NovelToon NovelToon

Menikahi Janda

Kecelakaan

POV Tio

Melihatnya bahagia bersanding di pelaminan membuatku pun ikut tersenyum senang. Walaupun ada sudut hati yang terluka karena harus kembali memendam rasa bahkan di wajibkan menguburnya dalam-dalam.

Langkahku gontai keluar dari hotel tempat mereka melaksanakan resepsi. Bohong jika kini aku baik-baik saja. Setelah bertahun-tahun memberi perhatian bahkan selalu dekat walaupun jarak memisah, hingga kedua anak kembar yang memanggilku dengan sebutan Daddy sudah seperti darah dagingku sendiri dan kini tumbuh besar dalam pengawasanku sejak lahir.

Dan di hari ini, hatiku yang aku kira kuat. Bahkan sudah ku persiapkan beberapa hari lalu untuk menghadiri undangan pernikahan. Harus kembali patah melihat Sella berdiri melingkarkan tangannya pada lengan pria yang sejak awal ia cinta.

"Balik, nggak bisa gue berdiri terus disini."

Setelah mengucapkan selamat dan menyempatkan diri bertemu dengan si kembar. Aku segera keluar gedung dan masuk mobil untuk kembali ke apartemen, tempat dimana aku berkeluh kesah, tempat dulu Sella tinggal saat menghindar dari kakak iparnya.

Sepanjang perjalanan hanya ada wajah Sella dan segala harapan yang telah aku rangkai saat aku menimba ilmu di negeri orang. Cuaca pun mendukung hancurnya hatiku, gerimis membasahi ibu kota hingga jalanan begitu sepi senyap dan aspal yang basah begitu licin. Apartemen yang berlokasi jauh dari Jakarta membuatku harus memakan waktu untuk sampai di sana. Fokusku menurun tapi tak membuatku memutuskan untuk pulang kerumah kedua orang tuaku.

Dan bodohnya aku, terlalu larut hingga aku tak menyadari ada pengendara motor yang tiba-tiba memotong jalan. Aku yang terkejut membanting setir dengan kencang tanpa aku tau di depanku ada jurang yang sedang di kerjakan oleh para kontraktor untuk proyek pembangunan.

Tapi entah dari mana, ada sebuah mobil menghadang agar aku tak melewati pagar pembatas dan terjun sia-sia. Akan tetapi karena kebaikan sang pengendara, mobil orang itu harus ringsek tertabrak mobilku. Bahkan bagian depan membentur pagar pembatas hingga hampir loncat ke jurang.

Aku masih sadar kala itu, bahkan aku melihat jelas kejadian tabrakan akan ulahku yang tak hati-hati. Tapi sesaat kemudian kesadaranku menurun karena benturan di kepala yang cukup keras mengenai stir mobil hingga aku tak sadarkan diri.

Sempat mendengar keramaian dari luar dan ada yang mengetuk kaca mobilku sebelum aku benar-benar pingsan. Indera penciumanku juga begitu tajam merasakan asap yang mengisi rongga dada hingga aku tak kuat menahan sesak.

...----------------...

Malam itu malam yang tak terduga bagi Tio, kecelakaan yang menyeret orang lain hingga masuk ke UGD. Keduanya tak sama-sama mengenal tapi jika Tio sadar mungkin dia akan sangat berterima kasih karena orang tersebut telah menyelamatkan nyawanya.

Tapi akibat menyelamatkan sebuah mobil yang begitu kencang membanting setir dan lepas kontrol. Seorang paruh baya yang kebetulan baru pulang dari dinas luar kota tersebut harus koma bahkan di nyatakan kritis. Kakinya terjepit body mobil akibat hantaman mobil Tio dan kepalanya luka-luka akibat pecahan kaca mobil yang berhambur memenuhi wajah beliau. Belum lagi dada pria paruh baya tersebut terhantam stir mobil begitu kencang hingga banyak mengeluarkan darah.

