NovelToon NovelToon

Menikahi Mafia Arogan

Bab 1: Pembantaian

Cheryl tertegun saat menapakkan kakinya memasuki halaman rumah. Ia baru saja pulang dari pesta salah seorang teman.

Tubuhnya tampak gemetar melewati satu per satu pelayan rumah yang telah terkapar menjadi mayat. Mereka tergeletak begitu saja dengan bersimbah darah.

Melihat kejadian mengerikan itu bagaikan mimpi yang tak ingin ia hadapi. Napasnya terasa sesak memikirkan nasib keluarganya yang ada di dalam. Ia mempercepat langkah menuju rumah.

Pintu depan terbuka. Di sana juga terdapat mayat pengawal pribadi orang tuanya. Jantungnya seakan mau lepas saat menemukan sosok ayah dan ibunya juga telah terkapar di ruang tengah.

“Mama! Papa!” teriaknya histeris.

Cheryl langsung berlari mendekati mayat kedua orang tuanya. Dengan tangisan yang terdengar pilu, ia memeluk erat tubuh dingin ibunya juga memegang tangan ayahnya. Ia tidak mengira akan ada orang biadab yang tega membantai seisi rumahnya.

Suasana begitu sepi hingga tangisan Cheryl terdengar menggema di seluruh ruangan. Rasanya ia juga ingin ikut mati Bersama kedua orang tua juga para pelayannya.

“Mama … Papa … siapa yang melakukan semua ini? Huhuhu …. “ tangisan Cheryl masih juga belum berhenti meratapi kepergian kedua orang tuanya sekaligus.

Drap! Drap! Drap!

Terdengar langkah kaki mendekat ke arah Cheryl. Wanita itu menghentikan isakannya seraya menoleh ke asal suara. Seorang lelaki berpakaian rapi mengenakan jas berdiri di depan pintu. Di sekelilingnya terdapat pengawal yang tampak sigap memberikan pengamanan kepada sang bos besar.

Sebilah pistol dipegang oleh lelaki itu. Wajahnya sangat familiar untuk Cheryl. Lelaki itu beberapa kali dikenalkan oleh ayahnya, bahkan pernah berniat menjodohkan mereka. Namanya Januar Atmaja, lelaki dingin yang dikenal dengan panggilan Janu itu merupakan putra dari sahabat ayahnya.

Darah Cheryl seakan mendidih melihat pelaku pembantaian keluarganya ada di sana. “Dasar b1adab!” umpatnya.

Para pengawal langsung mengacungkan senjata saat Cheryl terlihat bangkit dan hendak menghampiri bosnya. Namun, Janu memberi isyarat agar mereka menurunkan senjata.

“Lelaki br3ngsek! B@ngsat! B1adab! Kenapa kamu tega membunuh keluargaku? Huhuhu ….” Cheryl melampiaskan kekesalannya dengan memukuli Janu. Bahkan ia berusaha untuk mencakar wajah lelaki itu. Segala umpatan ia keluarkan untuk mengutarakan kesedihan dan kemarahannya.

“Kenapa kalian masih diam di sini? Cepat cari dokumen-dokumen berharga yang masih tersisa!” perintah Janu kepada para pengawalnya sembari menahan tangan Cheryl yang terus menyerangnya.

Para pengawal berpencar ke setiap sudut rumah untuk mendapatkan barang yang mereka inginkan.

“Kamu mau apa dari rumah ini? Kalau ingin merampok, kenapa harus membunuh mereka semua, hah!” ucap Cheryl.

Janu terkesan tidak mau menanggapi semua ucapan Cheryl. Ia hanya berusaha bersabar agar tidak terpancing emosi dengan kelakuan Wanita itu.

“Dasar pembunuh! Aku tidak akan membiarkanmu hidup tenang! Aku bersumpah akan membunuhmu, Janu!” teriak Cheryl.

Tidak tahan dengan kebisingan yang wanita itu buat, Janu membawa paksa Cheryl di atas pundaknya. Ia membawa wanita itu keluar dari rumah. Setiap langkah yang dilakukan, wanita itu meronta meminta dirinya untuk melepaskan.

Janu tidak mau mendengarkan keinginannya. Ia memasukkan Cheryl ke dalam mobil miliknya dan menurunkannya secara kasar.

“Kunci pintunya!” perintah Janu kepada sang sopir.

Cheryl tidak bisa keluar. Ia hanya bisa menggedor-gedor kaca mobil minta dibukakan pintu. Janu hanya memandangi tingkah wanita itu dengan perasaan kesal.

