NovelToon NovelToon

Anak Bak Dewa

Bab 1. Anak Luar Biasa

Kanaya sedang membersihkan rumah, terlihat tangannya yang memegang sapu. Konsentrasi Kayana teralihkan ketika melihat anaknya yang berusia enam tahun itu sibuk mengetik menggunakan laptop miliknya. Karena rasa penasaran, Kanaya mengintip sedikit. Rendy selalu tidak mau lepas dari laptop kesayangannya. Betapa terkejutnya Kanaya ketika melihat apa yang dilakukan anaknya.

"Rendy!! Apa kau sudah gila? Kau mau ditangkap polisi? Kenapa kau membobol sebuah perusahaan?" teriak Kanaya dengan amarah meluap-luap. Ini bukan pertama kali anaknya melakukannya, tetapi Kanaya tetap merasa khawatir.

"Jangan bersikap berlebihan, Ma. Aku hanya sedang belajar." Jawab Rendy dengan santai sambil menutup laptopnya karena sadar Kanaya melihatnya.

Kanaya berlari menutup pintu, berharap tidak ada yang datang dan melihatnya. Dia lalu menarik tangan mungil anaknya menjauh dari sana. "Aku jelas melihatmu mengotak atik berkas sebuah perusahaan. Apa namanya jika bukan pembobolan?" ucap Kanaya masih penuh amarah.

"Tenang, Ma. Tidak akan ada yang bisa menemukan Rendy. Lihat saja, sampai saat ini belum ada polisi yang datang ke sini. Kita masih aman. Yang jelas, mama nanti dapat uang." Jelas Rendy dengan tersenyum ke arah Kanaya.

Mau tak mau, Kanaya hanya bisa menghela nafas kasar. Dia terkejut hingga lupa anaknya ini luar biasa. Bisa menghasilkan uang dengan cara membobol sebuah perusahaan. Tetapi yang membuat Kanaya bingung, darimana Rendy dapat kemampuan seperti ini. Kanaya sendiri, tidak tahu apapun menyangkut komputer.

"Apa kau mengikuti kepintaran Ayahmu?" ucap Kanaya perlahan tetapi anak kecilnya itu mempunyai indra pendengaran yang tajam sehingga bisa mendengarnya.

"Sudah pasti aku mengikut, Papa. Mama kan tidak tahu cara membobol perusahaan?" ejek Rendy dengan tersenyum.

"Kau meremahkan diriku?" tanya Kanaya menatap lekat wajah anaknya.

"Tidak, aku hanya mengatakan kebenarannya saja." Jawab Rendy seketika sambil berjalan mengambil laptopnya lalu menuju kamarnya.

Kanaya hanya bisa mengepal kedua tangannya melihat sikap anaknya. Seketika, dia mengelus dada. Berdebat dengan Rendy sudah menjadi makanan baginya setiap hari. Kanaya terpaksa membesarkan Rendy seorang diri karena dia sendiri tidak tahu siapa ayah dari Rendy. Kejadiannya begitu cepat sehingga Kanaya tidak lihat jelas laki-laki yang merampas kehormatannya.

Kejadian ini sudah enam tahun lalu, dimana Kanaya yang merupakan pegawai hotel dijebak hingga terpaksa melayani seorang laki-laki yang tidak di kenal. Setelah kejadian itu, Kanaya kembali ke desa menenangkan diri dan membesarkan Rendy dibantu ibunya.

"Hufft. Rendy tidak terlihat mirip denganku walau aku yang melahirkannya. Apa dia mengikut ayahnya?" ucap Kanaya yang kembali melanjutkan pekerjaannya yang tertunda.

Malam harinya, keluarga Kanaya sedang menikmati makan malam. Seperti biasa, Kanaya lebih dulu bertengkar dengan Rendy soal makanan. Ibu Kanaya hanya tersenyum melihatnya.

"Kalian lebih cocok seperti kakak beradik?" sahut Ibu Kanaya dengan tersenyum menatap wajah cucunya.

"Rendy, Ma. Tidak mau mengalah padaku." adu Kanaya sambil menjulurkan lidah ke arah samping dimana Rendy duduk.

"Mama juga tidak mau mengalah dengan anaknya?" ucap Rendy dengan wajah gemas sambil melipat kedua tangannya, cemberut.

"Rendy cukup pintar, sayang kalau hanya sekolah di desa nanti. Apa tidak sebaiknya, Rendy di sekolahkan khusus untuk anak genius?" tanya Ibu Kanaya sambil menyuap dirinya dengan nasi.

