NovelToon NovelToon

The Ghost Prince

Permintaan Ibu

"Aku selalu menyalahkan pencipta karena kesulitan yang aku alami. Hingga akhirnya, aku sadar. Pencipta telah menyiapkan yang terbaik untukku."

Di sebuah kamar di panti asuhan, Reine sedang berbaring di kasur berseprei biru miliknya. Perempuan itu tidak sendirian, ada seorang pria juga yang terbaring di sana sambil memandang wajah cantik Reine. Pria itu membelai rambut Reine yang panjang layaknya sang kekasih. Sesekali ia memandang perban di kepala Reine dengan wajah sedih.

"Apa kepalamu masih terasa sakit?"

Reine menggeleng pelan. "Aku terlalu ceroboh hingga bisa terpeleset di kamar mandi."

Pria itu hanya tersenyum mendengar perkataan Reine. "Kau selalu melarangku masuk ke kamar mandi. Coba saja aku ikut masuk tadi, pasti kejadian ini tidak akan terjadi."

"Dasar pria mesum!" Reine tersenyum geli mendengar perkataan pria itu.

"Aku bisa melakukan apa yang aku inginkan. Kau tahu itu!" Pria itu menatap tajam wajah Reine.

"Tapi kau tidak akan melakukannya jika aku tidak mengijinkan," jawab Reine merasa menang.

"Ya, anggap saja karena aku terlalu mencintaimu."

Ceklek, pintu terbuka dari luar. Seorang wanita yang berusia sama dengan Riene masuk ke dalam kamar. Reine segera mengatur posisinya. Wanita itu tidak mau terlihat sedang berbaring di atas tangan seorang pria.

"Reine, kau pernah melihat buku kecil berwarna kuning di sini?"

"Buku?" Reine memandang pria yang disampingnya sebelum duduk di atas tempat tidur.

"Ya. Buku kecil. Isinya data anak panti. Aduh, di mana ya. Kemarin aku letakkan di sini." Wajahnya terlihat panik.

"Biar aku bantu cari." Reine turun dari tempat tidur. Ia membantu rekan sekamarnya untuk mencari buku kuning yang di maksud.

"Ada di sana. Di tong sampah!" ujar pria yang tadi bersama Reine. Reine hanya diam dan berjalan ke tong sampah. Kaki kanannya ia sengaja menendang tong sampah agar sampah yang ada di dalamnya berserak.

"Reine, suara apa itu?"

"Aku tidak sengaja menendang tong sampah. Biar aku bersihkan," jawab Reine sebelum berjongkok. Ia mulai memilih sampah kertas yang ada di dalam tong sampah. Hingga akhirnya ia berhasil menemukan buku kecil yang di cari temannya. "Angel, apa ini yang kau cari?"

Perempuan itu memalingkan wajahnya. Ia memandang buku kecil yang kini ada di tangan Reine. "Ya, benar. Syukurlah ketemu juga."

Reine memberikan buku itu dengan senyuman. "Untuk apa kau mencatat nama-nama anak panti?"

"Ada pemilihan calon istri pangeran. Ibu panti memintaku untuk mencari wanita yang sesuai dengan kriteria."

Reine hanya mengangguk. "Kau tidak ikut?"

Angel hanya tersenyum. "Aku ingin, tapi aku tidak akan terpilih. Jelas-jelas tubuhku pendek. Hanya wanita tinggi dan proposional yang akan di pilih."

"Benarkah?" Reine menaikan alisnya.

"Ya." Angel memasukkan buku kecil itu ke dalam tas. "Reine, aku pergi dulu ya. Terima kasih sudah membantuku menemukan bukunya."

Tanpa menjawab Reine hanya tersenyum. Ia melipat kedua tangannya di depan dada. "Pencarian calon istri pangeran? Apa pangeran itu tidak mampu mencari wanita yang ia cintai sendiri? Kenapa harus ada seleksi? Merepotkan pihak istana saja," gumam Reine di dalam hati.

"Kau tertarik untuk ikut?" bisik pria tadi di dekat telinga Reine. Bulu kuduk Reine bergidik ketika ia merasakan napas hangat pria tersebut.

"Darren, aku tidak mau menikah dengan pria lain. Bukankah aku sudah memilikimu?" Reine tersenyum manja. Kepalanya sengaja ia sandarkan di pundak kekar Darren.