Sekitar tiga puluh menit, para pengawalnya sudah kembali membawa sejumlah barang yang didapatkan dari rumah itu. Janu memberi isyarat agar mereka masuk kembali ke dalam mobil.

“Bagaimana dengan mayat-mayat yang ada di dalam, Tuan? Termasuk Tuan Hendry dan Nyonya Citra?” tanya salah seorang pengawal.

“Urus semuanya dengan rapi dan bekerjasamalah dengan polisi untuk menyelesaikan masalah ini!” pinta Janu.

“Baik, Tuan.”

“Persiapkan juga pemakaman yang layak. Bagaimanapun juga, mereka teman baik orang tuaku," tambah Janu.

"Baik, akan saya persiapkan dengan baik.”

Pengawal tersebut kembali ke mobilnya. Janu juga memberikan kode agar sang sopir membukakan pintu untuknya. Di dalam ada Cheryl yang masih terisak di sana. Wanita itu sepertinya telah kehabisan tenaga sampai tidak bisa memaki-maki lagi.

“Mama … Papa … hiks! Hiks!”

Cheryl terdengar merengek saat mobil mulai berjalan. Wanita itu duduk meringkuk di pojok dekat kaca jendela memberi jarak dengan Janu. Ia masih tidak habis pikir lelaki itu tega membunuh kedua orang tuanya. Padahal, ayahnya sering membangga-banggakan lelaki itu di hadapannya.

“Keluar!” perintah Janu saat mobil mereka sampai di halaman sebuah rumah besar di tengah hutan.

“Tidak mau!” tolak Cheryl.

Sepanjang perjalanan Janu sudah menahan emosi mendengar rengekan dan tangisan Cheryl. Mendengar penolakan wanita itu, ia kembali tidak sabaran. Dengan kasar tangan Cheryl ditarik agar mau keluar dari dalam mobil.

“Lepaskan! Dasar pembunuh! Tempatmu di neraka!” Cheryl berusaha melawan.

Janu kembali menggendong Cheryl di pundaknya. Tubuh wanita itu seakan sangat ringan bagaikan kapas. Meskipun tubuhnya terus dipukuli, Janu tetap terlihat berjalan tegap tampa beban.

Para pengawal berjalan dengan tertib di belakang mereka. Tidak ada yang berani mengomentari kelakuan bos mereka. Bahkan saat Janu membawa wanita tersebut ke dalam kamar, mereka hanya diam.

Janu menurunkan Cheryl di ranjang miliknya. Wanita itu kembali berusaha kabur dengan turun dari ranjang. Cheryl menemukan sebilah pisau di tempat buah. Ia mengambilnya dan mengarakhan kepada Janu.

“Aku akan membunuhmu kalau tidak mau melepaskanku!” ancam Cheryl.

Janu terlihat santai melihat kelakuan Cheryl. Ia bahkan berani maju mendekat seakan sedang menantang Cheryl untuk melakukan apa yang baru saja dikatakan.

“Aku tidak main-main. Biarkan aku pergi atau aku tidak segan untuk membunuhmu!” tubuh Cheryl bergetar. Ia ketakutan sendiri sampai melangkah mundur melihat Janu mendekat ke arahnya.

Merasa posisinya semakin terdesak, Cheryl memberanikan diri menghunuskan pisaunya kea rah Janu. Namun, dengan sigap lelaki itu menangkis pisau dengan tangannya. Tatapan matanya begitu tajam seakan tidak merasakan kesakitan sama sekali saat tangannya tersayat dan mengeluarkan darah karena pisau tersebut. Justru Cheryl yang mengalah melepaskan pisau itu dari tangannya. Ia kembali takut melihat darah segar mengucur dari tangan Janu.

“Hah! Katanya mau balas dendam. Kamu takut dengan ini?” Janu menyunggingkan senyum memperlihatkan telapak tangannya yang berdarah.

Cheryl membeku seakan tidak mampu melakukan apa-apa. Janu melepaskan dasinya untuk membalut luka di telapak tangannya. Ia melepaskan jas dan kemeja yang membuatnya seharian gerah.

Melihat lelaki tersebut bertelanjang dada membuat Cheryl membuang muka dan memilih menjauh darinya.

Namun, Janu sengaja menarik tangan Cheryl dan menjatuhkan wanita itu di atas ranjang. Ia begitu puas memandangi wajah pucat dan ketakutan yang Cheryl perlihatkan kepadanya. Melihat wanita yang tampak lemah itu membuatnya merasa ingin melindungi.

