Pagi itu, Heru baru saja pulang dari shift jaga malam di sebuah rumah sakit yang terletak di desa yang cukup terpencil. Yah, sudah hampir satu bulan Heru ditempatkan disana setelah selesai menempuh pendidikan kedokterannya. Heru tidak mempermasalahkan hal itu dan justru merasa pekerjaannya menyenangkan dan cukup menantang. Heru senang bisa bertemu orang baru setiap harinya dan kebanyakan pasien yang membutuhkan jasanya begitu menghormati dan berterimakasih padanya, tidak seperti orang-orang kaya di kota yang menganggap segalanya bisa di beli dengan uang. Dan juga, Heru sangat senang berada disini sebab dirinya bisa menepi untuk menghindari seseorang yang ingin di lupakannya. Ya, dirinya memang seorang lelaki menyedihkan yang sedang patah hati. Sekian lama Heru berusaha menutupi lukanya dengan fokus pada pendidikan dan masa depannya. Tapi ternyata semua tidak semudah yang dibayangkan. Meski dirinya sudah merelakan, tapi hatinya tak kunjung bisa melupakan.
Heru mengecek ponselnya yang sejak tadi hanya tersimpan di dalam tas. Ternyata ada delapan panggilan tak terjawab dari Alshad, sahabatnya. Tanpa ragu Heru pun langsung menghubungi Alshad kembali.
"Hallo...", sapa seorang pria di ujung sana.
"Hallo juga bro, sory baru cek hp gue..."
"Its ok, gue ngerti kok...gimana rasanya tinggal di pelosok?"
"So far so good lah, btw ngapain misscall gue sampai delapan kali, ada yang penting pasti?"
"Yoi bro, bisa kita ketemu hari ini? tolong share loc tempat tinggal lo ya? tar gue samperin kesana?"
"Emang apaan sih? Harus banget ya lo kesini langsung? Nggak ngomong di telfon aja? Bukannya gue ngelarang, cuma lo tahu sendiri kan gue ada di desa terpencil, nggak sayang waktu lo kalau harus jauh-jauh kesini?"
"Nggak bisa lewat telpon bro, ini penting banget dan gue harus ketemu lo langsung..."
"Ok deh..."
Panggilan di tutup dan Heru segera mengirim alamat lengkap berikut share lokasi tempat tinggalnya. Setelah memenuhi permintaan sahabatnya, Heru kemudian mandi dan memilih tidur untuk memulihkan energinya. Mendapat giliran jaga malam, mau tidak mau membuat jam tidur Heru jadi terbalik. Tapi itu sudah jadi hal biasa untuk profesinya. Heru pun segera melupakan percakapan itu dan tidak terlalu memikirkan apakah Alshad benar-benar datang atau tidak.
Alshad adalah sahabat masa kecilnya dan mereka tetap berhubungan baik hingga sekarang. Belakangan ini mereka semakin jarang berkomunikasi karena kesibukan masing-masing. Alshad sedang merintis usaha di bidang design interior, sedangkan Heru baru saja memulai pengabdiannya sebagai dokter umum di sebuah rumah sakit daerah. Jadi sebenarnya Heru merasa heran, urusan penting apakah yang membuat Alshad ngotot datang ketempatnya.
Sore harinya, saat sedang menikmati siaran televisi, Heru mendengar seseorang mengetuk pintunya. Heru beranjak untuk membuka pintu dan melihat Alshad berdiri di depan rumahnya.
"Lo beneran datang bro?"
Heru sangat senang dikunjungi oleh sahabatnya sedari kecil di tempat tugasnya yang terpencil.
"Iyalah, masak gue bohong..."
"Masuk dulu bro, kita ngobrol-ngobrol di dalam..."
Heru kemudian masuk untuk menyeduh dua cangkir kopi dan mengeluarkan camilan ala kadarnya.
"Ngopi dulu bro, pasti capek kan nyetir sendiri kesini?"
Alshad menyeruput kopinya sedikit.
"Jadi urusan penting apa yang bikin lo nekat datang kesini?"
"Gue butuh minta tolong sesuatu sama lo..."
"Minta tolong apa?"
"Papa minta tolong lo buat nikahin Alina..."
"What?"