"Apa, Ma?" ucap Kanaya, kurang mengerti.

"Umur Rendy sudah genap enam tahun. Sebentar lagi, ia pasti akan masuk sekolah. Apa tidak sebaiknya kau memikirkan sekolah mana yang cocok dengan Rendy?"

"Kenapa bertanya seperti itu? Sudah jelas dia lebih cocok sekolah di desa. Kita tidak perlu repot-repot mendaftarkannya." jawab Kanaya.

"Tidak, Kanaya. Rendy ini anak pintar, diusianya yang tergolong anak kecil, dia sudah bisa menulis, membaca, bahkan sampai memakai laptop dan menghasilkan uang. Kenapa kamu tidak pikirkan sekolah yang lebih cocok dengannya?" protes Ibu Kanaya yang menatap tajam ke arah Kanaya. Mau tak mau, Kanaya tidak bisa membela diri melihat mata ibunya.

"Benar, Nek. Rendy sudah punya pilihan." sahut Rendy menyela pembicaraan.

"Apa? Jangan bilang jika kau sampai meminta sekolah yang mahal-mahal? Aku tidak punya uang banyak." ucap Kanaya dengan cepat.

"Katakan saja, Rendy. Nanti biar nenek yang memaksa mama mu untuk menurut." ucap ibu kanaya dengan wajah antusias.

"Rendy tadi sempat membaca di internet, sekolah yang ada di kota. Nama sekolahnya, Academy school. Walau terdengar aneh, sekolah itu khusus untuk anak pintar dan kaya raya." jelas Rendy.

"Nah, kau sudah tahu. Sekolah khusus untuk orang kaya, tidak mungkin kau bisa masuk. Ingat, Rendy. Kita ini berasal dari keluarga miskin dan tinggal di desa." ujar Kanaya seketika.

"Tidak begitu juga, sekolah itu menyediakan beasiswa khusus bagi anak yang cerdas. Rendy sudah ikut ujiannya dan berhasil masuk." Ucap Rendy yang membuat Kanaya terkejut. Anaknya selalu melakukan hal tanpa membicarakan dulu dengannya.

"Tunggu sebentar! Kenapa kau tidak minta persetujuanku dulu?" Protes Kanaya.

"Mama pasti akan setuju." ucap Rendy dengan santai sambil mengedipkan sebelah matanya.

"Itu bagus. Kapan Rendy akan masuk sekolah?" tanya Ibu Kanaya yang senang mendengarnya.

"Dua hari lagi, Nek. Besok, aku dan mama akan ke kota dan tinggal disana. Nenek baik-baik di sini." ucap Rendy yang terdengar dewasa sekali.

"Hei anak kecil, kau tahu berapa umurmu? Jangan membuatku tertawa, Yah. Apa kau punya uang untuk tinggal di kota? Kebutuhan disana cukup tinggi. Aku juga tidak punya pekerjaan dan kau tahu..." Kanaya terpaksa berhenti mengomel ketika Rendy mengeluarkan kartu atm dan meletakkannya di atas meja. Kedua bola mata Kanaya terbelelak. Dirinya saja tidak punya kartu atm, bagaimana bisa anaknya memilikinya?

"Kau mencuri darimana?" tanya Kanaya menuduh.

"Rendy tidak mencuri. Beberapa hari lalu, Rendy mendaftar online untuk dapat kartu atm lewat ktp mama. Baru tadi pagi, Rendy dapat kartunya. Isinya juga sudah lumayan, Rendy dapat trasferan tadi dari klien Rendy." jelas Rendy yang sedikit membuat Kanaya pusing dan bingung. Tetapi, itu tidak penting. Bagi Kanaya, uang jauh lebih dibutuhkan saat ini.

"Rendy, terima kasih banyak. Kau sudah pasti anak Mama." ucap Kanaya mengambil kartu atm yang tergeletak di atas meja. Rendy hanya tersenyum sambil berguman di dalam hati.

'Aku pasti menemukanmu, papa.' guman Rendy di dalam hati.

Ketika semua orang tidur, Rendy terbagun tengah malam. Membuka laptop dan mulai mencari mangsa. Ada sebuah perusahaan yang mengundang rasa penasaran Rendy. Bintang Group begitu sulit untuk dibobol. Rendy pernah mencobanya dan malah laptopnya kemasukan banyak virus. Sudah laptop rusak, Rendy juga mendapat omelan dari mamanya yang tidak kenal capek marah-marah.

