirinya alami, sampai tiba-tiba ada beberapa orang dengan kapak di tangan mereka muncul dari balik semak menghadang jalan Hao Zhao.
“Hey, Bocah. Serahkan hartamu atau kau mati!" seru salah satu dari mereka, sudah mengacungkan kapaknya ke arah Hao Zhao.
Hembusan angin semilir melewati banyaknya pepohonan, angin itu cukup menyegarkan sebab masihlah pagi hari itu.
Di pagi hari yang seharusnya Hao Zhao gunakan untuk menikmati perjalanan tenang hingga dirinya menemukan desa, kini harus berhadapan dengan sekitar empat orang dengan kapak di tangan mereka tentu membuat Hao Zhao cukup terusik.
“Empat orang, di lihat dari bagaimana cara mereka memegang kapak seharusnya mereka bukan pendekar tingkat tinggi. Meski begitu, aku masih terluka dan belum sama sekali pulih. Aku harus tetap waspada kalau tidak ingin secara bodoh dikalahkan oleh para bandit tidak jelas ini," batin Hao Zhao.
Hao Zhao jelas mulai bisa menebak situasinya, sebab hal itu bukan sekali dua kali pernah terjadi padanya.
Dunia persilatan adalah dunia di mana yang kuat yang berkuasa, sementara yang lemah akan melakukan segala cara untuk bisa bertahan dari mereka yang kuat. Termasuk para pendekar yang memutuskan untuk menjadi bandit agar tidak tertinggal atau terhenti perkembangan ilmu bela dirinya setelah di tolak berbagai macam sekte karena kurangnya bakat mereka, di mana keempat orang di hadapan Hao Zhao termasuk salah satu dari mereka.
“Menjadi perampas untuk membeli sumber daya? Amat menyedihkan jika mengingat kebanyakan dari mereka tidak menjadikan sesama pendekar sebagai target," gumam Hao Zhao, di mana sorot matanya tidak lepas sedikitpun dari keempatnya.
Hao Zhao mungkin tampak tenang dan terkesan tidak menaruh keinginan melawan, tetapi kenyataanya sama sekali berbeda terlihat dari bagaimana Hao Zhao yang telah siap menarik pedangnya kapan saja kalau-kalau salah satu dari keempat bandit itu bergerak untuk menyerangnya.
“Hey, kau dengar tidak? Berikan semua hartamu, jangan mencoba melawan atau kami buat kau menyesal," ucap satu dari keempat bandit itu, setelahnya mulai melangkah menghampiri Hao Zhao diikuti ketiga yang lain di belakangnya.
“Bandit botak ini pemimpinnya," gumam Hao Zhao, dalam diamnya mulai menganalisa dengan hati-hati empat orang bandit yang akan dihadapinya itu.
“Hey, lihat dia. Betapa menyedihkan."
“Benar, bahkan hingga membatu dan tidak bisa berkata-kata. Dia jelas takut pada kita."
“Hahaha, hey Bocah. Jangan tegang seperti itu, lakukan saja apa yang Ketua kami suruh maka kau bisa pergi dari sini dengan nyawa utuh."
Ketiga bawahan bandit berkepala plontos saling menyahut, di mana tawa mereka terdengar begitu renyah. Seolah mereka sudah pasti bisa makan enak melihat target mereka hanyalah pria muda yang sepertinya sama sekali tidak berdaya.
“Hey, apa di tengah peperangan di mana sumber daya adalah alasannya, kalian bisa menggunakan harta rampasan dariku untuk membeli sumber daya yang tengah menjadi rebutan itu?"
Hao Zhao memilih mencoba terlebih dahulu melakukan pendekatan tanpa kekerasan, mengingat luka dalamnya akibat pertarungan melawan ratusan pendekar Aliansi yang seingatnya baru terjadi tidak berapa lama bahkan satu tahun pun mungkin belum ada.