"Aku mencintaimu, Reine."

"Aku juga sangat mencintaimu, Darren …."

***

Saat malam tiba, tiba-tiba saja kepala panti memanggil Reine untuk menemuinya. Reine yang sudah memakai pakaian tidur hanya bisa menurut. Setelah mengetuk pintu dan diijinkan masuk, Reine segera berjalan menuju ke kursi yang tersedia.

"Ibu manggil Reine?"

Wanita berusia sekitar 45 tahun itu memandang Reine sejenak sebelum fokus pada foto wanita di tangannya. "Ya, Reine. Bagaimana dengan cedera di kepalamu?"

"Sudah mulai baikan, Bu."

"Apa ada bekasnya? Ini ada obat yang bisa menghilangkan bekas luka tersebut."Reine

Reine memandang obat yang diberikan padanya sebelum memegang obat itu. "Terima kasih, bu."

Wanita paruh baya itu meletakkan foto yang sempat ia lihat. Ia memandang wajah Reine dengan saksama sebelum menghela napas. "Reine, ada yang harus ibu ceritakan padamu."

"Ada apa, bu?" Hanya melihat wajah ibu panti yang berubah serius saja sudah membuat hati Reine tidak tenang. Ia yakin kalau ada sesuatu yang terjadi kali ini.

"Di panti kita, tidak ada satu wanitapun yang cocok untuk menjadi calon istri pangeran. Hanya kau satu-satunya yang memenuhi kriteria, Reine."

Reine tertegun beberapa detik. Ia sempat membisu karena tidak tahu harus berbicara apa. "Apa mengirim wanita dari panti salah satu kewajiban, bu?"

"Ya. Mereka yang selalu membiayai panti kita. Adik-adikmu hidup dengan layak karena uluran tangan sang Ratu. Mereka meminta panti kita mengirim satu wanita yang kriterianya sesuai dengan apa yang mereka tentukan?"

"Untuk menjadi istri Pangeran?" tanya Reine memastikan.

"Belum tentu. Di sana kau akan bersaing dengan putri dari konglomerat dan beberapa wanita pilihan yang ada di negara ini. Jika tidak terpilih, kau bisa kembali ke panti. Bagaimana?"

Kepala panti tahu kalau Reine tidak akan bersedia untuk mengikuti seleksi seperti itu. Tapi, ia tidak memiliki pilihan lain selain membujuk Reine agar mau ikut.

"Tapi ... bu. Bagaimana kalau Reine terpilih dan harus menikah? Reine belum siap untuk menikah." Reine memasang wajah sedih berharap ibu panti tidak memaksanya lagi.

"Reine, sekali ini. Tolong turuti permintaan ibu. Usiamu juga sudah 21 tahun. Sudah pantas untuk menikah. Kau juga tidak memiliki pacar. Bahkan bertemu pria saja tidak pernah. Reine, ibu harap kau mau mengabulkan permintaan ibu. Ibu tidak sanggup bertemu dengan utusan istana besok."

Reine semakin tidak tega mendengar perkataan ketua panti yang begitu memelas. Selama ini dirinya sudah di anggap seperti anak kandung. Reine selalu mendapat perlakuan istimewa daripada rekannya yang lain. Hanya kali ini ibu panti meminta sesuatu padanya.

"Baiklah, Bu. Reine bersedia."

Ibu panti tersenyum bahagia. Ia memegang kedua tangan Reine. "Terima kasih, Reine."

Reine mengangguk pelan. "Apa Reine boleh kembali ke kamar, bu?"

"Ya, sayang. Silahkan. Besok pihak istana akan datang untuk melihatmu. Jika mereka memilihmu, lusa kau akan berangkat ke istana untuk mengikuti proses seleksi," ucap ibu panti dengan penuh semangat.

Reine hanya bisa tersenyum terpaksa. Ia tidak mau ibu panti tahu kalau kini dirinya sangat tertekan. "Selamat tidur, bu." Reine berjalan pergi meninggalkan ruangan ibu panti. Saat tiba di depan pintu, wajah Reine berubah tidak bersemangat.

"Apa yang harus aku lakukan? Ada banyak wanita yang menginginkan seleksi ini tapi kenapa harus aku yang terpilih?"

