"Bagaimana ini Laura? Kamu itu seorang penulis novel, lho! Jadi, Kamu harus mampu membedakan bagaimana karakter protagonis dengan karakter antagonis. Jangan menye-menye begini nulis antagonisnya!" suara Fathan Dirgantara terdengar menggelegar memenuhi ruangan kerjanya.
"Nah, satu lagi! Pembaca itu paling seneng apabila antagonis kejam terhadap protagonisnya. Selanjutnya, ketika melihat proses perubahan protagonis yang lemah menjadi kuat, akan membuat pasaran novel kita jadi meledak. Bukan seperti ini!"
"Jadi, kamu harus mampu membedakan bagaimana karakter protagonis dan mana yang antagonis! Masa iya, antagonisnya perhatian begini pada protagonisnya?"
Laura tertunduk mendengarkan hasil kurasi dari sang editor di ruang kerja milik Fathan. Dia adalah editor yang ditunjuk penerbit untuk mengecek semua karya miliknya. Laura begitu hafal dengan watak pria arrogant ini.
"Baiklah, Mas Fathan. Aku akan merevisi naskah saat ini juga!"
Tanpa mengatakan apa-apa, Fathan menyilakan Laura mengubah beberapa jalan cerita yang baru saja diperiksa. Karena novel tersebut akan dicetak dan diperbanyak sehingga harus segera direvisi. Meski merasa tidak rela, dan hatinya menolak, Laura Marrie terpaksa mengubah jalan cerita yang telah ditatanya dengan rapi.
Setelah direvisi, Laura segera menyerahkan naskah tersebut kepada sang Editor.. Fathan memeriksa hasil revisi satu per satu dengan wajah dingin tanpa ekspresi, dalam beberapa waktu. Melihat akhir yang tragis pada tokoh antagonis bernama Rivena Claudya, yang akhirnya dihukum mati atas semua tindakan kejahatan yang ia lakukan, wajah Fathan terlihat puas.
"Siapa pun yang mengganguku, bersiaplah bertemu dengan neraka sebelum malaikat maut menjemputmu!"
Fathan mengulangi ucapan Vena sang antagonis kejam yang ada di dalam novel tersebut. Wajahnya menunjukan sesuatu yang tak bisa ditebak saat membaca kalimat itu. Beberapa waktu merenungkannya, Fathan akhirnya menganggukkan kepalanya.
"Nanti akan saya hubungi kembali!"
"Lah? Itu saja?" Laura merasa tidak puas mendengar keputusan yang masih menggantung dari Fathan. Dia sudah bersusah payah mengeluarkan segala ide yang tidak sesuai dengan genre yang biasa ditulisnya. Namun, tanggapan dingin sang editor membuat hatinya panas, merasa tidak dihargai.
"Ya, Kamu boleh kembali!"
Laura yang semenjak tadi berharap mendapat pujian, ternyata hanya mendapatkan sesuatu yang tidak memuaskan. Dia keluar dari ruangan tersebut dengan perasaan kesal.
"Tau begini, lebih baik aku menulis kisah anak sekolah saja! Aku kan tak suka menulis karakter jahat dalam karyaku! Aaah, siaaal amat dah!" rutuknya mencak-mencak di balik pintu ruang kerja sang editor.
Laura meninggalkan kantor penerbit tersebut dengan menggunakan mobil dari hasil kerja kerasnya sebagai seorang penulis. Dengan perasaan kesal, dia melajukan kendaraan kesayangan yang telah menemaninya hampir lima tahun dengan kecepatan yang sangat tinggi.
Namun nahas, dia melupakan sebuah tikungan maut yang terkenal telah memakan banyak korban. Dia tidak menyadari dari arah berlawanan sedang melaju sebuah truk ekspedisi dengan kecepatan tinggi.
braaaaakkk
Kecelakaan hebat tak bisa dielakan. Kendaraan Laura langsung ringsek dan terus terdorong ke arah sebaliknya oleh truk tersebut. Pengemudi truk menghentikan kendaraannya. Mengetahui kondisi kendaraan yang bertabrakan dengan truk yang dibawanya dalam keadaan nahas, sang supir truk segera melarikan diri sebelum warga ramai berdatangan melihat kejadian ini.
