Salah satu rumah dipemukiman yang tidak terlalu padat penduduk, seorang gadis sedang mencuci piring di dapur. Ia membersihkan wadah bekas makan sarapan pagi. Ya, rutinitas seperti ini sering dilakukannya karena sejak lulus kuliah tata boga ia hanya menetap di rumah milik kedua orang tuanya 24 jam penuh.
Annisa Aulia, gadis berusia 24 tahun dengan tinggi 160 cm itu bukannya tidak ingin mencari pekerjaan. Namun, kedua orang tuanya melarangnya untuk bekerja jauh dari tempat tinggal asalnya karena khawatir dengan keselamatan putri satu-satunya di keluarga mereka.
Annisa pernah mendapatkan tawaran bekerja di sebuah toko roti namun jarak toko tersebut sangat jauh dari tempat tinggalnya sehingga orang tuanya melarangnya keras. Akhirnya dirinya pasrah di rumah dan hanya menunggu seorang pria melamarnya.
"Kak!" teriak seorang remaja berusia 17 tahun menghampirinya.
"Ada apa?" tanya Annisa ketus.
"Ada cowok tampan!" jawab remaja bernama Geo.
Annisa menautkan alisnya.
"Kak Nisa 'kan suka lihat cowok tampan di hape," celetuknya.
"Di kota ini mana ada cowok tampan seperti para selebritis itu!" Annisa mengoceh.
"Ada, Kak."
"Aku tidak percaya!"
"Ih, Kakak tidak percaya dengan aku!"
"Kamu sering bohong, aku tidak percaya dengan omongan dirimu!"
"Kali ini aku berkata jujur!"
"Yakin?" Annisa menyipitkan matanya.
"Iya, Kak."
"Memangnya di mana kamu lihat cowok tampan itu!"
"Di televisi!"
Annisa mendengus.
Geo tertawa nyengir, "Aku bercanda, Kak!"
"Kamu memang tidak pernah serius!" decak-nya.
Geo kembali menyengir, "Sekarang Kakak buat teh untuk tamu ayah!"
"Berapa orang tamunya?"
"Satu."
"Baiklah, aku akan membuatnya!"
Geo pun berlalu.
Annisa membuatkan 3 cangkir teh buat kedua orang tuanya dan seorang tamu.
Annisa membawa cangkir teh menggunakan nampan, tanpa menatap terlalu lama tamunya ia pun menyajikannya.
"Dia ini putri kami namanya Annisa," ucap Adam memperkenalkan putrinya.
Pria itu hanya mengangguk.
"Nisa, duduklah!" titah Adam.
Annisa pun duduk bersama kedua orang tuanya dan tamunya.
Tanpa sengaja tatapan mata keduanya saling bertemu pandang.
Annisa dengan cepat menunduk dalam hatinya berkata, "Benar juga dikatakan Geo, dia memang sangat tampan."
"Nisa, Nak Azzam ini yang akan membeli rumah Paman Amin," jelas Adam.
Annisa mendongakkan wajahnya, "Hah, apa!" pekiknya.
Pukulan tak terlalu keras mendarat di pahanya, "Kecilkan suaramu itu!" lirih Yuni.
Annisa tersenyum nyengir.
Azzam hanya tersenyum samar.
"Jadi, dia akan menjadi tetangga kita, Yah?"
"Iya."
Annisa tersenyum senang mendengarnya.
"Azzam ini mempunyai dua anak," jelas Adam.
"Jadi, dia sudah menikah," ucap Annisa.
"Iya, saya seorang duda," ujar Azzam.
"Oh."
"Saya juga ingin mencari seorang pengasuh," ungkap Azzam.
"Nisa bisa menjaga mereka," Yuni dengan cepat menyahut.
"Ibu, aku tidak bisa mengurus dan merawat anak-anak," bisik Annisa.
"Ibu yakin kamu bisa," ucap Yuni.
"Jika Nisa mau menjaga dan mengawasi anak-anak, saya akan memberikan gaji sebesar dua juta," ujar Azzam.
"Nisa mau, Nak Azzam!" Yuni malah yang mengiyakan.
"Bu, aku belum setuju," lirih Nisa.
"Kapan kamu akan membeli rumah kakak saya?" tanya Adam.
"Insya Allah, besok saya akan kemari dan membayarnya," janji Azzam.
"Baiklah," ucap Adam.
