NovelToon NovelToon

Pengantin Pengganti

Episode 1

"Ayah ..., ampun Ayah ..., sakit ...." jerit seorang gadis yang tak lain adalah Jenni. Hampir tiap hari gadis cantik itu diamuk oleh Ayah kandungnya sendiri, Murat. Dia yang terlahir sebagai wanita begitu tak diharapkan oleh sang Ayah yang menginginkan anak laki-laki. Akibatnya dia kerap diamuk oleh sang Ayah.

Di ruangan yang sama, wanita yang bernama Aretta Libry berdiri tak jauh dari pintu kamar Jenni. Dia hanya menjadi penonton di sana. Aretta adalah Ibu sambung Jenni, juga wanita yang dulu Jenni panggil Tante saat Jenni masih kecil. Aretta dan Murat kerap menyiksa Jenni, menganggap Jenni sebagai anak pembawa sial. Boleh dikata Jenni bukanlah anak pembawa sial karena pada dasarnya tidak ada anak yang dilahirkan dengan takdir seperti itu.

"Sudah aku tegaskan! Berhenti kau memanggilku dengan panggilan Ayah!" bentak lelaki tua yang tak lain adalah Murat.

"Sayang, ayo cepat nanti kita terlambat!" Aretta mengingatkan Murat. Aretta adalah adik perempuan dari wanita yang telah melahirkan Jenni, namanya Adaline. Sejak dulu Aretta mencintai Murat, namun dia bisa memiliki Murat setelah kematian sang Kakak, Adaline.

"Tunggu sebentar, Honey. Aku harus memberinya pelajaran sebelum pergi. Dengan begitu dia tidak akan berulah lagi!"

ucap Murat yang nampak murka.

Berulah? Apa yang Jenni lakukan sehingga dia disebut berulah. Dia tidak melakukan apa-apa. Dia di kamar terus sejak semalam. Yang berulah itu Ketty, sepupu Jenni yang kini menjadi Kakak tiri Jenni.

Murat kembali melayangkan cambuk di tubuh Jenni. Jeritan ampun yang keluar dari mulut sang putri tak menghentikan Murat, justru sebaliknya. Pria itu semakin membabi buta putrinya yang malang. Merasa puas, Murat meninggalkan Jenni di kamar dalam kondisi tubuh yang babak belur. Sementara dia, Aretta dan Ketty ke suatu tempat. Mereka pergi tanpa mengajak Jenni yang malang. Jenni pun tak meminta diajak, dia justru senang ditinggalkan di rumah seorang diri.

Menangis meraung-raung, Jenni memukul dadanya yang terasa sesak. Dia tak meminta dilahirkan, dia juga tak meminta dibesarkan. Jika memang tidak menginginkan dia, kenapa mereka tidak mengusirnya dari rumah. Kenapa mereka membiarkannya tinggal di rumah mewah namun tak ada kedamaian di dalamnya.

"Mama ..., aku lelah Mama aku lelah ...." jerit Jenni seraya memukul dadanya yang terasa sesak.

Kali ini Jenni berniat kabur dari rumah. Toh dia sudah lulus sekolah. Bertahan di rumah orang tuanya juga sama saja, dia tetap akan terus diamuk. Bahkan mungkin nasibnya akan semakin menyedihkan. Hanya bermodal beberapa pakaian, juga sedikit uang tabungannya, Jenni kabur dari rumah. Dia mencari kontrakan murah untuk dia tinggal sementara waktu. Kelak, saat dia sudah menemukan pekerjaan, dia akan menyewa kontrakan yang lebih layak.

Tinggal di gang sempit, membuat Jenni tak merasa menderita. Dia senang berada di lingkungan baru. Malam menyapa, Jenni menarik langkah menuju jendela yang kebetulan terbuka, langkahnya seketika terhenti saat seorang pria tiba-tiba masuk. Jenni berniat meminta tolong namun pria yang masuk ke dalam kamarnya lebih dulu membungkam mulutnya.

Tak berapa lama terdengar langkah kaki, samar-samar terdengar seorang pria mengumpat. Mendengar itu Jenni semakin takut, ketakutannya perlahan menghilang bersamaan dengan perginya para pria di luar kamarnya.

"Maafkan aku, aku tidak bermaksud menakuti mu tapi jendela kamarmu terbuka jadi aku masuk!" lirih pria yang tidak dikenal siapa namanya itu. Dilihat dari parasnya juga postur tubuhnya, sepertinya dia pria dewasa.

