Malam mulai datang, sinar matahari tampak sudah kembali ke peraduannya digantikan cahaya rembulan. Di ruangan kerja seorang pria, terlihat seorang wanita yang tengah berjongkok di depannya. Tangan pria itu terlihat mengusap-usap rambut sang wanita seraya menyuarakan de sa hannya.
"Jenny ... ah babe ..." Pria itu mendongak puas saat kekasihnya melakukan service yang membuatnya menggila.
Pria itu tak lain adalah Gabriel Arshaka De Leander, Putra kedua dari pasangan Axel dan Bella. Pria yang kerap di sapa Eril itu memang punya kebiasaan yang jarang orang tahu. Ia dan kekasihnya sering melakukan hal-hal yang menantang seperti ini.
Meski sering melepas adrenaline dengan kekasihnya, Eril masih berpacaran ditahap yang wajar. Ia tidak pernah menyentuh kekasihnya karena ingat prinsipnya yang tak ingin merusak wanitanya.
Jenny yang sejak tadi sudah basah dan terangsang, langsung bangkit lalu duduk dipangkuan Eril. Ia ingin memasukan milik Eril ke dalam miliknya namun Eril malah mendorongnya hingga ia terjungkal ke belakang.
"Shitttttt! Jenny! Apa yang kau lakukan!" Eril tanpa sadar berteriak kesal, moodnya seketika langsung buruk dan memakai celananya kembali.
"Kau yang apa-apaan? Kenapa kau mendorongku?" Jenny balas berteriak kesal karena lagi-lagi Eril menolaknya.
Meski pria itu mengerang penuh kepuasan saat ia melakukan b lo w job, tapi Eril tetap saja bertahan dengan pendiriannya yang tidak mau menyentuh Jenny. Kadang Jenny merasa kekasihnya ini terlalu naif, apa Eril pikir ia manusia suci yang tidak pernah berhubungan fisik.
"Maafkan aku, tapi seharusnya kau tahu kalau aku tidak bisa melakukan ini Jenny," ucap Eril membantu kekasihnya untuk bangkit.
"Jangan menyentuhku! Kau keterlaluan!" bentak Jenny menepis tangan Eril dengan kasar. Ia segera mengambil baju-bajunya yang tadi sudah di lepaskan, saat ia memegang miliknya terasa sangat basah.
"Sial! Baru kali ini aku merasa di permalukan!" batin Jenny mengumpat sangat kesal.
"Sayang hei, so sorry, kamu tahu sendiri aku nggak bisa ngelakuin ini?" ucap Eril membujuk Kekasihnya itu.
"Why? Kenapa nggak bisa? Kita berdua udah saling cinta 'kan?" ucap Jenny memandang Eril tajam.
"Oh my, kau sudah tahu perasaanku Sayang. Justru karena aku mencintaimu, makanya aku tidak ingin melakukan ini. Kamu yang sabar dong, tunggu sampai kita menikah nanti," ucap Eril memeluk kekasihnya, merayu Jenny yang sedang merajuk agar hubungan mereka baik-baik saja.
"Tapi kapan kamu bakalan nikahin aku?" tanya Jenny memandang kekasihnya sendu.
"Tunggu dulu, aku baru aja ada proyek baru. Biarin aku selesaikan proyek aku yang baru ya," ucap Eril mengusap-usap punggung kekasihnya.
Jenny tersenyum sinis, ia kembali mendorong tubuh kekasihnya menjauh.
"Alasan itu lagi? Aku udah muak Ril, kayaknya emang kamu nggak pernah serius sama aku. Lebih baik kita akhiri saja hubungan ini," ucap Jenny mengambil tasnya lalu beranjak pergi, sudah terlalu lelah dengan alasan memuakkan yang diberikan Eril.
"Sayang, jangan gitu dong. Kamu dengerin aku dulu," Eril berusaha menjelaskan seraya mengejar kekasihnya, ia tak akan sanggup jika harus kehilangan wanita se cantik Jenny.