Kondisi Laura, tengah terjepit dengan keadaan yang sangat memilukan. Kepala, hidung, dan mulutnya mengalirkan d*rah segar. Mata Laura sayup-sayup memandang moncong truk yang tepat berada di hadapannya.
"Tuhan, a-aku belum ingin kembali secepat ini kepada-Mu. Berikan lah aku kesempatan kedua. Aku masih memiliki banyak hal yang belum bisa aku gapai," ucap Laura dengan lirih. Lambat laun, mata Laura terlihat menutup dengan sempurna.
tok
tok
tok
Sebuah ketukan pintu membuat Laura tersentak dari tidurnya. Dia tertidur dalam keadaan duduk berpangku tangan di sebuah meja. Perlahan, Laura membuka mata dan menegapkan tubuhnya duduk pada sebuah kursi kerja. Laura menelengkan kepalanya ke kiri, kanan, muka, belakang.
tok
tok
tok
Kembali terdengar suara ketukan pintu dari arah ruangan ini. Sesaat kemudian, mata Laura terbuka dengan lebar. Dia teringat bahwa beberapa menit yang lalu dia baru saja mengalami kecelakaan hebat.
Laura segera memeriksa keadaan tubuhnya. Tak ada satu pun yang terluka. Padahal dia merasa sangat yakin seluruh tubuhnya telah remuk akibat kecelakaan yang baru dialaminya beberapa menit yang lalu.
Sebuah ponsel canggih, dan terkenal sangat mahal bergetar. Laura tergelak melihat ponsel tersebut sangat mirip dengan benda yang dia gambarkan menjadi milik Rivena Claudya. Seorang tokoh antagonis yang dijadikannya sebagai CEO wanita yang berkarakter sangat kejam.
Ponsel tersebut kembali bergetar. Laura menjadi penasaran ingin menengok panggilan dari siapa. Di layar terpampang sebuah nama kontak Cindy. Namun membiarkannya tanpa menjawab panggilan karena merasa bukan miliknya.
tok
tok
tok
Mata Laura mulai merambah seisi ruangan. Dia merasa tidak mengenal tempat tersebut. Mencoba untuk bangkit, tetapi langsung terjatuh karena sepatu yang dikenakan membuat kakinya sakit. Mata Laura terbelalak melihat benda di bawah kaki. Sepasang high heels dengan ketinggian mencapai lima belas senti meter, beraksen batu-batu alam, di sepanjang bagian sepatu tersebut, tengah terpasang pada kedua kakinya.
Laura langsung melepas sepatu tersebut. Menyadari hal lain yang berbeda pada kakinya. Kali ini kaki ini terlihat sangat mulus, cantik dan terawat. Padahal dia begitu hafal bahwa biasanya kaki tersebut banyak cetakan recehan akibat bawaan masa kecilnya.
"Apa kebetulan saja ya? Kenapa ini semua malah mirip dengan si antagonis yang aku tulis?" Laura bermonolog pada dirinya sendiri.
Laura segera membuka pintu yang sedari tadi diketuk oleh seseorang. Ternyata mata Laura langsung terbuka lebar melihat pria super tampan yang ada di balik pintu ini. Beberapa detik berlalu, Laura masih saja memandang pria tersebut.
"Ekheeem."
Laura terkesiap mendengar deheman dari pria ini. "Si-siapa?" Laura bingung dan merasa gugup.
Pria tersebut mendorong kasar pintu, supaya terbuka semakin lebar. Wajah tampannya terlihat sangat gusar dan marah. Dia langsung mencekik Laura, membuat nafas Laura menjadi sesak.