Penolakan

Reine menutup pintu kamarnya dengan hati-hati. Di dalam kamar itu dia tidak tidur sendirian. Angel juga tidur bersamanya. Tempat tidur mereka berdampingan. Reine mengitari isi kamarnya. Ia mencari keberadaan Darren. Biasanya pria itu akan muncul ketika dirinya sudah kembali ke dalam kamar. Tapi, tidak tahu kenapa kali ini pria itu tidak muncul di hadapannya.

"Di mana Darren?" gumam Reine.

Reine meletakkan obat yang diberikan ibu di atas meja yang ada di dekat tempat tidur. Setelah itu Reine berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan wajahnya. Ia juga ingin membuka perban di kepalanya agar bisa dengan mudah diberi obat yang tadi di kasih ibu.

Reine menghidupkan kran air sebelum membasuh wajahnya. Saat ia mengangkat kepalanya tiba-tiba Darren sudah berdiri di sampingnya.

"DARREN!" Reine segera memutar tubuhnya dan menghadap ke Darren. "Aku melarangmu masuk ke kamar mandi."

"Kau pasti melarangku bicara jika sudah malam seperti ini. Reine, aku tidak setuju!" Darren terlihat kesal dan marah.

"Tidak setuju?" Reine pura-pura bodoh.

"Kau tidak mencintaiku lagi? Apa kau ingin menjadi istri dari pria berkuasa?" protes Darren lagi. "Aku tahu dia seorang pangeran. Tapi, dia tidak baik. Dia jahat sekali. Dia pria yang kejam di negara ini."

Reine mengukir senyuman. Ia mengusap wajah Darren yang mulai keras karena marah. "Kau cemburu?"

"Jelas saja. Hal itu tidak perlu aku katakan lagi."

"Bukankah kau bisa ikut bersamaku?"

"Reine, aku tidak boleh menyentuh wanita yang sudah memiliki suami. Kau tahu itu."

"Darren, belum tentu aku terpilih. Aku hanya pergi untuk seleksi. Kau bisa ikut bersamaku dan melindungiku. Kita akan buat kesalahan agar segera dikeluarkan dari istana," sangkal Reine.

Darren menggeleng pelan. "Istana bukan tempat yang sama seperti panti ini, Reine."

"Aku tahu."

"Reine, aku tidak bisa menyentuh orang lain. Hanya dirimu. Itu juga saat kau berada dalam kesulitan, aku tidak bisa turun tangan menolongmu. Apa yang harus aku lakukan jika kau menderita di hadapanku nanti? Reine, pikirkan perasaanku. Setelah masuk ke dalam istana, hanya ada wanita jahat yang haus akan kekuasaan yang akan kau temui di sana. Kau tidak akan menemui wanita seperti Angel atau ibu panti!"

Reine mulai ragu. Sebenarnya sejak tadi hatinya juga masih ragu dan takut. Tapi, apa daya dirinya yang hanya anak pungut. Jika tanpa ibu panti mungkin kini dirinya tidak akan hidup sampai sekarang. Menikmati kebebasan dan menikmati hidup dengan penuh cinta.

"Reine, lakukan sesuatu. Jangan pergi … aku mohon." Darren memegang kedua tangan Reine. Pria itu terlihat tulus menyayanginya dan benar-benar tidak mau kehilangan Reine.

"Darren, andai aku punya cara untuk menolak permintaan ibu. Maafkan aku, aku tahu kau sangat kecewa. Tapi, semua ini memang harus aku lakukan. Aku tidak bisa menjadi anak angkat yang durhaka. Aku harap suatu saat nanti kau mengerti apa yang aku pikirkan," gumam Reine di dalam hati. Satu hal yang menjadi penyelamat Reine selama ini adalah berbicara di dalam hati. Darren tidak pernah bisa membaca apa yang ia pikirkan.

Darren mengangkat tangannya dan menyentil kepala Reine. Ia tahu kalau kini Reine sedang memikirkan sesuatu. "Apa yang kau pikirkan? Kau mengumpat diriku?"

"Darren, ini sakit." Reine mengelus kepalanya.

"Apa yang kau pikirkan?" tanya Darren lagi.

"Tidak ada. Bisakah kau bantu aku melepas perban ini? Aku sudah ngantuk dan ingin tidur."