Heru benar-benar terkejut mendengar permintaan Alshad. Alina adalah adik kandung Alshad. Adik perempuan satu-satunya yang sangat di sayangi Alshad dan semua anggota keluarganya. Alina adalah putri kesayangan di keluarga Dokter Hendra yang terhormat.
"Kenapa, lo nggak mau?"
"Bukannya gitu bro, tapi kenapa?"
"Alina hamil dan cowok brengs*k yang ngehamilin nggak mau tanggung jawab. Cowok itu kabur dan sama sekali tidak terlacak keberadaannya. Sementara dirumah kondisi Alina semakin memperihatinkan. Alina selalu murung dan matanya terlihat bengkak. Sepertinya anak manja itu menangis sepanjang malam...", Alshad menjelaskan situasi rumit yang tengah menjadi masalah di keluarganya.
"Siapa? Pacarnya Alina? Si Dirga yang anak pengacara kondang itu?"
"****! Jangan sebut namanya di depan gue!"
"Sorry bro, emang brengs*k banget cowok itu! "
"Jadi, lo mau atau nggak?"
Alshad bertanya dengan tatapan tajam penuh harap.
Heru masih diam dengan pandangan menerawang. Heru masih berfikir dan berfikir, sebab hal ini sungguh sangat mendadak. Dirinya memang mencintai Alina, dulu. Dan hingga sekarang bayang-bayang gadis itu tak juga hilang dari ingatan meski Heru tahu Alina memiliki kekasih. Seorang lelaki yang Alina pilih setelah menolak cintanya. Alina adalah satu-satunya wanita yang dia inginkan selama ini. Tapi menikahinya dengan cara seperti ini sama sekali tidak pernah terlintas di benaknya.
"Heru, tolonglah...kami benar-benar berharap banyak padamu..."
Alshad masih berusaha membujuk Heru.
Heru masih terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menjawab.
"Tolong kasig gue waktu untuk berfikir!"
Tapi ternyata itu bukanlah jawaban yang Alshad harapkan.
"Sudah tidak ada waktu lagi, kandungan Alina akan semakin besar dan jika orang melihatnya pasti mereka akan bergunjing dan nama baik keluarga akan tercemar, gue butuh jawaban lo sekarang juga", kali ini Alshad sudah tidak sabar dan setengah memaksa.
Ya, sebagai Kakak Alina dan anak tertua dalam keluarga, Alshad sangat menyesalkan musibah yang menimpa adik perempuan kesayangannya. Alshad merasa gagal dalam melindungi Alina hingga adik kecilnya sampai terjerumus dalam perbuatan zina dan membawa aib yang yang akan mempermalukan keluarga.
"Tapi pernikahan bukan mainan bro, ini urusan besar..."
"Apa begitu berat buat lo nolongin keluarga kita? Apa lo nggak ingat semua yang dilakukan Papa dan keluarga kita sampai lo bisa jadi dokter seperti sekarang?"
Akhirnya Alshad mengeluarkan senjata terakhirnya untuk membujuk Heru. Menagih hutang budi yang sampai kapanpun takkan sanggup Heru membayarnya. Walaupun hati kecilnya merasa ini tak pantas dan tidak adil bagi Heru, tapi Alshad tidak punya pilihan lain. Saat ini, hanya Heru lah satu-satu harapannya. Sosok pria yang bisa dia percaya untuk menjaga adik kesayangannya sekaligus menyelamatkan keluarga mereka dari aib.
Akhirnya Heru kalah telak, dia tak bisa lagi mengelak. Permintaan untuk menikahi Alina bukanlah pilihan, melainkan suatu kewajiban yang tak bisa di tolaknya.
Sesaat Heru merenungkan nasib perjalanan cintanya yang begitu berliku. Betapapun takdir mengombang-ambingkan hati dan perasaanya, mencinta, berharap, jatuh, dan terluka, berkali-kali hingga Heru telah menyerah dan mengikhaskan semua. Namun pada akhirnya, takdir justru mempertemukannya lagi dengan Alina. Maka kali ini pun Heru akan menyerahkan sepenuhnya nasib cintanya pada takdir. Heru telah memutuskan untuk menerima amanah itu dengan penuh rasa tanggung jawab.
"Ok, gue bakal nikahin Alina..."
Akhirnya Heru menjawab dengan yakin. Tidak ada keraguan di dalam hatinya. Heru tidak akan bermain-main dengan hati perempuan manapun. Itulah janjinya pada Tuhan.
