Sebuah mobil mewah berwarna biru terang berjalan pelan di permukiman desa nelayan yang jalanannya sudah berupa coran semen. Lebar jalannya tidak selega jalan raya sebelum masuk ke desa.
Masuknya si mobil mewah yang pastinya punya harga mahal, cukup menarik perhatian warga yang berada di sekitar rumah-rumah panggung moderen. Namun, perhatian mereka hanya sekilas, lagi pula mereka tidak tahu siapa pengemudi mobil itu. Kacanya terlalu bagus untuk ditembus mata.
Pada akhirnya, mobil yang hanya berkapasitas empat orang itu berbelok masuk ke halaman rumah yang sudah rapi oleh susunan bata konblok. Itu sebuah rumah besar dengan dua lantai. Berbeda dari rumah kebanyakan yang ada di desa nelayan itu.
Rumah besar mewah bercat kuning gading itu memiliki dua pohon kelapa pada kanan dan kirinya, serta satu pohon mangga di halaman depan. Halamannya yang terbilang luas dikelilingi pagar semen setinggi dada orang dewasa dengan pintu pagar yang terbuka lebar. Memang seperti itu kondisinya jika siang hari, maksudnya jika mobil hendak keluar masuk tidak perlu repot-repot turun membuka pintu pagar.
Di halaman itu ada dua mobil yang terparkir, satu minibus warna merah maroon dan satunya lagi mobil pick up hitam. Di bagian depan kanan rumah adalah garasi yang bisa muat dua mobil.
Terlihat ada beberapa lelaki sedang bekerja di sisi kiri halaman. Mereka sedang menyortir udang-udang besar berdasarkan ukurannya.
Tit tit!
Pengemudi mobil biru terang membunyikan klakson dua kali ketika memasuki halaman tanpa hambatan. Klaksonnya bermaksud memberi tahu bahwa “Saya datang”.
Semua orang pun jadi menengok memandangi mobil yang datang. Mereka kerutkan kening dalam pandangannya yang serius. Sebab, mereka tidak mengenal mobil milik siapa itu. Setahu mereka, di kampung nelayan itu tidak ada warga yang memiliki mobil mewah warna biru terang seperti itu.
Suharja Gendara sebagai tuan besar di rumah tersebut, juga tidak mengenali mobil siapa itu.
“Siapa itu, Ambo?” tanya Suharja kepada salah satu karyawannya.
“Tidak tahu, Ji,” jawab Ambo Dalle, seorang pemuda beristri satu, dengan menyebut majikannya “Ji” yang merupakan singkatan dari “Pak Haji”.
Klaksonan mobil itu juga membuat seorang wanita kurus paruh baya keluar dari dalam rumah. Sebab, jarang-jarang mobil yang datang membunyikan klakson. Wanita yang rambutnya diikat sederhana kuncir kuda itu mengenakan daster kembang-kembang lengan pendek. Wanita bernama Sunirah itu juga kerutkan kening, tanda ia juga tidak mengenal mobil milik siapa itu.
Namun, siluet dari kaca depan dengan jelas menunjukkan bahwa pengemudi mobil itu adalah seorang wanita berkaca mata hitam.
Jleg!
Ketika terdengar suara pintu mobil dibuka, semua mata segera fokus memandang. Mereka semua ingin melihat makhluk apa yang akan keluar dari dalam mobil.
“MasyaAllah!” pekik Tahang si pemuda bujang, ketika melihat kaki putih mulus bersepatu warna merah cerah dan mengkilap tersiram cahaya matahari.
Selanjutnya muncullah seraut wajah cantik berkulit putih bersih bergincu merah membara, begitu cantik dengan kaca mata hitam. Rambutnya lurus pendek seleher yang semua helainya berwarna kuning seperti orang bule, bukan seperti terpanggang matahari. Dua antingnya bukan lagi emas, tapi permata biru terang, yang akan bersinar ke mana-mana jika kena tembak cahaya matahari.