“Apa? Rebutan? Memang benar menjadi rebutan, tetapi itu hanya untuk sumber daya kelas atas. Sementara untuk sumber daya tingkat bawah hingga menengah itu di jual bebas, di mana asal kau punya uang maka kau bisa membelinya. Sebab itulah kami butuh hartamu untuk peningkatan kekuatan kami sebagai seorang pendekar," ujar bandit berkepala plontos ketika sudah ada di hadapan Hao Zhao.
“Apa? Bukankah sumber daya tengah amat langka sekarang? Apa ada sesuatu yang telah terjadi selama aku memulihkan diri dan belum aku ketahui?" Hao Zhao cukup terkejut mengingat seharusnya sumber daya sekecil apapun akan diperlakukan seperti nyawa mereka sendiri oleh seorang pendekar.
Di mana di banding sumber daya itu jatuh ke tangan orang lain, kebanyakan pendekar lebih memilih bertarung sampai mati untuk mempertahankan sumber daya yang mereka miliki.
Kini tiba-tiba Hao Zhao mendengar jika sumber daya yang langka itu merupakan hal umum untuk diperjualbelikan, tentu di pikir dari segi manapun tetap tidak masuk akal menurut Hao Zhao.
“Hey, Bocah. Kau pikir kita hidup di dua ratus tahun lalu apa? Berhenti bicara tidak masuk akal dan serahkan saja semua hartamu!" seru bandit berkepala plontos yang mulai menduga jika Hao Zhao hanya mencoba mengulur waktu dengan mengatakan semua hal tidak jelas itu.
Hao Zhao yang terlalu larut dalam kebingungan, tidak menunjukan reaksi apa-apa pada keempat bandit di hadapannya ketika mereka bahkan sudah mulai mengancamnya.
“Hey, Bocah! Apa kau tuli? Serahkan hartamu atau nyawamu akan kami hilangkan sekarang juga!" seru bandit berkepala plontos sekali lagi, tidak terima tentu saja ketika Hao Zhao sama sekali tidak menghiraukan ucapannya.
“Tunggu apa lagi Ketua? Habisi saja dia lalu kita ambil setiap dari apa yang ada di jasadnya."
“Benar Ketua, lihat saja betapa mewah pedangnya itu. Bayangkan jika kita berhasil memilikinya, kita jelas akan kaya raya."
Beberapa perkataan dari para bawahan bandit berkepala plontos yang seperti sudah begitu tidak sabar ingin menghabisi Hao Zhao, di mana mereka menduga jika pastilah Hao Zhao merupakan bagian dari keluarga bangsawan bila dilihat dari penampilan mewahnya.
Jubahnya mewah dengan segala pernak-pernik beharga mahalnya, begitu pula dengan pakaian yang ada di balik jubah itu, di mana melihat sekilas saja sudah dapat ditebak jika itu merupakan pakaian dari kain tingkat atas atau mungkin terbaik dari yang terbaik.
“Kebanyakan keluarga bangsawan tidak bisa bertarung dengan benar, jika ada yang bisa pun pastilah hanya sedikit dan semakin sedikit lagi bagian dari keluarga bangsawan yang berhasil menjadi seorang pendekar. Jadi ayo kita buat bocah bangsawan ini menyadari, jika dunia jauh lebih kejam dari pada apa yang terlihat di kediaman mewahnya!" seru bandit berkepala plontos.
Sesaat setelah seruan itu, ketiga bandit yang lain dengan segera saat itu juga mencoba menerjang Hao Zhao untuk menghabisinya.
Hao Zhao yang awalnya ingin bertanya lebih jauh terkait apa yang membingungkan pikirannya, harus membatalkan niatnya karena melihat pergerakan tiga orang bandit bawahan dari bandit berkepala plontos.
