Diruang sunyi yang kunamakan hati. Aku berteriak mengutuk atas apa yang telah terjadi. Seorang Pria yang bertubuh kekar masih mengungkungku dalam dekapannya.
Ya, malam ini semua harapanku hancur, bisa dikatakan masa depanku juga berantakan. Aku di nodai oleh polisi yang bertugas sebagai ajudan Papaku. Dan yang paling membuat hatiku hancur, karena Pria itu sudah mempunyai istri.
Apa yang harus aku lakukan. Kejadian ini benar-benar tak pernah aku inginkan. Aku tidak tahu kenapa Pria ini bisa berada di dalam kamarku. Apakah dia sengaja melakukannya? Tapi, sebelum kejadian itu, aku melihat dia dibawah pengaruh obat perangsang.
Aku masih menangis sesenggukan, perlahan aku mendorong tubuh Pria itu agar menjauh dariku, aku menatap wajah tampan yang begitu lelap, seharusnya aku mengagumi ketampanannya, tapi, tidak. Aku justru membenci dirinya.
Perlahan aku duduk dan menarik kain tebal untuk menutupi tubuh polosku, kurasakan tubuh bagian inti terasa begitu nyeri dan sakit, aku meringis pelan. Tubuhku terasa remuk, segala persendian terasa kaku.
Aku kembali menangis sejadi-jadinya, Kalau sudah seperti ini siapa yang harus disalahkan? Aku tidak tahu, sungguh aku benar-benar tidak tahu. Apakah aku harus merelakan kesucianku begitu juga?
Karena tangisku lumayan keras, maka mengusik tidur Pria itu. Dia membuka mata dan tersentak segera duduk, lalu menoleh kepadaku.Terlihat air mukanya berubah seketika.
Takut, dan rasa bersalah tampak begitu nyata, aku tahu sebenarnya dia seorang polisi yang baik, Papa begitu mempercayainya. Meskipun aku baru beberapa hari mengenal dirinya, karena selama kuliah aku tinggal diluar negeri.
Saat aku pulang, Papa mempercayai dia untuk menjaga kemanapun aku pergi. Papa dan Bunda mengatakan bahwa dia adalah Pria yang baik dan begitu tekun dan patuh dengan segala tugas.
Tapi malam ini membuat aku meragukan segala ucapan Bunda dan Papa, dia yang dipercaya sudah menghancurkan masa depanku, aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika Papa mengetahui semua ini.
"Mbak Khanza! Saya benar-benar minta maaf, Mbak. Tolong maafkan saya! Sungguh semua ini diluar dugaan Mbak!" ucapnya memohon maaf kepadaku.
"Ini semua pasti kerjaan kamu 'kan? Kamu sengaja melakukannya!" Sentakku kepadanya, aku tak bisa menahan perasaan yang telah hancur bercampur baur.
Marah, Kesal, benci, Semua menjadi satu. Rasanya aku ingin sekali memukulnya untuk meluahkan sakit lahir dan batin saat ini kurasakan.
"Mbak, sungguh saya minta maaf. Saya tidak pernah berniat bahkan memikirkan saja saya tidak berani, tolong maafkan saya, Mbak," ucapnya sembari menangkup kedua telapak tangannya memohon belas kasihku.
Jujur aku bingung harus berbuat apa, sebenarnya disini akulah yang menjadi korban, tapi, tentu saja dia sangat takut dan cemas atas apa yang telah dilakukannya padaku.
"Keluar dari kamarku sekarang!" Usirku.
Dia turun dari ranjang dan memunguti pakaiannya yang teronggok dilantai. Aku hanya bisa memalingkan muka. Setelah dia keluar, aku kembali menangis sejadi-jadinya
Seandainya aku tahu akan terjadi hal seperti ini, maka, aku pasti ikut dengan Papa dan Bunda pulang ke Medan untuk menghadiri pernikahan Abangku yang pertama. Seharusnya aku menunda ujian praktek itu. Tapi, aku terlalu terobsesi oleh pekerjaan dan cita-citaku untuk menjadi seorang dokter, sehingga aku tak bisa meninggalkan ujian praktek yang hampir selesai.
Setelah puas menangis, aku beranjak dari tempat tidur, dan segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Dibawah kucuran air shower, kembali tangisku pecah.