Setelah wanita muda itu menutup pintu mobilnya, terlihat jelaslah seorang bidadari memakai rok pendek beberapa centi di atas lutut dengan pakaian berwarna biru navy.
“Hallah! Itu mah Vina,” kata Suharja setelah mengenali anak sulungnya tersebut. Lalu bentaknya kepada para karyawannya, “Awas kalau kalian cuci matanya kelamaan! Lanjutkan kerja!”
Ambo Dalle, Tahang, dan dua pemuda lainnya segera menghentikan perhatian mereka dan kembali melanjutkan kerjanya. Namun, sesekali mereka melirik atau menengok, terlebih ketika Suharja sudah berjalan pergi mendatangi wanita cantik yang bernama lengkap Vina Seruni binti Suharja Gendara itu.
Sebagai warga kampung nelayan tersebut, apalagi mereka yang masa kerjanya di rumah itu lebih dari tiga tahun, sangat mengenal Vina yang tiga tahun lalu tiba-tiba menghilang.
“Ya Allah Vinaaa!” jerit Sunirah heboh karena begitu gembira melihat kepulangan putri sulungnya. Ia berjalan cepat untuk lebih dulu menyongsong putrinya yang sudah tertawa gembira pula.
“Emaaak!” sebut Vina sambil berjalan merentangkan kedua tangannya.
“Hahaha! Kenapa enggak kasih-kasih kabar kalau kamu mau pulang, Nak?” tawa dan tanya Sunirah sambil memeluk erat putrinya yang beraroma harum parfum mahal produk dalam negeri.
“Kalau kasih kabar dulu, pasti enggak diizinkan Bapak,” jawab Vina sambil memandang kepada Suharja yang sudah berdiri di dekat mereka.
“Kamu pulang enggak bawa masalah, kan?” tanya Suharja.
“Bawa, Pak,” jawab Vina sambil beralih memeluk ayahnya. Lalu katanya lagi, “Kalau saya enggak pulang ke sini, bisa mati bunuh diri saya, Pak.”
“Ah, kalau bicara itu yang benar!” hardik Suharja sambil menyentil pelan kening putrinya yang pernah memiliki banyak masalah.
“Hahaha! Saya bercanda, Pak. Selain rindu bikin masalah, saya juga mau istirahat dari urusan perusahaan,” kata Vina yang sudah melepaskan pelukannya pada ayahnya.
“Baru datang saja kau sudah buat masalah. Tahang sudah senang saja melihat kakimu yang mulus itu,” kata Suharja.
“Iya, nanti saya pakai celana panjang, Pak. Saya berangkat ke sini langsung dari kantor, enggak pulang lagi ke rumah,” kilah Vina.
“Ayo masuk, Nak!” ajak Sunirah.
“Di mobil ada ole-ole, Mak. Suruh Bang Ambo saja yang ambil, mobilnya enggak saya kunci,” kata Vina.
“Iya, biar Ambo yang ambil,” kata Suharja. “Bapak selesaikan kerjaan Bapak dulu.”
“Iya, Pak,” ucap Vina.
Sunirah dan Vina Seruni lalu berjalan menuju pintu rumah.
“Ambo, Tahang, ambil barang-barang di mobil Vina. Bawa ke dalam!” teriak Suharja sambil berjalan menuju ke meja kerjanya lagi.
“Iya, Ji!” sahut Ambo Dalle dan Tahang bersamaan.
Keduanya segera bangkit lalu mencuci sebentar tangan yang usai memegang-megang udang. Mereka pergi ke mobil Vina.
Di pintu, Vina disambut pula oleh adik kecil perempuannya yang bernama Vivi Milenia dan adik perempuan ayahnya yang bernama Murni.
“Uuuh, tambah besar sekali!” komentar Vina saat memeluk adiknya yang berusia 12 tahun.
“Kak Vina kok tambah cantik, wangi banget lagi?” komentar Vivi pula.
“Namanya juga bos minyak wangi, yang harus cantik dan wangi,” jawab Vina.
“Kalau bos minyak wangi, boleh dong saya dapat,” kata Vivi.