 

Bab 2: Amnesia

“Kamu mau apa?” tanya Cheryl khawatir. Melihat lelaki bertelanjang dada yang ada di atasnya membuat pikirannya jauh kemana-mana.

Janu menyeringai. “Kenapa? Kamu takut kalau aku akan mengajakmu tidur?” godanya.

“Kamu memang benar-benar b1adab! Sepertinya papaku sudah salah menilaimu. Setelah membantai keluargaku, kamu juga berniat memperk0saku?” Cheryl menunjukkan kegeramannya.

“Jangan sok berani terhadapku kalau memakai pisau saja kamu masih gemetar. Lalu, bagaimana caramu membalaskan kematian keluargamu dengan sikap penakut seperti ini?” kata-kata Janu membuat Cheryl tersindir.

“Aku pasti akan membunuhmu! Entah bagaimanapun caranya, aku akan membunuhmu!” ancam Cheryl dengan tatapan tajam matanya.

“Bunuh saja kalau kamu bisa. Lagipula, siapa yang tertarik dengan wanita jelek sepertimu!”

Janu pergi meninggalkan Cheryl di sana. Cheryl merasa lega, setidaknya lelaki itu tidak melakukan hal yang macam-macam kepadanya.

Cheryl memandangi kamar milik Janu. Sebuah kamar yang didesain ala-ala Eropa, terkesan luas dan mewah dengan langit-langit yang cukup tinggi.

Ia berjalan ke arah jendela, melihat situasi di luar dari atas sana. Tampak penjaga sedang berjaga-jaga di sana.

Ia beralih ke sisi jendela yang lain yang mengarah ke bagian belakang bangunan. Tampaknya tidak ada yang berjaga di sana. Taman belakang terlihat sepi. Cheryl memikirkan ide untuk bisa keluar dari sana. Dilihatnya tirai-tirai yang menghiasi bagian ranjang. Ia berniat menggunakan benda itu untuk turun ke bawah.

Dengan perlahan dan hati-hati, ia mengulurkan tirai yang telah disambung sedemikian rupa agar sampai ke bawah. Sebelum turun, ia memastikan keadaan aman.

Akhirnya, Cheryl berhasil turun ke bawah dengan selamat. Ia cukup berbangga hati atas keberhasilannya kali ini.

“Tuan, Nona itu kabur!”

Baru saja merasa senang bisa berhasil turun ke bawah, salah seorang penjaga memergokinya. Tak jauh darinya ternyata juga ada Janu.

“Mati aku!” pekik Cheryl.

Cheryl berlari sekuat tenaga menuju ke pintu belakang yang tidak tertutup. Janu dan para pengawalnya tampak mengejar di belakang. Ia semakin mempercepat larinya. Kaki yang terasa sakit tanpa alas kaki ia abaikan asalkan bisa bebas dari tempat itu.

Suasana malam cukup gelap dan mencekam. Ia benar-benar melewati hari yang berat. Setelah kehilangan kedua orang tua, ia kini harus berusaha kabur dari orang yang ingin menculiknya.

“Cheryl … semangat! Kamu pasti bisa!”

Cheryl terus berlari mengabaikan duri-duri yang tak sengaja diinjaknya. Ia hanya berharap segera sampai di ruas jalan utama dan meminta pertolongan pada orang yang lewat.

Saat hampir sampai di jalan, ia senang. Apalagi di sana ada lampu jalan. Tampak kendaraan yang berjalan mendekat. Ia mempercepat langkah mengingat itu merupakan kesempatan terbaiknya untuk kabur.

“Tolong … tolong …,” teriak Cheryl sembari melambaikan tangannya.

Bruk!

Sepertinya mobil tersebut tidak mengetahui keberadaan Cheryl. Mobil itu tidak sengaja menyerempet tubuh Cheryl hingga terpental ke pinggir jalan.

***  

“Tuan, Nona Cheryl sudah siuman,” ucap Fin, personal asisten yang selalu membantu kegiatannya sehari-hari.

Janu meregangkan kedua tangannya. Ia meninggalkan sejenak tumbukan berkas yang ada di meja kerjanya. “Kita pergi ke rumah sakit sekarang!” pintanya.

Sudah seminggu Cheryl mengalami koma di rumah sakit. Kata dokter, wanita itu mengalami gegar otak dan kemungkinan akan menjadi hilang ingatan sementara.

