New York adalah sebuah kota terpadat di Negara Amerika Serikat. Dengan populasi mencapai lebih dari 8 juta orang, dengan luas wilayah 784 kilometer persegi. Kota yang mendapat julukan 'Big Apple' Ini terbagi menjadi 5 wilayah, yaitu Manhattan, Bronx, brooklyn, statten island, dan queens. Sebagai markas PBB, pusat bisnis, budaya, hiburan, mode, di Amerika Serikat, New York juga mendapat julukan 'Kota Yang Tidak Pernah Tidur'.
Di dalam kota yang terkenal dengan ikon patung liberty itu, di sebuah gedung megah dan mewah sebuah hotel ternama, sedang di gelar sebuah pesta pernikahan.
Seorang wanita cantik, sedang duduk sendirian menatap lurus ke depan, sebuah pelaminan mewah sangat indah untuk di pandang oleh ratusan pasang mata yang menjadi tamu undangan.
Wanita itu tersenyum kecut, saat melihat sang adik tengah tertawa bahagia. Menyalami tamu-tamu yang hadir, silih berganti. Ini adalah tawa bahagia sang adik yang pertama kalinya, wanita berusia 25 tahun itu, selama ini hanya menjadi wanita rumahan yang tidak suka berbaur, bahkan hampir tidak pernah melihat dunia luar.
Sedangkan dirinya harus menutup kedua telinga atas gunjingan para tamu undangan. Dia yang memang usianya 10 tahun lebih tua dari sang adik, justru masih betah dengan status lajang.
"Hei, lihat itu, Adeline di langkahi adiknya sendiri. Padahal usia mereka terpaut cukup jauh, 10 tahun. Apa dia tidak malu dengan statusnya yang masih lajang?"
"Iya, padahal dia tidak kalah cantik dan seksi. Menurutku, dia terlalu sibuk mengurus bisnisnya, sampai lupa mencari pendamping. Sekarang, dia sudah hampir tua, mana ada yang mau dengan perawan tua sepertinya,"
"Biarkan saja, dia itu wanita keras kepala. Pernah hampir di jodohkan dengan putraku yang tampan saja menolak mentah-mentah. Biarkan saja dia merasakan hidup sendiri seumur hidupnya,"
Masih banyak lagi bisik-bisik para tamu undangan yang hadir di tempat itu. Mereka yang hadir adalah tamu yang berasal dari relasi bisnis sang ayah.
Wanita itu memutuskan untuk keluar dari tempat itu, berjalan menuju Rooftop gedung yang terdapat di hotel mewah tersebut. Dia berdiam diri disana, menatap deretan gedung pencakar langit yang berjejer rapi.
Lampu-lampu dari deretan gedung, hingga jalanan yang menghiasi malam. Serta langit malam yang gelap tanpa bintang, seakan langit mengerti akan perasaannya saat ini.
"Kenapa, nasibku harus seperti ini?" tanyanya pada diri sendiri.
Wanita dengan gaun berwarna merah menyala itu, melepaskan ikatan rambut yang tertata rapi. Menggerai rambut panjang berwarna hitam itu dengan tangannya, kemudian menjambak kasar rambutnya sendiri, sebagai pelampiasan atas rasa sakit di hatinya.
Dia tidak punya satupun orang untuk berkeluh kesah. Hanya diri sendiri yang menjadi sahabat paling mengerti, menjadi satu-satunya yang setia menyemangati. Dia sadar, jika bukan dirinya sendiri yang mencintai, mau siapa lagi?
Lagipula, umurnya sudah hampir mencapai kepala 4. Dia bukan lagi remaja yang harus memiliki teman cerita, ataupun teman yang akan terus berada di sampingnya.
Dia sudah mandiri sejak usianya yang terbilang cukup muda, merintis karirnya seorang diri, ketika memasuki usia 25 tahun. Dengan dana yang dia kumpulkan sendiri atas kerja kerasnya selama ini.
"Tenanglah, Adeline! Ini bukan akhir dari segalanya. Kebahagiaan Grasiella lebih penting untuk sekarang," ujarnya menenangkan diri.
Wanita itu memejamkan matanya, menarik nafas sedalam mungkin, agar hatinya merasa relax lalu menghembuskan nafasnya dengan perlahan. Tiba-tiba, seseorang menyentuh bahu wanita tersebut.