Tio sudah di pindahkan di ruang VIP sesuai permintaan kedua orangtuanya. Sedangkan pria paruh baya itu di bawa keruangan khusus karena membutuhkan penanganan yang intensif. Mereka terpisah lantai dan ruangan. Tapi pihak keluarga sudah datang untuk memastikan dan menemani kedua korban kecelakaan tersebut.

"Papah..." seorang wanita datang dengan langkah berat, tubuhnya yang harus membawa beban tak membuatnya bisa berjalan cepat. Air mata terus mengalir sejak mendapat kabar jika sang papah kecelakaan dan kondisinya kini kritis. Wanita itu masuk ke dalam ruangan yang hanya di tempati sang papah dengan berbagai alat medis yang ada di sana dan menempel di tubuh pria paruh baya tersebut.

"Papah...." Isak tangis begitu pilu hingga tubuhnya bergetar mencengkeram sisi ranjang sebagai tumpuan tubuhnya yang begitu lemas. Melihat raut wajah sang papah yang begitu banyak bekas luka dan lilitan perban di kepala dan kaki membuat dadanya begitu sakit. Hanya papah yang ia punya, tapi kini sang papah tengah kritis bertaruh nyawa.

"Kenapa bisa begini Pah? papah harus kuat, bertahan demi Ceri Pah, Ceri sudah tak punya siapa-siapa lagi selain papah. Papah semangat sembuh ya Pah..." Lirihnya dengan suara tercakat.

Dunia Ceri seakan runtuh untuk yang ke dua kalinya, pertama meninggalnya suami yang baru beberapa bulan lalu meninggalkan satu anak laki-laki dan seorang anak yang ia kandung saat ini. Sekarang harus melihat sang papah yang tengah terbujur lemah di ranjang rumah sakit dengan luka yang hampir memenuhi tubuh beliau.

Cobaan apa lagi yang harus ia terima, begitu sulit hidupnya untuk tenang dan merasakan bahagia. Selalu ada saja yang membuatnya menangis terluka.

Ceri yang seorang single mother, harus segera pulang saat pagi menjelang. Dia menitipkan sang papah pada perawat yang berjaga di pagi ini. Sebelumnya Papah juga sudah di periksa oleh dokter yang mengatakan jika kondisinya belum ada kemajuan.

Sudah tentu kekhawatiran terus melekat, ia menatap sang papah, kemudian mencium kening beliau.

"Ceri pulang dulu ya Pah, kasian Regan di rumah pasti mencari-cari kita tak ada Pah. Papah segera sadar ya, nanti Ceri akan datang lagi. Tapi Ceri mohon, ketika Ceri datang papah sudah bangun ya Pah."

Ceri tersenyum tipis, dia tau kemungkinan sang papah cepat sadar itu tipis. Tapi harapannya begitu besar hingga membuatnya tak putus semangat.

Ceri melangkah keluar dengan langkah gamang, sesekali ia menoleh ke belakang dimana sang papah masih setia dalam lelapnya. Begitu berat meninggalkan, tapi tak ada pilihan lain, ia mengingat bocah lima tahun yang akan berangkat sekolah. Jika tak ada dirinya, sudah pasti akan merajuk dan tak tak mau pergi.

Sesaat setelah Ceri pergi, dua pasang suami istri masuk keruangan tersebut. Mendengar penjelasan dari beberapa saksi dan keterangan polisi yang mengatakan jika sang anak di selamatkan oleh sebuah mobil yang tumpangi seorang pria paruh baya. Kini mereka ingin melihat kondisi beliau yang ternyata koma.

"Pah," sang mamah menatap Iba pria paruh baya dengan banyak luka.

"Kasian mah, tapi jika tidak ada bapak ini mungkin putra kita satu-satunya yang akan mengalami ini semua, bahkan mungkin lebih. Tapi papah seperti pernah liat orang itu mah, dimana ya..."