Jenny yang sudah begitu muak, tak menghiraukan Eril sama sekali. Ia terus berjalan dengan langkah cepat. Biarlah pria itu tetap bertahan dengan pendiriannya, apa dia pikir Jenny tidak bisa mencari pria yang bisa memuaskannya.
Eril berdecak kesal saat sudah kehilangan jejak Jenny. Ia ingin menyusulnya ke Apartemen, namun tiba-tiba saja teleponnya berdering membuat ia mengurungkan niatnya.
"Halo Ma?" Eril langsung menyahut begitu mendengar suara Mamanya di seberang sana.
"Halo Eril, kamu dimana Sayang? Udah pulang dari kantor?"
"Ini baru mau pulang, ada apa Ma?" tanya Eril mengambil kunci mobilnya di saku. Malam sudah cukup larut, jadi suasana di sana juga sangat sepi.
"Ini Mama masih di rumah Kakak kamu Rendra, keponakan kamu demam, Kakak mau juga belum pulang. Kayaknya Mama sama Papa nggak bisa pulang dulu ke rumah,"
"Oh gitu, baiklah Ma."
"Kamu baik-baik di rumah, sama jagain adik kamu. Tadi katanya mau keluar sama Jingga. Coba kamu cek, udah pulang apa belum."
"Kemana lagi perginya anak itu?" gerutu Eril sebal jika adiknya ini sudah keluar, pasti akan membuat ulah sama seperti sebelumnya.
Setelah mengakhiri panggilannya dengan sang Mama. Eril segera menancap gas mobilnya ke rumah. Dan benar seperti dugaannya, kalau Gwiyomi tidak ada di rumah.
"Dasar anak nakal! Apa dia nggak bisa diem aja di rumah gitu,"
Eril tak henti menggerutu sebal karena tidak bisa menemukan adiknya. Akhirnya daripada pusing mencari keberadaan adiknya, Eril mengerahkan anak buahnya untuk mencarinya.
"Bagaimana?" tanya Eril ketika asistennya melapor.
"Nona Gwiyomi sedang berada di hotel tempat temannya mengadakan acara ulang tahun Tuan," Lapor Rafa asisten Eril.
"Kita langsung kesana saja. Anak itu tidak akan pulang kalau aku tidak menjemputnya," ucap Eril bergerak cepat untuk menemukan adiknya.
****
Di hotel, Gwiyomi dan Jingga terlihat sudah teler setelah minum satu gelas anggur. Kedua wanita yang baru saja beranjak dewasa itu baru pertama kali minum, jadi mereka langsung lemas karena belum terbiasa.
"Jingga, lu lihat Bara nggak? Kemarin dia jalan sama cewek cantiiiikkkkk, aku kesel banget," Gwiyomi merancau seraya meneguk kembali minumannya.
Jingga tak menyahut, kepalanya terasa sangat berat hingga ia malas mengangkatnya.
"Jingga! Lu dengerin gue nggak sih!" mungkin karena efek alkohol, Gwiyomi tidak bisa mengontrol nada bicaranya. Ia bangkit dari duduknya dan berteriak kepada Jingga.
"Lu apaan sih, gue tuh lagi mimpi indah," kata Jingga melantur.
Gwiyomi ingin membuka mulutnya kembali, tapi tiba-tiba telinganya ditarik dari belakang oleh seseorang.
"Argh, aduh aduh ..." Gwiyomi meringis lalu menoleh kebelakang, melihat Kakaknya Eril yang menatapnya sangat kesal.
"Kak Eril?" serunya begitu kaget.
"Bagus sekali, siapa yang menyuruhmu minum?" sentak Eril marah melihat kelakuan adiknya.
"Jingga! Jingga yang mengajakku minum!" tak ingin disalahkan, Gwiyomi malah menunjuk Jingga yang sudah teler.
Eril berdecak kesal melihat semua ini. "Dasar! Apa kalian tidak tahu kalau ini sangat berbahaya? Ayo pulang," sentak Eril menarik tangan adiknya.