Aku benar-benar merasa terhina dan merasa direndahkan, aku yang seorang anak Jenderal diperkosa oleh Pria yang seharusnya menjagaku dari perbuatan jahat, tapi nyatanya dia sendiri yang melakukan perbuatan itu.
Entah berapa lama aku berada dibawah kucuran air sehingga tubuhku sudah merasa dingin dan menggigil. Kusudahi mandi wajib yang seharusnya belum boleh aku lakukan. Aku jijik sekali saat mengingat kembali kejadian beberapa jam yang lalu, dimana Pria itu begitu membabi-buta menggagahi ku tanpa belas kasihan.
Aku berusaha untuk tenang walau sesaat, otakku masih berpikir, langkah apa yang harus aku ambil dalam menyikapi hal ini. Apakah aku harus mengatakan yang sebenarnya pada Papa atas perlakuan ajudannya itu.
Lama aku duduk melamun di atas tempat tidur, aku masih belum bisa mengambil keputusan. Jika Papa dan Bunda tahu, sudah pasti semua orang akan tahu bahwa aku telah di lecehkan oleh ajudan Papa.
Aku benar-benar tak bisa memecahkan masalah ini, maka aku memutuskan untuk tidur agar pikiranku lebih rileks.
Pagi telah menjelang, aku bangun dengan menyisakan rasa sakit dan nyeri pada tubuhku. Kembali ingatan semalam membuat hati dan pikiran kacau, aku tak bersemangat ingin melakukan apapun.
Aku berusaha untuk bangkit dan membersihkan diri, aku mengingat hari ini adalah ujian terakhirku mengikuti Koas. Apakah aku bisa fokus, atas apa yang telah terjadi semalam pada diriku.
Dengan bersusah payah kuyakinkan hati. Meskipun masalahku begitu berat, tapi aku tidak ingin menyia-nyiakan segala perjuangan selama ini kupertahankan.
Aku bangkit dari duduk, dan menuju lemari pakaian, kuambil pakaian praktek kedokteran. Perlahan kubuka kancing bajuku, di sana masih terlihat jelas jejak merah yang ditinggalkan Pria itu membekas di tubuhku.
Begitu banyak dan membuatku jijik melihat tubuhku sendiri, aku kembali mengingat bagaimana rakusnya Pria beristri itu menyentuh setiap bagian tubuh sensitifku.
Ya Allah, kuatkan aku. Beri aku petunjukMu. Aku tidak tahu harus berbuat apa, kini semuanya telah hancur, aku tidak sanggup rasanya harus mendiamkan hal ini.
Aku harus mengatakan yang sebenarnya pada Papa dan Bunda setelah mereka pulang nanti. Ya, itulah niatku. Aku ingin Pria itu mendapat hukuman setimpal atas apa yang telah dia perbuat padaku.
Dengan niat dan keyakinan, aku tetap mengikuti ujian praktek. Hari ini menentukan lulus atau tidaknya aku mendapat gelar seorang Dokter.
"Tidak, sarapan dulu,Non?" tanya Bibik, saat melihat aku sedang buru-buru.
"Tidak, Bik, aku sarapan di RS saja," jawabku segera keluar dari rumah.
Aku kembali berpapasan dengan Pria itu, rasanya aku ingin sekali memakinya, jika aku boleh meminta saat itu juga, maka, aku tidak ingin lagi melihat wajahnya.
Tapi, aku tak bisa menyuruhnya pergi begitu saja, karena itu bukan wewenangku, dia bekerja dengan Papa. Maka, mau tidak mau aku harus menerima dia untuk menjadi driver sekaligus ajudanku.
Dia tak berani menatap diriku, begitupun aku yang begitu malas menatap wajahnya. Aku tak membiarkan dia membukakan pintu mobil, aku tak ingin diperlakukan sok baik dan ramah lagi, karena aku sudah tahu siapa dirinya yang sebenarnya.
"Mulai sekarang, kamu tidak perlu bersikap ramah dan baik padaku, karena aku tahu siapa kamu yang sebenarnya. Aku tidak akan pernah mau memaafkan dirimu!" Tekanku sebelum masuk kedalam mobil.
Dia hanya menunduk, jangankan menjawab, menatapku saja dia tak berani.
Bersambung....
Happy reading 🥰
Di perjalanan aku tak ingin melihat wajah Pria itu. Sengaja pandangan ku alihkan keluar agar sedikit saja netraku tak bertemu dengannya.