"Makasih banyak bro, lo emang malaikat penyelamat keluarga gue, sebagai imbalannya Papa akan mengurus kepindahan lo ke rumah sakit Karya Medika di ibu kota...lo nggak perlu lagi kerja di tempat terpencil seperti ini dan yang lebih penting lo bisa selalu dekat sama Alina..."
"Gue ikhlas dan nggak mengharap imbalan apapun...", potong Heru dengan tegas.
"Ok...ok...gue ngerti, tapi lo tetap harus pindah supaya dekat dengan Alina.."
"Ok...."
"Makasih banyak bro...gue percaya sama lo, gue titip Alina, tolong jaga dia...seandainya lo belum bisa mencintai Alina sebagai wanita lagi, paling enggak tolong jaga dia selayaknya adik, lo sanggup kan?"
"Yoi, lo nggak perlu khawatir, gue akan jaga Alina meski nyawa taruhannya..."
"Makasih banyak bro, gue tahu sejak dulu lo selalu bisa diandalin..."
Setelah selesai membahas soal Alina, mereka lanjut mengobrol sambil menikmati hidangan alakadarnya. Sekedar bernostalgia mengenang kebersamaan mereka yang kini semakin langka.
Diam-diam, Alshad mengirim pesan pada Papanya. Mengabarkan bahwa misi yang diembannya hari ini telah berhasil dan Heru setuju untuk menikahi Alina.
Tanpa Heru tahu, keluarga Alina sudah menyiapkan skenario tentang pernikahannya dengan Alina.
Pagi itu, Heru sedang berjaga di ruang IGD di rumah sakit tempatnya bekerja, saat salah seorang rekannya menyuruhnya menemui Dr Gunarto. Heru pun segera memenuhi panggilan itu setelah berpamitan pada rekannya yang sedang berjaga bersamanya.
"Selamat pagi Dok...", sapa Heru setelah mengetuk pintu dan di dipersilahkan masuk oleh Dr.Gunarto.
"Ya selamat pagi, bagaimana hari ini lancar?"
"Ya alhamdulillah dok, semua pasien tertangani dengan baik..."
"Sebenarnya saya cukup puas dengan kinerja kamu disini, kamu seorang dokter yang disiplin dan juga ramah sehingga pasien senang berinteraksi denganmu, tapi sayangnya saya harus merelakanmu...."
Dr Gunarto lalu mengangsurkan selembar surat kepada Heru. Sebuah surat pemindah tugasan dari rumah sakit Daerah Karangjati ke rumah sakit Karya Medika.
"Dokter Hendra memintamu secara pribadi kepada saya karena beberapa alasan, setelah melalui berbagai pertimbangan, dengan berat hati saya putuskan untuk melepasmu..."
Heru tahu cepat atau lambat dirinya harus pergi, meninggalkan tempat yang belum lama dia singgahi. Meski begitu, entah mengapa ada kesedihan yang menelusup di hatinya. Walaupun baru sebentar bertugas, Heru merasakan kesan yang cukup mendalam di lingkungan dan masyarakat sekitar.
"Kapan saya harus pindah dok?", tanya Heru kemudian.
"Mulai hari senin, minggu depan kamu sudah bebas tugas di rumah sakit ini..."
"Baiklah Dok..."
Dengan berat hati Heru menerima keputusan itu. Heru sudah memutuskan untuk mengambil sebuah tanggung jawab. Dan ternyata keputusan menyangkut kehidupan pribadinya juga harus berimbas pada pekerjaan yang dia cintai.
Mereka lalu bersalaman dan Dokter Gunarto memeluknya tiba-tiba.
"Saya tahu kamu orang yang baik, semoga kamu sukses dimanapun kamu berada.. "
"Terimakasih banyak Dok...terimakasih sudah menerima dan membimbing saya selama disini..."
Bagi Heru, Dr Gunarto adalah sosok pempimoin bijaksana yang mampu mendidik dan mengayomi bawahannya dengan baik. Heru berharap semoha ditempat barunya nanti dirinya juga akan bertemu orang-orang baik seperti disini.
Heru keluar dari ruangan Dr. Gunarto dan kembali menjalankan tugasnya. Hari senin, itu berarti hanya tersisa lima hari lagi. Heru ingin menjalankan tugasnya sebaik mungkin dalam waktu yang singkat itu.