"Tunggu dulu Kak," Gwiyomi menarik tangannya kesal.
"Apalagi?" Eril menatap adiknya tajam.
"Kakak mau meninggalkan Jingga?" ucap Gwiyomi tak akan meninggalkan sahabatnya.
"Sungguh merepotkan!" gerutu Eril mau tak mau memapah Jingga dan membawa wanita itu pulang.
"Rafi, kau bawa saja Nona Gwiyomi pulang ke rumah. Aku akan mengantarkan Jingga pulang dulu," ucap Eril lagi.
Rafi mengangguk siap, setelah membatu Jingga masuk ke dalam mobil. Eril segera membawa mobilnya untuk mengantar Jingga pulang. Sepanjang perjalanan pulang, Jingga tak henti bergumam-gumam tak jelas.
"Apa kau tidak bisa diam?" sentak Eril risih sendiri mendengar suara Jingga.
"Tidak! Aku tidak bisa diam! Kau mau apa ha?" sahut Jingga malah menantang Eril.
Eril mendengus kesal, ia lalu memperhatikan Jingga yang sudah begitu mabuk, kalau ia membawanya pulang ke rumah. Nanti pasti akan banyak pertanyaan dari kedua orang tua Jingga.
"Sebaiknya aku bawa pulang saja," batin Eril memutar kembali kemudi mobilnya menuju rumahnya sendiri.
Happy Reading.
Tbc.
Hai gengss ... ketemu lagi dengan cerita terbaru author Virzha ya ...
Sebelumnya author mau mengucapkan selamat tahun baru untuk semua readers ...
Semoga di tahun baru ini kita bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi ...
Happy New Year Gengs ....
Mohon dukungan like, komen dan subscribe ya ....
Cast Visual.
Gabriel Arshaka De Leander~
Jingga Oceana~
Jenny~
Sesampainya di rumah, Eril mencoba membangunkan Jingga agar ia tak perlu repot menggendongnya. Tapi wanita itu sama sekali tidak bergerak, hanya bergumam-gumam tidak jelas lalu kembali tidur lagi.
"Sungguh merepotkan!" celetuk Eril mau tak mau menggendong Jingga masuk ke dalam rumah.
Gwiyomi yang mendengar suara mobil Kakaknya sampai, langsung melihat ke arah bawah, ia ingin membujuk Kakaknya agar tidak melaporkan kepada Papanya. Gwiyomi tidak ingin uang sakunya di potong dan ia tidak boleh keluar.
Namun, saat ia akan turun, langkahnya seketika terhenti saat melihat Eril sedang menggendong Jingga. Gwiyomi langsung bersembunyi.
"Kenapa Kak Eril membawa Jingga pulang?" gumam Gwiyomi.
"Jangan-jangan Kak Eril mau berbuat macam-macam lagi," mata Gwiyomi membesar membayangkan hal itu terjadi.
Dengan langkah panjang, ia bergegas untuk turun. Tapi ia kemudian berhenti lagi.
"Tunggu dulu, jika mereka berdua bisa memiliki hubungan, bukankah hal itu sangat bagus? Aku bisa memiliki saudara perempuan seperti Jingga," batin Gwiyomi membayangkan bagaimana serunya jika ia dan Jingga akan menjadi saudara ipar. Ia pasti tak akan kesepian di rumah.
Gwiyomi tersenyum licik, ia merasa harus melakukan sesuatu untuk membuat Jingga menjadi Kakak iparnya.
Tok Tok Tok Tok.
"Gwi! Buka pintunya!"
Dak Dak Dak Dak.
Suara Eril terdengar berteriak dari arah luar seraya menggedor pintu kamarnya. Gwiyomi sedikit terkejut. Ia lalu mengendap-endap untuk mengunci pintu kamarnya dengan gerakan sangat pelan.
"Rencanaku harus berhasil," batin Gwiyomi sedikit was-was akan melanjutkan rencana gila ini.