Reflek wanita itu membuka matanya, lalu membalik badan. Seorang pria menggunakan setelan tuxedo berwarna biru muda, berdiri dengan raut wajah tanpa rasa bersalah.
"Ada apa?" tanya Adeline pada sang adik.
Pria itu mendengus kesal, sang kakak selalu bersikap seperti itu padanya. "Acara sudah selesai, Kak, kau mau ikut pulang, atau merecoki malam pertama Grasiella?" Adik bungsunya itu bukan hanya menjawab, melainkan membalik pertanyaan yang bermuatan sindiran untuknya.
Tanpa berniat menjawab sindiran sang adik, Adeline melangkah pergi dari tempat itu, meninggalkan adiknya yang hanya bisa merutukikebodohannya sendiri. Pria itu bukan takut jika sang kakak marah, tetapi takut jika kemarahan sang kakak, akan berakibat buruk pada jatah jajannya. Selama ini, Adeline yang sering kali ia repotkan dengan perkara uang.
Kembaran dari Grasiella itu menepuk keningnya sendiri, lalu segera berlari menyusul langkah sang kakak. Beruntung dia memang lebih tinggi, jadi langkahnya yang jenjang bisa menyusul sang kakak dengan cepat.
Sulung dari tiga bersaudara itu menghampiri sepasang pengantin yang sudah turun dari pelaminan. Keduanya tengah duduk di sebuah kursi sambil memakan cake dengan cara yang tidak biasa. Mereka saling menyuapi satu sama lain tanpa memikirkan setiap orang yang lalu lalang disana.
Meskipun banyak orang yang memaklumi karena keduanya memang merupakan sepasang pengantin yang baru saja mengucapkan janji suci pernikahan. Namun, tetap saja, seharusnya Grasiela bisa menghargai sang kakak yang sudah memberinya izin untuk menikah lebih dulu.
"Ehm,"
Deheman Zico mengalihkan perhatian Grasiela yang tengah menyuapi sang suami dengan cake yang di ambil dari satu piring yang sama dengannya. Perempuan cantik dengan gaun berwarna putih mendominasi itu menoleh ke samping. Di sana dia melihat Kakak sulung serta kembarannya berdiri dengan senyum tipis di bibirnya.
"Kak Elin, Zico, kalian dari mana? Ela mencari kalian sejak tadi," ujar perempuan bergaun indah itu polos.
Grasiela memang tipe seseorang yang tidak bisa menilai sesuatu hanya melalui perasaannya saja. Perempuan itu harus mendengar sendiri bagaimana perasaan orang-orang di sekitarnya. Terlalu tertutup dan tidak mengenal teknologi apapun membuatnya tumbuh menjadi seseorang yang datar.
"Cari angin, Kak. Biar kita enggak kemasukan jin," kelakar Zico yang langsung mendapatkan pelototan mata dari Adeline.
Bersambung...
Adeline memutuskan untuk tidak kembali ke mansion besar ayahnya. Sejak rencana pernikahan sang adik, perempuan itu sudah bertekad untuk menjalani kehidupan seorang diri. Dia juga ingin menepi dari keluarganya sendiri.
Kini sulung dari tiga bersaudara itu sedang dalam perjalanan menuju sebuah bar yang menjadi tempatnya meraup pundi-pundi penghasilannya selama ini. Adeline sengaja ingin tinggal di tempat itu agar tidak hidup bersama seseorang yang tega memberinya kesakitan sedalam ini.
"Sudahlah, El, tidak perlu terlarut dalam kesedihan. Pria brengs*k itu bukan siapa-siapa lagi untukmu!" Adeline memukul stir mobilnya pelan seraya memejamkan kedua matanya sesaat. "Sekarang, fokuslah pada bisnismu! Bukankah sejak dulu inilah yang kamu inginkan?" tanyanya kepada diri sendiri.
Perempuan cantik dengan tubuh molek itu keluar dari mobil saat sudah sampai di bar miliknya. "Keluarkan barang-barangku di bagasi, antarkan ke kamarku." Adeline melempar kunci mobilnya pada anak buahnya yang tengah bertugas.
"Baik, Nona." Pria yang berprofesi sebagai bodyguard di tempat itu menurut tanpa sedikitpun bertanya.
Ketika masuk ke dalam bar, setiap orang yang mengenalinya dengan gembira menyapa. Kedatangan sang pemilik tempat hiburan malam itu sering kali di tunggu-tunggu oleh beberapa pria yang ingin berkenalan dengan wanita cantik itu.
