NovelToon NovelToon

Pesona Mantan Bikin Klepek-klepek

Belum Move on

Di depan halte bis ...

Di sana ada seorang pria dan wanita yang sedang bertengkar hebat.

Untung saja halte itu sepi, jika tidak pasti akan banyak orang yang melihatnya.

Sang pria yang mencoba menjelaskan alasannya telat, namun tak mendapatkan kesempatan.

Sang wanita terlalu keukeuh dengan prinsipnya.

Hingga keduanya terlibat konflik yang cukup memanas, konflik yang mengancam hubungan kasih antara pria dan wanita itu.

"Kita putus!" ucap seorang wanita pada teman prianya.

Dia terlihat membelakangi tubuh sang pria, air matanya menetes dengan derasnya.

"Kau tidak pernah memahami kesibukanku, kau selalu memintaku untuk melakukan hal yang tidak mungkin. Apakah aku bodoh? lalu? apa ini? kau meminta putus? semudah itu kah cinta untukmu? hingga dengan mudahnya memutuskan hubungan?" jawab sang pria.

Dia mencoba untuk menjelaskan duduk permasalahannya.

Hari ini dia sangat sibuk, banyak pekerjaan dan hanya bisa menjawab panggilan telepon dari para kolega.

Setelah ada waktu, sang pria langsung meminta sang kekasih bertemu.

Namun, apa yang terjadi? sang kekasih justru mengajaknya ribut.

"Ya, aku memang tidak ada artinya bagimu. Lalu apa lagi? kita tak bisa seperti ini. Kita putus saja!"

Sang wanita berderai air mata, dia sebenarnya masih sangat menyayangi teman prianya, hanya saja dia terlalu gengsi.

Selama kurun waktu tujuh tahun, keduanya tidak pernah ribut masalah seperti ini.

Entah mengapa, semuanya terjadi begitu saja.

Sang pria meminta kekasihnya untuk menatap matanya.

Namun tak digubris sama sekali.

"Kau benar-benar ingin putus dariku?"

Sang pria mencoba menahan diri, dia masih cinta tapi sang kekasih sepertinya ingin lepas dengan segera.

Dia bahkan memeluk tubuh sang kekasih yang tak lagi merespon apapun itu.

"Kau paham aku kan? jika kau yang memintanya, aku tak bisa menahannya? tak bisa kah kau katakan hal yang lain?"

"Ya, selama ini aku tak pernah mengatakan putus karena tahu itu. Namun, aku sudah tidak tahan lagi."

Sang pria perlahan melepaskan pelukan itu.

Dia berusaha untuk tidak pergi, tapi tak ada yang mencegahnya, dia juga sudah lelah menahan segalanya.

Mungkin jalan yang terbaik adalah putus.

Sang pria yang datang dengan sebuah mobil, lalu segera masuk ke dalam mobilnya dan tancap gas meninggalkan sang wanita.

Dia pergi begitu saja tanpa sepatah katapun.

Sang wanita masih berada di sana, dia menangis.

"Hiks, benar kata ibuku, dia tak pernah serius. Apakah arti semua ini? tujuh tahun yang sia-sia."

.

.

Satu tahun berlalu ....

Setelah pertengkaran itu, sang wanita bernama Diara dan sang pria bernama Mateo, sudah lost kontak.

Mereka sama-sama ingin move on. Namun, dalam waktu satu tahun ini, Diara justru masih teringat akan sang mantan.

Jika seorang pria masih bisa jaga image, Diara sepertinya sudah tidak punya muka.

Dia masih menghubungi Mateo, dia meminta maaf akan kesalahannya, tapi entah kesialan atau sebuah keberuntungan.

Nomor ponsel Mateo sudah tidak aktif lagi.

Sejak saat itu, dia galau.

Tak tahu lagi harus bagaimana dalam menjalani hidup.

Di ruang tamu rumah Diara, sedang terjadi perbincangan mengenai perjodohan Diara dan Denis.

Seorang pria tampan dan mapan, teman sang kakak.

Diara yang baru saja duduk di sofa langsung panas dingin, sebab dia tidak mau terlibat dengan urusan perjodohan, dia ke sana untuk bertanya nomor baru Mateo.

Namun, yang terjadi justru demikian.

"Dia akan datang malam ini, siapkan dirimu Diara!" ucap sang kakak bernama Rafles.