"Bintang Group, sebentar lagi aku akan membuat perusahaanmu bangkrut." ucap Rendy seketika yang sibuk mengotak atik laptopnya.

Bab 2. Ke Kota Mencari Papa

'Aku datang, Pa! Aku pasti menemukanmu!' guman Rendy ketika dia dan Kanaya sampai di sebuah kosan, tempat tinggalnya untuk sementara.

"Tunggu sebentar, anakku sayang. Sebelum kita ke sini, kau mengatakan kepada mama mu tersayang jika kita akan tinggal di sebuah tempat yang damai, tentram, dan paling nyaman. Apa kosan sempit ini maksudmu?" tanya Kanaya sambil menatap tajam ke arah Rendy.

"Itu benar, Ma. Ini tempat yang paling bagus untuk kita dan persembunyian yang aman. Ayo kita masuk." ucap Rendy sambil menarik koper kecil miliknya.

Kanaya memegang kepalanya, anak kecilnya sudah pintar membodohi dirinya. Kanaya pikir, dia akan tinggal di sebuah apartemen mewah karena Rendy mengatakan dia punya banyak uang di atmnya.

"Rendy...." ucap Kanaya sambil menarik dengan kasar koper yang dia bawa. Sesampai di kosan, luasnya hanya sekitar 6 × 6 m dan satu kamar mandi dalam. Cukuplah untuk berdua saja.

"ini cukup bagus kalau hanya berdua dengan pasangan. Tetapi aku, datang dan tinggal di sini berdua dengan anak kecil. Sungguh sadis nasibku." ucap Kanaya sambil mengelus dadanya. Di usianya yang sudah memasuki 24 tahun, dia terpaksa membagi kebahagiannya untuk anak kecilnya. Dia mengandung Rendy di saat usianya remaja, 18 tahun.

"Mama sepertinya tidak mau beres-beres. Kalau begitu, aku saja. Biar mama pergi berbelanja saja." saran Rendy.

"Benarkah? Kau tidak keberatan?" ucap Kanaya dengan wajah serius.

"Tentu saja, masalah beres-beres biar aku yang mengerjakannya." kata Rendy meyakinkan Kanaya. Dengan senyum berbinar-binar, Kanaya mengambil tasnya kemudian pergi dari sana sebelum Rendy berubah pikiran.

"Huff, dia sepertinya belum siap menjadi ibu. Tidak apa, selama aku di sini, aku akan mencari papa ku." ucap Rendy yang mulai meletakkan barang-barangnya di lantai. Sementara itu, Kanaya dengan riang berlari ke sebuah toko untuk berbelanja.

"Aku harus beli ikan, ayam, sayuran, buah, agar Rendy senang menikmatinya ketika selesai beres-beres." ucap Kanaya yang langsung memasukkan semuanya ke dalam keranjang. Kemudian, dia mendatangi kasier dan meletakkan atm di atas meja.

"Totalnya, lima ratus rupiah. Bayar pakai atm ini, mbak?" tanya salah satu kasier perempuan dengan ramah.

"Iya."

"Baiklah," setelah berusaha memasukkan kartu atm berkali-kali, kasier memberi kembali atm Kanaya dengan wajah datar.

"Maaf, Mbak. Atm nya tidak bisa digunakan." ucap sang kasier.

"Apa?" mata Kanaya seketika melotot. Dia yakin sekali dirinya tidak salah mengambil atm. Lalu, kemana uang Rendy yang dikatakan banyak?

"Maaf, sepertinya anda keliru. Coba ulangi lagi, mungkin sekarang baru bisa digunakan." ucap Kanaya sambil menyodorkan kembali atm miliknya.

Kasier melakukannya lagi dan tetap tidak bisa. Dia pun menggeleng kepalanya. Kanaya semakin panik, masih banyak orang yang mengantri di belakangnya, tidak mungkin jika dia mengembalikan barang-barang yang barusan dia ambil. 'Apa yang harus aku lakukan, aku benar-benar malu.' guman Kanaya yang tersudut.

"Bisa di ganti atmnya," usul sang kasier.

'Apa? Aku tidak punya atm lain. Uang cash juga tidak punya.' guman Kanaya yang hanya bisa menampilkan senyumannya.

"Kalau tidak punya atm, boleh bayar dengan uang cash." usul sang kasier kembali.

Dag dig dug..

Begitulah detak jantung kanaya, melompat dan ingin segera keluar dari tubuhnya. ditambah, suasanannya semakin tidak bisa terkendali ketika pak satpam mendekat.