Benci. Ya, itulah yang aku rasakan saat ini, aku sangat membenci Pria yang sedang mengemudi dihadapanku. Rasanya sudah tak sabar menunggu lusa kepulangan Papa dan Bunda.
Aku ingin Pria ini segera dihukum atas segala perbuatannya yang telah berani melecehkan aku. Dia benar-benar telah menghina harkat martabat keluargaku, terutama Papaku seorang jendral di kepolisian.
Saat aku masih larut dalam lamunan, tiba-tiba mobil yang aku tumpangi berhenti. Dia segera turun untuk memeriksa kendaraan roda empat itu. Aku melihat jam yang ada dipergelangan, ternyata aku sudah hampir terlambat.
"Mbak Khanza, mohon maaf mobilnya ada masalah, saya harus menelpon mekanik untuk datang," ujarnya yang berdiri sedikit merunduk di samping pintu tempat aku duduk.
"Yasudah, aku naik taksi saja."
Dia hendak membukakan pintu mobil itu untukku, tetapi, aku segera mencegahnya.
"Tidak perlu! Sudah kukatakan, jangan berlagak sok ramah dan baik padaku!" Aku segera membuka pintu mobil, segera keluar, lebih cepat tak melihat wajahnya itu akan lebih baik.
Saat kakiku hendak menapaki menunju pinggir jalan raya, aku mendengar ada seseorang memanggil Pria itu. Aku segera menoleh dan memperhatikan
"Mas... Aku kangen, kapan pulang?"
Aku melihat seorang wanita dengan perut yang membuncit memeluk Pria itu dengan mesra. Terlihat sekali dimatanya menyimpan kerinduan. Aku sudah bisa menebak bahwa dia adalah istri dari Pria itu.
"Mas, juga kangen banget sama kamu, sayang, tapi waktu piket belum selesai, kamu sabar ya." Dia mendekap tubuh wanita itu beberapa detik, setelah mengusap rambutnya dengan sayang.
Dasar lelaki tak bermoral, kau mengatakan rindu, tetapi apa yang telah kau lakukan kepadaku! Dasar lelaki baji ngan!
Aku memakinya dalam hati dan segera beranjak meninggalkan kedua orang itu. Aku pastikan dia akan mendapat hukuman berat.
Aku menggunakan jasa taksi untuk sampai ke RS. Diperjalanan mataku mulai memanas, cairan bening menetes di sudut mata, aku tidak tahu apa yang membuat hatiku begini.
Sesampainya di RS, aku segera mengikuti ujian yang di bimbing oleh seorang Dokter spesialis sesuai Sp yang aku ambil. Dokter Akmal. Dia begitu baik dan ramah. Jujur, sebenarnya kami sedang dekat. Tetapi, dengan apa yang telah terjadi pada diriku seakan harapan itu menguap begitu saja. Aku sudah tak punya keberanian untuk dekat dengan pria manapun.
Aku merasa masa depanku telah hancur, tidak ada lelaki yang mau menikah jika mereka tahu bahwa aku sudah tak suci lagi. Setelah selesai ujian, dan Dokter Akmal memberiku nilai yang cukup bagus, aku tak tahu apakah karena dia ada perasaan atau memang karena usahaku memang layak mendapatkannya.
Sore hari saat hendak pulang, tiba-tiba langkahku terhenti, Dr Akmal meraih tanganku. Pria itu menatap dengan dalam, sepertinya ada sesuatu yang ingin ia sampaikan. Aku hanya menunduk tak berani menatapnya.
Aku sudah tak mempunyai keberanian menatap mata teduh itu, merasa bahwa diri ini sudah tak pantas di sukai oleh Pria sebaik Dr Akmal.
"Khanza, ayo aku antar kamu pulang. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan," ucapnya sembari membimbing tanganku.
"Maaf, Dok, aku tidak bisa. Karena sudah dijemput," tolak ku dengan halus, aku mencoba mengalihkan perhatian, netraku bertemu dengan Pria yang sangat aku benci itu. Dia sudah standby menungguku.
Aku terpaksa ikut dengan Pria itu, daripada aku harus pulang diantar oleh Dr Akmal, aku tidak ingin membuat Dr Akmal menaruh harapan, karena aku sudah tak pantas untuknya.