"Gwi! Buka pintunya!" Eril kembali berteriak memanggil adiknya, ia sudah sangat lelah sejak tadi menggendong Jingga yang memiliki tubuh yang tidaklah kecil.
"Gwi!"
Dak Dak Dak Dak.
Eril terus berteriak-teriak tapi tidak ada sahutan sama sekali. "Brengsek! Dia tidur apa mati sih," gerutu Eril menendang pintu kamar adiknya dengan keras.
Eril lalu menatap Jingga yang masih terlelap dalam tidurnya. Setelah berpikir sejenak, Eril akhirnya membawa Jingga menuju kamar tamu, lebih baik ia menidurkan wanita itu di sana daripada membuang waktu menggedor kamar adiknya yang tidak membuahkan hasil.
Gwiyomi menajamkan pendengarannya, saat dirasa Kakaknya sudah pergi, Gwi segera keluar kamar. Ia melihat Kakaknya yang membawa Jingga ke kamar tamu. Gwiyomi kembali mengendap-endap mengikuti Kakaknya.
Setelah memastikan Kakaknya sudah masuk, Gwiyomi mengambil kunci cadangan rumah lalu mengunci kamar tamu itu.
"Maafkan aku ya Kak, semoga kalian berdua senang," ucap Gwiyomi terkikik geli, ia lalu segera masuk kembali ke kamarnya, menunggu hasil yang akan terjadi besok pagi.
Di dalam kamar, Eril merebahkan Jingga dengan sedikit kasar, ia mengatur nafasnya yang ngos-ngosan karena terus menggendong Jingga.
"Menyebalkan!" umpatnya ikut membanting dirinya ke kasur untuk meluruskan punggungnya yang kaku.
"Egh ... pusing," Jingga mendesis pelan seraya memegang kepalanya, perutnya tiba-tiba terasa mual dan ingin sekali muntah.
"Air ..." ucap Jingga cukup kehausan juga.
Eril yang mendengar suara Jingga langsung membuka matanya, ia bangkit dan melihat keadaan Jingga yang setengah sadar.
"Kau butuh apa?" tanya Eril bangkit dari tidurannya.
"Mual," ucap Jingga tak bisa lagi menahan rasa yang mengaduk-aduk perutnya, ia langsung bangkit dan berlari menuju kamar mandi.
"Huek ... Huek ..." Jingga memuntahkan segala isi perutnya hingga kerongkongannya pahit sekali.
Eril hanya bisa berdecak kesal, ia paling jijik jika melihat orang yang mutah, ia akhirnya diam saja menunggu Jingga sampai wanita itu kembali ke kamar. Tapi ...
"Argh! Air ... air ..." Jingga berteriak saat menyalakan air kran, tiba-tiba airnya muncrat kemana-mana karena krannya terlepas.
"Kenapa lagi tuh anak," ucap Eril bergegas menghampiri Jingga di kamar mandi. Ia terkejut melihat air kran yang muncrat kemana-mana.
"Kenapa bisa begini?" tanya Eril membantu mematikan kran itu, mungkin karena jarang dipakai, krannya rusak seperti ini.
Niat hati ingin membantu mematikan kran, yang ada malah Eril dan Jingga sama-sama basah kuyup karena kran itu tidak bisa mati.
"Brengsek! Kenapa nggak bisa mati!"
"Sialan!"
"Oh shittt!!"
Segala umpatan dan makian terlontar dari mulut air saat membenarkan kran itu. Setelah jerih payahnya, akhirnya kran itu bisa tertutup. Tapi sebagai gantinya tubuh mereka basah kuyup.
"Kak, dingin sekali," ucap Jingga memeluk tubuhnya yang menggigil hebat.
"Ini semua gara-gara kau!" tuding Eril menunjuk batang hidung Jingga dengan ekspresi kesalnya.
"Kok salah aku sih, ini semua karena Kak Eril, kenapa nggak bisa matiin kran," ucap Jingga tak terima disalahkan.
"Apa? Kau gila ya? Kalau kau tidak bertindak bodoh dengan mabuk-mabukan tidak jelas, aku tidak akan membawamu kemari," teriak Eril sedikit besar suaranya.