"Ada apa ini, kenapa antriannya tidak mau bergerak?" tanya pak satpam.

"Begini, Nyonya ini sepertinya tidak bisa bayar." ucap kasier tiba-tiba. Pak Satpam dengan cepat menoleh menatap Kanaya.

"Benar, begitu, mbak?"

"Ti.. Tidak, aku bayar pakai cash saja." kata Kanaya sambil membuka tasnya dan memasukkan tangannya ke dalam sana. Dia berusaha membuat situasinya aman. Ketika melihat pak satpam dan kasier lengah, Kanaya pun berlari dari sana.

"Hei, tunggu, nyonya!" teriak pak Satpam mengejar Kanaya.

Karena terlalu terburu-buru dan terus menoleh ke belakang, Kanaya tanpa sengaja menabrak seseorang di depannya.

"Maaf," ucap Kanaya yang ingin kembali berlari, tetapi pak Satpam dengan cepat menangkapnya.

"Ketangkap kamu!"

"Lepaskan aku, aku tidak salah apapun. Aku tidak mengambil barang di toko tadi kan?" Bela Kanaya.

"Benar juga, tetapi kenapa kamu lari?" tanya pak Satpam yang kebingungan.

"Itu karena bapak mengejarku." ucap Kanaya dengan menghela nagas lega.

"Tetapi.." Perkataan pak Satpam di potong tiba-tiba.

"Ada apa ini, kenapa kalian berdua ribut di sini? Dam untuk apa seorang satpam yang seharusnya berjaga berada di sini?" tanya seorang laki-laki dengan suara dingin dan terasa mengancam.

Ketika Kanaya menoleh dan melihatnya, air matanya langsung jatuh. Dia tidak tahu, hatinya begitu sakit melihat pria di depannya yang menggunakan jas hitam. Jantung Kanaya juga berdetak lebih cepat dari tadi. 'Apa ini? Perasaan apa ini?' guman Kanaya yang termenung dalam pikirannya.

"Maaf, pak presdir. Aku tadi mengejar perempuan ini yang tiba-tiba berlari karena tidak mau membayar barang belanjaannya." jelas pak Satpam.

"Lalu? Itu alasanmu mengejarnya? Apa dia mengambil barang belanjaannya?" tanya orang yang dipanggil presdir ini.

"Pak satpam, seperti yang kau lihat, dia sama sekali tidak membawa apapun. Jadi, biarkan saja dan kembali ke tempatmu." jelas seorang perempuan yang berwajah cantik dan seksi di samping pak presdir.

Sekilas, presdir itu melirik Kanaya. Ketika bola mata mereka bertemu, Kanaya seperti di tusuk pisau menembus tubuhnya. Dirinya juga tidak bisa berkata-kata.

"Lain kali, kalau tidak punya uang, sebaiknya tidak berbelanja." sindir sang presdir sebelum pergi meninggalkan Kanaya.

Kanaya baru sadar dari lamunannya ketika mendengar sindirian presdir dingin itu. "Dia pikir siapa dirinya sampai berani mengataiku? Aku hanya apes hari ini. Kok bisa, atm Rendy tidak bisa digunakan. Kalau begitu, aku makan pakai apa nanti?" ucap Kanaya yang langsung berlari pulang menemui Rendy.

Kosan sempitnya sudah dibersihkan Rendy. Semua barang-barangnya sudah di tata rapi. Rendy juga sedang sibuk mengetik di laptop berwarna putihnya itu.

"Rendy!" teriak Kanaya dengan amarah terpendam. Dia ingin sekali mengomeli anaknya yang sudah menipu dirinya dan membuat Kanaya malu.

"Mama sudah pulang? Dimana belanjaannya?" tanya Rendy yang menoleh melihat Kanaya tanpa membawa apapun.

"Masih di toko, kau harus membayarnya sebelum mengambilnya." jawab Kanaya dengan ketus.

"Apa? Mama tidak mau membayarnya?"

"Jangan salahkan aku, atm yang kau berikan tidak bisa digunakan. Apa-apaan ini, apa kau sengaja ingin membuat mama mu malu di depan umum?" ucap Kanaya dengan suara meninggi. Rendy hanya diam dengan alis bekerut. Bukan memikirkan suara tinggi Kanaya, dia sudah biasa mendengarnya.

"Coba aku lihat atm nya." ucap Rendy dengan tangan diulurkan meminta.

"Ini, perbaiki cepat. Kita tidak punya uang selain mengandalkan atm ini." jawab Kanaya lalu pergi ke kamar mandi.