Pria itu belum menikah karena sibuk bekerja untuk membantu ekonomi keluarganya, setelah ayahnya meninggal, Rafles yang bekerja meneruskan usaha bengkel milik sang ayah.

Dia bersyukur mampu bertahan sampai detik ini.

"Kak, apa kau punya nomor Mateo?"

Sang kakak terbelalak dengan semua ini, setelah sekian lama tidak ada pembahasan mengenai Mateo, Diara justru membukanya dengan sangat gamblang.

"Adik, kau ini sangat keterlaluan, bagaimana bisa minta nomor telepon padaku. Aku sudah lama tidak menghubunginya."

"Kakak adalah temannya, bagaimana bisa tidak punya?"

Sang kakak sebenarnya tidak ingin mengatakan ini, tapi bagaimana pun juga Diara adalah adik kesayangannya.

"Dia sudah punya kekasih, kau harusnya move on," pinta sang kakak.

"Aku tidak percaya."

"Tidak percaya ya sudah, itu urusanmu!"

Sang kakak masih terus meminta adiknya memikirkan tawarannya.

Bagaimana bisa kembali menghubungi mantan?

Suatu hal yang tidak mungkin terjadi.

Saat pembicaraan mulai serius, datang lah ibu keduanya.

Nyonya Riana.

"Kau kenapa menangis?" tanya sang ibu pada anak perempuannya.

"Tidak ada apa-apa," jawab Diara.

"Bohong itu bu. Diara masih ingin bertemu Mateo."

Sang kakak memang ember, dia mengatakan semua itu tanpa berpikir.

Nyonya Riana jadi ceramah.

"Ibu sudah bilang padamu, apakah kau sama sekali tidak mendengarnya?" ucap sang ibu.

"Ya ya," jawab Diara.

Dia hanya bisa berkata ya saja, sebab belum move on.

Meskipun sudah berusaha, dia justru ingin tahu bagaimana kabar Mateo.

"Kau ini ya saja, ya terus. Sejak satu tahun lalu, kau menjadi orang bodoh. Kau selalu menangis di malam hari, menyebut nama Mateo tiada henti. Akhir-akhir ini kau sudah baik-baik saja, tapi ternyata masih seperti sebelumnya. Galau terus."

Sang ibu, terus mengomel, dia tak bisa menghentikan segalanya.

Diara memang sangat susah diberi tahu, selamanya gadis itu hanya ingin bersama Mateo.

Dia merasa bahwa keputusannya untuk mencari Mateo adalah hal yang sangat tepat.

Namun, sang ibu tidak memperbolehkannya.

Sang kakak, mencoba berbicara dengan Diara.

"Dek, kau paham tidak, apa yang ibu katakan? semua ini demi kebaikanmu. Mateo sudah memiliki tunangan, kau paham kan siapa dia? dia itu adalah anak bos. Siapa kita? kita hanya orang biasa. Kebetulan saja dia mau denganmu, orang tuanya baik padamu hanya karena tak mau ribet. Kau mengerti?"

Sang kakak mencoba memberikan fakta yang ada. Sebuah fakta yang sangat sulit, tapi harus diterima.

"Kak, apakah kau mengatakan hal yang sebenarnya?" tanya Diara.

Matanya sudah berkaca-kaca, rasanya sangat sedih dan terluka.

"Tentu saja, apakah perlu kita kesana? aku akan mengantarmu ke rumahnya? atau aku telepon ibunya?"

Sang kakak lama-lama makin absurd saja.

"Memangnya kau punya nomor telepon dan alamatnya? mereka sudah pindah ke luar negeri satu tahun yang lalu," sahut sang ibu.

Diara dan Rafles menatap sang ibu.

"Ibu tahu darimana mereka pindah?" tanya kedua anaknya secara bersamaan.

"Loh, beritanya ada di media massa, media sosial, televisi bahkan ada. Memangnya selama ini apa yang kalian berdua lakukan? kakaknya jarang datang ke bengkel, adiknya galau. Masa depan kalian sudah terlihat jelas. Rafles! adikmu tidak akan selamanya bekerja di perusahaan jasa itu, kontraknya akan habis bulan depan. Ibu juga harus cari pekerjaan lain, bekerja di laundry itu, tidaklah bisa diandalkan. Mereka tak menerima tenaga tua."

Kehidupan keluarga Diara memang pas-pasan, hanya saja orang tua Diara selalu berusaha agar anak-anaknya lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan yang layak.

Namun, setelah ayah Diara meninggal dua bulan lalu, membuat semuanya menjadi tidak terkendali.