"Kalau begitu, saya permisi," pamit Azzam beranjak berdiri.
Adam dan Yuni pun berdiri.
"Assalamualaikum," ucapnya.
"Waalaikumussalam," jawab Adam dan Yuni.
Azzam berjalan ke arah mobilnya yang terparkir di halaman rumah Pak Adam.
"Ibu, kenapa main setuju saja menerima tawaran darinya?" Annisa protes selepas mobil Azzam menghilang dan Adam tidak ada di ruang tamu.
"Daripada kamu menganggur lebih baik bekerja sebagai pengasuh," jawab Yuni.
"Bu, mengasuh anak itu butuh keahlian," terang Annisa.
"Anggap saja, kamu lagi latihan," ucap Yuni asal.
"Bu, aku tidak mau menjadi pengasuh anaknya!" Annisa menolaknya tegas.
"Nisa, ini pekerjaan yang sangat menyenangkan. Rumah kita dengan dia hanya beberapa langkah saja. Kamu tidak perlu mengeluarkan uang untuk beli bensin atau sekedar beli alat make-up tuk memoles wajahmu."
"Bu, bagaimana jika anaknya itu nakal?"
"Kamu harus sabar dan lemah lembut," jawab Yuni.
"Bu, aku tidak sanggup!"
"Nisa, kamu itu gadis yang lemah lembut dan sabar. Buktinya anak tetangga dan para keponakan betah denganmu," ujar Yuni.
"Karena aku sering bertemu dan bermain dengan mereka," jelas Nisa.
"Nah, justru itu lama kelamaan anak-anak itu juga akan nurut denganmu!"
"Bagaimana jika aku tidak betah?" tanya Annisa.
"Ibu yakin kamu pasti betah."
****
Keesokan harinya, Azzam datang dengan dua orang pria dan seorang wanita serta 2 balita.
Azzam lantas memperkenalkan orang-orang yang datang bersamanya.
Selain ayahnya Annisa ada beberapa orang penting yang berpengaruh di lingkungan tempat tinggal Annisa yang akan menjadi saksi jual beli rumah milik pamannya yang sekarang menetap di luar negeri.
Setelah transaksi pembayaran selesai, Azzam memperkenalkan 2 orang putrinya kepada Annisa dan Yuni. "Ini putri pertama saya, namanya Zania," mengelus rambut balita berusia 4 tahun yang tangannya digenggam seorang wanita muda yang merupakan sepupu dari Azzam.
"Cium tangan Bibi dan Nenek, Nia!" titah wanita muda itu dengan lembut.
Zania menarik kasar tangan Annisa dan mencium punggung tangannya dengan wajah ketus.
"Nia, jangan seperti itu!" wanita muda bernama Lili itu mengingatkan.
"Aku tidak suka dia!" Nia berkata tegas.
Annisa terhenyak melihat bocah perempuan yang ada dihadapannya blak-blakan mengatakan tidak suka. Namun, ia mencoba melemparkan senyuman.
"Maafkan dia," ucap Azzam.
"Namanya juga anak kecil, kami maklum. Lama-lama Annisa dan Zania cepat akrab," ujar Yuni.
"Zania sangat cerewet, semoga kamu bisa sabar dalam menghadapinya," tutur Lili.
Annisa tak berkata namun hanya tersenyum.
"Ini adiknya Zania, namanya Zadya!" Azzam memperkenalkan bayi berusia 8 bulan yang digendongannya.
Yuni meraih tubuh balita itu dan menggendongnya, "Cantik!" pujinya.
Zadya memperhatikan wajah Yuni dan melemparkan senyum lucunya.
"Sepertinya Zadya menyukai kami," ujar Annisa sembari melirik Zania yang menurutnya menggemaskan sekaligus menyebalkan.
"Zadya memang lebih cepat akrab dengan orang lain," jelas Azzam.
"Oh begitu," ucap Yuni.
"Kapan kalian akan pindah, Kak?" tanya Lili kepada Azzam.
"Kemungkinan besok atau lusa kami akan pindah," jawabnya.
"Aku tidak mau pindah, Pa!" ucap Zania.
"Kamu harus ikut Papa, Nak!" kata Azzam.
"Aku mau tinggal dengan Oma!" Zania berkata lagi.
"Papa tidak bisa jauh darimu," Azzam berucap dengan lembut.