Bro, lo siap-siap kemasin barang-barang lo, hari senin orang-orang Papa bakal datang jemput lo buat pindahan...
Itu adalah sebuah pesan dari Alshad. Dan Heru segera membalasnya.
Gue bisa dateng sendiri bro, nggak perlu dijemput...
tidak berselang lama pesannya kembali mendapat balasan.
Jangan bro, Papa sudah atur semuanya.
Heru paham, dia tidak bisa membantah. Semua sudah diatur sedemikian rupa dan dirinya hanyalah robot yang sudah disetting untuk mengerjakan perintah.
Ok bro
Heru mulai mengemasi barang-barangnya yang tidak terlalu banyak.
Akhirnya hari itupun tiba. Hari dimana Heru telah bebas tugas dan bersiap untuk menjemout sebuah tanggung jawab yang lain.
Hari senin, setelah berpamitan dengan rekan-rekannya di rumah sakit, Heru langsung pulang ke rumah kontrakannya. Ternyata disana orang-orang suruhan Dr. Hendra sudah menunggunya. Ada satu orang sopir dan satu orang lagi yang bertugas membawakan barang-barangnya.
Tapi Heru memilih barang-barangnya karena Heru tidak terlalu suka merepotkan orang lain. Heru membawa sendiri satu buah koper dan dua buah tas besar yang berisi barang-barang pribadinya.
Dalam perjalanan Heru memilih untuk memejamkan mata, sebab belakangan ini entah mengapa Heru susah sekali untuk tidur.
"Sudah sampai Pak Dokter..."
Entah berapa lama dia jatuh tertidur di dalam perjalanan. Heru membuka matanya yang terasa berat. Ternyata mereka sudah sampai di rumah Dr Hendra. Sebuah rumah mewah yang cukup besar yang masih terasa familiar di benak Heru.
Heru turun dan segera disambut oleh keluarga Dokter Hendra. Ada Dokter Hendra beserta istri dan juga Alshad, tapi tidak ada Alina.
"Selamat datang Nak Heru, kami senang akhirnya kita bisa bertemu lagi.."
Sapa Dr.Hendra dengan begitu hangat. Heru kemudian menyalami mereka satu persatu.
Heru mengedarkan pandangannya seolah mencari sesuatu. Alshad yang memperhatikan tingkah Heru seolah mengerti apa yang ada di kepala sahabatnya.
"Alina sedang beristirahat di kamarnya, kondisinya sedang kurang sehat jadi dia tidak bisa ikut menyambutmu..."
"Oh, tidak masalah...aku mengerti..."
Heru tersenyum dengan salah tingkah.
"Heru, sebaiknya kamu beristirahat terlebih dahulu...pasti lelah kan menempuh perjalanan panjang, biar Bi Siti yang akan mengantarmu ke paviliun belakang...Bi Siti juga yang akan melayani segala keperluanmu, kalau ada perku sesuatu jangan sungkan untuk meminta pada Bi Siti, kamu mengerti?"
"Baik Pak, terimakasih banyak..."
Dokter Hendra dan keluarganya kembali masuk2 ke dalam rumah, sedangkan Heru di antar Bi Siti menuju paviliun yang bangunannya terletak di belakang rumah. Dibandingkan rumah Dokter Heru yang kuas dan mengah, paviliun itu tampak mungun. Tapi sebenarnya paviliun itu adalah rumah tiga kamar dengan fasilitas lengkap. Bahkan paviliun itu jauh lebih bagus dari rumah kontrakan Heru sebelumnya.
Karena Heru sudah tidur di sepanjang perjalanan, akhirnya Heru memilih duduk-duduk di teras sambil menghirup udara segar. Kemudian Bi Siti datang mengantarkan satu poci teh hangat beserta beberapa macam kue.
"Silahkan Den dimakan..."
"Baik Bi, terimakasih banyak..."
"Oh ya Den, saya disuruh menyampaikan, nanti malam Den Heru disuruh ikut makan malam bersama di rumah utama jam tujuh malam, jangan datang terlambat ya Den.."
"Ya Bi, saya tahu, terimakasih sudah menyampaikan..."
Bi Siti pun berlalu dan Heru kembali sibuk dengan lamunannya.