Kedua orang tua Tio saling beradu pandang, mereka mencoba mengingat-ingat. Agak sulit karena wajah yang terkena serpihan kaca meninggalkan luka. Terus mengingat karena keduanya yakin pernah bertemu.

"Mah, dia Bima Nugraha..."

Sang mamah menutup kedua tangannya, seketika ingatannya berlari ke masa 25 tahun yang lalu, mengingatkan kepahitan tentang hidupnya yang sempat di usik oleh seorang wanita.

"Papah yakin?"

Papah menganggukkan kepalanya, "hhmm...papah ingat betul siapa dia, walaupun sudah lama tidak berjumpa. Kita berhutang nyawa padanya mah, dia orang baik, dia telah menyelamatkan keluarga kita dan nyawa anak semata wayang kita."

Mamah hanya diam, tak menyangka jika yang menolong anaknya adalah orang yang ia kenal dulu dan juga menolong keluarga dari ancaman keretakan rumah tangga.

...****************...

Hai ...hai... di awal cerita aku kasih POV dari Tio dulu ya, biar kalian yang sudah membaca cerita Jangan Salahkan Suamimu Mencintaiku mengingat kembali dengan sosok Tio yang mencintai Sella.

Jangan lupa like, coment, dan vote 🤗

Maaf

"Mamah......."

Sambutan dari sang anak membuat wajah Ceri yang sejak tadi mendung kini mengukir senyum. Melihat anak laki-lakinya yang sudah bangun dan bersiap untuk mandi membuatnya lega. Setidaknya pagi ini semua berjalan cepat dan bisa kembali ke rumah sakit menemui sang papah.

"Sayang, ayo mandi. Anak mamah pintar ya, bangun sendiri atau bibi yang membangunkan?" Ceri menggandeng tangan anaknya menuju kamar mandi.

"Legan bangun sendiri mah, tadi Legan cali mamah tapi nggak ada."

Ceri tersenyum mendengar celotehan sang anak. Regan Pratama anak dari pernikahannya terdahulu dengan Reno. Pernikahan yang penuh dengan drama air mata. Hingga di penghujung kematian membuatnya sampai hari ini tak tenang akan kondisinya. Berharap ada mukjizat yang menyatakan dia baik-baik saja.

"Mamah tadi lagi ke pasar beli ikan buat Regan makan, nanti biar bibi yang masak ya," ucap Ceri lembut membuat kedua bola mata yang kecil itu berbinar.

"Legan suka ikan, Opa juga pasti suka. Nanti Legan mau makan baleng Opa."

deg

Ucapan anak kecil yang belum bisa bicara R dengan fasih ini membuat hati sang mamah bagai tertusuk duri. Ceri mengingat Papah yang kini masih terbaring koma dan ntah kapan bisa kembali pulang.

"Iya nak, yang penting Regan mandi dulu terus sarapan ya. Hari ini nggak boleh sampai telat oke!"

"Siap mah, semenjak di antal mamah Legan nggak telat. Papah lagi apa ya mah? sudah mandi belum?"

"Papah...... pasti sudah donk sayang. Papah bahagia di sana, jadi apa yang papah kerjakan sesuai keinginannya. Regan harus doakan Papah ya, agar Papah selalu di sayangi oleh Allah," Ceri melepas baju anaknya, mengalihkan pembicaraan sang anak dengan air shower yang mengguyur tubuhnya.

"Segel mamah, mana samponya mah...."

Setelah mengurus sang anak dengan telaten, kini Ceri bersiap mengantarnya ke sekolah. Sebelumnya ia sempat membersihkan diri dan membawa beberapa perlengkapan Papah untuk di bawa ke rumah sakit.

Ceri berangkat tanpa sopir, dia yang sejak menikah di tuntut untuk mandiri membuatnya terbiasa tanpa bantuan orang lain. Padahal perutnya sudah cukup besar tapi tak menyurutkan keinginannya untuk menyetir sendiri.