Namun, Adeline sama sekali tidak memperdulikan sapaan dari para pelanggannya itu. Dia ingin segera sampai di kamar agar dapat beristirahat. Tubuhnya sudah sangat lelah, apa lagi beban di hatinya ketika menyaksikan sang adik yang harus melangkahinya lebih dulu.
"Arg! Sepertinya aku harus beristirahat secepatnya. Tubuhku terasa lebih lelah dari biasanya, padajal aku hanya mengunjungi pesta pernikahan Ela." Adeline menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang berukuran besar miliknya.
Ketukan di pintu mengganggu Adeline yang sudah hampir terlelap. Perempuan itu sejenak memijat pelipisnya yang terasa berdenyut lalu bangkit untuk membukakan pintu kamarnya.
"Ah, kau ternyata. Bawa masuk koperku itu, taruh saja disana." Adeline menunjuk satu sudut ruangan.
"Baik, Nona." Bodyguard itu masuk lalu menaruh dua koper berukuran besar milik bosnya di tempat yang sudah di tunjuk. "Saya permisi, Nona." Dia kembali melangkahkan kaki untuk keluar dari kamar pemilik tempat tersebut.
"Erik, tolong sampaikan pada Maya bahwa malam ini sampai besok, aku tidak mau ada gangguan apapun!" perintah si bos kepada bodyguardnya.
Bodyguard itu hanya merespon perintah dari Adeline dengan anggukan kepala lalu segera keluar dari kamar perempuan yang merupakan atasannya.
Setelah kepergian si bodyguard Adeline segera menutup kembali pintu kamarnya. Perempuan itu melangkah gontai menuju ranjangnya. Melepaskan Hells yang terpasang dengan indah di kaki mulusnya lalu merebahkan tubuhnya di ranjang.
Beberapa kali Adeline mencoba untuk memejamkan matanya, akan tetapi tidak berhasil. Memori otaknya justru membawanya pada ingatan ketika pria yang sangat di cintai malah memberinya luka yang begitu dalam.
Tepatnya seminggu yang lalu, adeline baru saja pulang dari rutinitasnya bekerja di sebuah bar yang berhasil dia rintis dari bawah.
"Ini mobil siapa?" monolog Adeline ketika melihat sebuah mobil yang asing untuknya.
"Selamat malam, Nona." Seorang satpam menyapa Adeline dengan ramah.
"Malam, Pak. Oh iya, ini mobil siapa?" tanyanya pada satpam yang menyapanya.
"Ini mobil tamu, Non. Saya juga asing sama tamunya. Dari wajahnya sepertinya bukan orang sini," jawab si satpam.
Adeline mengangguk mengerti. "Ya udah, Saya masuk dulu, Pak. Jaga rumah baik-baik, yah! Kemarin saya lihat sesuatu disana." Adeline menunjuk sebuah pohon besar yang berada di sudut halaman untuk menggoda satpam tersebut.
"Ah, Non Elin. Jangan nakut-nakutin, Non." Satpam itu menatap sekeliling yang terlihat sepi.
"Masa satpam penakut, sih!" hina Adeline disertai tawa riang.
Tawa renyah Adeline membuat si satpam sadar bahwa dirinya tengah di kerjai oleh putri sulung bosnya itu. "Dasar, Non Elin selalu saja hobi mengerjai saya," keluh si satpam dengan wajah lesunya.
Adeline pergi meninggalkan satpam yang berhasil dia kerjai. Perempuan cantik dengan rambut panjang tergerai indah itu berjalan dengan wajah datar. Masalah yang menimpa hubungannya dengan sang kekasih membuat pikirannya kalut, sehingga berdampak pada pekerjaannya.
"Jadi, kalian berasal dari Indonesia?"
"Iya, kami berasal dari Indonesia, Tuan."
Suara yang tidak asing terdengar oleh telinga Adeline. Perempuan itu sampai menghentikan langkah agar memperjelas suara yang berasal dari ruang tamu.
"Wah, tidak disangka kita akan kedatangan tamu dari jauh, Mah."
"Iya, Pah. Mama merasa tersanjung,"
Adeline menggelengkan kepala. "Mungkin aku hanya salah dengar," ujarnya lalu kembali melangkahkan kakinya saat tidak lagi mendengar suara yang begitu di rindukan olehnya.