"A-apa yang kau lakukan?" Laura berusaha melepaskan tangan yang menekan jalur nafas yang ada di lehernya.
"Mengapa Kau memb*nuhnya?" Tanya pria yang tidak dikenal itu.
Ucapan pria itu membuat Laura teringat pada sesuatu yang telah dia hafal. Itu adalah ucapan dari pria bernama Fernando Jose, sosok aktor yang dijadikannya sebagai protagonis pria dalam novel yang ia tulis. Novel yang membuatnya kesal setengah mati kepada Fathan, sang editor.
"Cepat jawab! Kenapa Kau membunuhnya?" Pria tersebut masih bergulat dengan Laura yang berusaha melepas tangan pria yang ingin membunuhnya ini. Ini begitu persis dengan adegan yang dia tulis saat Fernando Jose melabrak Vena di kantornya.
Di atas sebuah meja kerja, kembali terdengar getaran menandakan ada panggilan pada sebuah ponsel. Laura bergerak hendak memperhatikan ponsel tadi yang dia lihat.
Masih panggilan dari Cindy. Cindy adalah nama sekretaris Rivena di dalam novel yang dia tulis. Getaran panggilan tersebut membuat pria tadi melepaskan kedua tangan yang ingin menghabisi nyawanya itu.
Laura duduk di kursi putar yang ada di balik meja kerja tersebut. Dia meneguk air yang terdapat dalam sebuah gelas.
"Welcome Dunia Novel Dendam dalam Cinta, karya Laura Marrie."
Laura seperti mendengar sebuah suara. Matanya liar melirik ke segala sisi yang ada dalam ruangan itu. Namun, tak satu pun dia melihat orang biacara. Hanya ada pria yang tidak dikenal terus mengawasi tingkah lakunya dalam diam.
"Apa Anda mencari asal suara?"
Mata Laura mengintari seluruh penjuru yang ada dalam ruangan tersebut. Ada rasa takut dan cemas tiba-tiba melanda dirinya. "Siapa kau?"
Pria yang sedari tadi memperhatikannya, menjadi semakin marah. Menganggap wanita yang ada di hadapannya ini sedang berakting untuk mengelak.
"Saya adalah SISTEM … Saya lah yang memberi kehidupan kedua bagi Anda! Saya tidak terlihat, dan hanya ada dalam pikiran Anda."
"Ma-maksud Anda apa?"
"Saat ini, Anda telah dibangkitkan kembali oleh Sistem setelah kematian Anda di dunia nyata. Namun, pada kesempatan kedua ini, jiwa Anda kami bawa ke dalam dunia novel karya Anda sendiri. Anda harus menjalani misi sebagai Rivena Claudya yang menjadi antagonis dalam karya Anda!"
"A-apa? Kau jangan bercanda!" Laura menggigit jari merasa ketakutan luar biasa.
"Anda harus menjalani misi menjadi Rivena Claudya sesuai dengan apa yang Anda tulis. Mengucapkan semua kalimat langsung yang disampaikan oleh Rivena Claudya tanpa Anda ubah."
Laura masih menggigit jari. Dia teringat pada akhir hidup Rivena Claudya yang tragis atas kegelapan watak Vena yang ia tulis. Laura hanya menggelengkan kepala.
Aku tak mau menjadi seperti itu! Aku harus menghindari semua kekejaman yang aku tulis. Ini adalah kesempatan kedua bagiku, batinnya.
Laura menggelengkan kepala, berbuat seolah tidak mendengar apa-apa. Dengan perasaan was-was, Laura mendekati pria tadi. Kenyataan bahwa pria ini sebagai protagonis, membuatnya tercengang. Dia tak menyangka, hasil cipta karya tentang wajah sang aktor, begitu melampaui ekspektasi dari bayangannya.
Terdengar kembali suara makhluk yang mengaku sebagai sistem di dalam pikirannya. "Jangan lupa, ucapkan kata tegas Vena kepada protagonis pria yang ada di hadapan Anda ini!"