“Kalian menangkap kesabaran yang aku miliki dengan cara yang salah." Hao Zhao dengan gelengan kepala pelan segera menarik pedang dari sarungnya, sesaat setelahnya segera menebaskan pedangnya pada ketiga bandit yang tengah mencoba menikamnya itu.
Wushh!!!
Tebasan Hao Zhao tidak mengenai siapapun, membuat keempat bandit dengan segera mengerutkan dahi mereka sebelum tawa keras kembali terdengar setelahnya.
“Hahaha, apa-apaan Bocah ini?"
“Sial, dia pikir mengayunkan pedang akan semudah itu jika belum pernah berlatih sebelumnya."
"Hey, Bocah. Kenapa tidak kau berikan saja pedangmu itu pada kami, itu akan lebih berguna untuk pedangmu dari pada kau gunakan pedang itu untuk menebas angin."
Beberapa perkataan terdengar dari para bandit itu, di mana masih begitu tergelitik mereka teringat akan betapa bodoh tindakan Hao Zhao menurut mereka.
"Menebas angin? Jangan sembarangan bicara," ucap Hao Zhao pelan.
Hao Zhao sendiri setelahnya tidak terlalu memedulikan omong kosong para bandit itu, hanya dengan santai kembali memasukan pedangnya ke dalam sarung yang ada di pinggangnya.
Setelahnya Hao Zhao mulai melangkah untuk menghampiri bandit berkepala plontos, ingin menanyakan lebih jauh pembicaraan sebelumnya terkait sumber daya.
“Kau pikir mau kemana kau, Sialan?"
“Urusan kami denganmu belum selesai, jangan mencoba kabur atau pergi begitu saja dari sini!"
“Benar, sekarang kemari kau. Biar kami penggal kepalamu itu."
Tiga orang bandit jelas tidak membiarkan Hao Zhao melangkah lebih jauh sehingga mencoba menghadangnya, yang mana belum sempat itu mereka lakukan tubuh mereka sudah lebih dahulu jatuh dengan penglihatan mereka yang secara tiba-tiba menggelap.
“Tebasan sebelumnya hanya peringatan, sekarang adalah tebasan yang sebenarnya."
Hao Zhao entah sudah sedari kapan kembali menarik pedang yang sebelumnya telah tersimpan rapih tersebut.
“Apa-apaan kecepatannya itu?" Bandit berkepala plontos yang menyaksikan tiga bawahannya meregang nyawa tanpa bisa balik melawan, dengan segera tentu merasa ngeri pada pria muda yang awalnya sempat dirinya anggap mangsa itu.
Bandit berkepala plontos, sontak melangkah mundur ketika menyadari Hao Zhao sudah mulai melangkah untuk menghampirinya.
“Tuan, tolong jangan mempermasalahkan semua ini lebih jauh. Aku akui kebodohanku karena sudah berani menyinggung sosok luar biasa sepertimu." Bandit berkepala plontos terus menerus mengucapkan penyesalannya, berharap Hao Zhao mau mengerti dan melepasnya.
Apes untuk bandit itu, mengingat Hao Zhao bukanlah orang yang rela melepas musuhnya terlebih setelah semua yang baru saja terjadi.
Dihina, dicerca dan direndahkan. Hao Zhao punya masalah cukup serius jika ada orang yang berani melakukan salah stau dari ketiga hal itu padanya, karena mengingatkan Hao Zhao pada hal buruk yang pernah dialaminya. Sehingga keinginan untuk menghabisi orang yang berani melakukan itu amat sangat besar Hao Zhao rasakan.
Hao Zhao sendiri memang sama sekali tidak memiliki niat melepaskan para bandit itu, terlebih satu bandit yang tersisa merupakan pemimpinnya jika dilihat dari bagaimana ketiga bandit sebelumnya bersikap pada bandit berkepala plontos tersebut.
“Kau, berhenti melangkah mundur atau aku buat kematianmu menjadi jauh lebih menyakitkan dari yang seharusnya." Hao Zhao dengan sorot mata tajam ketika mengatakan hal itu.