Rendy memutar kartu atm nya, dia bingung karena semuanya baik-baik saja. Atm nya tidak rusak, lalu kenapa tidak bisa di gunakan?

Bab 3. Pertemuan Pertama

Kanaya kembali ke pusat perbelanjaan dengan wajah lesu. Dirinya sebenarnya keberatan untuk kembali, tetapi Rendy memaksa. Ketika mereka berdua sampai di depan kasier, Rendy lalu menyodorkan kartu atm miliknya. "Permisi, aku dengar anda menolak kartu atm kami?" tanya Rendy dengan wajah menggemaskannya.

"Apa kau habis belanja di sini, Dek?" tanya salah satu kasier dengan berjongkok menatap wajah Rendy sambil tersenyum.

"Bukan aku, mama ku." tunjuk Rendy ke arah Kanaya.

Wajah kasier tampak terkejut. Dia langsung menghampiri Kanaya yang berusaha menyembunyikan diri. "Oh, kau orang yang di kejar satpam tadi?" ucap sang kasier. Dengan menahan rasa malu, Kanaya mengangguk membenarkan.

"Maaf kan aku, sebenarnya bukan atm mu yang rusak. Komputer kami yang bermasalah." jelas sang kasier sambil memegang kedua tangan Kanaya. Kanaya terkejut, akhirnya kebenaran terungkap. Dia ingin membersihkan nama baiknya.

"Aku mau memaafkanmu, tetapi kau juga harus membersihkan nama ku dengan orang sombong yang sempat aku temui tadi. Dia menggunakan jas hitam dengan wajah menyeramkan." ucap Kanaya seketika.

"Maksudmu, sang presdir?"

"Iya, katakan padanya jika aku mampu membayar belanjaanku tadi. Tetapi karena kesalahanmu, semuanya jadi kacau. Aku di tuduh ingin belanja tetapi tidak punya uang." ucap Kanaya dengan suara meninggi.

"Apa presdir itu di sini?" Sahut Rendy menyela pembicaraannya.

"Iya, benar. Dia adalah presdir dari Bintang group, pemilik pusat perbelanjaan ini. Aku tidak berani bicara dengannya, kau tahu sendiri jabatanku hanya sekedar kasier di sini." ucap Sang kasier perempuan sambil menundukkan kepalanya.

"Biar aku saja yang memberitahunya." kata Kanaya dengan keras kepala.

"Dimana presdir sombong itu?" tanya Kanaya kembali menoleh ke arah sang kasier.

"I.. Itu, dia ada di depan sana." tunjuk sang kasier. Dengan cepat, Kanaya berjalan menghampirinya. Sementara Rendy, penasaran seperti apa rupa presdir Bintang Group. Rendy pun menyusul Kanaya.

Terlihat Presdir sedang bicara dengan perempuan cantik nan seksi. Dia sepertinya pacar sang presdir. Tanpa malu, Kanaya datang menghampirinya. Dia tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa.

"Hei, presdir sombong. Aku mau bicara denganmu." teriak Kanaya berjalan santai menghampiri sang presdir.

Semua orang menoleh menatap Kanaya. Banyak di antara orang-orang menggeleng kepala mereka, mengira jika Kanaya orang gila berteriak memanggil presdir dengan tidak sopan.

"Kau lagi, pencuri?" sahut sang presdir.

"Apa? Pencuri katamu? Hei, aku datang ke sini ingin meluruskan kejadian tadi. Itu hanya salah paham. Komputer kasier itu yang bermasalah sehingga mengatakan atm ku rusak. Makanya, aku lari karena malu nanti di kira ingin belanja tetapi tidak punya uang." Jelas Kanaya dengan suara cepat.

"Aduh, sayang. Siapa lagi orang gila ini, tidak penting banget." sahut Friska, tunangan Gilang Wijaya.

"Entahlah, dia mengurus hal yang tidak penting." ucap Gilang sambil berjalan meninggalkan Kanaya yang sudah emosi.

Seketika, tatapan Rendy dan Gilang bertemu sekilas. "Tidak salah lagi, dia papa ku." ucap Rendy dengan suara perlahan. Naluri Rendy dan pandangannya yang hampir sama, membuat Rendy sangat yakin. Rendy sangat mengenal dirinya, tentu saja tahu seperti apa papa nya yang mirip dengannya.

"Wajah papa memang tampan, tetapi anehnya kenapa mama tidak bisa mengingat wajah tampannya?" ucap Rendy yang terus memperhatikan Gilang Wijaya berjalan sambil memegang tangan Friska.