Annisa sedikit membungkuk lalu berkata, "Jika kamu di sini, Bibi akan mengajakmu bermain. Di belakang rumah ini ada kolam ikan, apa kamu ingin lihat?"
"Tidak!" jawabnya dengan suara tinggi.
Annisa cukup kaget dengan suara lantang balita itu. Ia menarik nafasnya, berusaha tetap tenang.
"Bagaimana kalau Tante ikut melihat kolam ikan bersama kamu?" Lili menawarkan diri kepada Zania.
"Iya, aku mau kalau Tante ikut!" ucapnya.
"Ayo!" ajak Annisa dengan ramah.
Ketiganya pun pergi ke belakang rumah.
"Apa Bibi yakin Nisa bisa mengasuh anak-anak saya?" tanya Azzam pada Yuni.
"Kamu tenang saja, saya yakin Nisa mampu mengasuh mereka," jawabnya.
Byuur...
Diiringi suara teriakan...
Yuni dan Azzam saling pandang dengan cepat keduanya berjalan ke belakang rumah.
Annisa kini berdiri dengan pakaian basah, hingga menampakkan lekuk tubuhnya.
Zania tak hentinya tertawa.
Lili seperti kebingungan karena jadi merasa bersalah.
"Apa yang terjadi?" tanya Azzam.
"Zania mendorong Nisa ke kolam, Kak." Jelas Lili.
"Nia!" bentak Azzam.
Zania terdiam, menundukkan kepalanya dan mulai menangis.
"Saya tidak apa-apa, kok. Dia tak sengaja," Nisa berkata berbohong berjalan mendekati Zania.
"Cepat minta maaf!" perintah Azzam.
"Aku tidak mau!" Zania malah berlari ke arah depan rumah.
Azzam lantas mengejar dan meraih tubuh putri pertamanya lalu menggendongnya. "Maafkan Papa, sayang!"
Nia menangis sesenggukan di bahu papanya.
"Dia yang akan menjagamu dan Zadya selama papa bekerja," jelas Azzam lembut.
"Aku mau mama, Pa." Isaknya.
"Sudah berapa kali Papa bilang, jangan pernah tanyakan mama kamu!" Azzam menjelaskan dengan lembut.
"Aku rindu mama, Pa."
Azzam menghela nafasnya.
"Aku tidak mau tinggal di sini!" ucapnya lagi.
"Papa yakin suatu hari kamu akan betah tinggal di sini."
Yuni dan Lili datang menghampiri papa dan anak itu.
"Bibi, sampaikan permintaan maaf saya kepada Nisa atas perlakuan Nia kepadanya," ujar Azzam.
"Saya akan sampaikan," ucap Yuni.
"Kalau begitu kami pamit," Azzam mengambil alih gendongan Zadya dari wanita berusia 52 tahun itu.
Yuni mengiyakan.
"Assalamualaikum," ucap Azzam dan Lili sebelum pergi.
"Waalaikumussalam," jawab Yuni.
Annisa keluar dari kamar setelah berganti pakaian.
"Mereka sudah pulang," ujar Yuni melangkah ke dapur.
Annisa mengikuti ibunya, "Belum bekerja, aku telah dibuat begini."
"Kamu harus sabar, dia hanya butuh kasih sayang seorang ibu maklum kedua orang tuanya telah berpisah," terang Yuni.
"Tapi, aku bukan ibunya."
"Anggap saja kamu ibunya," ujar Yuni.
"Ibu ini selalu ngomong anggap saja!"
"Nisa, kalau bekerja itu harus ikhlas pasti pekerjaanmu akan menjadi lebih ringan."
"Bagaimana jika tidak sanggup?"
"Ibu yakin kamu itu wanita yang lemah lembut dan sabar," jawab Yuni tersenyum.
Sementara itu, Azzam dan keluarganya masih dalam perjalanan. Zania duduk di kursi penumpang sebelah papanya.
"Papa tidak mau kamu melakukan hal seperti tadi!" Azzam mengingatkan putrinya.
"Iya, Pa."
"Apa Kakak yakin jika Annisa bisa menjaga dan merawat mereka?" tanya Lili.
"Aku juga tidak tahu, semoga Annisa mampu bertahan. Karena sangat sulit mencari seorang pengasuh," jawab Azzam.
"Kenapa Kakak tidak mencari rumah dekat dengan Paman Harja?" tanya Lili lagi.