Darren tidak memiliki pilihan lain. Ia mengangkat tubuh Reine di atas meja wastafel dan mulai membuka perban di kepala wanita tersebut. Darren melakukannya dengan hati-hati agar Reine tidak merasa sakit.

Setelah selesai, Darren membuang perban itu ke tong sampah. Ia menatap wajah Darren lagi dan mengusap lembut pipi kekasihnya. "Malam ini kau sangat cantik, Reine …."

Reine hanya tersenyum mendengar pujian sang kekasih. Secara perlahan, wajah mereka saling berdekatan. Darren menyentuh bibir Reine yang merah sebelum mendaratkan bibirnya di sana. Satu tangannya menahan pinggang Reine yang kini masih dalam posisi duduk. Posisi mereka sangat pas karena Darren tidak perlu menunduk untuk mengimbangi wajah mereka.

Reine memegang wajah tampan milik Darren. Rahang tegas itu memang selalu saja membuatnya tergila-gila. Mereka sama-sama fokus dengan bibir mereka yang kini saling beradu. Tangan Darren masuk ke dalam piyama Reine untuk mengusap punggung mulus milik kekasihnya. Ciuman Darren memang selalu bisa membuat Reine melayang. Terkadang Reine sendiri tidak habis pikir, bagaimana bisa ia terhanyut ketika berciuman dengan pria yang dunianya berbeda dengan dirinya. Bisa di bilang Darren adalah hantu yang hanya bisa bersentuhan dan berbicara dengan dirinya.

"Hmmmm, Darren. Jangan lakukan itu." Reine berusaha menjauhkan tangan Darren yang sudah berada di depan dadanya. Darren hanya menurut dan melanjutkan cumbuannya. Ia mengecup leher jenjang Reine hingga membuat rasa nikmat yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Membuat leher Reine menjadi basah memang sudah menjadi hobi Darren selama ini.

"Aku mencintaimu, Reine …," bisik Darren sebelum mengulum telinga Reine. Kali ini Reine benar-benar melayang hingga tanpa ia sadari, ia membimbing Darren agar bermain di dua gunung sintalnya. Wanita itu terbuai dan ingin sentuhan lebih dari kekasihnya.

Tok tok. "Reine, apa kau di dalam?"

Secara spontan Reine mendorong tubuh Darren. Wanita itu turun dari meja wastafel dan merapikan penampilannya. Napasnya terengah-engah dan wajahnya terlihat panik. Ia tidak menyangka kalau Angel harus terbangun di momen manis yang ia lakukan bersama sang kekasih.

"Reine, apa kau baik-baik saja?"

Reine mengatur napasnya agar kembali normal. Ia memandang Darren yang kini tersenyum penuh arti kepadanya. "Ya."

"Kenapa kau lama sekali? Aku mengkhawatirkanmu," ucap Angel lagi.

"Aku baik-baik saja. Perutku sedikit sakit," dusta Reine karena ia tidak tahu harus berbicara apa lagi untuk mengelabuhi Angel.

"Apa kau perlu obat?"

"Tidak. Aku akan segera keluar." Reine kembali membasuh wajahnya dengan air. Saat napasnya sudah normal dan penampilannya sudah rapi, ia baru berani keluar dari kamar mandi. Secara perlahan Reine membuka pintu kamar mandi tersebut.

Angel berdiri dengan rambut yang tidak rapi. "Sebenarnya perutku juga sakit." Angel memegang perutnya.

"Benarkah? Mungkin karena tadi kita terlalu banyak makan pedas."

"Ya, mungkin saja." Angel masuk ke kamar mandi bergantian dengan Reine. Sedangkan Reine memandang wajah Darren yang kini sudah berbaring di atas tempat tidurnya. Dengan santai pria itu menepuk lengannya untuk dijadikan bantal oleh Reine.

"Ayo kita tidur."

Reine menghela napas sebelum melangkah. Wanita itu segera naik ke atas tempat tidur dan berbaring di sana. Ia bahkan tidak lagi ingat dengan obat yang ibu panti berikan tadi. Kedua matanya segera terpejam karena ia ingin mencegah Darren membahas apa yang terjadi di kamar mandi tadi. Sedangkan Darren hanya tersenyum. Pria itu memeluk tubuh Reine dari belakang layaknya guling yang empuk.