"Presdir sombong itu, dia benar-benar kurang ajar. Awas saja jika dia muncul lagi di hadapanku, aku buat hidupnya sengsara." kata Kanaya yang emosi.

"Sudah, Ma. Biarkan saja, jangan sampai mama terlalu membencinya. Rasa benci dan cinta itu hanya beda tipis." kata Rendy mengingatkan.

"Aku mencintainya? Ha ha ha, memang tidak ada pria selain dia di dunia ini? Kau ini Rendy, pikiranmu masih anak kecil saja." jawab Kanaya.

"Apa mama benar yakin, tidak pernah bertemu dengan dia sebelumnya?"

"Kenapa tiba-tiba kau bertanya seperti itu?"

"Aku hanya memeriksa sesuatu saja. Bisa saja, mama merasa familiar dengannya seolah pernah berpapasan atau dekat dengannya." jelas Rendy sekali lagi dan wajah Rendy tampak serius menunggu jawaban Kanaya.

"Iya, wajahnya begitu tampan. Dan suara arogannya itu, terdengar tidak asing. Tetapi aku sangat yakin belum pernah bertemu dengannya. Kenapa kau bertanya?"

"Tidak juga, Ma." jawab Rendy cepat.

"Ya sudah, ayo pulang. Aku ambil barang belanjaanku dulu." kata Kanaya yang berlari ke tempat kasier.

"Akhirnya, aku menemukanmu papa. Lihat saja, aku akan buat kamu sadar jika kita berdua punya kemiripan. Dan nanti, kau akan mencari tahu sendiri siapa aku dan mama." ucap Rendy penuh tekad.

Malam harinya, Rendy sibuk video call dengan neneknya di kampung. "Keadaan di sini baik-baik saja, nek. Besok aku sudah masuk sekolah." Kata Rendy sambil tersenyum ke arah kamera.

"Benarkah itu? Kanaya tidak membuat cucu nenek repot kan?" tanya nenek Rendy dari seberang telepon.

"Iya, Nek."

Di lain sisi, Kanaya menyilangkan kedua tangannya sambil menatap Rendy yang sedang video call dengan ibunya. Kanaya menatap tajam, memberi kode agar Rendy tidak mengadu hal aneh.

'Awas saja jika dia mengadu, aku benar-benar akan meninggalkan sendirian di sini.' guman Kanaya dalam hati.

'Tatapan mama ku terasa menusuk sampai ke hati. Apa yang ada di pikirannya?' guman Rendy dengan tersenyum manis.

Setelah selesai video call, Rendy kembali membuka laptop kesayangannya. Kanaya memilih menyetrika pakaian atau seragam Rendy yang dia dapatkan tadi.

"Ingat, Rendy. Kau itu anak mama, harus belajar rajin dan buat mama mu bangga. Kalau sampai kau nakal, aku akan membunuhmu. Kau mengerti?" tanya Kanaya.

"Iya, Ma." jawab Rendy dengan jari-jari kedua tangan sibuk mengetik.

'Akhirnya aku masuk, tinggal melacak lokasi papa.' guman Rendy yang berhasil masuk ke arsip perusahaan Bintang group. Dari situ Rendy menemukan nomor ponsel Gilang dan mulai melacak lokasi Gilang.

"Kafe Wins, bukannya itu dekat dari sini, Ma?" tanya Rendy.

"Iya, lalu kenapa?"

"Kalau begitu, aku pergi keluar dulu. Mama tidak perlu ikut." teriak Rendy yang sudah berlari sambil membawa laptop miliknya.

Kanaya terkejut, dia dengan cepat bangkit berusaha mengejar Rendy. Tetapi tenaga dan energi Rendy cukup kuat untuk berlari cepat.

"Anak itu, kenapa dia tiba-tiba pergi. Kan bahaya kalau di luar malam-malam begini. Bagaimana jika ada orang yang menculik anak geniusku?" ucap Kanaya yang berpikir.

"Tidak boleh, Rendy adalah harta satu-satunya milikku. Dia lebih berharga dari hidupku. Aku akan di bunuh hidup-hidup oleh ibu." Kata Kanaya yang menutup pintu kosannya kemudian berlari menyusul Rendy. Kanaya bahkan sampai lupa membawa ponselnya dan mengunci pintu kosan.

"Dia pergi ke kafe Wins kan?" ucap Kanaya yang berlari menyusul Rendy. Kebetulan, kafe Wins tidak jauh dari lokasi kosan Kanaya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!