Laura menggelengkan kepala, lalu memilih duduk berseberangan dengan pria yang sedari tadi memperhatikan tingkah aneh yang telah ia buat.
"Apa kau benar-benar sudah gila? Atau hanya berpura-pura gila?" ucap pria dingin itu.
Laura masih bingung untuk memulai. Apalagi sikap pria itu sangat dingin bagai es. "Jadi, bagaimana menurutmu, Saudara Nando?"
"Kau telah mencoba bermain-main denganku! Mengapa Kau lakukan itu kepada orang kepercayaanku, hah?"
Suara Sistem kembali terdengar dalam pikirannya. "Cepat katakan saat ini juga!" Laura masih tegas menggelengkan kepala, menolak perintah dari Sistem tersebut.
"Jika masih Kau lanjutkan, bersiaplah untuk mendekam di penjara!"
Laura memberi aba-aba, menengadahkan kedua tangannya. "Silakan! Lakukan sesukamu!"
Protagonis yang bernama Fernando Jose tersebut bangkit, melirik ke arah Vena dengan ujung matanya. Lalu dia meninggalkan Vena diikuti suara benturan keras dari pintu ruang kerja itu.
Suara Sistem kembali terdengar, kali ini suara tersebut terdengar sangat marah. "Misi Anda gagal! Bersiaplah dengan hukuman yang akan datang kepada Anda!"
Laura bangkit menuju ke kursi kerjanya. Menekan panggilan cepat terhadap sekretaris Vena bernama Cindy. Di dalam novelnya, dia menuliskan Elsa sedang dalam keadaan bersedih usai dimarahi habis-habisan oleh antagonis Vena.
"Cindy, nanti kirimkan parcel kue kering kepada mahasiswa magang yang bernama Elsa!"
"Lhoh? Tumben, Bu? Ada apa, Bu?"
"Oh, bukan apa-apa. Saya hanya merasa bersalah sudah memarahinya tadi."
"Baik, Bu. Akan segera saya laksanakan."
Tiba-tiba, dada Laura merasa sangat sesak. Ada sesuatu yang membuatnya sakit. Dia merasakan ada yang bergejolak dari dalam sana.
"Uhuk ... uhuk ... uhuk ...."
Laura memuntahkan d*rah yang menyesak di dadanya. Matanya terbelalak menggelengkan kepala. Hal ini tidak ada dalam ceritanya. Suara Sistem kembali terdengar.
"Terima lah hukuman atas ketidakpatuhan kepada Sistem yang telah membangkitkanmu untuk hidup kembali!"
Laura segera meninggalkan kantor tanpa memberitahukan Cindy, sekretarisnya.
Saat hendak masuk kendaraan, dia kembali mendengar suara Sistem.
"Ikuti aturan main sesuai dengan yang telah Anda tulis. Di dalam novel, Vena menendang supir bernama Roger karena datang terlambat dalam beberapa menit."
Laura kembali menggelengkan kepalanya. Menunggu supir bernama Roger datang menjemput. Beberapa menit kemudian mobil mewah berhenti tepat di hadapannya. Supir tersebut, keluar dengan tergopoh berlutut di hadapan Laura.
"Maafkan saya, Nona. Saya terlambat beberapa saat. Saya berhak mendapatkan hukuman." Pria itu menunduk dan bersujud di kaki Laura.
"Apa yang Anda lakukan?"
Laura membantu Roger untuk bangkit dan berdiri. Roger yang terbiasa diperlakukan dengan kejam, kembali mencoba untuk berlutut. Namun, dicegah oleh Laura.
"Sudah! Saya ingin segera pulang."
"Ba-baik, Nona." Roger segera membukakan pintu untuk Nona Vena. Setelah memastikan Vena duduk dengan baik di dalam, Roger berlari menuju pintu kemudi dan melajukan kendaraannya.
Perasaan Laura kembali berkecamuk. Dia merasa sesak. Kepalanya terasa sangat pusing.
"Uhuuuk ...."