"Selamat tidur Reine sayang …."

Awal Mula

Satu bulan yang lalu.

Siang itu Reine berdiri di sebrang jalan. Ia melambaikan tangan ke arah Angel sambil memamerkan donat yang baru saja ia beli. Belum memberikan donat tersebut kepada Angel saja sudah membuat Reine merasakan kebahagiaan wanita tersebut.

"Aku akan menghabiskan donat ini sendirian jika kau tidak berhasil menangkapku!" teriak Reine dengan wajah yang sangat ceria.

Angel menggeleng. Wanita itu merasa pesimis. Ia yakin kalau ia tidak akan pernah berhasil mengejar Reine karena lari Reine sangat cepat jika dibandingkan dengan dirinya. Sudah sering kali ia mencoba hal yang sama namun hasilnya juga sama. Dia kalah. Maka dari itu, Angel memikirkan cara lain agar bisa mengalahkan Reine kali ini. Wanita itu memegang kepalanya dan berdiri sempoyongan. Dari sebrang jalan wajah Reine mulai panik yang menandakan kalau rencana Angel kali ini berhasil.

"Apa yang terjadi? Kenapa Angel memegang kepalanya?" Tanpa pikir panjang, Reine segera berlari sekuat tenaga menyebrang jalan. Ia bahkan tidak sempat melihat kanan dan kiri saat itu. Pikirannya telah dipenuhi dengan kekhawatiran tentang Angel. Wanita itu ingin tiba di dekat Angel sebelum tubuh wanita itu terjatuh di jalan.

Saat berada di tengah jalan, orang-orang pada berteriak. Mendengar teriakan orang yang sangat ramai membuat Reine menghentikan langkahnya. Ia memiringkan tubuhnya ke kanan dan ….

BRUAAKK

Sebuah mini bus menabrak tubuhnya hingga ia terpental ke sisi jalanan. Walau mobil tersebut sudah berusaha mengerem, namun karena kecepatan yang tinggi dan kemunculan Reine secara tiba-tiba. Membuat kecelakaan itu tidak bisa terhindarkan lagi.

Reine mengerjapkan matanya sambil memandang Angel yang berlari menuju ke arahnya. Ia mengukir senyum sebelum semua gelap.

***

Reine membuka matanya dengan wajah kaget. Kejadian kecelakaan itu seperti mimpi buruk baginya. Reine memandang pria yang berdiri di samping tempat tidurnya dengan wajah bingung. Sambil memegang kepalanya yang masih terasa sakit, Reine berusaha mengumpulkan kesadarannya.

"Siapa kau? Kenapa kau bisa ada di sini? Di mana ini? Ruangan apa ini?" tanya Reine seperti orang bingung. Ia berusaha bangkit agar bisa pergi meninggalkan ruangan asing itu. Namun, kepalanya semakin terasa sakit. Pria yang tadi ada di hadapannya segera menahan tubuhnya agar tidak terjatuh.

"Kenapa aku bisa menyentuhnya?" ucap pria itu bingung.

Reine yang mendengar jelas perkataan pria itu segera menangkis tangannya dan mendorong tubuhnya agar menjauh.

"Apa kau pikir aku ini udara yang tidak bisa di sentuh?" protes Reine kesal.

Teriakan Reine membuat perawat yang ada di depan kamar Reine masuk. Perawat itu tersenyum bahagia melihat Reine sudah duduk di atas tempat tidur. Namun, ia cepat-cepat berlari mendekati Reine agar bisa mencegah wanita itu untuk tidak banyak gerak dulu.

"Nona, anda sudah sadar! Saya akan panggilkan dokter," ucap perawat itu sebelum keluar lagi.

Reine memandang pria yang masih berdiri di dekatnya. Kali ini pria itu menatapnya dengan tatapan yang begitu tajam.

"Kenapa dia tidak mengusirmu?" tanya Reine bingung.

Pria itu mengangkat kedua bahunya. "Mungkin karena dia tidak bisa melihatku," jawab pria itu santai.

Reine tertawa geli. "Tidak bisa melihat? Apa kau hantu?" ujar Reine masih dengan tawa geli.

Pintu kembali terbuka. Dokter dan beberapa perawat masuk ke dalam. Sama seperti perawat sebelumnya. Tidak ada satu orangpun yang membahas keberadaan pria itu di dalam kamar Reine.