"Karena aku tidak mau Tria mengambil anak-anakku, ku berharap kalian tak memberitahu dia."
"Kami janji tidak akan memberitahunya," ucap Lili.
Begitu sampai rumah dan mengucapkan salam, Zania berlari dan memeluk Oma Lita. "Aku tidak mau pindah!"
Lita mengelus rambut cucunya, "Oma akan bicara kepada Papa kamu, ganti pakaianmu dan pergilah tidur."
Zania mengiyakan, lalu berlari ke kamarnya.
Lita berdiri dari tempat duduknya dan mendekati putranya. "Zania tidak ingin pindah, apa kamu tetap dengan keputusanmu?"
"Iya, Ma."
"Jika kamu mau, dekat dari sini ada rumah yang dijual. Tapi, kenapa kamu memilih rumah yang sangat jauh dari kantormu?"
"Ma, aku tidak ingin selalu tergantung pada kalian. Rumah di sini sangat mahal dan ku tak sanggup membelinya. Uangku hanya cukup membeli rumah yang ada di pinggiran kota," ungkap Azzam.
"Tapi, kamu lihat Zania. Dia tak ingin pindah, kamu jangan egois!"
"Ini salah satu cara agar Tria tak mengambil mereka dariku, Ma."
"Dia mamanya, apa salahnya mereka dekat dan bersama?"
"Ma, aku masih sakit hati padanya. Dia berselingkuh dan mengusirku dari rumah itu. Dia juga tak mau mengurus buah hati kami, empat bulan ku berjuang merawat Zania dan Zadya. Sampai sekarang dia tak pernah menanyakan kabar darah dagingnya. Aku takut jika sewaktu-waktu dia datang mengambil anak-anakku!" terangnya.
Lita hanya menghela nafasnya. Penjelasan yang dilontarkan putranya itu memang benar.
"Aku mohon Mama membujuk Zania agar mau pindah," ucap Azzam.
"Mama akan bantu membujuknya, tapi kamu jangan lupa untuk mengunjungi kami," ujar Lita.
"Aku akan sempatkan waktu untuk mengunjungi Mama dan Papa," janjinya.
-
-
Malam harinya...
Zania menikmati makan malam bersama papa, oma dan opanya. Balita 4 tahun itu begitu lahap menikmati makanan kesukaannya.
"Oma ingin tahu seperti apa rumah baru papa kamu," Lita membuka percakapan.
"Opa juga ingin tahu," sambung Harja.
"Rumahnya jelek!" ucapnya ketus dan asal.
"Kata Papa kamu ada kolam renangnya," tutur Lita.
"Iya, tapi aku tidak suka," ucapnya lagi.
"Bukankah kamu senang berenang?" tanya Harja.
"Aku suka berenang, Opa. Tapi, rumah itu terlalu jauh dari sini, ku mau ingin tinggal bersama mama," jawabnya.
"Kita tidak bisa tinggal bersama mama lagi, Nia." Azzam akhirnya bersuara.
"Kenapa, Pa?" tanyanya.
Ketiga orang dewasa itu saling pandang.
"Suatu hari kamu akan mengerti," ucap Azzam.
"Mengerti apa?" tanyanya lagi.
"Nia, habiskan ayam gorengnya!" Lita mengalihkan pertanyaaan cucunya.
****
Keesokan harinya menjelang pukul 10 pagi, Azzam dan beberapa orang yang menyangkut barang-barangnya tiba di rumah miliknya.
Opa dan Oma memandangi rumah pembelian putranya yang tidak terlalu besar namun memiliki halaman depan dan belakang yang cukup luas.
"Kamu yakin tinggal di rumah sebesar ini hanya bersama Zania dan Zadya?" tanya Lita.
"Tidak, Ma."
"Lalu kamu akan tinggal dengan siapa?" tanya Harja.
"Annisa."
"Siapa dia?" Lita bertanya lagi.
"Dia yang akan mengasuh kedua putriku, rumahnya hanya beberapa meter dari sini. Selama aku bekerja mereka berdua akan bersamanya," jelas Azzam.
"Apa kamu yakin dia mampu menjaga anak-anakmu? Apa dia pernah punya pengalaman mengurus dan merawat balita? Apa dia sudah menikah? Tak mudah mengatur dan merawat Nia." Cecar Lita.
"Dia belum punya pengalaman mengurus anak-anak tapi ku yakin dia mampu, Ma."