Diperjalanan pulang, aku hanya diam sembari memejamkan mata. Tubuhku lelah, jiwaku goyah, merasa sudah tak bersemangat menjalani hari-hari. Cita-cita yang sebentar lagi aku raih, kini terasa hambar.
Mobil yang aku tumpangi kembali berhenti, padahal sudah dekat dengan kediamanku. Apakah mobil ini kembali rusak? Tetapi kenapa ajudan itu tidak turun?
"Mbak Khanza..."
Pria itu memanggilku. Kuberanikan diri untuk menatapnya melalui kaca kecil yang ada dihadapannya sehingga netra kami bertemu.
"Mbak Khanza, sekali lagi saya minta maaf, saya benar-benar tidak pernah berniat untuk kurang ajar terhadap diri Mbak Khanza, tapi sungguh malam itu saya tidak tahu kenapa tubuh saya beraksi setelah saya pulang dari luar. Saya hanya kumpul-kumpul dengan ADC yang lainnya, kami hanya minum kopi di rumah dinas yang ada di jalan xxx."
Dia mencoba menjelaskan padaku, tapi bagaimana mungkin aku bisa percaya begitu saja dengan ucapannya. Terlalu bodoh sekali jika aku harus percaya dan menerima alasan yang dia lontarkan.
"Apapun alasanmu, aku akan tetap melaporkannya pada Papa, kamu harus membayar segala perbuatanmu!" Tegasku dengan mata yang mulai berkaca-kaca, ku alihkan pandangan dengan menatap keluar jendela, aku tak ingin hati ini menjadi luluh, sehingga dia bisa lepas begitu saja.
Lama Pria itu terdiam setelah mendengar ucapanku. Suasana di mobil begitu mencekam, hanya ada helaan nafas diantara kami.
"Aku siap segala hukuman yang harus aku terima, Mbak. Tapi, apakah aku boleh memohon agar Mbak Khanza memberiku waktu hingga istriku melahirkan. Biarkan aku bertemu dengan istri dan bayiku, untuk yang terakhir kalinya, Mbak Khanza tidak perlu khawatir, aku seorang polisi, aku tidak akan mungkin lari dari segala hukuman yang harus aku pertanggungjawabkan."
Seketika hatiku bagaikan diremat, Ingatanku tertuju pada wanita yang pagi tadi memeluk dirinya, apakah aku tega membiarkan bayi itu terlahir tanpa kehadiran ayahnya?
Kuhela nafas dalam, mencoba untuk menggunakan hati nurani. Aku seorang wanita, dan juga calon Dokter kandungan, tentu saja aku dapat mengerti bagaimana perasaan istrinya jika melahirkan tanpa kehadiran seorang suami. Rasa tak tega melipir dalam hatiku. Ah, aku benci sekali dengan hati yang selalu mudah luluh ini!
"Jalan!" Perintahku. Dia kembali mencuri tatapan padaku sebelum menjalankan mobilnya.
Sesampainya di rumah, aku segera naik kelantai dua menuju kamarku. Kuhempaskan tubuh yang terasa lelah, hatiku juga gundah. Ucapan permohonan Pria itu kembali terngiang-ngiang di telingaku.
Tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku benci dengan hati ini yang mudah sekali tidak tegaan, apa urusanku? Dia bisa bertemu dengan bayinya atau tidak. Yang jelas sakit hatiku terbalaskan.
Tapi kembali lagi hati nuraniku berkata lain, sungguh aku berada di sebuah kebimbangan. Aku dilema. Harus memilih yang mana, membalas perbuatannya kah? Atau membiarkan dia bebas dengan alasan kemanusiaan.
Aku tak tahu. Aku serahkan semua ini kepada Allah, biarkan semuanya berjalan, bila nanti hatiku tak sanggup berdamai. Maka disitulah rasa ibaku menguap.
Bersambung....
Jangan lupa tinggalkan jejak ya🙏🤗
Happy reading 🥰
Lama aku menimbang dan berpikir hingga keputusanku sudah bulat untuk mendiamkan hal ini terlebih dahulu. Aku mencoba untuk tenang. Aku tidak tahu apa yang membuat hati ini tidak tega melihat dia mendapat hukuman.