"Bicara biasa aja apa nggak bisa? Aku mau pulang sekarang," kata Jingga kesal karena dibentak-bentak oleh Eril.
Eril tak peduli, ia malah membanting pintu kamar mandi lalu mengambil handuk untuk membersihkan tubuhnya.
Jingga berdecak kesal, ia mengambil tasnya, berniat untuk pergi. Saat ia membuka pintu kamar, pintu itu malah tidak bisa dikunci membuat Jingga kaget.
"Kok nggak bisa sih," gumam Jingga terus mencoba membuka pintu itu, namun hasilnya nihil.
"Kenapa kau masih disini?" Jingga hampir saja terjingkat saat mendengar suara Eril yang besar.
"Pintunya nggak bisa dibuka," sahut Jingga seadanya.
Ia melirik kebelakang dan terkejut melihat Eril yang hanya menggunakan handuk yang melilit di pinggangnya, Jingga buru-buru memalingkan wajahnya agar tak melihat pemandangan menggoda iman itu.
"Nggak bisa gimana?" tanya Eril melihat kondisi pintu lalu mencoba membukanya.
"Sial! Kenapa tidak bisa dibuka?" entah sudah berapa kali Eril mengumpat dalam semalam ini.
Eril terus mencoba membuka pintu kamar itu tapi hasilnya sia-sia saja. Ia juga berteriak-teriak meminta bantuan, tapi juga tidak ada yang menyahut.
"Gimana kak?" tanya Jingga ikut cemas karena tak bisa keluar dari sana.
"Gimana apanya?" sentak Eril menatap Jingga tajam.
Daripada membuang waktu dengan hal yang tak berguna, Eril memilih merebahkan dirinya untuk istirahat. Ia sangat yakin kalau semua ini pasti disengaja, siapa lagi pelakunya kalau bukan adiknya Gwiyomi.
"Awas saja anak itu,"batin Eril begitu geram.
"Kak, Kak Eril kok malah tidur sih, ini gimana dong? Masa kita tidur disini sih?" Jingga merengek, tak ingin tidur di dalam kamar yang sama dengan Eril.
"Hei anak kecil, sebaiknya kau diam saja. Tidurlah di sofa sana, aku tidak akan melakukan apapun padamu," sergah Eril melirik Jingga kesal.
"Tidur gimana? Bajuku basah gini, mana bisa tidur," Jingga cemberut melihat bajunya yang basah kuyup.
"Gunakan saja otakmu itu untuk berpikir. Aku akan tidur, jangan menggangguku!" seru Eril benar-benar sangat lelah sekali hari ini, sudah diputuskan pacarnya, sekarang malah terjebak di kamar bersama Jingga.
Jingga mengerucutkan bibirnya kesal, Eril benar-benar tega membiarkannya kedinginan seperti ini. Jingga yang tidak mau sepanjang malam tidur dengan baju basah, terpaksa melepas semua bajunya lalu membungkusnya dengan selimut tebal dan tidur di sofa. Biarkan saja si Eril menyebalkan itu tidur kedinginan karena selimutnya dia pakai.
Happy Reading.
Tbc.
Jangan lupa like, komen dan subscribe ya gengs ...
Eril membuka matanya saat ia merasa sangat kedinginan, ia lalu melihat selimutnya yang sudah tidak ada. Pantaslah sejak tadi ia menggigil kedinginan, ia hanya tidur dengan menggunakan handuk tanpa baju apapun.
Eril lalu melihat Jingga yang tertidur dengan begitu pulas menggunakan selimutnya. Eril mendengus sebal, pantaslah ia kedinginan, ternyata Jingga yang sudah mengambil selimutnya.
"Bangun!" sentak Eril menepuk pelan pipi Jingga.
"Egh ... apa sih Ma? Jingga masih ngantuk," Jingga hanya bergumam seraya memeluk kembali selimutnya.