Tepat pukul tujuh malam, Heru melangkahkan kakinya ke rumah utama. Rumah megah yang dulu sesekali disinggahinya di masa kecil sampai remaja. Rumah itu tak banyak berubah, selalu bersih dan terawat dengan gaya klasiknya.
Ternyata semua anggota sudah berkumpul di meja makan. Lagi-lagi minus Alina.
"Maaf, saya datang terlambat..."
"Kamu tidak terlambat, kami saja yang berkumpul lebih cepat. Ayo jangan sungkan, silahkan dimakan.."
Heru mengambil nasi beserta lauk pauk yang dihidangkan. Semuanya lezat dan jenisnya bermacam-macam sampai membuat bingung.
Setelah ini mereka mereka makan bersama tanpa banyak bicara.
Setelah selesai menikmati santap malam, barulah Dr Hendra kembali berujar.
"Heru, setelah ini saya ingin bicara sama kamu di ruang kerja..."
"Baik Pak..."
Heru meletakkan gelas minumannya dan segera mengikuti Dr Hendra berjalan ke ruang kerjanya.
"Saya senang sekali akhirnya kamu mau datang kesini memenuhi permintaan saya yang disampaikan oleh Alshad..."
Dokter Heru mulai membuka percakapan.
"Saya tahu ini bukan hal yang benar, tapi saya harap kamu bisa memahami perasaan saya sebagai seorang Ayah..."
"Saya mengerti Pak..."
"Disini saya ingin memberitahimu, bahwa yang saya inginkan untuk Alina bukanlah pernikahan sungguhan, melainkan hanya sekedar pernikahan di atas kertas..."
Dr Hendra menyodorkan selembar kertas kepada Heru. Heru menerimanya dengan kening berkerut.
"Itu adalah kontrak pernikahan berikut beberapa poin yang harus kamu sanggupi..."
"Pernikahan ini dilakukan untuk menjaga nama baik Alina dan keluarga, seperti yang kamu tahu Alina sedang mengandung benih pria lain, itu artinya secara agama kalian tidak akan sah sebagai suami isteri. Jadi nantinya kalian juga haram untuk melakukan hubungan suami isteri sebagaimana mestinya. Yang kami inginkan adalah status hukum pernikahan dan kalian tampil sebagai suami isteri di depan umum, tapi di ranah pribadi kalian harus tetap menjaga batas pergaulan. Setelah Alina melahirkan nanti barulah kalian bisa memutuskan untuk menyudahi atau kembali menikah ulang. Itulah isi kontrak secara garis besar dan untuk detailnya bisa kamu pelajari sendiri, bagaimana apa kamu mengerti?"
"Baik Pak, saya mengerti..."
"Baiklah, sekarang kamu boleh beristirahat dan mempelajari detail kontraknya, besok kita akan menandatangani kontrak itu di depan pengacara..."
"Baik Pak..."
Setelah selesai dengan urusannya, Dr Hendra keluar dari ruang kerjanya dan Heru pun kembali ke paviliunnya.
Setelah sampai di paviliun Heru kembali membuka dan mempelajari surat kontrak itu. Yah, harusnya dia cukup tahu diri. Bagaimanapun juga dirinya tidak akan pantas bersanding dengan Alina. Semua tak lebih dari sekedar sandiwara. Dan dirinya harus pandai-pandai memainkan perannya.
Sejak Heru datang ke rumahnya Alina hanya berdiam diri di dalam kamarnya. Kondisi Alina secara fisik dan mental memang tidak begitu baik setelah berbagai masalah yang menimpanya. Dan selain itu, Alina juga merasa tidak punya muka untuk bertemu dengan Heru, lelaki yang pernah ia tolak cintanya.
Di dalam kamarnya Alina merenung, mengingat kembali bagaimana satu persatu kemalangan mulai menghampiri dirinya. Dimulai dari kondisi fisiknya yang menurun. Alina kerap merasa badannya lemas dan kepalanya pusing, hingga dirinya sempat jatuh pingsan saat sedang berada di perpustakaan. Untunglah Alina cepat tersadar tanpa harus dibawa ke fasilitas kesehatan. Alina akhirnya diantarkan kerumah oleh teman-temannya. Sebagai seorang calon dokter Alina mulai curiga dengan kondisi tubuhnya, sebab sebelumnya Alina tidak punya keluhan kesehatan apapun. Kecurigaan Alina semakin bertambah saat dirinya tak kunjung mendapat tamu bulanan bahkan sampai jadwalnya terlewat.