“Pastinya,” ucap Vina sambil tertawa. Lalu tanyanya, “Ferdy ke mana, Mak?”
“Latihan bola,” jawab Sunirah.
“Tapi masih sekolah?” tanya Vina lagi.
“Sudah enggak. Mau jadi pemain bola profesional katanya. Dia itu mainnya sudah tingkat kabupaten loh, Nak,” jawab Sunirah.
“Wuih, keren. Anak desa nelayan bisa tembus ke tingkat itu,” puji Vina.
“Vivi, sana mandi. Sebentar lagi waktunya ngaji!” perintah Sunirah.
“Iya, Mak,” ucap Vivi patuh. Lalu katanya kepada sang kakak, “Minyak wanginya saya minta dua loh, Kak.”
“Iya, asalkan ngajinya rajin,” kata Vina.
“Alhamdulillah. Rezeki anak saleh,” ucap Vivi.
“Anak salehah,” ralat Murni.
“Hihihi!” tawa Vivi sadar dengan kesalahan istilahnya. Ia lalu berlari kecil masuk ke dalam lebih dulu.
Para wanita dewasa itu sudah masuk ke ruang tamu yang memiliki dua set kursi sofa warna merah dan kuning.
“Vivi ngaji sama Ustaz Barzanzi?” tanya Vina menerka, sambil bergerak hendak duduk di sofa.
“Ngaji di rumahnya Ustaz Rudi,” jawab Murni.
Penyebutan nama itu seketika membua ekspresi wajah Vina berubah hening, sehening pantai di kala subuh. Penyebutan nama itu langsung membawanya kepada ingatan masa lalu. Namun, ada yang aneh baginya.
“Ustaz Rudi siapa?” tanya Vina serius, ia tidak mau salah menduga orang.
“Bekas pacarmu,” jawab Murni, ketika Sunirah lebih memilih diam jika menyangkut perkara ustaz tersebut.
“Hah! Rudi jadi ustaz?” pekik Vina dengan mimik yang benar-benar terkejut, seakan tidak percaya mendengar jawaban bibinya itu. (RH)
Taman Ikan adalah tempat ternama yang menjadi favorit anak-anak muda pesisir Kalianda untuk menghabiskan waktu sambil memandangi panorama laut yang menyejukkan. Meja-meja berpayung lebar warna-warni banyak tersebar di tanah berpasir pantai. Area itu diperindah oleh banyaknya patung-patung ikan yang warna-warni di sana dan di sini.
Nongkrong di Taman Ikan juga menjadi tempat bagi para remaja dan pemuda adu gengsi, karena mereka dengan bangga menunjukkan tingkat kelas pergaulan mereka, dari kendaraan, gaya berpakaian, hingga jenis makanan dan minuman yang mereka konsumsi di tempat itu.
Panggung lagu-lagu slowrock menjadi musik penghibur bagi telinga dan hati para pengunjung.
Vina Seruni berjalan dari parkiran masuk ke area pantai yang menjadi kuasa Taman Ikan. Selalu dia tampil cantik dengan balutan pakaian warna pink dengan celana putih pendek. Ada tas selempangan menyilang di badannya, membuat tonjolan dada sekalnya begitu menggoda.
Dengan kunci motor masih tersangkut di jari telunjuknya, Vina mengedarkan pandangannya mencari Rudi Handrak, kekasihnya.
Ia dan Rudi sama-sama anak desa nelayan, tetapi mereka tidak datang bersama. Rudi sudah lebih dulu berada di Taman Ikan bersama dua sahabatnya yang bernama Aziz dan Sandro yang bernama asli Candra Petta.
“Vina Sayang!” panggil satu suara lelaki tiba-tiba.
Vina cepat menengok ke sumber panggilan. Dilihatnya Rudi yang duduk di salah satu meja pantai, sedang melambai kepadanya. Rudi bersama dua sahabatnya yang tadi telah disebutkan namanya.