Tapi, apakah aku harus merelakan begitu saja masa depanku hancur? Adakah orang yang akan mau menikah denganku? Ah, entahlah. Otakku terlalu lelah berpikir. Aku mencoba memejamkan mata.
Mungkin karena mataku lelah menangis sehingga sejenak saja aku sudah berada di alam mimpi. Tidurku begitu lelap, aku terbangun karena ada seseorang yang mengguncang bahuku.
"Dek, bangun! Ini masih sore tumben banget kamu tidur. Hei, ayo bangun!"
Dengan susah payah kubuka kelopak mata yang terasa masih sangat lengket, rasanya aku kesal sekali dengan orang yang membangunkan, apakah dia tidak tahu bahwa aku ingin lari dari kenyataan barang sejenak saja, aku tak ingin memikirkan masalahku yang terasa begitu berat.
Kubuka mata dengan lebar sembari berusaha mengembalikan kesadaran naik kepermukaan. Seorang Pria Tampan yang sangat mendominan diri Papa.
"Bang Khenzi! Kok Abang sudah pulang? Bunda dan Papa mana?" tanya ku, segera duduk.
"Papa dan bunda besok sampainya. Abang sengaja pulang lebih dulu, karena ada hal penting di perusahaan yang tak bisa Abang tinggalkan," ujarnya sembari duduk di sisiku.
Ya, dia adalah kembaranku. Kata Bunda dia lebih tua lima belas menit dariku. Tetapi, aku tetap memanggilnya Abang, dia juga cocok aku panggil Abang, karena dia jauh sangat dewasa dariku. Dia itu, penyabar, penyayang, pengalah,
Sedari kecil kami selalu bersama. Berbeda dengan Abangku yang pertama, kami tinggal terpisah, Bang Yanju tinggal bersama orangtuanya di kota Medan, kami satu Bunda tapi beda Papa. Tapi, Ayahnya Bang Anju, adik Papa, yaitu Om Yandra.
Terkadang aku bingung sendiri dengan hubungan mereka. Tapi yasudahlah, bukan urusan aku. Yang jelas keluarga kami rukun dan damai, tidak pernah ada perselisihan.
Sebenarnya Bang Yanju juga sangat baik, tetapi karena kami jarang bertemu, maka terkadang aku tak bisa selaluasa seperti dengan bang Khenzi.
"Hei... Ngelamun lagi. Mandi sana! Pasti belum mandi 'kan? Tuh mata kenapa sembab, kamu habis nangis?" tanyanya memperhatikan wajahku.
"Ish, apaan sih, Bang? Siapa juga yang nangis. Yaudah aku mau mandi, sana Abang keluar!" usirku sembari mendorong tubuhnya untuk keluar.
"Oke, nanti setelah mandi temani Abang bertemu dengan seseorang ya."
"Bertemu seseorang? Terus apa hubungannya dengan aku?"
"Abang ingin bertemu dengan seorang wanita, Tapi..." ucapnya menggantung. Aku sedikit curiga dengan tingkahnya.
"Tapi apa? Bisa jelas nggak ngomongnya?"
"Tapi, jujur Abang tidak berani menghadapinya sendirian."
"Hah! Emang wanita itu siapa? Musuh Abang? klien?" Aku masih bingung dengan ucapan Pria satu ini. Wajahnya berkeringat dingin. "Abang Kenapa? Demam?" aku meraba keningnya.
"Ihh, apaan sih kamu! Siapa juga yang demam." Dia menyingkirkan tanganku.
"Terus... Apa yang membuat wajah Abang seperti itu? Oh, atau aku bisa menebak. Jangan-jangan Abang..."
"Apa?" tanyanya menatapku ingin minta jawaban.
"Abang lagi jatuh cinta ya...? Hmm, ayo ngaku?" aku mencubit pipinya dengan gemas.
"Hehe... Cuma ingin kenalan dulu, Dek" jawabnya tersipu malu.
"Ya Allah, ternyata Abangku ini bisa juga jatuh cinta? Hahaha..." Sejenak aku bisa tertawa lepas mendapat hiburan dari Abang kesayanganku.
"Apaan sih kamu. Bukan dibantuin, malah di tertawakan," sungutnya sembari memasang wajah cemberut.
"Hmm... Jangan-jangan wanita itu alasan Abang untuk pulang terlebih dahulu dari Papa dan Bunda. Iya 'kan?"