Janu semakin kesal dengan wanita merepotkan itu. Ia sudah berbaik hati memberikan tempat tinggal yang nyaman, namun wanita itu berusaha kabur. Orang yang menabrak merupakan salah satu anak buahnya yang tidak sengaja melewati jalan itu dan tidak mengetahui ada orang di pinggir jalan.

Cheryl langsung dilarikan ke rumah sakit oleh Janu. Kalau saja tidak ingat pesan orang tuanya, mungkin ia sudah membiarkan wanita itu mati di pinggir jalan. Menjaga seorang wanita muda lebih sulit daripada memelihara singa.

Setelah 30 menit perjalanan dari kantornya, Janu dan Fin akhirnya sampai di rumah sakit. Sudah ada dokter dan beberapa perawat yang berada di ruangan Cheryl.

“Tuan, sejak tadi Nona Cheryl mengamuk dan marah-marah tidak jelas,” bisik salah seorang anak buah yang ia tugaskan di sana.

“Pergi kalian dari sini! Aku tidak mau melihat kalian!” bentak Cheryl. “Kenapa aku ada di sini? Aku mau pergi!”

Cheryl kembali mengamuk. Ia berusaha melepaskan selang infus yang terpasang di tangannya. Beberapa perawat terpaksa memegangi kedua tangan Cheryl agar tidak membahayakan diri sendiri.

Janu yang melihatnya berjalan mendekat menghampiri Cheryl. “Sayang, akhirnya kamu bangun,” ucap Janu seraya memeluk lembut tubuh Cheryl. Ia mengusap-usap punggung wanita itu dengan penuh kasih sayang.

Perlakuan yang Janu berikan mampu menenangkan hati Cheryl. Wanita itu terdiam dalam dekapan Janu.

“Tenangkan dirimu, Sayang, semuanya akan baik-baik saja,” kata Janu berusaha menenangkan Cheryl.

Semua orang yang ada di sana saling berpandangan melihat keromantisan yang terjadi. Beberapa perawat tersenyum-senyum karena baper dengan adegan itu. Namun, asisten dan anak buah Janu hanya bisa keheranan dengan hal itu. Janu yang tidak menyukai Cheryl bisa bersikap lembut dan memanggil wanita itu dengan romantic.

“Kamu siapa?” tanya Cheryl penasaran. Ia merasa lelaki itu bisa memberikannya ketenangan.

Janu tersenyum tulus. “Kamu tidak ingat apapun?” tanyanya sembari menyibakkan helaian rambut ke belakang telinga Cheryl.

Cheryl menggeleng.

“Aku Janu, calon suamimu,” katanya.

Cheryl tidak mengingat apapun. Mendengar pengakuan lelaki itu yang memiliki hubungan khusus dengannya, ia merasa sedikit percaya.

“Kamu tidak perlu berusaha keras untuk mengingat-ingat, aku akan sabar mendampingimu sampai sembuh. Kalau kecelakaan itu tidak terjadi, seharusnya kita sudah resmi menjadi suami istri,” kata Janu. Ia cukup lihai Menyusun kebohongannya di hadapan orang yang amnesia.

“Kita mau menikah?” tanya Cheryl memastikan.

Janu mengangguk. “Ada banyak hal yang ingin aku ceritakan, namun sepertinya ini bukan waktu yang tepat. Kamu harus diperiksa dulu oleh dokter supaya cepat sembuh, ya!” rayu Janu.

“Kamu akan tetap di sini, kan?” Cheryl memegangi tangan Janu seperti seekor anak ayam yang takut kehilangan induknya.

“Tentu saja. Aku akan menunggumu di sini.”

Akhirnya, Cheryl mau diperiksa oleh dokter. Janu hanya memperhatikan Cheryl yang menjadi penurut karena perkataannya.

“Tuan, kenapa Anda mengatakan hal semacam itu?” tanya Fin penasaran.

“Mengatakan apa? Tentang pernikahan?” Janu balik bertanya.

“Iya, Tuan.”

“Setidaknya aku bisa mengurungnya secara halus dengan status pernikahan nati. Aku akan lebih repot jika membiarkannya hidup di luar.”

“Lalu, bagaimana dengan prosesi pemakaman jenazah Tuan Hendry dan Nyonya Citra? Sudah satu minggu itu di tunda.”

“Kamu lakukan saja sendiri,” kata Janu.

“Apa Anda yakin? Bagaimana dengan Nona Cheryl?” tanya Fin memastikan.

“Dia tidak perlu tahu. Aku akan memberitahunya saat waktunya tepat. Jangan beri tahu tentang kematian orang tuanya. Rahasiakan dulu hal ini!” perintah Janu.