"Namaku Daniel Barram, kamu bisa memanggilku Daniel." beritahu pria tadi agar Jenni tidak takut padanya.

"Kak Daniel, Kakak sepertinya terluka. A_aku tidak punya P3K di sini, ayo kita ke rumah sakit." Jenni terlihat gemetar. Walau dia tidak mengenal pria asing itu tapi luka yang terus mengeluarkan darah itu membuat Jenni takut, takut bila pria yang kini bersamanya itu meninggal di kamarnya. Jenni tidak mau masuk penjara, dia masih mau menghirup udara segar.

"Sebentar lagi, tunggu orang-orang tadi menjauh dari sini!" ucap Daniel menahan sakit.

Setelah beberapa saat bersama, Daniel mengeluarkan kartu namanya sebelum pria itu pergi meninggalkan Jenni di kontrakannya. Belum juga Jenni menutup pintu, Daniel kembali lagi.

"Kamu harus ikut denganku!" Daniel menarik tangan Jenni. Jenni tak ingin meminta tolong, takut dia disangka melukai pria yang menyeret nya pergi.

Berjalan sedikit jauh, Daniel akhirnya sampai di tempat dimana dia memarkirkan mobilnya . Dia dan Jenni pun masuk ke dalam mobil. Melihat darah mulai banyak yang keluar, Jenni merasa takut. "Kak Daniel, biarkan aku yang menyetir. Kakak cukup katakan di rumah sakit mana yang akan kita datangi." ujar Jenni memberanikan diri.

"Kamu bisa menyetir?" tanya Daniel meringis kesakitan.

Jenni mengangguk. Daniel dan Jenni mulai bertukar tempat duduk. Daniel tak menyangka, gadis kecil yang kini bersamanya pandai menyetir. Bahkan dia melajukan mobil seperti pembalap. Hingga dalam sekejap mereka sampai di apartemen Daniel.

Jenni terdiam di dalam mobil, sementara Daniel sudah turun dari mobil. Melihat Jenni tak kunjung turun, Daniel membuka mobil. "Apa kamu akan bermalam di dalam mobil?"

"Hah?" Jenni masih merasa seperti sedang dalam mimpi.

"Ayo turun, lukaku semakin mengeluarkan darah." beritahu Daniel.

Jenni segera turun. Dia berjalan di samping Daniel. Masuk ke dalam apartemen, Daniel segera menarik langkah ke kamarnya. Juga tak lupa mengajak Jenni.

"Sekarang kamu istirahat di sana, setelah lukaku diobati aku akan menunjukan kamarmu" jelas Daniel menunjuk tempat tidur king size, sementara dia merebahkan diri di sofa.

Tak berapa lama, dua orang dokter masuk ke kamar Daniel, mereka segera menjahit luka Daniel. Tanpa mereka sadari, ada gadis kecil yang memperhatikan mereka. Jenni, gadis itu masih terjaga. Dia percaya pada Daniel tapi tidak sepenuhnya percaya. Terlebih ada pria lain yang tidak mengenakan baju dokter namun dengan lihai menjahit bagian yang luka itu.

"Siapa yang melakukan ini?" tanya Aaron, dokter tampan namun play boy.

"Aku juga tidak tahu." jawab Daniel cepat.

Jenni tiba-tiba bersin bersin. Membuat Aaron dan Domain menoleh padanya. Keduanya saling tatap setelah melihat Jenni di tempat tidur Daniel. Penasaran, Aaron mendekati Jenni yang ketakutan.

"Jangan takut, aku orangnya baik. Percaya padaku, jika kau ragu, tanyakan saja pada temanku, iya kan Domain." Aaron melirik Domain sejenak.

"Aaron, Domain, sekarang kalian pulang," usir Daniel yang tak ingin Jenni ketakutan.

Aaron mendengus kesal, sementara Domain hanya menampilkan senyum pada Jenni yang memainkan jari jemarinya. "Cantik, ganteng pulang dulu ya. Nanti besok ganteng datang lagi." ucap Aaron sebelum keluar dari kamar Daniel.

Sepeninggal Aaron dan Domain, Daniel menghampiri Jenni. "Jangan takut, mereka itu orang baik. Pria yang harus kau takuti adalah aku, karena aku seorang pembunuh." jelas Daniel.