"Sayang, belajar yang benar ya. Jangan bercanda jika Bu guru menerangkan. Nanti bekalnya di makan dan tunggu mamah sampai mamah menjemput ya." Ceri bersimpuh di depan tubuh kecil sang anak, sedikit merapikan seragam yang mulai berantakan karena tingkah anaknya yang tak bisa diam.

"Iya mah, Legan sekolah dulu ya. Adik, Abang mau sekolah dulu ya. Muach..." Regan mencium perut buncit sang mamah, dia yang sudah paham akan kehadiran adiknya yang masih dalam kandungan sangat antusias dan tak sabar menunggu kelahirannya.

"Iya Abang..." Ceri berdiri dan mengantar Regan sampai masuk kelas kemudian segera pergi ke rumah sakit.

Sampai di rumah sakit, Ceri segera masuk ke dalam ruangan Papahnya. Ada waktu 3 jam untuknya singgah di sana. Menatap nanar tubuh yang entah kapan akan kembali sehat dan memberi kasih sayang penuh kehangatan.

Sejak Mamah meninggal, hanya papah yang Ceri punya. Mamah yang meninggal sejak Ceri masih duduk di bangku sekolah dasar membuat dirinya bergantung hanya pada sang papah. Bibi pun mempunyai peran penting dalam hidupnya. Asisten rumah tangga yang bekerja sejak Ceri bayi, kini ikut membantu Ceri merawat Regan setelah Ceri kembali lagi kerumah orang tuanya.

"Pah, Regan ingin makan ikan bareng Papah. Cepat sadar ya Pah, Regan pasti merindukan Papah. Jika ia tau Opanya tidak ada di rumah, pasti dia akan menangis Pah. Papah cepat pulih ya Pah. Ceri merindukan Papah."

Ceri kembali menangis, hidupnya tak jauh dari air mata. Sejak menikah karena hamil di luar nikah hingga perlakuan sang suami yang semaunya dan mendapati dirinya di selingkuhi. Belum pernah ia merasakan kebahagiaan yang utuh selain bahagia memiliki Regan yang menjadi pelipur lara dan menguatkannya di saat beban hidupnya terasa berat.

Ceri menjadi wanita kuat karena cintanya pada Reno. Dia tak mengeluh walaupun air matanya setiap hari runtuh. Sampai sang suami tak ada Ceri belum juga mendapatkan kasih sayangnya karena di hati Reno hanya ada satu nama wanita, mantannya saat SMA. Dan kematian Reno menjadi duka terdalam untuknya.

Di kamar VIP Tio masih terbaring lemah di ranjang. Sudah dua hari ia tak sadarkan diri. Mamah pun tak kunjung ingin meninggalkannya, anak semata wayang yang akan menjadi penerus keluarga kini membuat kedua orangtuanya begitu cemas. Lukanya tidak parah, tapi dokter bilang ia masih ingin menikmati alam bawah sadarnya karna ada beban yang ia rasakan.

"Pah, kok Tio belum sadar juga ya. Mamah takut Pah."

"Sabar Mah, Papah pikir ini ada hubungannya dengan Sella. Dia masih belum ikhlas jika Sella menikah dengan mantan kakak iparnya."

"Iya Pah, apa kita jodohkan saja agar Tio segera menikah dan melupakan Sella. Sella memang anak baik dan mamah sangat menyukainya. Tapi dia sekarang istri orang, mamah tak ingin Tio tersesat dan menghancurkan rumah tangga Sella.

"Mah, jangan bicara seperti itu. Anak kita tidak mungkin melakukan itu. Kalo Tio mau mungkin sejak Sella melahirkan ia akan memaksa Sella untuk menikah. Biarkan Tio sadar dulu dan pulih dari sakitnya mah, nanti kita bahas lagi masalah perjodohan yang mamah usulkan."