Bagaimana cara Hao Zhao menatap sendiri dengan segera jelas membuat bandit berkepala plontos gentar, hingga bahkan jatuh berlutut sebab kakinya yang entah mengapa tiba-tiba terasa lemas.
“Tuan, mohon ampuni kebodohanku." Bandit berkepala plontos dengan ekspresinya yang sudah begitu menyedihkan, berharap Hao Zhao memiliki belas kasihan setelah melihatnya seperti itu.
“Mengampuni kebodohanmu itu hal mudah untukku, tetapi untuk sekarang coba saja dahulu jawab pertanyaanku." Hao Zhao saat sudah ada tepat di hadapan bandit berkepala plontos yang tengah berlutut.
“Cepat katakan apa saja yang ingin Tuan ketahui, aku akan menjawabnya sebisaku." Bandit berkepala plontos dengan pasrah, tidak memiliki keinginan sedikitpun untuk melawan mengingat kemampuannya dengan ketiga bawahannya yang telah dihabisi Hao Zhao sama sekali tidak jauh berbeda.
“Katakan, apa benar dengan uang kau bisa membeli sumber daya?" Hao Zhao yang masih begitu dibingungkan terkait hal tersebut akhirnya memilih bertanya.
“Tentu benar Tuan, bagaimana bisa aku berani berbohong padamu." Bandit berkepala plontos mengangguk cepat membenarkan ucapan Hao Zhao.
“Kalau begitu bisa aku tau kelompok atau sekte mana yang bersedia memperjualbelikan sumber daya seperti itu?" tanya Hao Zhao.
Hao Zhao jelas tertarik untuk mengetahui pihak mana yang rela menjual sumber daya yang mereka miliki hanya untuk uang. Karena untuknya uang adalah hal mudah dan dirinya memiliki banyak bahkan hampir tidak terhitung jumlahnya, sementara sumber daya yang dirinya miliki semakin menipis membuat Hao Zhao berniat membeli sebanyak mungkin sumber daya yang dijual untuk menyembuhkan luka dalamnya juga memperkuat dirinya.
“Sumber daya itu diperjualbelikan di berbagai tempat Tuan, tergantung sumber daya sejenis apa yang Tuan cari. Jadi jika Tuan bertanya padaku di mana tempatnya, hampir di setiap kota ada saja yang menjual sumber daya." jawab bandit berkepala plontos.
Bandit berkepala plontos sempat merasa aneh sebenarnya, mempertanyakan bagaimana Hao Zhao bisa bertanya terkait sesuatu yang mungkin anak kecil saja sudah ketahui.
“Jangan mencoba berbohong padaku." Hao Zhao sudah menarik pedangnya keluar sebagai ancaman untuk bandit berkepala plontos.
Hao Zhao memang merasa semua yang dikatakan bandit berkepala plontos sama sekali tidak masuk akal.
Jika bandit itu mengatakan ada satu atau dua tempat yang dikhususkan untuk itu mungkin Hao Zhao akan percaya, tetapi kalau di banyak tempat ada orang atau kelompok yang memperjualbelikan sumber daya. Anak kecil mana yang coba bandit itu bohongi? Itulah yang ada di pikiran Hao Zhao.
“Tuan, tolong jangan mengarahkan pedangmu padaku. Apa yang aku katakan semuanya adalah kebenaran, jika tidak percaya aku bahkan bisa mengantarmu untuk datang ke salah satu tempatnya." Bandit berkepala plontos jelas panik melihat bilah pedang kini sudah ada begitu dekat dengan lehernya.
Hao Zhao sempat memperhatikan ekspresi bandit berkepala plontos sejenak, sebelum dengan tanpa beban menebaskan pedangnya ke leher bandit itu membuatnya jatuh terpenggal kehilangan nyawa.