"Nona, anda sudah sadar?" tanya dokter itu. Ia berjalan melewati pria itu begitu saja. Detik itu Reine masih belum percaya, ia menganggap semua hanya halusinasi saja karena ia baru mengalami kecelakaan.

Reine menepuk-nepuk pipinya sampai merah. Dokter dan para suster saling memandang sebelum mencegah Reine memukul pipinya seperti orang gila.

"Nona, apa yang anda lakukan?" tanya suster disebelahnya.

"Katakan ini semua mimpi. Dia tidak nyata. Kalian semua tidak nyata?" jawab Reine tanpa memandang. Ia bisa melihat jelas ketika dokter tadi menembus tubuh pria yang baru saja berbicara dengannya.

"Nona, tenanglah," bujuk suster itu ketika Reine semakin histeris. Diagnosa pertama mereka mengira Reine gila. Karena mungkin kepalanya mengalami benturan yang keras saat kecelakaan.

"Dia tidak ada," ucap Reine lagi. Kali ini ia kembali memberanikan diri untuk memandang pria di samping dokter itu. Bukan menghilang, justru pria itu menjulurkan lidah dengan wajah meledek. Seketika Reine pingsan. Ia tidak bisa menerima keberadaan makhluk aneh di dekatnya.

"Nona, nona." Dokter kembali memeriksa keadaan Reine. Terutama pada bagian kepala.

Sedangkan pria yang bernama Darren itu melipat tangannya di depan dengan tawa geli. "Wanita yang lucu. Kau tidak akan bisa lepas dariku. Mulai sekarang aku akan selalu berada di sisimu." Hantu pria itu melirik buku data pasien yang di genggam suster. "Reine de Vries," ejanya dengan benar. "Oke, Reine. Mulai sekarang kita berteman!"

Selang satu jam kemudian, Reine kembali sadar. Daren tidak ada lagi di ruangan tersebut. ia tidak mau Reine sampai pingsan lagi. Jadi dia memutuskan untuk membiarkan Reine pulih dan sehat total sebelum mengajak wanita itu mengobrol.

Angel telah duduk di samping ranjang tempat Reine berbaring. Wanita itu kelihatan sedih. Ia merasa bersalah. Karena ide konyol yang ia lakukan. Reina sampai celaka dan kehilangan banyak darah.

"Reine, maafkan aku," lirih Angel sambil memegang tangan Reine.

Reine membuka kedua matanya dan menatap wajah Angel. Tatapannya sangat serius hingga membuat Angel berpikir kalau Reine marah padanya.

"Maafkan aku. Aku tidak memiliki niat untuk membuatmu celaka," ucap Angel dengan sungguh-sungguh.

Reine justru tidak mempedulikan Angel. Ia memandang ke kanan dan ke kiri untuk memastikan keberadaan Daren.

"Dimana dia? Sepertinya memang tadi hanya halusinasiku saja." Reine kembali memandang Angel. Bibirnya tersenyum hingga membuat Angel terlihat lega kala itu. "Aku baik-baik saja. Jangan sedih lagi ya," bujuk Reine.

"Bagaimana dengan lukanya?"

"Luka ini?" Reine menunjuk perban yang ada di kepalanya.

Angel mengangguk cepat. "Pasti rasanya sangat sakit."

"Memang sakit. Tapi, masih bisa aku tahan. Kecelakaan tadi murni karena kecerobohanku. Jadi, jangan pernah menyalahkan dirimu sendiri ya."

"Reine, kau benar-benar sahabat yang baik. Terima kasih." Angel segera memeluk Reine. Reine tersenyum ketika itu.

Dari sudut yang tidak jauh dari posisi mereka berada, Daren kembali muncul sambil melipat kedua tangannya. Kali ini dia merasa semakin yakin untuk mengikuti hidup Reine seterusnya. Karena hanya Reine satu-satunya manusia yang bisa melihat wajahnya dan bisa ia sentuh.

"Wanita yang baik. Padahal memang jelas-jelas kecelakaan ini disebabkan oleh temannya. Tetapi dia sama sekali tidak mau menyalahkan temannya," gumam Darren. Ia kembali menghilang sebelum Reine menyadari kehadirannya di ruangan tersebut.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!