"Ck, kembalikan selimutku Jingga," ucap Eril menarik selimutnya kasar.
Jingga yang merasakan apa yang dilakukan Eril segera membuka matanya, ia mempertahankan selimut itu karena saat ini ia tidak mengenakan apapun di baliknya.
"Jangan Kak, aku butuh selimut ini," ucap Jingga memegang selimutnya erat.
"Kau pikir hanya kau saja yang butuh? Aku juga membutuhkannya," ucap Eril tak mau kalah, ia terus saja menarik selimut Jingga tanpa tahu jika Jingga tidak menggunakan apapun.
"Kak Jangan Kak, aku mohon!" teriak Jingga masih mempertahankan selimutnya, tapi Eril juga terus menariknya dengan kuat hingga tubuh Jingga ikut tertarik hingga menubruk dada bidangnya.
Satu detik ...
Dua detik ...
Tiga detik ...
Mereka berdua saling pandang, Jingga sangat gugup sekali saat tubuhnya menempel erat dengan Eril. Namun Eril merasa biasa saja, ia baru saja akan melepaskan Jingga sebelum pintu kamar terbuka.
Keduanya menoleh bersamaan dan kaget begitu melihat kedua orang tua mereka datang kesana. Wajah kedua orang tuanya juga sangat kaget melihat posisi Eril dan Jingga sangat intim, bahkan Eril hanya menggunakan handuknya saja.
"Eril!"
"Jingga!"
Bella dan Karin berteriak hampir bersamaan melihat anak mereka yang seperti ini. Sedangkan Dio sudah berpikiran kemana-mana, ia memperhatikan Eril dan Jingga, hingga pandangannya berpusat pada baju putrinya yang teronggok begitu saja di lantai.
Gwiyomi saja kaget melihat keadaan Kakaknya dan Jingga, ia semua sungguh diluar rencana. Kenapa mereka malah tidak memakai baju?
"Kurang ajar! Apa yang kau lakukan pada putriku!" Dio berteriak penuh amarah, ia hampir saja menghajar Eril kalau saja Karin tak menahan tangannya.
Eril dan Jingga sendiri langsung melepaskan dirinya masing-masing. Wajah mereka kaget, panik dan juga bingung harus bagaimana.
"Papa, Mama, aku bisa menjelaskan semuanya. Ini semua salah paham," kata Eril tak ingin semua orang berpikir macam-macam.
"Diam lah! Kalau kau memang tidak melakukan apapun, kenapa baju Jingga ada di lantai!" Dio rasanya tak bisa berbicara dengan nada pelan, orang tua mana yang rela jika melihat putrinya seperti ini.
Semua orang langsung melihat baju Jingga yang berada di lantai. Axel yang tadinya masih percaya kepada putranya, kini berubah berwajah masam.
"Enggak Om, ini benar-benar salah paham. Aku tidak melakukan apapun dengan Jingga. Kita pasti di jebak, ya kita dijebak," ucap Eril mengangguk yakin, ia lalu menatap adiknya yang langsung bersembunyi dibelakang Mamanya.
"Gwi! Dia pasti pelakunya! Semalam dia tidak membukakan pintu kamarnya! Dia pasti sengaja! Iya 'kan? Ngaku nggak?" ucap Eril menghampiri adiknya itu, ia yakin kalau semua ini adalah ulah Gwiyomi.
"Tidak, aku tidak tahu apapun. Aku juga baru bangun saat Mama datang. Lagipula kenapa Kakak menyalahkan ku, kamar ini tidak dikunci," ucap Gwiyomi membantah.
"Bohong! Semalam kamar ini terkunci makanya aku tidak bisa keluar!" bentak Eril begitu emosi, ia tidak sepikun itu sampai lupa kalau kamar ini tidak di kunci.
"Sudahlah, jangan menyalahkan adikmu. Cepat pakai bajumu, kita akan bicara di ruang tengah," ucap Axel tegas dan tak bisa dibantah oleh siapapun.