Episode 2

Daniel Barram, dia tidak bekerja pada orang lain, tapi dia memperkerjakan orang lain. Daniel memiliki dua apotek yang dalam sehari pemasukannya bisa mencapai puluhan juta bahkan sampai belasan juta. Selain itu, Daniel juga merupakan pemilik Levius yang tak lain adalah Toko besar yang menjual alat kesehatan. Kesibukannya hanya menyediakan stok obat dan alat kesehatan. Selebihnya dia gunakan untuk liburan.

Jenni gemetar hebat. Bagaimana mungkin dia yang kabur dari sarang harimau kembali dipertemukan dengan harimau baru. Bahkan yang baru lebih sadis dari yang lama. Jenni terus diam, dia takut dibunuh. Jujur, matanya mulai sulit diajak bekerja sama tapi karena masih ingin hidup, Jenni terus terjaga.

"Kenapa kamu belum tidur?" tanya Daniel yang baru saja keluar dari kamar mandi.

"A-aku masih ingin hidup," jawab Jenni. Ditanya kenapa belum tidur tapi jawabannya malah masih ingin hidup. Daniel hampir saja tertawa tapi dia mencoba menahannya.

"Jika kau masih ingin hidup maka tidurlah!" ancam Daniel tanpa ekspresi.

Pura-pura tidur, Jenni selalu berdoa dalam hatinya agar pria yang bernama Daniel itu tidak mendekat. Jleb!! Jenni menelan saliva nya saat mendengar langkah kaki mendekat. Semakin mendekat, Jenni semakin merinding.

"Kak Daniel ..., aku masih mau hidup ...." seru Jenni dengan mata tertutup. Hening, wanita itu membuka pelan sebelah matanya.

"Hehehe, maaf." lirih Jenni terkekeh canggung. Nyatanya Daniel mengambil bantal, bukan untuk membunuhnya. Bagai anak ayam, Jenni kembali berbaring di ranjang, meringkuk memeluk lututnya, kemudian memejamkan mata.

Melihat Jenni meringkuk, Daniel mengernyit, dia merasa ada yang salah dengan Jenni. Gaya tidur seperti itu biasanya dilakukan oleh orang-orang yang dirundung masalah. Daniel yakin, Jenni sedang tidak baik-baik saja. Kembali mengingat kontrakan kumuh Jenni, Daniel semakin yakin, gadis kecil itu kabur dari rumah.

"Hei, bangun!" tita Daniel. Lebih baik memintanya bangun. daripada membiarkannya tidur dalam ketakutan.

Jenni menelan sedikit luda yang tercekat di tenggorokannya. Membuka mata, ia mendapati Daniel menatapnya. Menarik diri hingga duduk, Jenni menunduk takut.

"Jika kau ingin hidup, maka katakan padaku kenapa kamu bisa berada di kontrakan kumuh itu?" tanya Daniel melipat tangan di dada. Mengancam adalah senjata terampuh untuk membuat Jenni jujur.

Menunduk, Jenni tak berani menatap manik mata Daniel. "A-aku kabur dari rumah," lirih Jenni memainkan tangannya.

Jleb!! Daniel membulatkan mata tak percaya. Gadis kecil yang sepertinya baru lulus SMA itu berani main kabur kaburan. Pikir Daniel. Sepertinya ada yang salah atau ada yang tidak beres. Mana mungkin anak sekecil Jenni kabur dari rumah. Pikir Daniel lagi.

Daniel baru menyadari keanehan pada betis Jenni, penasaran, pria itu menyibak celana Jenni hingga lutut. Ada bekas cambuk di sana. "Siapa yang melakukan ini?" tanya Daniel lagi. Dia paling tidak suka melihat wanita diperlakukan tidak adil.

Jenni ragu menjawab, namun ancaman Daniel membuat Jenni harus membuka mulut. "A-ayah ku," Lirihnya hampir tak terdengar.

Jleb!! Daniel yang tak memiliki hubungan keluarga dengan Jenni ikut tersulut emosi mendengarnya. "Lalu apa rencanamu?" tanya Daniel.

Jenni merasa lebih baik dia menjawab soal ujian. Pasalnya berada di ruangan yang sama dengan pembunuh membuatnya sulit bernapas. Walau takut, Jenni tetap mengatakan rencananya, yaitu mencari pekerjaan, apapun itu, asalkan bisa menghasilkan uang.

"Kamu bisa bekerja di sini, tugasmu melayani kebutuhan istriku dan juga aku. Oh ya, aku lupa memberitahumu. Aku sudah menikah dan istriku wekarang sedang di luar kota. Kemungkinan besar besok dia tiba jadi aku minta sama kamu untuk menyiapkan makanan untuknya. Kamu bisa memasak kan?" tanya Daniel memastikan. Dia memberi perintah seakan akan Jenni setuju bekerja di apartemennya.