Ketiga orang itu berusaha untuk menjalani hidup dengan baik, meski begitu sulit.

Mencoba memaklumi ada hidup dan mati, sang ibu yang pemarah itu selalu menangis sambil memeluk bingkai foto suaminya, dia menyimpan kesedihannya sendiri.

*****

Bertemu mantan sialan

Pembahasan hari itu sangatlah tidak nyaman, di dalam hati, Diara masih ingin Mateo bersamanya, hanya saja dia tidak tahu caranya bagaimana.

"Ibu, aku ingin pergi sebentar. Rasanya sangat bosan di rumah," ucap Diara.

"Kau kenapa? mau pergi kemana?" tanya sang ibu cemas.

Sebab dia yang mengakibatkan sang putri diam dan mungkin saja berpikiran jika Diara adalah sumber dari segala masalah yang terjadi.

Padahal sang ibu hanya ingin mengingatkan bahwa Mateo dan Diara bukan pasangan yang serasi. Keduanya adalah dua orang yang berbeda, kasta dan dari kalangan yang tidak mungkin bisa bersatu.

"Aku tidak akan pergi kemana-mana, hanya ingin minum kopi. Kakak, kau mau ikut?" ujar sang adik sambil menoleh ke arah sang kakak.

Sang kakak menggelengkan kepalanya, dia memilih untuk tetap di rumah.

Diara berjalan menuju pintu utama rumahnya, setelah berada di depan pintu, tangannya sangat lemah saat menggenggam handle pintu.

Sang gadis teringat akan Mateo terus menerus.

"Huft, kapan aku move on?" batin Diara.

Dia tak paham mengapa hubungan tak sempurna itu begitu membekas di dalam hatinya.

Kini langkahnya sudah berada di luar rumah. Dia melirik ke arah kanan, motornya masih di sana dan terlihat baru saja di cuci.

Mungkin kakaknya yang mencuci, karena biasanya sang kakak akan pergi ketika adiknya berada di rumah.

"Aku sudah mengambil jatah jalan-jalan kakak. Kebetulan sekali dia tidak marah, aku cukup tersanjung."

Diara naik motor bebek itu dan gas pol on the way Cafe yang menjual kopi kesukaannya.

Sebuah Cafe yang biasa ia datangi bersama Mateo.

.

.

.

Cafe ABC ...

Jarak rumah ke Cafe itu tidak terlalu jauh, hingga setengah jam saja bisa langsung sampai.

Diara masih ingat semua kisahnya memang berawal dari Cafe ini.

Bruk!

Diara jatuh, dia terlihat kebingungan, karena sebelumnya tak melihat apapun, tapi seolah-olah ada yang menabraknya.

Hingga suara pria terdengar sangat lembut meminta maaf padanya.

"Maaf nona," ucap sang pria.

Diara masa bodoh, sang pria merasa bersalah, hingga meminta maaf dan memberikan satu kotak coklat pada Diara.

"Apa ini?"

"Aku ingin minta maaf padamu karena tidak sengaja menabrakmu," cetus sang pria.

"Oh, tidak masalah."

Diara beranjak dari posisi jatuh dan cuek saja dengan pria tadi.

Sang pria terus mengejar, dia sangat penasaran dengan si gadis dan mencoba berkenalan.

Diara merasa sang pria baik, mulai saat itu, keduanya berteman.

.

.

.

Dua minggu berlalu ...

Keduanya terlihat sangat dekat setelah pertemuan awal mereka, Diara menilai jika pria bernama Nicko itu adalah pria yang baik.

"Nicko, maaf ya jika aku selalu membuatmu dalam maslaah," ucap Diara di Cafe ABC.

Dia dan Nicko berada dalam perbincangan yang sangat sensitif karena setengah bulan lagi sang gadis akan habis masa kontrak kerjanya.

Diara mencoba meminta bantuan pada Nicko yang bekerja di sebuah kantor yang cukup bergengsi di kota itu.

"Aku tidak mempermasalahkannya. Apakah kau suka satu kantor denganku?" ujar Nicko dengan senyum sumrigah.

"Tentu saja suka. Aku merasa kau adalah pria yang manis."

"Oke, aku akan menelfon bagian HRD, dia adalah pamanku."

"Oke."

Sang pria begitu fokus dengan pembicaraan di dalam panggilan telepon.

Diara pamit ke toilet, dia menggunakan isyarat.

Sang pria mengangguk.