"Mama takut jika mereka diasuh oleh orang yang tidak memiliki kasih sayang," ujar Lita.
"Percaya padaku, Ma."
Lita menarik nafasnya lalu berkata, "Baiklah, Mama percaya padamu."
"Aku akan memperkenalkan gadis yang akan mengasuh anak-anak pada kalian," ujar Azzam.
Kedua orang tuanya Azzam mengiyakan.
Selesai berberes dan mengisi furniture rumah. Azzam dan kedua orang tuanya berjalan ke arah rumah Annisa dan keluarganya.
Kediaman orang tuanya Annisa hanya berjarak 3 rumah dari rumahnya Azzam.
Begitu sampai Azzam dan kedua orang tuanya mengucapkan salam. "Assalamualaikum!"
Menunggu beberapa detik akhirnya ada jawaban dari sang pemilik rumah. "Waalaikumussalam!" Adam muncul dari arah kamarnya.
Azzam dan kedua orang tuanya melemparkan senyumnya.
"Mari masuk!" Adam membalas senyuman dan mempersilakan tamunya.
Azzam dan kedua orang tuanya lantas duduk.
"Sebentar saya akan panggilkan istri dan membuat minuman," ujar Adam.
"Tidak usah, Pak. Jangan repot-repot, kami juga takkan lama," ucap Harja.
"Saya jadi segan tak menyuguhkan minuman kepada tamu," jelas Adam.
"Kami memang tak berlama-lama, Pak. Zania dan Zadya tidak kami bawa," Azzam turut menjelaskan alasan papanya menolak disuguhkan minuman.
"Baiklah kalau begitu, saya akan panggilkan istri," ujar Adam. Ia lalu pergi ke dapur memanggil Yuni.
Tak lama kemudian ia keluar dengan Yuni, wanita paruh baya memakai khimar.
Adam dan istrinya duduk bersama dengan ketiga tamunya.
"Pak Adam, Bu Yuni, mereka ini kedua orang tua saya," Azzam memperkenalkan Harja dan Lita.
Keempatnya saling mengangguk dan tersenyum.
"Ma, Pa, Pak Adam ini adalah kakak Pak Amin rumah yang aku beli dan putrinya mereka yang akan menjaga Zadya dan Zania," jelas Azzam.
"Di mana dia? Mama ingin bertemu," ucap Lita.
"Annisa baru saja pergi ke pasar," jelas Yuni.
"Apa Mama akan menunggunya?" tanya Azzam.
Lita sejenak berpikir lalu berkata lembut, "Tidak usah."
"Kemungkinan Nisa pulang dari pasar sedikit lebih lama, karena dia lagi bantu sepupunya yang akan mengadakan hajatan," tutur Yuni.
"Kalau begitu, kami pulang saja. Lain waktu juga akan berjumpa," ujar Lita berdiri dari duduknya.
"Ya," ucap Yuni.
Azzam dan Harja juga mengikuti Lita.
"Pak, Bu, kami pamit," ujar Azzam.
"Ya, Nak Azzam," ucap Adam.
"Assalamualaikum," ucap Azzam.
"Waalaikumussalam," jawab Adam dan istrinya.
Ketiganya pun berjalan ke rumah Azzam.
"Gadis yang akan mengasuh Zania dan Zadya yang ada di foto itu?" tanya Lita.
"Iya, Ma."
Ketiganya tadi sempat melihat figura yang terpampang di dinding ruang tamu. Foto Annisa bersama kedua orang tuanya dan adiknya ketika kelulusannya sekolah tata boga.
"Cantik juga," puji Lita.
Azzam hanya tersenyum tipis.
"Kapan kamu dan anak-anak akan pindah ke sini?" tanya Harja.
"Besok, Pa. Tapi kalian juga harus menginap di sini beberapa hari, aku ingin membuat acara sebagai perkenalan kepada tetangga," ungkap Azzam.
"Baiklah, Papa setuju," ucap Harja dan diiyakan Lita.
Jam 3 sore, Azzam dan kedua orang tuanya kembali ke rumah. Rencananya besok pagi atau siang mereka akan kembali ke rumah yang dibeli Azzam.
Begitu Azzam sampai dikediaman kedua orang tuanya, mereka telah disambut tatapan marah dari Zania.
"Kenapa Papa lama sekali pulangnya?" omelnya.