Seperti biasa, Rudi Handrak tampil keren dengan jaket khasnya yang berwarna biru navy. Ia mengenakan pet model copet orang Barat klasik atau topi ala pelukis warna hitam. Itu jenis topi mahal dengan merek ternama.
Sambil tersenyum lebar, Vina balas melambai dan segera mendatangi ketiga pemuda yang dikenalnya akrab.
“Sudah pada habis segelas rupanya,” kata Vina saat melihat tiga gelas yang sudah tinggal menyisakan secenti minuman warna kuning bening di gelas kaca masing-masing.
Vina tahu bahwa itu bukan minuman berenergi, tetapi “bir sesep” yang kepanjangannya adalah “bir sepoi-sepoi”. Itu terbukti dengan adanya tiga botol plastik tanpa merek yang menjadi wadah samaran.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Taman Ikan menyediakan minuman beralkohol, tetapi dalam kemasan botol air mineral. Warnanya kuning bening seperti minuman berenergi. Meski dilarang oleh pihak berwenang dan hukum, tetapi kekuatan uang masih menjadi perisai pamungkas.
Tanpa sungkan, Vina memeluk dan mencium satu pipi Rudi sebagai salam perjumpaan. Namun, kepada Aziz dan Sandro cukup tos tinju.
Vina duduk di kursi yang kosong. Rudi menyodorkan sisa minuman bir sesepnya. Tanpa ragu, Vina meminum seteguk minuman itu, meski dia tahu itu adalah minuman haram.
Bir sesep telah menjadi standar gengsi di kalangan anak muda. Siapa yang minum bir sesep, maka dia akan dipandang sebagai “anak bergaul”. Bagi pemuda yang memandang bir sesep adalah minuman yang haram, maka dia akan dicap “anak rumah” alias anak yang alim. Anak muda “zaman now” justru merasa kurang nyaman jika disebut “anak rumah”.
Namun, tidak perlu khawatir, Taman Ikan membatasi banyaknya bir sesep yang dijual kepada satu orang. Itu dilakukan agar konsumen tidak sampai ke tahap mabuk.
Rudi Handrak sendiri adalah seorang pemuda tampan dengan gaya rambut sedikit gondrong. Sejauh ini, dia adalah seorang pengangguran yang gaya hidup dan jajannya mengandalkan uang dari orangtuanya. Meski demikian, itu tetap membuatnya bangga karena harta orang tuanya tidak akan habis karena dia memilih menganggur.
Adapun sosok Aziz berambut keriting dengan tubuh agak gemuk. Sementara Sandro adalah pemuda yang lebih berotot. Dia seorang pemuda pekerja keras, tetapi sangat akrab dengan Rudi dan Aziz.
“Habis dari sini, kita pergi nonton bola di Rajabasa,” ujar Rudi kepada Vina, merujuk nama stadion yang dimiliki oleh kecamatan daerah itu. “Biar motormu dibawa Aziz.”
“Tapi nanti pulang, saya langsung pulang ke rumah, Rud. Saya ada kerjaan dari kampus,” kata Vina.
“Tak apalah itu. Yang penting gembiranya dapat, seriusnya juga dapat,” kata Sandro yang mengambil alih hak jawab Rudi.
“Cantik sekali sayangku,” puji Rudi seraya tersenyum dan mencubit mesra bibir Vina dengan jarinya, bukan dengan giginya.
Tersipu malulah Vina dipuji seperti itu.
“Pesan sana, biar Rudi yang bayar,” suruh Aziz kepada Vina.
“Tidak usahlah. Biar mesra, saya berbagi gelas saja sama Rudi,” kata Vina, membuat Aziz hanya tertawa.
“Lebih baik cepat lamar Vina, Rud. Biar bisa berbagi sarung pula,” celetuk Sandro.
“Hahaha!” Meledaklah tawa mereka.
Tring ning nong! Tring ning nong!
Mendadak terdengar nada dering panggilan satu hp. Vina segera membuka tasnya dan merogohnya. Sejenak dia lihat nama nomor yang meneleponnya.