Alina memberanikan diri untuk membeli alat tes kehamilan di apotek. Meski sudah menduga, Alina merasa terkejut saat melihat hasilnya positif. Perasaannya sungguh hancur. Masa depan dan impian yang sudah di depan mata harus kandas dalam sekejap. Alina menangis cukup lama di kamarnya hingga jatuh tertidur. Hari sudah sore saat Alina bangun. Alina mengungatkan hatinya dan segera bersiap untuk menemui Dirga, kekasihnya.
Alina mengajak Dirga bertemu di sebuah tempat makan langganan mereka. Alina tidak berselera untuk makan dan hanya memesan minum saja. Seperti biasa, Dirga menggodanya untuk menghabiskan malam bersama.
"Tar malem bobok di apartement gue ya Lin?", kata Dirga sambil mengedipkan matanya.
Alina hanya menggeleng, menolak ajakan Dirga.
"Ayolah sayang, aku cinta mati sama kamu, rasanya nggak pengen jauh-jauh dari kamu, kamu juga cinta kan sama aku?"
Alina mengangguk.
"Nah gitu dong sayang, jadi tar malam kita having fun lagi kan? Tenang aku pasti tanggung jawab kok..."
"Serius kan kamu bakal tanggung jawab?"
Tanya Alina dengan penekanan tajam. Alina sengaja memancing reaksi Dirga.
"Iya dong sayang, masak kamu nggak percaya sih sama aku?"
Alina lalu menyodorkan beberapa alat tes kehamilan di depan Dirga.
"Apa ini?"
Tanya Dirga sambil sibuk mengamati benda yang disodorkan Alina.
"Aku hamil ga.."
Dirga terlihat terkejut, tapi tetap berusaha tampak tenang.
"Yakin kalau itu anak aku?",
Dirga benar-benar tidak menyangka, kalau kesenangan yang selama ini dinikmatinya akan berbuah.
Plak.
Sebuah tamparan mendarat di pipi Dirga.
"Sabar dong sayang, bukan gitu maksudku...ok..ok...nanti kita cari solusinya sama-sama, sekarang aku antar kamu pulang dulu ya?"
Dirga mencoba membujuk Alina, sambil terus memikirkan apa yang akan dilakukannya dengan kehamilan Alina.
Alina menurut. Alina sebenarnya juga merasa lelah dan ingin segera beristirahat. Dirga mengantarnya pulang ke rumah malam itu. Tanpa Alina tahu bahwa itu adalah pertemuan terakhirnya dengan Dirga.
Setelah hari itu, Dirga tak lagi bisa dihubungi. Bahkan saat Alina mencari Dirga ke rumahnya, keluarganya bilang bahwa Dirga pulang ke kampung halaman Ibunya di luar pulau. Nyatanya, satu minggu berlalu dan Dirga menghilang bagaikan ditelan bumi. Dirga tidak kunjung pulang ke apartement maupun ke rumah Ayahnya yang berada di Ibu kota. Dan Alina sadar mengemis pada Dirga adalah hal yang bodoh dan sia-sia.
Alina lalu memilih berterus terang pada keluarganya tentang kondisinya. Alina sudah siap dengan segala resikonya bahkan jika dirinya harus diusir dari rumah. Tapi ternyata, reaksi keluarganya benar-benar di luar dugaannya.
Papanya terlihat terkejut dan benerapa saat hanya diam sambil menahan gejolak emosinya. Siapa yang tak akan merasa sakit dan kecewa, saat tahu anak perempuan yang dijaganya mato-matian telah dirusak orang. Sementara Mama Alina tidak bisa mencegah air matanya untuk terjatuh karena menangisi nasib putri kesayangannya.
"Alina, Papa kecewa sama kamu, tapi Papa juga bangga bahwa kamu sudah berani berterus terang dan mengakui kesalahan. Terimakasih sudah mempercayai kami. Kita adalah keluarga. Dan keluarga tidak akan meninggalkanmu dalam kondisi apapun. Jadi mari kita cari solusinya bersama-sama....",
Akhirnya itulah yang diucapkan Dokter Hendra untuk menguatkan Alina. Dokter Hendra takut Alina bertindak nekat karena keadaannya.