"Iya Pah," jawab mamah pasrah. "Loh Pah mau kemana?" ucap Arsita yang melihat suaminya beranjak dari duduknya.

"Mau menjenguk Pak Bima mah, kemarin kita belum mengucapkan terimakasih dan permintaan maaf pada keluarganya. Mungkin sekarang ada yang menjaga. Mamah mau ikut?" tanya Papah tak ingin membuat istrinya curiga.

"Mamah percaya sama Papah, mamah di sini saja. Takut Tio sadar dan tak melihat siapa-siapa di kamarnya."

"Ya sudah Papah kesana dulu ya Mah." Papah Tio mengecup kening istrinya sebelum pergi ke ruangan Bima.

Tepat saat beliau ingin masuk kedalam ruangan tersebut, Ceri pun ingin keluar menjemput Regan.

"Maaf, anda siapa ya?"

"Bisa kita duduk dulu."

Ceri dan Papah Tio duduk di kursi tunggu, Ceri yang tak tau siapa pria paruh baya yang menatapnya lekat di buat semakin penasaran.

"Apa kamu anaknya Pak Bima?"

"Iya om, om mengenal papah saya?"

"Hanya pernah bertemu tapi tidak begitu akrab dan sekarang saya datang ingin mengucapkan permintaan maaf. Pak Bima telah menyelamatkan anak saya dari kecelakaan yang ia alami. Kemarin saya kesini bersama dengan istri, tapi tidak melihat kamu. Maaf karna menyelamatkan anak saya, papah kamu jadi harus masuk rumah sakit dan koma."

"Saya sangat sedih dengan kecelakaan yang menimpa Papah saya om, tapi semua sudah terjadi. Dan saya juga tidak bisa menghakimi, karena semua sudah tergaris. Terimakasih Om sudah berniat untuk meminta maaf."

"Dia ternyata anak baik...." batin Papah Tio.

"Terima kasih sudah mau memaafkan, semoga Papah kamu segera sadar dan pulih kembali. Dan kemana mamah kamu nak? saya juga ingin mengucapkan permintaan maaf pada beliau," ucapnya ragu.

"Mamah saya sudah tiada om, saya tinggal memiliki Papah."

deg

Sadar

Setelah hampir satu Minggu di rumah sakit, kini Tio sudah kembali sadar. Perlahan matanya terbuka menatap sang mamah yang sedang berdiam diri duduk di sofa. Melirik sekitar hingga ingatannya kembali pada kejadian dimana mobilnya menghantam mobil putih yang menyelamatkan dirinya.

"Mah...."

Mamah yang sedang melamun memikirkan kesembuhan putranya terkejut mendengar panggilan dari Tio. Beliau segera melangkah menuju ranjang dimana Tio sedang berusaha untuk duduk.

"Badan Tio kaku mah," keluhnya.

"Pelan-pelan sayang!" Mamah membantu Tio dan meletakkan bantal di belakang punggungnya. "Minum dulu ya!"

"Sudah berapa lama Tio di sini mah?"

"Kamu sudah seminggu nak, mamah bersyukur hari ini kamu sudah sadar. Mamah sedih melihat kamu nggak bangun-bangun. Mamah panggilkan dokter dulu untuk memeriksa keadaan kamu ya sayang."

Setelah di periksa oleh dokter, keadaan Tio dinyatakan sudah lebih baik dari sebelumnya. Bahkan lusa dia sudah boleh pulang. Benturan di kepalanya sudah sembuh serta luka lecet di beberapa bagian pun sudah mengering.

"Mah, bagaimana kabar orang yang ada di dalam mobil putih itu? dia selamat kan?"

"Alhamdulillah selamat nak, tapi....." Mamah diam, sang anak yang baru sembuh membuatnya ragu untuk memberi tahu kabar Pak Bima.

"Tapi apa Mah?" tanyanya lagi.