Laura terbatuk mengeluarkan sesuatu yang sama dengan yang tadi di kantornya. Roger yang memperhatikan segera menghentikan kendaraan dan memberikan sekotak tisu kepada Laura.
"Nona, apa Anda tidak apa-apa?"
Laura menggelengkan kepala. "Aku baik-baik saja."
Dalam diamnya Rojer menuju ke rumah sakit. Alis Laura menyatu karena merasa heran. "Kenapa kamu membawaku ke sini?"
"Sepertinya kita harus segera memeriksa keadaan Anda, Nona."
Laura akhirnya mengikuti ucapan Roger. Menemui dokter untuk memeriksa kondisi yang sebenarnya. Usai pemeriksaan, Laura diberi penjelasan mengenai masalah yang menimpanya.
"Bagaimana kondisi saya yang sebenarnya, Dok?"
Dokter tersebut terlihat cukup bingung. Lalu menunjukan hasil rontgen dari penampakan paru-parunya. Dokter menggaruk dagunya, karena ini pertama kali baginya.
"Secara menyeluruh menurut hasil rontgen ini, semuanya terlihat baik-baik saja. Akan tetapi, jika Anda selalu memuntahkan darah seperti ini, maka akan sangat berbahaya bagi kesehatan Anda."
Laura mulai merasa, kejadian yang dialami ini sudah berada di luar isi cerita dari yang ia tulis. "Lalu, saya harus bagaimana, Dok?"
"Maukah Anda mengikuti rangkaian pemeriksaan dan pengobatan bagi penyakit ini?"
Laura teringat isi ucapan Sistem. Penyakit memuntahkan darah ini adalah bentuk hukuman dari Sistem kepadanya. Laura mulai memikirkan sesuatu.
Jika aku mengikuti isi cerita, maka aku akan t*was atas hukuman m*ti yang akan aku terima di akhir cerita. Jika aku tidak mengikuti isi cerita, maka aku akan m*ti karena hukuman yang diberikan oleh Sistem.
"Bagaimana Nona Rivena Claudya? Apakah Anda bersedia mengikuti rangkaian pemeriksaan yang kami beri?"
Laura menggelengkan kepala. "Saya merasa semua baik-baik saja. Hanya saja, semua itu terjadi karena mungkin kurang istirahat saja."
Dokter menatap panjang kepada Vena. "Apa kamu yakin semuanya baik-baik saja?"
Laura mengangguk. "Iya, saya rasa begitu."
"Hmmm, jika nanti kamu merasakan keluhan yang sama, saya harap kamu segera melaporkan semua keluh kesahmu kepada saya, nantinya. Saya akan menyarankan beberapa resep vitamin. Jangan lupa, untuk sementara kamu perbanyak istirahat!"
Dokter tersebut tampak menuliskan resep beberapa obat yang harus ditebus. Setelah itu, resep tersebut diserahkan kepada Laura. Sementara, Laura segera bangkit dari posisinya dan meninggalkan rumah sakit usai menebus resep vitamin yang diberikan.
Laura menikmati hidup di rumah mewahnya. Dia sengaja tidak masuk kantor dalam waktu beberapa hari untuk menghindari, hal-hal gila yang telah ditulis di dalam novel miliknya.
*
*
*
"Bagaimana Elsa? Apakah pekerjaanmu sudah diselesaikan dengan baik?" tanya Cindy sang sekretaris Vena.
Elsa tampak sedang mengetik sesuatu. Di dalam cerita yang ditulis oleh Laura, Elsa dijadikan sebagai tokoh utama di dalam novel karya Laura Marrie, yang berjudul Dendam dalam Cinta. Elsa adalah mahasiswa tingkat akhir yang sedang magang atau kuliah praktek lapangan kerja di kantor milik Rivena Claudya.