Setelah itu Papa, Mama, dan Kak Alshad memeluknya bergantian. Sejak itu semua anggota keluarganya justru sangat perhatian pada dirinya dan calon bayinya. Dan itu membuat Alina semakin didera rasa bersalah yang dalam.
Sejak tahu dirinya hamil Alina lebih banyak mengurung diri di kamar dan menarik diri dari pergaulan.
Hingga kemudian Kak Alshad memberi tahunya bahwa dirinya akan dinikahkan dengan Heru, pria yang sempat di tolaknya. Alina tahu keluarganya akan melakukan berbagai macam cara untuk melindunginya. Termasuk untuk menjaga nama baiknya dan keluarga. Dan satu-satunya solusi adalah dengan menikahkannya meski bukan dengan Ayah si bayi. Alina tak punya kuasa untuk meolak, meski hatinya tak sejalan. Alina hanya bisa pasrah akan apapun keputusan yang diambil keluarganya untuk dirinya. Mereka sudah mengusahakan yang terbaik demi dirinya.
Alina menuruti apapun skenario yang telah dirancang keluarganya. Meski begitu Alina tak punya nyali untuk bertemu dengan Heru yang Alina tahu sudah disuruh Ayahnya untuk tinggal di paviliun belakang rumah. Hingga akhirnya Alina harus bertatap muka dengan Heru, setelah ijab qobul selesai dilafalkan dengan lancar di hadapan penghulu.
Saya terima nikah dan kawinnya, Alina Salasabila binti Hendra Kuswoyo dengan Mas kawin tersebut dibayar tunai.
Dari ruang rias, Alina bisa mendengar dengan jelas suara lantang Heru, yang kemudian diakui sah oleh semua hadirin di acara akad pagi itu.
Alina lalu digandeng Mamanya, berjalan mendekat dan duduk di samping Heru, lelaki yang telah selesai mengucap ijab qobul dan kini berstatus sebagai suaminya.
Ya, entah bagaimana Heru bisa setuju untuk menjadi kambing hitam dan rela menikahi dirinya yang telah ternoda.
Semua prosesi berjalan dengan lancar dan khidmat. Tampak jelas Dr Hendra beserta istri tersenyum bahagia, lega akhirnya putrinya benar-benar menikah. Di depan penghulu, Alina dan Heru bergantian menandatangani buku nikah. Heru lalu mengecup kening Alina dengan lembut. Pun Alina balas mencium tangan Heru dengan hormat. Sebuah momen sakral di mulainya kehidupan baru untuk mengarungi bahtera rumah tangga yang diabadikan oleh bidikan kamera. Setelah itu keluarga dan para tamu bergantian menyalami, memberi ucapan selamat dan doa yang tulus untuk kedua mempelai. Tidak lupa mereka juga bergantian berfoto bersama kedua mempelai. Setelah itu semua hadirin dipersilahkan menyantap hidangan yang telah di sediakan di halaman masjid. Semua tamu pun menikmati hidangan yang lezat dengan suka cita.
Pernikahan Heru dan Alina memang sengaja di gelar dengan sederhana. Hanya akad nikah saja tanpa resepsi dengan mengundang keluarga dan kerabat terdekat saja. Persiapannya dilakukan cukup mendadak mengingat pernikahan harus dilakukan secepat mungkin agar kehamilan Alina tidak terlihat. Tapi semua tampak indah dan sempurna. Akad itu terasa begitu sakral di pagi yang cerah. Dan para tamu undangan pun banyak yang ikut meneteskan air mata karena haru dan bahagia. Tanpa mereka sadari, bahwa yang mereka hadiri hanyalah pernikahan palsu, pernikahan di atas kertas.
Hati Alina terasa miris di tengah pernikahannya sendiri. Alina hanya terus menunduk tanpa berani menatap mata Heru, suaminya. Entah bagaimana mereka akan menjalani pernikahan ini nantinya. Alina sama sekali tidak punya bayangan bagaimana dirinya harus bersikap kepada Heru nanti. Dan hal itu terasa menakutkan bagi Alina, sangat menakutkan. Sebentar lagi, Alina harus bersiap masuk ke dalam mahligai yang tak pernah dibayangkannya. Sebuah mahligai yang diawali dengan kebohongan dan kepalsuan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!