*****
"Kalian harus menikah,"
Sebuah ucapan yang terdengar sangat biasa, tapi bagi Eril dan Jingga malah seperti petir di siang bolong. Kini semua orang sudah berkumpul di ruang tengah untuk membahas bagaimana kedepannya hubungan Eril dan Jingga.
"Tidak bisa!" ucap Eril menolak mentah-mentah, mana mungkin ia akan menikahi wanita yang sudah dianggap layaknya adiknya sendiri, lagipula ia juga masih memiliki kekasih.
"Mau lari dari tanggung jawab kamu? Setelah mendapatkan yang kau mau dari putriku, kau akan meninggalkannya begitu saja?" sergah Dio tak akan terima jika siapapun akan mengusik putri kecilnya.
"Tanggung jawab apa? Aku tidak melakukan apapun Uncle, tanyakan saja pada Jingga," ucap Eril tak terima jika dibilang lari dari tanggung jawab.
"Benar Pi, aku dan Kak Eril memang tidak melakukan apapun. Semalam--"
"Jingga Sayang, kamu tidak perlu takut mengatakannya. Jika Eril memang sudah berbuat hal tidak baik, kamu tidak perlu menutupinya Sayang,," Bella langsung menyela seraya memegang tangan Jingga lembut.
"Iya Jing, lu nggak usah takut sama Kakak gw, kalau dia emang kurang ajar, dia tetep harus tanggung jawab dan nikahin lu," ucap Gwiyomi ikut-ikutan menyudutkan Kakaknya.
"Diam kau anak kecil!" bentak Eril semakin emosi karena keluarga sendiri malah tidak membelanya.
Jingga malah kebingungan sendiri, bagaimana dia menjelaskan kalau semua ini hanya salah paham. Eril pun sudah berusaha keras menjelaskan semuanya, tapi tidak ada yang mau mendengar sama sekali.
"Keputusan Papa sudah bulat, kau harus menikahi Jingga minggu depan. Jangan sampai kabar ini di dengar pihak luar, sungguh memalukan!"
Ucapan Axel benar-benar membuat Eril seolah terhempas dari tebing dan terjerembab ke jurang yang sangat dalam. Menikahi Jingga? Wanita yang sejak kecil menjadi teman main adiknya itu, sebentar lagi akan menjadi istrinya? Lelucon apa ini.
Karena berbagai upaya tidak bisa meluluhkan hati kedua orang tuanya, Eril akhirnya menemui Jingga di kampusnya. Ia menunggu wanita itu keluar kampus lalu mengajaknya berbicara empat mata.
"Kakak apaan sih? Aku udah di tungguin supir, ngapain basa aku kesini?" Jingga memprotes kesal karena sikap Eril yang semena-mena.
"Hei, dengarkan aku anak kecil. Sebelum kau menikah denganku, kau harus ingat kata-kataku baik-baik," ucap Eril memegang kedua lengan Jingga erat.
"Aku menikahi mu hanya karena permintaan orang tuaku, kau tahu artinya itu 'kan? Aku terpaksa melakukan ini, jadi jangan pernah mengharapkan apapun dari pernikahan kita ini. Aku juga sudah memiliki kekasih, meski kau menjadi istriku nanti, aku akan tetap menjalin hubungan dengannya, dan kau! Sama sekali tidak berhak ikut campur, kau mengerti?" ucap Eril dengan tatapan seriusnya.
Jingga menatap Eril tak percaya, apa pria ini tidak berpikir kalau perkataannya itu sangat menyakiti hatinya.
"Kenapa Kakak tidak mencoba mengembangkan hubungan kita? Pernikahan kita pernikahan yang sah Kak, kenapa Kakak menganggapnya seperti lelucon?" ujar Jingga tak tahu harus berkata seperti apa.
"Ck, jangan menceramahi ku. Kau cukup lanjutkan saja hidupmu dan aku melanjutkan hidupku, sudah itu saja, jangan membuat semuanya menjadi rumit," kata Eril lagi.
"Tapi aku mencintaimu Kak,"
Happy Reading.
Tbc.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!