"Eh, nggak kok! Memang benaran, ada urusan penting di kantor," elaknya, meskipun aku tahu faktor utamanya adalah itu.
"Iya, deh iya. Baiklah aku mandi dulu, habis itu aku temani Abang menemui calon kakak iparku," selorohku masih menggoda dirinya.
"Ish.. Udah sana mandi! Abang tunggu di bawah. Oya, hari ini ADC yang piket masih Yusuf?" tanyanya yang membuat hatiku kembali terusik saat mendengar nama Pria itu disebut.
"Dek, kok bengong?"
"Ah, ya. Masih dia. Yaudah aku mandi, sana Abang keluar!"
Setelah Bang Khenzi keluar, aku segera mengunci pintu kamar. Dadaku terasa sesak, rasanya aku sulit berdamai dengan keadaan ini. Bathinku terasa sakit saat bayangan kejadian malam itu tak pernah pergi dari benakku.
Sesulit inikah untuk berkorban? Aku sudah menjadi korban, tapi aku harus berkorban dengan alasan kemanusiaan demi istri dan bayinya.
"Ya ampun, Khanza, kenapa kamu begitu mudah luluh."
Aku segera masuk kedalam kamar mandi. Kucoba menenangkan pikiran dengan berendam di dalam bathtub, ku tuang sabun cair dengan aromaterapi bunga mawar.
Sedikit rileks. Aku berusaha untuk melupakan masalah yang ada. Setelah cukup lama berendam, aku segera menyelesaikan mandi. Tak butuh lama aku sudah rapi dan bersiap untuk pergi menemani Bang Khenzi.
"Udah siap? Lama banget!" rungut Bang Khenzi, terlihat diwajahnya gelisah.
"Kenapa gelisah begitu? Rileks my brother. Ayolah, wajahnya jangan tegang. Kalau begini bagaimana mungkin calon kakak iparku akan tertarik dengan Abang. Ih, kelihatan banget baru dekat dengan cewek, Makanya jangan kerja melulu. Untung aja nggak jadi kulkas dua pintu. Kaku, bin dingin."
Aku berusaha mengubah karakter bang Khenzi yang selama ini sangat kaku, untuk lebih santai dalam menghadapi seorang wanita. Aku melihat dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal sembari nyengir mesem.
"Ya, terus gimana dong, udah bawaannya begini," ujarnya pasrah.
"Bukan gimana-gimana, Abang harus berubah, harus lebih santai dan cool. Kalau soal tampang nggak perlu khawatir, udah cucok keren dan Maco. Yang perlu di ubah adalah sikap dingin itu, harus lebih peka dalam menghadapi seorang wanita. Karena sejatinya wanita itu menggunakan perasaan, berbeda dengan lelaki, yang selalu menggunakan logika dan pikiran."
"Oke, baiklah. Adikku yang baik. Terimakasih sudah banyak membantu. Let's go. Kalau lama kuliah begini yang nungguin bisa jenuh dan akhirnya dia pulang, terus apa gunanya mulut kamu yang sedari tadi berbusa memberiku pengarahan," ujarnya yang membuat aku terpingkal.
"Hahaha... Baiklah, ayo kita pergi sekarang."
Saat tiba diluar, aku melihat dia yang berada di pos, segera berlari menghampiri kami. Aku segera mengalihkan perhatian. Tak ingin menatapnya.
"Mau, keluar Mas Khenzi?" tanyanya.
"Iya, Mas Yusuf. Antar kami ke Cafe xx, yang ada di jalan nangka, ya."
"Baik, silahkan Mas." Pria itu membukakan pintu untuk Bang Khenzi, dia menatapku, tetapi sepertinya dia sudah tahu bahwa aku tak ingin diperlakukan sama seperti bang Khenzi. Dia hanya merunduk, lalu masuk dan duduk di bangku kemudinya.
Aku membuka pintu mobil sendiri, dan segera duduk di kabin belakang. Bang Khenzi duduk di samping driver.
Di perjalanan, aku hanya diam sembari mendengarkan obrolan bang Khenzi dengan ajudan itu. Abangku begitu tampak ramah dan menghargai dia, itu semua karena Abang tidak tahu bagaimana prilaku Pria itu padaku.
Bersambung....
Jangan lupa tinggalkan jejak ya 🙏🤗
Happy reading 🥰
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!