Sang gadis beranjak dari tempat duduknya lalu berjalan menuju toilet yang ada tak jauh dari tempatnya duduk.

.

.

.

Toilet wanita ....

Dia masuk ke dalam toilet wanita, di sana dia mendengar ada seorang pria tampan yang sangat mempesona, mereka sangat ngefans dengan pria itu.

"Cih, apa yang mereka katakan. Aku sudah sejak dulu menjadi pelanggan Cafe ini, tidak ada pria seperti itu," batin Diara.

Sang gadis telah selesai, dia keluar dari bilik toilet, para wanita masih saja membicarakan tentang pria yang sangat keren.

Diara malas menanggapi, setelah mencuci tangan, dia segera keluar dari toilet.

Hingga satu kesempatan, membuatnya tertegun.

Dia menemukan sebuah pemandangan yang tak biasa.

Ada pria dan wanita sedang kiss di depan toilet wanita, ini sangat memalukan.

Diara tak sengaja melirik ke arah pasangan itu, langkahnya terhenti saat tatapannya menemukan sosok yang sangat ia rindukan.

"Mateo?" batinnya.

Sang pria yang sedang bermesraan itu, terlihat menatap balik ke arah Diara, selanjutnya acara kiss itu terhenti.

Diara menarik semua pandangannya, dia berharap pria yang dia anggap Mateo adalah halusinasi.

Beberapa menit setelah Diara pergi dari toilet itu, pasangan panas tadi terlihat masih ada di sana. Namun, tidak melakukan apapun lagi.

Justru hanya suara tamparan, diikuti sorak sorai wanita yang baru saja keluar dari toilet wanita.

"Apa? putus?" tanya sang wanita

"Iya, aku sudah bosan denganmu! apa itu tidak cukup jelas?"

Plak!

Tamparan keras mendarat di pipi sebelah kanan sang pria.

"Kau pantas mendapatkannya!"

Sang wanita lalu pergi meninggalkan pria yang sangat tampan dan cool itu.

"Apa yang kalian lihat? jika ingin bersamaku, ukuran dada kalian harus 38b. Kau paham?"

Seketika semua wanita mundur, karena dari ukuran dada saja tidak masuk kriteria.

Sang pria baru saja mencampakkan wanita yang diajak kiss, lalu pergi begitu saja.

Dia terlihat keluar dari lorong toilet itu dan mencari sosok wanita yang melirik ke arahnya tadi.

.

.

.

Meja no 04 ...

Teman pria Diara masih berada di meja itu, dia tersenyum ketika melihat sang gadis berjalan ke arahnya

"Lama ya?" tanya Diara.

"Tidak, aku rasa kau harus mentraktirku setelah ini."

"Ada apa? kau tahu kan, aku belum gajian?"

"Kau bisa interview di kantorku, besok kau datanglah. Berikan data lengkapmu, pamanku akan membantumu masuk ke sana."

"Benarkah?"

"Iya."

"Huaaa ... terima kasih!"

Diara sangat bahagia, saking bahagianya, sang gadis bahkan memeluk tubuh temannya itu.

Sang pria salah tingkah.

"Hm!"

Suara itu seperti suara yang tak asing.

Saat sang teman mengatakan nama yang membuatnya kesal.

"Bos Mateo?"

Seketika itu juga Diara terhenyak, dia melepaskan pelukan itu dan duduk disebelah Nicko.

"Oh, jadi kau ada di sini? katanya mau pulang ke rumah?"

"Hehe, maaf bos. Ada temanku di sini, aku tak bisa meninggalkannya dengan segera."

"Oh."

Sang gadis memperhatikan mata Mateo yang hanya sekilas menatap wajah Diara.

Sang gadis makin benci dengan mantan kekasihnya itu.

"Cih, apa maksudnya bersikap seperti itu? apakah dia sangat tidak suka denganku? bukannya yang harus membenci adalah aku?" batin Diara kesal.

Dia terus saja mengingat kisah terakhir sebelum mereka benar-benar berpisah.

Kebenciannya makin dalam.

"Bos, marilah duduk."

"Tidak terima kasih, aku sedang sibuk. Oh ya, besok kau jangan lupa bawa berkas yang aku minta. Dua hari di kota ini, tiba-tiba aku merasa panas. Jadi, hanya ingin tahu, apakah kau bisa kerja atau hanya main saja."

Sang pria melirik kearah sang gadis, Diara memalingkan wajahnya.