"Beliau masih kritis nak, sejak kecelakaan itu beliau koma dan dinyatakan kritis. Sampai hari ini pun belum ada perkembangan yang berarti. Doakan saja ya sayang, semoga cepat sadar dan pulih dari koma."

Tio tercengang mendengar ucapan sang mamah, orang yang menyelamatkan nyawanya hingga tak memikirkan nyawanya sendiri kini masih koma bahkan belum keluar dari masa kritisnya. Pria itu memejamkan mata, bayangan saat menghadiri pernikahan Sella dan kecelakaan yang ia alami begitu jelas di ingatan. Ada rasa penyesalan dan rasa bersalah yang begitu mendominasi di hati.

"Mah, tolong antarkan aku ke ruangannya. Aku mau menjenguk dan mengucapkan terimakasih."

Tio di antar oleh sang mamah ke ruangan Pak Bima yang berada beda lantai dari ruangannya. Masuk kedalam kamar yang hanya memperlihatkan seorang pria paruh baya seumuran sang Papah. Tio menatap ruangan itu mencari keluarga yang bisa ia temui untuk meminta maaf dan berterima kasih tetapi tak ada siapapun di sana.

"Nggak ada yang nungguin sama sekali, makin nyesek aja gue lihatnya."

Tio menatap nanar orang tersebut, rasa bersalah semakin mendalam. Hatinya yang memang sedang patah sebelum kejadian itu semakin tertekan dengan rasa penyesalan dan bersalah.

"Om, maafkan aku. Kerena aku om terbaring lemah di sini. Aku nggak nyangka jika masih ada orang yang mau berkorban untuk menyelamatkan orang lain. Om, makasih sudah menjadi penyelamat untukku. Aku berhutang nyawa pada Om," lirih Tio dengan wajah sendu.

Tio menoleh ke belakang tepat sang mamah berdiri memperhatikan. Kemudian kembali menatap pria yang masih memejamkan matanya. Tapi Tio yakin ia mendengarkan ucapannya.

"Andai orang tua gue yang menjadi korban seperti ini, gue sebagai anak pasti nggak terima. Tapi kemana anak-anaknya? apa beliau nggak punya sanak saudara?"

Setelah memastikan Regan tertidur pulas, Ceri mengambil sweater, tas dan kunci mobil untuk segera kembali ke rumah sakit. Tak perduli jika hari sudah malam dan nanti akan kembali sebelum subuh berkumandang.

"Non, mau kemana?" tanya Bibi saat melihat Ceri turun dari tangga dengan menenteng tasnya.

"Bi, aku titip Regan ya. Aku mau ke rumah sakit. Nanti aku tidur di sana Bi, kasian Papah sendirian."

"Tapi ini sudah malam non, apa nggak sebaiknya besok pagi saja setelah mengantar tuan muda berangkat sekolah?"

"Nggak Bi, nanti aku malah nggak bisa tidur. Bibi tenang aja ya. Aku baik-baik saja."

Ceri mengendarai mobilnya sendiri di tengah malam tanpa sopir yang mengantar. Tak perduli gerimis mengguyur, dia ingin menemani Papah. Sedikit berlari saat memasuki lobby rumah sakit.

"Bu, hati-hati!" ucap scurity yang menjaga pintu masuk.

"Makasih pak, saya nggak bawa payung soalnya. Mari saya masuk dulu."

"Iya Bu." Scurity menatap iba. "Kasian banget malem-malem datang sendirian, mana lagi hamil lagi. Lakinya nggak waras nich!"

Masuk ke kamar Pak Bima masih dengan keadaan yang sama, posisi yang sama, dan situasi yang sama. Belum ada perubahan sama sekali. Papah yang biasanya giat bekerja, kini terbaring tak berdaya. Beruntung ada asisten Papah yang menghandle perusahaan. Setidaknya Ceri tidak harus terjun langsung untuk menggantikan Papahnya.