“Hallo! Hei, Mal!” sapa Vina dengan wajah sumringah yang tersenyum lebar.
Rudi Handrak hanya diam memandangi pacarnya menelepon. Ia menduga bahwa Jamal yang sedang menelepon pacarnya. Api cemburu tiba-tiba menyeruak di dalam dadanya, sebab beberapa hari yang lalu dia melihat dari jauh Vina berjalan bersama dengan Jamal pulang dari pelelangan.
“Saya dari kemarin mau telepon kamu, tapi nomor kamu enggak aktif terus. Enaknya sih kamu ke rumah saya. Enggak mungkinlah kamu ajarin saya lewat telepon,” kata Vina.
Sejenak gadis itu terdiam mendengarkan kata-kata di dalam hp-nya. Ia lalu bangun berdiri dan agak menjauh dari Rudi dan lainnya.
Tindakan Vina itu membuat Rudi kian tidak nyaman, terlihat dari ketegangan ekspresi wajah dan sorot matanya yang menajam. Aziz memandang kepada Sandro, memberi kode mata tentang gelagat yang ditunjukkan oleh Rudi.
Sebagai sahabat dekat, Rudi selalu curhat kepada Aziz dan Sandro, termasuk rasa cemburunya yang timbul setelah melihat Vina jalan bersama Jamal beberapa hari yang lalu.
“Rud!” panggil Sandro pelan kepada Rudi.
Namun, Rudi tidak mengalihkan pandangannya dari Vina yang tertawa-tawa dengan teleponnya sambil memandang ke lautan. Suara tawa Vina seolah-olah menjadi silet-silet yang sedang menyayati hati Rudi.
“Rudi!” panggil Sandro lagi sedikit lebih keras.
Rudi mengalihkan pandangannya kepada Sandro.
“Jangan cemburu buta, kamu belum tanya Vina tentang Jamal itu, kan?” kata Sandro mengingatkan.
Rudi tidak langsung menjawab. Ekspresi kemarahan sangat tergambar di wajahnya. Ia lalu menuang sisa bir sesep ke gelasnya. Diteguknya minuman itu hingga habis.
“Enggak, enggak akan ada pembunuhan di sini,” kata Rudi kepada Sandro dengan tatapan yang tajam.
Sebagai orang yang sudah sangat hapal dengan watak dan kepribadian Rudi, Aziz dan Sandro hanya lepaskan napas masygul. Itu artinya akan terjadi sesuatu.
“Iyalah, Mal. Biasalah orang cantik. Hahaha!” ucap Vina lalu tertawa lepas. “Jadi deal nih ya? Nanti malam saya tung … akk!”
Tiba-tiba kata-kata bernada riang Vina berubah menjadi pekikan tertahan yang terkejut, karena hp yang dipegangnya tiba-tiba dirampas oleh seseorang.
“Rudi, apa yang kamu buat?!” teriak Vina marah bukan main. Dia sangat tidak suka terhadap perbuatan Rudi yang tiba-tiba datang merampas hp-nya, padahal dia sedang menelepon.
Pekikan Vina yang kencang itu seketika menarik perhatian para pengunjung yang lain.
“Cewek murahan kamu, Vina!” maki Rudi dengan sepasang mata yang merah menyeramkan. Ketampanannya seketika seolah-olah berubah menjadi wajah vampir yang sedang murka.
Terkesiap Vina mendapat sebutan “cewek murahan”, apalagi di depan publik seperti itu. Seketika hatinya tersakiti dan ingin menangis.
Tiba-tiba Rudi melempar jauh hp di tangannya ke arah laut.
“Rudi!” teriak Vina yang lebih cenderung kepada bentakan marah.
Dengan jelas gadis itu melihat hp-nya masuk ke air laut.
“Beberapa hari yang lalu, saya lihat kamu jalan berdua dengan Jamal. Saya cemburu, tapi saya masih berbaik sangka. Sekarang, kamu ketawa-ketawa teleponan sama Jamal di depan mata saya. Kamu pikir saya pacar batu yang tidak bisa marah kamu perlakukan seperti ini, hah?!”