“Biar aku pastikan sendiri kalau begitu." Hao Zhao sebelum kembali melangkah untuk pergi dari sana, dengan pedang yang kini sudah kembali rapih ada di sarungnya.
Hao Zhao sendiri bukan tidak percaya akan apa yang bandit berkepala plontos katakan, terlebih setelah melihat sendiri betapa serius ekspresi bandit tersebut ketika mengatakan semua itu. Sehingga rasa penasaran Hao Zhao terkait sumber daya menjadi semakin besar, membuat Hao Zhao ingin sekali segera melihat sendiri kebenaran hal tersebut.
“Tunggu ... seharusnya aku juga bertanya terkait keberadaan desa terdekat."
Hao Zhao yang baru ingat jika dirinya sedari tadi hanya memutar di sekitar sana saja, tanpa tau kemana sebenarnya dirinya melangkah akibat perubahan cukup signifikan area sekitar bukit tempatnya bermeditasi.
“Hanya dalam waktu tidak berapa lama semuanya sudah menjadi begitu berbeda, dari mulai kelangkaan sumber daya hingga bahkan tempat ini saja ikut berubah. Semua Ini benar-benar membingungkan," ucap Hao Zhao.
Hao Zhao yang mulai merasa lelah dengan perjalanannya, akhirnya memutuskan beristirahat di bawah sebuah pohon, “Terlalu mengganggu sekali luka dalam ini, seharusnya aku bisa berjalan berminggu-minggu lamanya dengan tubuhku yang sekarang. Tetapi karena luka ini, berjalan tidak berapa lama saja sudah terasa begitu parah lelahnya."
Hao Zhao setelahnya lebih banyak asik dengan pikirannya sendiri, sebelum mendengar suara langkah kaki dari kejauhan.
Awalnya hanya ada satu orang yang Hao Zhao rasakan tengah mendekat ke arahnya, sebelum merasakan keberadaan dua orang lain yang sepertinya tengah mengejar orang pertama yang Hao Zhao sadari keberadaannya.
Hao Zhao segera melompat ke atas pohon untuk memperhatikan lebih jauh akan apa yang sebenarnya tengah terjadi.
Tidak terlalu suka ikut campur akan apa yang bukan menjadi urusannya memang Hao Zhao, sehingga memilih untuk menjadi pengamat terlebih dahulu di sesuatu yang sepertinya akan merepotkan untuknya itu.
Seorang gadis kecil mendekat tidak lama setelah Hao Zhao mendarat di dahan pohon, di mana gadis kecil itu nampak panik bahkan menangis di tengah setiap langkah kecilnya yang harus terus tetap berlari.
"Tolong!!!"
Suara pekikan permintaan tolong terdengar, di mana itu berasal dari gadis kecil tersebut yang nampak sudah begitu panik setelah menyadari kalau beberapa orang yang mengejarnya kini sudah semakin dekat dengannya.
“Haha, teruslah berlari Gadis kecil. Kau akan tamat jika berani berhenti!"
"Oh, larinya cepat. Sulit sekali sepertinya untuk menangkapnya, hahaha."
Sekitar dua orang pria dengan wajah seram tidak bersahabat tengah berjalan tidak terlalu cepat mengikuti gadis kecil yang mencoba berlari sekuat tenaga, seperti sengaja memberi harapan pada si gadis kecil untuk bisa kabur walau faktanya sama sekali tidak. Di mana jika kedua pria itu ingin, bisa mereka tangkap sebenarnya gadis kecil itu kapan saja.
“Kapak itu? Apa mereka dari kelompok yang sama dengan keempat bandit yang sudah aku habisi sebelumnya?" gumam Hao Zhao yang memperhatikan dalam diam dari atas pohon tidak jauh dari sana, di mana Hao Zhao menyadari jika dua pria yang mengejar si gadis kecil juga membawa kapak yang sama dengan yang di bawa empat bandit sebelumnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!