"Siap bos!" jawab Nicko dengan kepatuhannya.

Mateo lalu pergi begitu saja, dia terlihat sibuk dengan ponselnya.

*****

Putus memang hal paling benar

Sikap Mateo yang demikian, membuat seorang Diara tak habis pikir.

Wanita itu merasa bahwa hidupnya sangat tidak masuk akal karena berada di dalam kenangan bersama mantan dengan model seperti ini.

Rasanya sangat sesak dan tidak ada artinya.

Perasaan yang selama ini ada membuat seorang Diara ingin segera menghapusnya, dia tak mau lagi memiliki hati untuk Mateo.

"Aku memutuskan untuk tidak menyimpan bayangan mantan, dia hanya pria dengan sikap dingin dan cuek, bagaimana bisa aku menjadi pemujanya selama ini? dasar aku sudah tidak waras," batin Diara.

Sorot matanya yang sangat membenci semua yang ada, terlihat jelas.

Mateo tak sebaik yang ia kira.

"Di? kau baik-baik saja?" tanya Nicko.

"Oh, aku? aku baik? apalagi kalau dia sudah pergi, tambah baik hidupku!" celetuk Diara.

Nicko menatap wajah Diara yang terlihat tak baik-baik saja, seakan ada beban berat di sana, sebuah beban yang tidak dimengerti olehnya.

"Apakah dia sakit?" batin Nicko.

Sang pria hanya bisa menerka-nerka, sebab apa yang terjadi sebenarnya, dia tak tahu.

"Nick, kita pulang saja yok? aku bosan di sini. Hm soal tawaran bekerja di tempatmu, aku tak mau."

Diara sudah memikirkannya dengan matang, entah mengapa mood dalam bekerja menjadi turun.

Keputusan ini, sangat tidak baik-baik saja.

Soalnya Diara sedang membutuhkan banyak uang, gadis itu berada dalam kehidupan yang cukup mengenaskan karena banyak sekali cobaan dalam hidup.

Semuanya silih berganti, apalagi masalah Mateo, membuatnya semakin terpuruk.

"Heh, apa kau sangat tertekan dengan bosku? tenang, dia sebenarnya baik, hanya saja sedikit menyebalkan. Kau hanya perlu memberikan beberapa kesempatan padanya, kesempatan untuk menjadi bosmu," canda Nicko.

"Haha, terima kasih. Sory deh Nick, aku tidak bisa bekerja dengan orang sombong seperti itu. Aku lebih baik menjadi pengangguran daripada harus bekerja dengannya," jelas Diara.

Dia menunjukkan ketidaksukaannya pada Mateo dengan sangat gamblang, membuat Nicko merasa sang teman begitu lucu dan menggemaskan.

"Makin lucu saja," cetus Nicko.

Tak sengaja dia mencubit pipi Diara, di sana keduanya saling menatap.

Diara merasa bahwa Nicko adalah teman pria satu-satunya yang sangat perhatian padanya.

Wajahnya juga tampan, sepertinya tidak ada salahnya untuk bersama pria itu.

Nah, muncul rasa yang tak biasa, semuanya membuat gagal fokus.

Namun, dia merasa akan segera move on jika bisa bersama dengan Nicko.

Nicko paham akan perasaan Diara, dia segera membayar dua kopi itu dengan uang yang diletakkan diatas meja, lalu segera saja pergi.

...

Di depan Cafe ABC ...

Baru juga keluar dari cafe, sudah hujan saja, Nicko lalu melindungi Diara dari terpaan air hujan menggunakan jas yang ia pakai.

Nicko melepaskan jas itu, lalu menjadikan jas miliknya payung agar Diara tak terkena tetesan air hujan sedikit pun.

Dia membawa sang gadis menuju mobil yang ada di depan cafe itu, Diara benar-benar tidak pernah menyangka ada seorang pria yang baik.

Fix, dia tidak salah pilih orang untuk move on.

Saat berada di dalam mobil, Diara merasa jika jantungnya tidak baik-baik saja, perasaannya sangat bahagia.

Nicko membuang jas yang agak basah itu ke arah jok belakang.

Pria itu terlihat mempesona. Dia ingin sekali melakukan satu hal yang tak biasa, tapi malu.

Mana bisa dia yang menembak lebih dulu? yah, dia harus menunggu.

Tatapan mata Diara tak bisa berhenti untuk memandang ke arah Nicko yang sangat berkharisma itu.

Diara terpana, dia tak habis pikir dengan apa yang ada di depannya.