Rudi langsung melampiaskan latar belakang kemarahannya.
Ternyata, kemarahan dan tindakan Rudi itu justru menyulut kemarahan Vina pula.
“Aaa!” jerit Vina campur tangisan, sambil tiba-tiba dia mendorong keras dada Rudi.
Rudi terdorong dan jatuh terduduk dia pasir pantai yang kering.
“Saya dan Jamal enggak ada hubungan cinta apa-apa. Saya hanya minta diajarkan tugas kuliah. Dasar lelaki kanker! Di hp saya itu ada data tugas-tugas penting saya, tapi kamu malah buang ke laut! Lelaki otak arang kamu, Rudi!” semprot Vina dengan penuh emosi kepada Rudi yang sejenak duduk terdiam mendengarkan amarah dan makian Vina.
Perasaan Rudi seperti dilempar granat mendengar disebut “lelaki kanker” dan “lelaki otak arang”. Sebutan lelaki kanker sering Vina tujukan untuk mengejek orang yang kerjanya hanya bergantung kepada orang lain. Namun hari ini, ejekan itu Vina tempelkan ke jidat Rudi.
“Cewek murahah ikan *****!” maki Rudi sambil buru-buru bangun dan hendak menyerang Vina.
“Aaa!” jerit Vina sambil agak membungkuk dan mamasang kedua tangannya untuk melindungi wajah dan kepalanya, karena Rudi bergerak hendak menonjoknya.
“Jangan, Rudi!” bentak Azis yang ternyata cepat menghadang pergerakan sahabatnya yang sudah gelap mata.
“Bukan laki-laki namanya kalau memukul perempuan!” bentak Sandro pula sambil menarik Rudi agar jauh dari Vina.
“Hiks hiks hiks ...!”
Terdengar Vina menangis.
Para pengunjung yang lain segera berdatangan untuk mengamankan situasi. Dua orang pihak keamanan Taman Ikan juga mendatangi Rudi dan memarahinya atas tindakan buruknya.
“Saya enggak sudi punya pacar lelaki otak arang! Huuu …!” teriak Vina histeris.
Sambil menangis, Vina pergi ke tepian ombak pantai untuk mengambil hp-nya. Setelah menemukan hp-nya di dalam air asin, Vina memungutnya kemudian berlari pergi menuju ke area parkiran.
Rudi hanya diam dimarahi oleh sahabatnya sendiri dan keaamanan yang berbadan besar-besar.
Itulah pertengkaran yang menjadi awal keretakan hubungan asmara antara Rudi Handrak dan Vina Seruni tiga tahun yang lalu. (RH)
Brak!
“Mati saya!” pekik Junita terkejut bukan main, ketika pintu kamarnya tahu-tahu dibuka kasar oleh Vina.
Ingin dia langsung memarahi sahabat satu kuliahannya itu karena tidak ketuk pintu lebih dulu. Pasalnya, dia jadi ketahuan sedang menonton video porno di laptopnya.
Namun, Junita lebih terkejut lagi melihat wajah Vina yang sembab dengan mata yang merah dan berair. Jelas bahwa putri Haji Suharja Gendara itu sudah menangis sejak tadi.
“Eh eh, kamu kenapa, Vin?” tanya Junita heran, sampai lupa menyembunyikan layar monitor yang sedang beradegan wik wik.
Vina tidak langsung menjawab. Sembari sesegukan dia sempat melirik ke layar laptop sahabatnya itu, membuat Junita tersadar lalu segera menutup laptopnya begitu saja. Vina tidak terkejut melihat hal itu. Ia sudah tahu bahwa Junita sesekali suka menonton film biru kebiru-biruan seperti itu. Maka tidak heran kalau sekarang ini Junita sudah tidak perawan lagi.
“Saya ribut sama Rudi,” ucap Vina lirih.
“Bukannya sudah sering. Lima tahun loh kamu sama Rudi pacaran, sudah enggak kehitung berapa banyak kalian bertengkar,” kata Junita.