Sebelumnya, Elsa diminta untuk menyelesaikan laporan yang diberikan Cindy. Laporan tersebut akan ditanda-tangani oleh CEO perusahaan tersebut yang merupakan seorang wanita yang tegas. Akan tetapi, nahas yang didapatkan oleh Elsa. Hasil kerja yang dianggap tidak becus, membuat amarah Vena meledak.
Elsa dimarahi habis-habisan oleh Vena. Hingga membuat Elsa droup dan insecure. Elsa merasa semua pekerjaan itu, dibuatnya dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati. Akan tetapi, sore kemarin Elsa mendapat parcel berupa kue kering yang diberikan oleh ibu presiden direktur.
Hal ini membuat perasaan sedih Elsa hilang dan lenyap dengan seketika. Namum, saat akan mengucapkan terima kasih kepada Presdir Vena, ternyata beliau sudah tidak masuk ke kantor semenjak beberapa hari. Hal ini membuat sang protagonis, Elsa merasa sangat tidak sabar untuk bertemu Presdir Vena.
Cindy sang sekretaris mencoba menghubungi Vena, sang pimpinan perusahaan. Beberapa waktu menunggu, akhirnya panggilan dijawab oleh sang presdir.
"Halo, Cindy. Apa kabar? Bagaimana keadaan kantor selama saya tinggalkan?"
"Untuk sementara, kantor masih dalam keadaan stabil, Bu. Bagaimana keadaan Anda, Bu? Apakah ada masalah hingga membuat Anda tidak dapat hadir ke kantor?"
"Oh, kebetulan kondisi kesehatan saya agak sedikit memburuk. Namun, saat ini keadaan saya sudah cukup membaik."
"Apakah hari ini Anda bisa datang ke kantor, Bu?"
"Apa ada hal penting hari ini?" tanya Laura kembali.
"Hari ini kita ada meeting penting yang tidak bisa ditunda. Jika kita tunda, maka mitra usaha kita akan membatalkan rencana kerja sama yang telah kita jalin."
"Ooh, begitu. Kalau begitu saya akan segera bersiap untuk ke sana."
"Baik, Bu. Kalau begitu sampai jumpa, selamat pagi."
Laura segera menyiapkan diri menuju ke kantor. Di saat dia mempersiapkan diri, masuk kembali terdengar pesan dari Sistem.
"Hari ini akan ada adegan protagonis wanita bernama Elsa, menumpahkan minumannya kepada antagonis Vena. Kali ini Sistem memperingatkan kepada Anda agar mengikuti ruler yang telah ditetapkan!"
Vena mencoba mengingat adegan tersebut. Padahal adegan ini sengaja dia hindari. Oleh sebab itu lah, dia sengaja tidak datang ke kantor. Demi menghindari adegan ini. Namun ternyata, adegan tersebut kembali berlanjut di saat dia diharuskan menuju ke kantor.
Laura menikmati perjalanan menuju ke kantor. Mengingat adegan yang dimainkan oleh Vena, yang selalu memusuhi Elsa, gadis yang dianggap tidak becus dalam setiap pekerjaannya. Yang nanti akan menumpahkan kopi ke pakaiannya. Sehingga membuat Vena menghukum gadis malang itu habis-habisan.
"Elsa, hari ini Presdir Vena akan masuk ke kantor kembali. Jangan lupa belikan kopi kesukaan beliau di luar ya? Beliau sangat menyukai americano dingin."
"Baik, Bu. Saya akan segera keluar untuk membelikannya."
Dengan langkah ringan Elsa menuju toko penjual kopi langganan Presdir Vena. Dengan perasaan berdebar Laura memikirkan cara melanjutkan cerita.
Laura sampai di perusahaan dan tengah berbicara dengan Cindy, sekretaris Vena. Ucapan sistem kembali terdengar untuk memberikan peringatan kepadanya.
"Sesaat lagi protagonis wanita akan datang kepada Anda. Buatlah dia untuk segera meninggalkan perusahaan ini!"