"Maafkan, Papa. Tadi, kami sibuk memasukkan barang-barang ke rumah kita," jelas Azzam.
"Aku tidak mau tinggal di sana, Papa!" Zania menunjukkan wajah cemberut.
"Kamu pasti akan terbiasa tinggal di sana, Nia," jelas Azzam lagi.
Zania kembali berkata, "Aku tetap tidak mau, Pa!"
Azzam menarik nafasnya lalu ia hempaskan. "Hari ini Papa sangat lelah," ia melewati putrinya yang masih diam berdiri.
Lita mendekati cucunya, "Papa kamu sangat capek, main bersama Oma saja 'ya!" ajaknya.
"Aku tidak mau main, Oma." Zania berlari ke dalam.
Lita menghela nafas, ia dan suaminya saling pandang.
"Butuh waktu untuk menjelaskan kepadanya," ujar Harja.
****
Sudah sebulan ini, Azzam jarang ke kantornya karena kesibukannya mencari rumah.
Tepat jam 10 pagi, Azzam beserta anak-anaknya pindah ke rumah yang ia beli. Tentunya ada kedua orang tuanya serta beberapa saudara yang turut mengantarnya.
Sesampainya di rumah tersebut, mereka berkeliling melihat-lihat. Lelah menjelajahi tempat baru Azzam, keluarga serta saudara dari kedua orang tuanya menikmati makan siang bersama dengan bekal yang di bawa dari rumah masing-masing.
Mereka membawa makanan dari rumah masing-masing karena Azzam baru saja pindah dan belum sempat berbelanja kebutuhan dapur.
Selesai makan siang beberapa saudara berpamitan pulang tersisa kedua orang tuanya Azzam, adik perempuan Harja berusia 45 tahun serta keponakan Lita dari kakak kandungnya berusia 25 tahun dan 2 orang asisten rumah tangga yang memang sengaja dibawa.
Selepas beberapa saudara pulang, Lita, iparnya serta keponakannya pergi berbelanja ke pasar terdekat yang memang buka sampai sore hari.
Mereka berbelanja beberapa kebutuhan untuk makan malam serta membeli sembako buat acara syukuran memasuki rumah baru.
Kini tinggal Azzam, kedua putrinya, papanya serta 2 orang ART yang membereskan piring kotor dan membersihkan rumah.
"Aku mau ke rumah Pak Adam. Papa mau ikut?"
"Boleh juga," jawabnya.
"Ya sudah, ayo kita ke sana!" Azzam lalu menggendong putrinya.
Harja berjalan sambil menggandeng tangan cucunya.
"Assalamualaikum," ucap Azzam.
"Waalaikumussalam," Adam muncul dari arah ruang tamu. " Azzam, Pak Harja, silahkan masuk!" lanjutnya.
Azzam, kedua putrinya dan Harja pun masuk.
"Ada perlu apa, ya?" tanya Pak Adam.
"Saya kemari ingin meminta Pak Adam untuk mengundang beberapa warga datang ke acara syukuran rumah baru saya besok siang," jelas Azzam.
"Besok siang, ya?"
"Ya, Pak. Makan siang bersama, perkenalan saya sebagai warga baru," jelas Azzam lagi.
Yuni datang membawa 3 cangkir teh hangat lalu ia suguhkan kepada tamunya tampak juga Annisa berada di belakangnya dan duduk bergabung dengan Azzam.
"Nisa, bawa Nia dan Zadya main!" perintah Yuni kepada putrinya.
"Iya, Bu. Ayo Nia, Dya," gadis itu menerima Zadya dari Azzam.
Zania terpaksa mengikuti Annisa dan Zadya.
Mereka kini berada di halaman belakang rumah Adam.
"Kenapa membawa kita ke sini, Bi?" tanya Zania.
"Duduklah!" Annisa mendaratkan bokongnya di kursi yang memang tersedia di pinggir kolam ikan milik ayahnya.
Zania duduk di sebelah Annisa.
"Bibi ingin mengobrol denganmu," ujarnya.
"Mengobrol apa?" tanya Zania.
"Banyak sekali!" jawabnya.
"Aku tidak suka berbicara dengan orang asing terlalu lama," ketus Zania.
"Astaga, ini bocah kenapa mulutnya lancar banget bicaranya seperti usia delapan belas tahun," Annisa membatin.
"Apa yang ingin Bibi bicarakan?"
"Boleh Bibi tanya sesuatu?"