“Tapi kali ini dia keterlaluan sekali, Ta,” kata Vina, bernada agak lebih keras, menunjukkan bahwa ia pun marah selain sedih.
“Apanya yang keterlaluan?” tanya Junita sambil beringsut lebih mendekati Vina yang duduk bersimpuh di lantai. Ia meletakkan kedua tangannya di paha putih sahabatnya itu dan menatap serius wajah becek tersebut.
“Di Taman Ikan, di depan banyak orang, saya dimaki-maki. Dibilang cewek murahan ikan pe-rek. Sakit sekali hati saya dibilang seperti itu, Ta. Biasanya dia kalau marah cuma main ngambek, enggak sampai main tangan ….”
“Main tangan?” ucap ulang Junita seraya kerutkan kening. Ia butuh penjelasan lebih jelas apa yang dimaksud dari “main tangan” itu. “Kamu ditampar sama Rudi?”
“Hampir. Hiks hiks …,” jawab Vina, lalu kembali menangis sesegukan mengingat kejadian di Taman Ikan.
“Sudah, sudah,” ucap Junita sambil menarik kepala Vina ke dalam pelukannya. Ia mencoba menenangkan wanita cantik itu.
“Hp saya dia rampas lalu dilempar ke laut. Beberapa data penting tugas kuliah saya file-nya ada di hp ini,” kata Vina lalu menggeletakkan ponselnya begitu saja di lantai berkeramik kuning itu.
“Kalau itu kamu kan bisa buat ulang,” kata Junita. “Memangnya apa yang membuat Rudi sampai semarah itu?”
Vina melepaskan diri dari pelukan Junita yang juga dengan ikhlas melepaskan.
“Dia cemburu saya teleponan dengan Jamal di depannya. Padahal saya sama Jamal enggak ada hubungan apa-apa. Saya hanya minta dibantu mengerjakan tugas kuliah. Kenapa sampai cemburu separah itu?”
“Sudah enggak apa-apa, nanti juga dia telepon kamu lagi dan minta maaf. Kan biasanya dia begitu. Setahu saya, selalu Rudi yang minta maaf duluan kalau kalian ribut, padahal terkadang kamu yang salah,” kata Junita.
“Saya sudah enggak peduli lagi sama dia. Terserah dia mau minta maaf atau enggak, mau terus pacaran atau putus, saya enggak peduli lagi. Yang saya permasalahkan itu hp saya mati, data tugas saya hilang. Kalau mau diulang lagi, butuh waktu sebulan lagi,” kata Vina yang sudah reda kembali tangisnya.
“Coba kamu tanya Dendi. Dia kan ngontrak di kontrakan kamu. Hp Rani aja yang parah bisa dibenarin sama dia. Paling ujung-ujungnya uang rokok saja sama tukaran nomor,” kata Junita.
“Ooh, dia ngerti urusan hp?” tanya Vina yang baru tahu. Ia seolah menemukan senter di saat tidak ada listrik.
“Dia itu IT di PT Udang Garuda. Dia ngerti urusan laptop, hp dll. Mendingan buruan tanya ke dia, siapa tahu kalau cepat, hp kamu masih bisa dikasih napas buatan,” kata Junita lagi.
“Tapi, jam segini dia ada?” tanya Vina.
“Biasanya dia pulang jam lima sore,” jawab Junita sambil berpaling melihat ke jam dinding. “Lima menit lagi. Tapi muka kamu dikasih selai cokelat dulu, biar enggak kelihatan habis nangis begitu.”
“Iya.”
Maka, dengan berbekal info dari Junita itu, Vina segera pergi ke kontrakan milik keluarganya. Orangtua Vina memiliki sepuluh pintu kontrakan yang letaknya berjarak lima rumah dari rumah Vina. Orang yang mengontrak di sana rata-rata orang yang sudah berkeluarga. Tiga di antaranya bukan keluarga. Satu dari yang tiga adalah Dendi, seorang pemuda yang mengontrak sendirian.