“Baik, Tuan.”

 

Bab 3: Pernikahan Sunyi

Gaun putih yang indah membalut tubuh Cheryl. Sebuah mahkota terpasang di atas kepalanya. Hari ini ia bagaikan seorang putri yang akan dipersunting sang pangeran. Dia tampil sangat cantik dengan make up tipisnya.

"Kamu cantik sekali," puji Janu.

Lelaki itu menghampiri Cheryl di ruang make up dengan telah mengenakan pakaian rapi. Ada buket bunga kecil yang terselip di saku jas pengantinnya.

Cheryl memandangi lelaki tampan yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Seharusnya hari ini menjadi hari yang berbahagia untuknya. Namun, entah mengapa rasanya terasa aneh. Ia meyakinkan dirinya bahwa perasaan itu sebatas keraguan karena ia mengalami anmesia.

Cheryl sama sekali tidak bisa mengingat apapun sebelum kecelakaan terjadi. Ia bahkan tidak mengingat wajah kedua orang tuanya jika bukan Janu yang menunjukkannya. Dari foto-foto yang dia miliki menunjukkan kedekatan yang erat antara orang tua mereka.

"Apa kamu sudah siap?" tanya Janu.

"Em, pihak keluargaku benar-benar tidak ada yang datang?" tanya Cheryl memastikan.

Janu menggelengkan kepala. "Sudah aku bilang kita sama-sama sebatang kara. Tidak ada lagi yang tersisa selain kita," kata Janu.

"Sungguh jahat orang-orang yang sudah menghabisi keluarga kita. Kenapa mereka tega melakukannya?" Cheryl merasa sedih pernikahannya tak dihadiri seorangpun yang bisa ia kenal.

Janu meraih tangan Cheryl. "Jangan takut, kita akan menjadi kuat jika bersama," katanya.

Keduanya bergandengan tangan dan berjalan beriringan meninggalkan tempat persiapan.

Pesta pernikahan digelar di taman samping mansion dengan dihadiri oleh para pelayan dan anak buah Janu. Tidak ada tamu undangan yang khusus. Katanya, semua demi keselamatan dirinya. Ada banyak orang yang memiliki dendam terhadap mereka.

Acara berlangsung cukup singkat. Cheryl dipandu kepala keamanan rumah yang berperan sebagai pengganti ayahnya. Ia diantarkan ke altar pernikahan menemui Janu yang tampil begitu rapi dengan setelan tuxedonya.

Setelah janji pernikahan mereka ucapkan, keduanya saling berciuman. Begitulah jalannya pernikahan yang terjadi hari itu.

Cheryl kira, setelah pernikahan itu, ia akan melewati malam pertamanya. Ia terlihat cukup gugup membayangkan seperti apa malam pertama mereka. Namun, apa yang dia khawatirkan tidak terjadi.

"Sekarang ini menjadi kamarmu. Aku akan tidur di kamar yang lain," begitu ucap Janu saat mampir sejenak ke kamar Cheryl.

"Em, kenapa kita tidak tidur di kamar yang sama?" tanya Cheryl dengan polosnya.

Janu menyeringai. Ia berjalan mendekat ke arah Cheryl dan memeluk pinggangnya. Saat ia mendekatkan bibirnya, Cheryl memejamkan matanya.

"Apa kamu takut aku cium?" goda Janu.

Cheryl merasa gugup. Ia memang belum terbiasa dengan kontak fisik seperti itu.

"Kamu belum sepenuhnya sembuh dari amnesia. Aku takut nanti kamu akan syok dengan banyaknya kontak fisik yang dilakukan pasangan suami istri." Janu mulai mengatakan kata-kata yang mengintimidasi, membuat Cheryl membayangkan hal-hal yang menakutkan.

"Kita akan berciuman dengan dalam sampai napas kita tersengal-sengal. Kita juga akan saling menanggalkan pakaian dan ...."

"Cukup, cukup ...." Cheryl merasa merinding tidak sanggup membayannya lagi. Ia mendorong Janu agar menjauh darinya. Kondisi amnesia yang dialaminya memang masih membuatnya bingung karena ia sangat merasa asing dengan Janu yang kini menjadi suaminya sendiri.

Janu tersenyum. "Makanya aku memberimu waktu untuk beradaptasi di tempat ini. Kalau ingatanmu sudah kembali, baru kita akan hidup sebagai suami istri yang sesungguhnya."

Sebelum pergi, Janu menepuk puncak kepala Cheryl sebelum ia keluar dari kamar itu.