Laura tercekat mendengar ucapan Sistem tersebut. Akhirnya, Laura merasa marah dan mendengus kesal karena perintah Sistem yang selalu bertentangan dengan batinnya ini. Akhirnya Laura mulai menjawab ucapan dari Sistem tersebut.
"Mimpi! Protagonis adalah tokoh kesayanganku!"
Sistem kembali menjawab ucapan dari Laura.
"Jika kamu masih tidak patuh, apakah kamu akan merelakan kembali kesempatan hidup yang telah diberikan kepadamu?"
"Jika kamu masih ingin hidup, permalukan lah dia, sebagaimana antagonis Vena membuat protagonis Elsa menangis meninggalkan perusahaan ini."
Laura hanya bisa termangu, apa yang dikatakan oleh Sistem memang benar. Dia sendiri yang menginginkan kesempatan kedua ini. Meski kesempatan yang diharapkan bukan lah yang seperti ini.
Laura tidak membalas pesan dari Sistem. Dia memilih mempelajari materi meeting yang akan dilakukan. Karena itu di luar bidangnya yang hanya berprofesi sebagai seorang penulis.
Dari arah luar, Elsa muncul membawakan kopi yang dipesankan oleh Cindy, sang sekretaris Presdir Vena. Melihat sosok yang tiga hari lalu tidak hadir telah muncul, Elsa merasa sangat bersemangat berjalan lebih cepat ke arah pimpinan tertinggi perusahaan ini.
Namun, akibat terlalu buru-buru dan ceroboh, membuat Elsa terjatuh dan menuangkan semua minuman yang dibawanya membasahi tubuh Presdir Vena. Semua mata memandang ke arah Presdir Vena yang telah kuyup mendapatkan siraman kopi ini.
Laura tak menyangka, kejadian ini tetap terjadi. Padahal dia sudah berusaha menghindari untuk tidak hadir selama tiga hari. Elsa buru-buru bangkit dari posisinya yang masih tengkurap di atas lantai.
Elsa sedikit memahami karakter Vena berdasarkan rumor yang telah santer dibicarakan oleh seluruh karyawan di perusahaan ini. Dengan perasaan takut, Vena mencari tissue untuk mencoba membersihkan pakaian Presdir Vena tersebut.
Sistem kembali memperingatkan Laura segera melaksanakan misi berdasarkan apa yang seharusnya.
"Segera permalukan dan buat Protagonis Elsa pergi meninggalkan perusahaan ini!"
Laura dengan wajah dingin khas Vena, melirik Elsa sejenak. Lalu dia masuk ke ruang kerja mengambil bungkusan pakaian bersih yang telah ia siapkan. Tak beberapa lama, Laura telah berganti pakaian dan kembali ke tempat di mana semua orang tadi berkumpul.
Elsa tampak baru saja dimarahi oleh rekannya yang lain. Melihat wajahnya yang pucat, paling tidak karyawan lainnya baru saja menakut-nakuti Elsa. Wajah Elsa tampak kuyu ketakutan. Dia memainkan jemari karena hatinya terasa sangat kacau.
Elsa mendekat berjalan dengan tertunduk. Setelah tinggal beberapa senti, Elsa berlutut menangkupkan kedua tangan.
"Maafkan aku, Bu. Aku sungguh tidak sengaja. Tadi tiba-tiba saja kakiku keseleo karena tidak terbiasa menggunakan high heels. Maafkan saya, Bu. Saya tak akan mengulangi kesalahan ini."
Elsa berkali-kali mengucapkan hal yang sama karena ketakutan. Laura menarik lengan Elsa untuk segera berdiri. Laura mengajaknya duduk di sofa yang tak jauh dari sana.
"Cindy, tolong bawakan air putih untuk Elsa!"
Wajah Cindy terlihat heran. Namun, dia tetap patuh mengikuti perintah dari sang presdir. "Baik, Bu." Cindy melangkah cepat menyiapkan air untuk Elsa. Setelah itu, Laura segera menyuruh Elsa untuk meneguknya.