Dendi bukan warga asli desa nelayan tersebut. Dia dari luar Provinsi Lampung. Karena pekerjaanlah yang membuatnya harus tinggal di dekat perusahaan. Dan didapatnya tempat tinggal di kontrakan Haji Suharja Gendara. Sudah hampir satu tahun dia mengontrak di desa nelayan tersebut.
Karena urusannya mendesak, Vina tidak pakai acara pulang dulu ke rumahnya, meski dekat dari kontrakan. Ia sempat merias ulang wajahnya di rumah Junita agar tidak terlihat sembab dan layu.
Vina memarkirkan motornya tepat di depan pintu sebuah kontrakan di antara lima pintu yang berderet. Ia tahu yang mana kontrakan Dendi. Saat itu pintu kontrakan terbuka dan ada sepasang sepatu lelaki di depan pintu. Terlihat gorden jendela kacanya tertutup.
“Assalamu ‘alaikum!” salam Vina di depan pintu, tanpa berani melongokkan kepala di pintu yang terbuka separuh.
“Wa ‘alaikumussalam!” sahut satu suara lelaki dari dalam.
Beberapa hitungan kemudian, tak kunjung ada orang yang keluar dari dalam. Namun kemudian, ada pertanyaan.
“Siapa? Masuk saja, saya lagi tanggung!” sahut suara lelaki yang ada di dalam.
“Saya Vina, anak Haji Suharja,” jawab Vina sambil dengan perlahan melongokkan kepalanya untuk melihat ke dalam.
Ternyata, lelaki yang ada di dalam sedang berjongkok melakukan sesuatu terhadap kabel-kabel di belakang perangkat komputernya.
Saat melihat cahaya dari luar tertutupi oleh bayangan, lelaki yang masih berseragam kerja itu segera menengok dengan tangan terulur jauh memegangi kabel yang sedang dibalutnya dengan isolatif.
Lelaki yang masih muda dan terbilang ganteng itu terkejut dalam hati, bahkan jantungnya terhentak, lantaran ketika menengok, yang dilihatnya langsung sepasang kaki yang putih bersih hingga paha yang mulus. Saat itu, Vina masih mengenakan celana pendek warna putih.
Namun, buru-buru pemuda itu melihat ke atas, dia tidak mau diduga jelalatan oleh si pemilik paha. Ternyata di atas lebih cantik lagi. Selain melihat wajah yang cantik di dalam temaram karena membelakangi sumber cahaya, ia juga melihat busungan dada yang aduhai.
“Vina putri Pak Haji?” terka pemuda itu segera, khawatir salah mengenali, meski tadi Vina sudah memperkenalkan diri sebelum masuk. Ia berusaha bersikap wajar, meski di dalam hati perasaannya berbunga-bunga karena kedatangan perempuan cantik.
“Iya, Bang.”
“Sebentar, lagi tanggung,” kata pemuda yang memang adalah Dendi. Nama lengkapnya Dendi Gunadi.
“Iya, Bang. Enggak apa-apa.”
“Masuk. Duduk. Maaf kalau berantakan, maklum kontrakan bujangan,” ucap Dendi sambil fokus memandangi kabel yang sedang diurusnya.
Vina lalu duduk di lantai. Pasalnya, di ruang depan kontrakan yang sempit itu hanya ada satu meja buat komputer dan satu kursi. Selebihnya adalah barang-barang yang tersusun di pinggiran, beberapa bahkan terkesan berantakan. Ada juga beberapa benda elektronik yang tersusun.
Setelah menggunting isolatif pada kabel, Dendi pun selesai. Dia berdiri sejenak, lalu menengok dan tersenyum kepada Vina. Dalam posisi dirinya berdiri dan Vina duduk, sekilas Dendi mencoba mencuri pandang pada leher baju Vina, memandang gumpalan bersih yang sedikit mengintip.
“Ada perlu apa, Vin?” tanya Dendi yang sejatinya tidak begitu akrab dengan putri pemilik kontrakan itu. (RH)
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!