Semakin dekat dia melangkah ke ruang tamu, indra penciumannya merasakan aroma yang tidak asing. Adeline kembali menggeleng pelan. "Aku terlalu merindukan dia, sampai berhalusinasi."
Ketika memasuki ruang tamu, kedua mata Adeline membola seketika. Seseorang yang sangat dia rindukan sedang duduk di ruang tamu, berhadapan dengan kedua orang tuanya. Saking terkejut, perempuan itu sampai mematung di tempatnya. Wajah datarnya berganti dengan rona bahagia.
"Nah, itu dia. Elin sudah pulang!" teriak Monica saat melihat putri sulungnya yang berdiri di samping pilar.
Ketiga orang yang merupakan tamu di mansion besar itu menoleh ke arah yang di tunjuk si pemilik tempat tersebut. Adeline tersenyum lembut saat kedua matanya bersitatap dengan pria tercinta. Namun, pria itu tidak membalas senyuman yang di berikan oleh Adeline dan malah memalingkan wajah.
"Elin, sini, Sayang!" perintah Monica kepada putrinya.
Meskipun mendapatkan respons yang kurang baik dari si pria, Adeline masih berusaha berpikir positif. Dia mengira pria itu hanya masih merajuk padanya, apa lagi pertengkaran terakhir mereka di barnya itu berlandaskan kecemburuan.
Adeline menurut, perempuan itu segera duduk di sebuah sofa single yang berada tepat di samping tamu spesialnya. Bukannya terlihat bahagia, pria itu justru seakan malas melihat sang kekasih. Si perempuan masih berusaha memaklumi, mungkin itu karena masih ada kecemburuan yang menguasai jiwa prianya.
"Kak Rich, mereka siapa?" tanya Adeline dengan berbisik kepada kekasihnya, tatapannya mengarah pada sepasang manusia di samping sang kekasih.
"Orang tuaku," jawabnya datar.
"Oh." Adeline mengangguk-anggukan kepala. "Kenapa datang tidak memberitahu aku dulu?" tanyanya masih dengan nada lirih.
"Untuk apa memberitahu? Apa aku tidak boleh datang kemari?" tanya balik pria bernama Richard dengan nada kurang bersahabat.
"Elin, kenalan dulu sama calon adik ipar kamu."
Adeline yang semula sedang berniat menjawab pertanyaan sang kekasih, mengalihkan tatapannya kepada sang ayah. Ucapan si ayah membuat perempuan itu kebingungan.
"Maksud papa?" tanya Elin dengan wajah bingungnya.
"Iya, pria di sampingmu itu. Dia Ricardo Bima Nugraha, calon suami Grasiela. Dia datang jauh-jauh dari Indonesia untuk melamar adikmu," jelas sang ayah.
Adeline terperangah dengan apa yang baru di jelaskan oleh ayahnya. Perempuan itu diam dengan tatapan kosong, rasanya untuk bertanya kenapa saja lidahnya terasa kelu. Kedua kelopak matanya terasa memanas hingga menciptakan genangan cairan bening disana.
Bersambung…
Suara dering ponsel miliknya menarik paksa kesadaran Adeline dari lamunannya tentang sang kekasih yang kini justru menikahi adik kandungnya. Perempuan itu mengalihkan pandangannya ke atas nakas, tempatnya menaruh ponsel.
Perempuan yang masih menggunakan pakaian pesta itu dengan malas mengambil ponsel miliknya. Ketika melihat nama seseorang yang tertera di layar benda canggih itu, Adeline hanya menanggapinya berdecak lirih tanpa berniat menjawab panggilan tersebut.
Pada akhirnya adeline hanya membiarkan ponselnya berdering hingga mati karena tidak dijawab olehnya. Ketika dia berniat kembali menaruh benda pipih itu ke tempatnya semula. Muncul suara denting yang menandakan adanya pesan masuk.
"Kamu dimana?" Isi pesan singkat yang dikirim oleh Monica.
Meski dengan malas, Adeline tidak mau membuat sang ibu khawatir padanya. "Mulai saat ini, Elin akan tinggal di bar." balas Adeline dengan jelas.
Tidak ada lagi balasan dari sang ibu, akan tetapi pesan yang dikirim oleh Adeline sudah centang biru yang menandakan pesan tersebut sudah dibaca. Namun, ketika di pemilik ponsel berniat menaruh kembali benda berjuta manfaat itu ke atas nakas tiba-tiba benda itu kembali berdering.