Sebagai seorang istri, ia merasa aneh dengan suaminya. Padahal, saat ia berada di rumah sakit, Janu terlihat seperti lelaki yang begitu penyayang dan peduli padanya. Setelah pernikahan lelaki itu langsung menunjukkan sikap dinginnya.

Cheryl mencoba mengabaikan keanehan tersebut. Ia juga merasa belum siap memiliki hubungan yang lebih dekat dengan lelaki yang tidak dikenalnya. Ia ingin segera mendapatkan kembali ingatannya agar bisa mengetahui seperti apa hubungannya dengan Janu yang sebenarnya.

Malam selanjutnya, Janu tak pernah datang ke kamarnya. Lelaki itu selalu berangkat kerja lebih awal dan pulang sangat larut. Cheryl bahkan tidak pernah bertemu dengan suaminya meskipun tinggal di atap yang sama.

"Sebenarnya dia kerja apa? Katanya ingin membuatku terbiasa di sini. Tapi menyapa sesekali saja tidak pernah. Bagaimana bisa kita jadi dekat?" gumam Cheryl.

Ingin rasanya ia mengutarakan isi hatinya. Lama-lama di sana, ia merasa bosan juga. Meskipun segalanya telah terpenuhi dan ada belasan pelayan yang siap melayani, ia seperti terpenjara di sana. Ia merupakan nyonya rumah yang seakan tidak dianggap oleh tuan di rumah itu.

Untuk menghilangkan rasa bosan, ia hanya bisa berkeliling rumah, menghapalkan setiap sudut rumah, juga bagian taman depan, samping, dan belakang. Rumah itu jauh dari pemukiman, di kanan kirinya tidak ada tetangga.

"Bibi ...," panggil Cheryl kepada seorang pelayan yang cukup tua usianya. Pelayan itu baru saja selesai menyapu halaman samping.

"Iya, Nyonya, ada yang bisa saya bantu?" wanita tua bernama Sarinah itu berjalan mendekat ke arah Cheryl yang tengah duduk di ayunan dekat kolam ikan.

"Jam berapa biasanya Tuan pulang?" tanya Cheryl.

"Saya tidak terlalu paham, Nyonya. Tuan terkadang pulang, tapi lebih sering tidak pulang. Penjaga gerbang seharusnya lebih tahu tentang itu."

Cheryl sangat ingin menemui suaminya. Ia ingin sesekali keluar dari sana karena sudah lebih dari satu bulan ia hanya berasa di dalam mansion megah itu.

"Apa kamu tahu di mana alamat kantornya?" tanyanya lagi.

"Maaf, Nyonya. Saya hanya bekerja di sini, tidak mengerti urusan Tuan di luar rumah."

Cheryl mengernyitkan dahi. "Bukannya Bibi sudah sepuluh tahun lebih bekerja untuk keluarga ini?" tanyanya heran.

"Benar, Nyonya. Tapi, Tuan Janu jarang pulang ke mansion ini. Tuan baru tinggal lama di sini selama beberapa bulan terakhir. Tuan lebih banyak menghabiskan waktu di luar negeri."

"Bibi ... Boleh aku menggerutu sedikit di depanmu?" tanya Cheryl.

Bi Sarinah keheranan. "Kenapa Nyonya ingin menggerutu?"

"Kami sudah satu bulanan menikah, tapi dia tidak pernah menyapaku. Aku juga tidak tahu suamiku kerja apa dan dimana. Apa itu wajar?" tanya Cheryl.

Bi Sarinah terlihat kebingungan untuk menjawab. "Ah, itu mungkin karena Nyonya masih sakit," kilahnya.

Cheryl benar-benar semakin merasa janggal dengan hubungan mereka. Kalau Janu lebih lama tinggal di luar negeri, bagaimana bisa hubungannya tetap berjalan baik? Ia semakin merasa jika pernikahannya tidak beres.

Cheryl menduga mungkin saja Janu sebenarnya ingin membatalkan pernikahan. Karena kasihan, lelaki itu tetap menikahinya. Tidak heran jika sikap Janu sangat dingin kepadanya.

"Kalau tidak mau menikah seharusnya bilang saja! Kalau begini aku bisa mati kesepian seperti tahanan," gerutunya dengan suara kecil.

"Kenapa, Nyonya?" tanya Sarinah yang kurang jelas mendengar gumaman Cheryl.

"Ah, tidak apa-apa. Bibi kembali saja bekerja!" pinta Cheryl.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!