Entah Jenni harus bersorak girang karena menemukan pekerjaan dan tempat tinggal yang layak atau menangis karena akan tinggal di rumah yang sama dengan seorang pembunuh.

"Hei, kamu bisa memasak tidak?" Daniel mengulang pertanyaannya.

"I-iya bisa," jawab Jenni pelan.

Pagi yang cerah, Jenni memulai hidup baru di apartemen Daniel. Pria yang setahu Jenni adalah seorang pembunuh yang telah beristri. Memasak untuk Daniel, Jenni melakukannya dengan bersungguh sungguh.

Di kamar Daniel, pria itu mencium aroma harum dari arah dapur, segera dia menarik diri hingga duduk. Tanpa mengenakan baju terlebih dahulu, Daniel keluar kamar hanya mengenakan celana pendek saja. Dia tahu ada Jenni dan dia tidak perduli akan hal itu.

"Besar sekali!" batin Jenni saat mata sucinya tanpa sengaja melihat area burung gagak sang majikan.

"Sudah bisa dimakan?" tanya Daniel mengambil tempat di kursi. Dia melipat kedua tangannya di atas meja dengan pandangan yang tak lepas dari Jenni.

"Sudah, Tuan," jawab Jenni. Dia mengubah panggilan Daniel darinya, dari Kakak menjadi Tuan.

Daniel tersenyum tanpa sepengetahuan Jenni. Segera pria itu menikmati hidangan pagi yang diolah oleh tangan Jenni yang cekatan dalam bekerja. Enak, satu kata untuk hidangan pagi.

Benar kata Daniel, hari ini istrinya akan kembali dari luar Kota. Lihatlah, pintu apartemen tiba-tiba terbuka, wanita seksi berjalan masuk ke dalam. Langkahnya terhenti saat mencium aroma harum dari arah dapur, segera dia menyeret langkahnya ke dapur.

"Kamu pelayan baru?" tanya Monca tanpa basa basi.

"Iya, Nyonya." Jenni menjawab dengan pelan.

"Siapkan air hangat untukku!" titah Monca berlalu ke kamar.

Monca terpaksa menerima permintaan orang tuanya untuk menikah dengan Daniel yang notabennya sudah sejak dulu jatuh cinta padanya. Karena cintanya untuk pria lain, maka tubuhnya pun juga untuk pria yang dicintainya. Monca tidur seranjang dengan Daniel, namun tak mengizinkan Daniel untuk menyentuhnya. Tapi apakah Monca masih virgin? Entahlah, hanya Monca sendiri yang tahu dia masih virgin atau sudah gol.

Jenni menatap Daniel yang terdiam. Dia yakin, hubungan suami istri itu dalam masa renggang. Jenni segera menyusul Monca ke kamar. Menyiapkan air hangat, kemudian pamit keluar. Belum juga keluar dari pintu kamar, Monca kembali memanggil Jenni.

"Buka lemari itu!" Monca menunjuk satu lemari dua pintu. "Kamu keluarkan semua pakaian yang ada di dalamnya. Terserah kamu mau ambil untuk kamu atau mau kamu buang!" titah Monca sebelum ke kamar mandi.

Jenni segera membuka lemari pakaian yang ditunjuk Monca. Matanya membulat saat melihat pakaian mahal yang masih ada labelnya diminta untuk dibuang.

"Tidak kamu buang?" tanya Daniel yang kebetulan berpapasan dengan Jenni.

"Tidak, Tuan. Aku tidak punya pakaian formal jadi buat aku saja. Kebetulan ada acara reuni yang nantinya akan aku hadiri. Aku tidak perlu membeli pakaian lagi," jawab Jenni senang. Cara bicaranya juga tak seperti semalam, sekarang dia sudah tidak takut lagi pada Daniel. Daniel memang pembunuh tapi dia tidak memukul Jenni. Ayahnya bukan pembunuh tapi tiap hari memukul Jenni. Maka pria yang harus Jenni takuti adalah Ayah nya, bukan Tuan nya.

Daniel hanya mengangguk. Pria itu berlalu ke kamar, begitu juga dengan Jenni yang ke kamarnya. Dia meletakkan pakaian bagus itu di atas tempat tidur, kemudian kembali ke kamar Monca. Di kamar dia melihat Daniel berolahraga. Badannya yang berotot membuat Jenni menelan luda.