Perasaannya sangat aneh, tapi dia berusaha untuk memahami semua ini.

"Aku merasa bahwa dia adalah orang yang selama ini aku cari."

Batinnya yang bergejolak, membuat suhu mobil menjadi lebih tinggi, perasaannya tak menentu lagi.

Rasanya gerah dan panas.

Sang teman pria mencoba menyadarkan bahwa ada satu hal yang harus di selesaikan, yaitu mau pulang atau pergi kemana.

"Di? kau mau pulang?" tanya Nicko.

Sang pria merasa aneh, Diara hanya diam saja, gadis itu berada di dalam situasi yang cukup aneh sebab senyum-senyum sendiri tidak jelas.

Bukannya menjawab pertanyaan, justru membuat sang teman pria kebingungan.

"Diara? mau pulang atau tetap di sini?" tanya Nicko lagi.

Kini sang gadis mulai tersadar saat air liur hampir terjatuh, dia merasa sangat malu.

"Oh, ya. Kita pulang saja," jawab Diara menahan rasanya.

Dia terlihat begitu malu, kedua pipinya memerah.

Perasaannya tak bisa di ganggu gugat lagi, memang Nicko telah membuatnya jatuh cinta.

"Nick, apakah aku boleh bertanya sesuatu kepadamu?" tanya Diara yang ingin nekat, masa bodoh jika dia wanita.

"Hm, kenapa tiba-tiba berkata demikian?" jawab Nicko yang mulai menyalakan mesin mobilnya.

"Kau punya pacar?"

Sang gadis sangat to the point, Nicko merasa bahwa gadis itu sedikit tidak waras.

"Hah? pacar? kau tahu kan aku memang tidak suka pacaran? aku fokus dengan karir. Ehm kau lupa ya?"

Duar!

Petir tiba-tiba menyambar tepat di bawah kakinya, seketika itu juga Diara merasa harga dirinya makin anjlok.

Perasaan yang seharusnya tak ia ungkapkan, muncul begitu saja.

Diara, tak memiliki muka lagi.

Namun, Nicko sepertinya paham, setelah menyalakan mesin mobilnya, dia merasa harus mengatakan satu hal pada seorang Diara.

"Namun, tak menutup kemungkinan aku menjalin hubungan dengan seorang gadis, hanya saja aku sedang tidak ada orang yang bisa membuatku jatuh cinta."

Sang pria melirik ke arah Diara, makin salah tingkah si Diara.

Senyuman Nicko terlalu memukau, hingga sebuah perasaan yang seharusnya redup, kembali menyala.

"Oh."

Jawaban si gadis hanya itu saja.

Dia tak bisa berkata-kata lagi sebenarnya, hatinya makin berbunga-bunga ketika tatapannya di balas begitu manisnya.

Duh, adem banget.

Sepanjang perjalanan menuju rumah Diara, sangatlah menyenangkan sebab gadis itu berada dalam situasi yang cukup manis.

Ada candaan yang sebelumnya tak pernah muncul.

Perasaan Diara memang sangat mudah tersentuh, hanya saja dia tak mudah jatuh cinta.

Ini adalah cinta keduanya, setelah dengan Mateo.

Pertemuan singkat yang membuatnya nyaman.

Namun sayang, Nicko tak bisa menerima perasaannya.

Memang benar Nicko tak menolak Diara secara terang-terangan, hanya saja kata-kata tak mau pacaran, membuat Diara kena mental, dia tak bisa melanjutkan pembicaraan dari hati ke hati.

Kata-kata Nicko sudah menjatuhkan mentalnya.

.

.

.

Rumah Diara ...

Mobil Nicko berhenti di depan rumah Diara, dia ikut turun dari mobil, tidak seperti biasanya.

Nicko anti mampir biasanya.

"Nicko, tumben kau mau ikut masuk ke rumahku? biasanya kau sibuk?" tanya Diara heran.

"Ada sesuatu yang harus aku katakan pada kakak dan ibumu," jelas Nicko.

"Apa?"

Sang gadis begitu penasaran.

"Nanti kau juga tahu."

Nicko tersenyum, dia berjalan lebih dulu ke arah pintu masuk rumah Diara, sedangkan sang pemilik rumah masih kebingungan.

"Apa sih Nicko ini?" batin Diara.

Dia segera menyusul Nicko, sebab sangat penasaran dengan apa yang akan dikatakan oleh pria itu.

*****

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!