"Tanya apa?"
"Kenapa kamu sangat cantik?"
Zania tersenyum begitu manis ketika Annisa melontarkan pertanyaan yang memujinya.
"Ih, dia malu!" Annisa menggoda.
Zania memegang pipinya yang memerah lalu menundukkan kepalanya karena menahan malu.
"Kamu sangat cantik, pasti mamamu sangat cantik!"
"Mama memang sangat cantik, dia selalu berdandan dan memakai pakaian yang begitu bagus bukan seperti Bibi," ceplosnya.
"Ini bocah memang ingin di jitak, aku harus sabar!" Annisa bermonolog.
"Tapi, Mama sekarang jahat. Dia tak mau menemui aku dan Zadya lagi," Zania menundukkan kepalanya dengan mata berkaca-kaca.
"Kenapa Mama Nia tak mau bertemu kamu?"
"Itu karena......"
"Nia, Dya, ayo pulang!" Azzam sedikit berteriak.
"Papa kamu sudah memanggil, nanti lagi kita mengobrolnya," ujar Annisa.
"Iya, Bibi." Zania lalu berlari menghampiri papanya.
Annisa berjalan ke arah Azzam dan menyerahkan Zadya.
"Besok lusa jam delapan pagi, saya akan memberikan daftar tugas yang akan kamu lakukan. Saya tidak ingin kamu terlambat meskipun rumah kita berdekatan," ucap Azzam.
"Baik, Pak."
Azzam tersenyum singkat lalu membalikkan tubuhnya berjalan ke arah ruang tamu.
****
Keesokan harinya, selesai sarapan Yuni berpamitan kepada putrinya dan putranya. "Ibu mau ke rumah Azzam."
"Mau apa ke sana, Bu?" tanya Geo.
"Ibu mau membantu keluarganya masak-masak buat acara nanti siang," jawab Yuni.
"Wah, makan enak dan gratis nih," celetuk Geo.
Sebuah tangan mendarat di kepalanya Geo tak terlalu kuat, "Tak tahu malu, mau makan gratis saja!" Annisa menggerutu.
Geo hanya tersenyum nyengir, "Aku belum bekerja, Kak. Kalau mendengar ada makanan gratis, agak semangat begitu!"
"Sekolah yang benar, baru kerja!" ucap Yuni. "Kalian, jangan bertengkar selama ayah dan ibu pergi!" lanjutnya.
"Memangnya ayah ke mana, Bu?" tanya Annisa.
"Lagi mengundang warga buat acara Azzam," jawab Yuni.
"Oh."
"Ibu berangkat, ya." Pamit Yuni.
"Iya, Bu." Ucap kedua anaknya.
"Kakak tidak ke sana?"
"Tidak."
"Bukankah Kakak pengasuh anak-anaknya tetangga baru kita?"
"Aku belum bekerja," jawabnya.
"Kapan mulai bekerja?"
"Lusa."
"Wah, akhirnya Kak Nisa dapat pekerjaan. Jangan lupa traktir aku makan, ya!" celetuk Geo.
"Makan aja pikiranmu, lihat badanmu makin melebar mana ada cewek yang mau dengan cowok sepertimu!" ledek Annisa.
"Pasti ada, Kak. Walaupun gendut tapi wajahku seperti aktor," Geo berkata dengan bangga.
Annisa tergelak.
"Kita lihat saja nanti, pasti banyak cewek yang mengejarku apalagi kalau uangku banyak!" Geo berkata membanggakan diri.
"Jangan kebanyakan tidur, cepatlah bangun. Nanti kamu kesiangan!" Annisa berkata sembari menahan tawa.
"Mimpi itu berawal dari tidur, Kak!"
"Iya, aku tahu. Cepat selesaikan sarapanmu, ku mau mencuci piring. Jangan lupa bersihkan kolam ikan dan kasih makan ayam," ujar Annisa.
"Iya, Kak. Nanti aku minta uang, ya."
"Uang dari mana aku?"
"Uang Kakak yang dikasih ayah."
"Uangku tinggal sepuluh ribu," ucap Annisa.
"Minta dua ribu aja, ya."
"Iya, nanti ku kasih. Jangan lupa kerjakan apa yang disuruh!"
"Siap, Kakakku!"
Annisa pun pergi ke dapur bersiap mencuci piring bekas makan sarapan pagi keluarganya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!