"Bagaimana Elsa, apakah perasaanmu sudah baikan?"
Mata Elsa terlihat berbinar karena terharu. Sebelumnya dia memang sudah merasakan amarah Presdir Vena secara langsung. Namun, semenjak mendapatkan parcell berupa kue kering, membuat pandangannya kepada Presdir wanita yang terlihat ganas itu berubah dengan seketika.
Kali ini Elsa beranggapan bahwa Presdir Vena sebenarnya orang baik. Hanya saja, karena banyak tuntutan, membuat karakternya aslinya ditutupi oleh ketegasannya. Ini sungguh-sungguh di luar dugaannya.
"Sa-saya baik-baik saja, Bu. Seharusnya saya yang bertanya, Bu. Apa Anda baik-baik saja? Saya sungguh-sungguh tak sengaja."
Laura menganggukan kepalanya. Karena ini adalah kesengajaan dia sendiri dalam menulis hal ini. "Kamu tenang lah! Saya baik-baik saja. Kamu tidak perlu takut, karena saya sudah mempersiapkan semuanya. Kebetulan tadi saya membaca sebuah ramalan yang memaksa saya untuk membawa pakaian ganti."
"Jika kamu merasa kurang sehat, kamu boleh izin untuk pulang dan beristirahat!"
"Saya baik-baik saja, Bu. Anda jangan mengkhawatirkan saya," ucap Elsa gugup.
Laura bangkit dari posisinya. Menepukkan kedua tangannya agar semua karyawan yang menonton kejadian ini kembali bekerja seperti semula.
"Kamu juga Elsa! Silahkan untuk melanjutkan pekerjaanmu!"
Elsa mengangguk dengan mata berkaca karena sangat terharu diperlakukan dengan sangat baik oleh pemimpin yang terkenal dengan kekejamannya. Sementara Laura kembali menuju ke ruang kerjanya. Kembali dia merasakan gejolak pada dirinya.
Nafas sesak dan kepalanya terasa sangat pusing. "Uhuuuk ... uhuuuk ...."
Laura kembali memuntahkan darah. Tubuhnya terhuyung lemas tanpa daya. Dia terduduk di lantai mulai merasa ketakutan. Sistem kembali memberikan peringatan untuknya.
"Nona Laura Marrie, kenapa Anda tidak mau patuh pada apa yang diperintahkan oleh Sistem?"
"Bukan kah Sistem sudah memerintahkan Anda untuk mengikuti alur novel yang Anda tulis sendiri?"
"Jika begini, Anda akan mengalami kematian untuk kedua kali. Kesempatan yang telah diberikan untuk menjalani kehidupan kedua ini, telah Anda sia-siakan!"
Laura menangkupkan pipi dengan kedua tangannya. Dia tak menyangka, hanya singgah sesaat saja dalam menjalani hidup yang kedua. Laura bangkit melepas sepatu, hak tinggi yang terpaksa digunakan karena tidak memiliki sepatu tepleks.
"Jika memang akan mati juga, lebih baik mati dengan cepat. Tak perlu menjalani misi-misi yang diberikan oleh Sistem tersebut. Jika mati lebih cepat, aku tak perlu merasakan mati dieksekusi oleh pengadilan."
Laura melangkahkan kakinya secara perlahan menuju balkon. Laura menggeser pintu balkon, seketika angin kencang menerpa rambut panjangnya yang hitam.
Laura melihat ke arah bawah. Ternyata membuatnya pusing karena gamang. Namun, dikuatkan hati untuk melanjutkan rencana sebelumnya.
"Lebih baik mati saat ini juga. Aku tak bisa hidup dalam ancaman Sistem. Toh, kenyataannya aku ini sudah mati."
Laura mulai memanjat pagar pembatas balkon. Dia mengambil posisi duduk dengan kaki mengambang di udara. Matanya dipejamkan, untuk meneguhkan hatinya agar tidak takut.
Laura melepaskan diri dan terjun dari gedung itu...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!