"Pah, maaf Ceri baru sampai. Bagaimana kondisi Papah? Ceri rindu Pah, Regan juga menanyakan keberadaan Papah. Cepat sadar ya Pah, Ceri nggak bisa tanpa Papah." Ceri duduk di samping ranjang Pak Bima, tangannya menggenggam dan bersandar lengan sang Papah dengan air mata yang kembali terurai.

Ceri tertidur tanpa memikirkan tubuhnya yang akan sakit dengan posisi terduduk. Dia tak ingin berjauhan dengan sang Papah, ntah apa yang ia pikirkan. Tapi hatinya, seakan trauma akan kehilangan. Wanita cantik dengan mata lentik dan lesung pipi itu merasa lemah saat harus kembali ke rumah sakit, dua orang yang ia cinta berakhir di sana. Dan kini Papah, satu-satunya orang tua yang ia miliki harus kritis di rumah sakit.

"Pah, aku pulang ya. Aku antar Regan ke sekolah dulu. Nanti setelah itu aku kembali kesini, Papah cepat pulih ya. Agar kita bisa sama-sama lagi." Ceri mengecup kening sang Papah sebelum akhirnya pulang untuk mengurus anak laki-lakinya.

"Eugh badan aku..." keluhnya saat sudah berada di dalam mobil. Tidur tiga jam dengan posisi terduduk membuat tubuhnya sakit semua. Dan selama satu Minggu ini menjadi kebiasaannya.

"Sehat ya nak, kuat di dalam sana. Opa lagi butuh perhatian kita, Abang Regan juga nggak bisa di tinggal. Dan dedek harus kuat sama mamah." Ceri mengusap lembut perutnya, sedikit tendangan yang membuat dirinya tersenyum.

"Abang, nak ayo bangun. Kita siap-siap berangkat ke sekolah. Mamah udah beliin kue cubit kesukaan Regan, nanti buat sarapan ya sayang."

"Opa mana mah? Legan nggak liat Opa dali kemalin. Opa pelgi nggak pulang-pulang kayak Papah ya mah?" rengek Regan membuat hati Ceri ingin menjerit. Sekuat tenaga ia menahan air mata, mencoba memberi pengertian pada sang anak.

"Sayang, Opa sedang tugas di luar kota. Nanti Opa pasti pulang, Regan doain ya supaya pekerjaannya cepat selesai."

Setelah mengantarkan Regan ke sekolah, seperti biasa Ceri menuju rumah sakit. Kegiatan yang akan menjadi rutinitas untuk nya saat ini dan berharap akan segera berakhir. Sebelum masuk ke ruangan Papah ia menyempatkan diri untuk mampir ke kantin karena tadi di rumah belum sempat sarapan.

"Nak Ceri!"

Ceri menoleh ke sumber suara, "Om..."

"Iya, baru sampai?" tanyanya lagi.

"Iya Om, mau beli makanan dulu sebelum ke kamar Papah. Om.."

"Panggil saya Om Juna, nama saya Arjuna Weda."

"Oh...iya Om Juna, om sedang apa?" tanya Ceri yang tidak melihat tentengan apa-apa di tangan Pak Juna.

"Saya lagi pesan soto, anak saya minta makan soto." Keduanya duduk di meja yang sama menunggu pesanan datang.

"Anak om sudah sadar?"

"Iya, dua hari yang lalu dan besok sudah boleh pulang. Lukanya nggak parah, hanya benturan di kepala yang cukup keras membuat ia sempat tak sadarkan diri seminggu lamanya. Nak Ceri, kemarin anak saya datang ke kamar Papah kamu tapi kamunya nggak ada. Sama halnya dengan saya, dia juga ingin meminta maaf dan mengucapkan terimakasih."

"Oh, mungkin saya pulang Om. Salam saja pada anak om dan ucapkan jika saya sudah memaafkan," ucap Ceri tulus.

"Makasih ya nak, nanti om sampaikan."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!