"Mama tidak akan puas jika belum mendengar suaraku. Dia pasti berpikir yang tidak-tidak," ujarnya seraya mengusap kasar wajahnya.
"Hallo, Mah," sapa Adeline yang akhirnya mau tidak mau menerima panggilan dari sang ibu.
"Elin, kenapa mau tinggal di bar? Apakah mansion ini kurang luas sampai kau memutuskan untuk tinggal di tempat itu?" tanya Monica dengan nada cemasnya.
"Enggak, Mah. Aku cuma ingin hidup mandiri, itu saja, kok. Mama tidak perlu khawatir, tempat ini lebih aman daripada tempat-tempat yang pernah aku datangi."
"Ya sudah jika itu sudah keputusanmu, tapi besok kamu harus pulang untuk acara keluarga. Penyambutan adik iparmu yang akan ikut tinggal di mansion bersama kita," perintah si ibu dengan gamblang.
"Sudah aku duga, Kak Rich akan tinggal di mansion. Pilihanku untuk pindah ke tempat ini adalah keputusan yang paling tepat," batin Adeline disertai senyum kecut.
"Elin. Kamu dengar tidak omongan mama?" teriak si ibu yang kesal karena tidak ada jawaban dari si anak.
"Iya, Mah. Elin usahakan untuk pulang sebentar, kalau kerjaan bisa ditinggal," jawab Adeline malas.
"Jangan kecewakan adikmu, Elin. Kalau tidak, papamu pasti akan marah pada mama!* ancam si ibu.
Kesal karena orang tuanya lebih berpihak pada sang adik tanpa sedikitpun memikirkan perasaannya, Adeline memutuskan untuk mengakhiri sambungan teleponnya. Perempuan molek itu malas jika lagi-lagi harus berdebat dengan kedua orang tuanya.
Dia bahkan tidak peduli jika di seberang sana sang ibu memakinya karena tidak sopan mematikan telpon tanpa pamit. Helaan napas berat terdengar dari mulut seksi Adeline. Perempuan itu merasa takdirnya sangat miris.
Adeline bangkit lalu berjalan kearah cermin panjang yang kini menampakkan dirinya. Perempuan dengan gaun pesta merah menyala itu menatap pantulan cermin di depan. Lagi-lagi senyum kecut terukir di bibir seksinya.
"Aku tidak buruk, meskipun usiaku sudah tidak muda lagi wajahku masih terlihat cantik. Jika disandingkan dengan Grasiela, aku jauh lebih cantik, tubuhku juga lebih seksi darinya. Tapi kenapa? Kenapa takdirku seburuk ini? Aku ditinggal menikah oleh kekasihku yang tiba-tiba justru menikahi adik kandungku sendiri. Miris bukan?" racaunya dengan suara bergetar menahan tangis.
Ketika amarah itu kembali memenuhi jiwanya, Adeline menyambar sebuah vas bunga di sampingnya lalu dengan sekuat tenaga melemparkan benda itu ke arah cermin.
Suara pecahan kaca terdengar sangat keras di kamar itu. Namun, tidak ada seorangpun yang dapat mendengarnya karena kamar tersebut kedap suara.
"Apakah lebih baik ku akhiri saja hidupku malam ini?" monolognya dengan suara lirih.
Adeline berjongkok mengambil satu keping pecahan cermin yang terlihat sangat tajam di satu sudutnya. Dengan tangan kanan yang gemetar, perempuan itu menaruh pecahan cermin di lengan kirinya, tepat pada urat nadi.
Berharap dia akan m*ti dengan cepat. Cukup lama Adeline menempelkan pecahan cermin itu di lengannya. Namun, ketika dia memikirkan pengkhianat itu tiba-tiba tangan kanannya lemas. Pecahan itu terjatuh ke lantai dan kembali pecah menjadi kepingan lebih kecil lagi. Meski sebelumnya kepingan itu sudah berhasil menggores lengan mulusnya.
"Arg!" teriak Adeline dengan lantang bersamaan dengan bok*ngnya yang mendarat di lantai marmer yang dingin.
Adeline menangis sejadi-jadinya, meratapi kehancurannya seorang diri. Tanpa teman, tanpa keluarga yang menemaninya. Hanya ada darah yang mengalir dari pergelangan tangannya yang terluka. Perempuan itu menangis hingga lama-kelamaan kedua kelopak matanya tertutup sempurna dan tubuhnya yang tergeletak di lantai.
Bersambung…
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!