"Ingat Jenni ..., dia itu suami orang! Dia juga pembunuh! Jadi jangan terpesona padanya!" Jenni membatin dengan penuh semangat.

Episode 3

Jenni merapikan pakaian bermerek di lemari. Samar-samar terdengar Monca mengatai Daniel. Jenni tak ingin ikut campur atau hanya sekedar menguping, hingga dengan santainya dia mencoba satu gaun yang sejak tadi menyita perhatiannya.

Dia tersenyum saat melihat tubuhnya dibalut gaun cantik yang memperlihatkan area leher hingga bagian dadanya, pada bagian belakang sedikit transparan, begitu juga pada bagian lengannya, sungguh, gaun satu itu begitu cocok dikenakan oleh Jenni yang memiliki bentuk tubuh ideal. Namun sayang, lengan jeni juga tubuhnya bagian belakang terdapat memar sehingga tidak memungkinkan untuk Jenni gunakan saat acara reuni nanti.

"Sudah aku bilang, aku ini cantik. Hanya Nous saja yang mengatakan aku jelek!" gumam Jenni menatap dirinya di cermin. Nous adalah pria yang dicintai Jenni namun pria itu mengatai Jenni jelek. Bagaimana tidak, Jenni selalu berpenampilan culun saat ke sekolah. Dia ingin dandan, tapi Ketty selalu melarangnya karena takut tersaingi oleh Jenni. Karena sudah terbiasa, Jenni selalu berpenampilan culun saat di sekolah, hanya di sekolah saja.

Di kamar lain, Monca mengatai Daniel. Daniel yang begitu mencintai Monca hanya diam tanpa menjawab. Dia tidak ingin wanita yang dicintainya itu semakin benci padanya. Puas mengatai Daniel, Monca melenggang pergi dari apartemen.

Prank!! Satu botol anggur berhasil dipecahkan oleh Daniel yang sedari tadi menahan marah. Monca adalah istrinya, kenapa untuk mencium keningnya saja Monca tak mengizinkan Daniel melakukan itu.

Mendengar suara nyaring dari kamar lantai dua, Jenni segera melepas gaun yang dikenakannya. Lalu dengan cepat dia mengenakan pakaian yang pagi tadi ia kenakan. Berlari keluar dari kamar, Jenni mendapati Daniel yang tangannya luka.

"Tuan, tangan anda mengeluarkan darah." Jenni memberitahu dengan cemas.

"Ambil kan aku P3K!" titah Daniel mengambil tempat di sofa. Dia terlihat biasa saja walau tangannya mengeluarkan darah.

"Apa pembunuh tidak takut mati? Kenapa mereka begitu gampang melukai diri sendiri," gumam Jenni pelan namun masih bisa didengar oleh Daniel. Wanita itu mencari P3K, lalu ia kembali dengan P3K di tangannya. Jenni segera mengobati luka Daniel. Melihat Jenni, Daniel menarik senyum. Entah apa arti senyum itu. Selesai diobati, Daniel beranjak dari sofa.

"Segera ganti pakaianmu. Hari ini kita akan pergi jalan-jalan," terang Daniel. Dia tak menganggap Jenni pelayan. Dia menganggap Jenni adiknya. Namun untuk mengikat Jenni agar tetap di apartemen, dia menawarkan pekerjaan. Terlebih dia tahu Jenni sering diamuk ayah kandungnya.

"Ternyata pembunuh itu baik juga," gumam Jenni sebelum ke kamar.

Daniel terkekeh. Biarlah Jenni menganggapnya pembunuh. Daniel memainkan ponselnya sambil menunggu Jenni. Tak lama menunggu, Jenni datang mengenakan salah satu pakaian dari lemari Monca yang tadi diminta untuk dibuang. Cocok, pakaian itu sangat cocok dikenakan oleh Jenni.

"Haruskah aku ucapkan terima kasih padamu?" ucap Daniel beranjak dari sofa. Jenni mengernyit. Dia sama sekali tidak paham.

"Semua pakaian yang kamu keluarkan tadi aku yang beli. Aku beli untuknya tapi tak sekalipun dia mengenakannya" Daniel menghela napas berat. "Ayo kita pergi" tambahnya menggiring langkah.

Jenni menatap iba majikannya itu. Walau dia seorang pembunuh tapi dia baik pada orang di sekelilingnya, termasuk padanya. Pikir Jenni. Jenni tidak tahu jika pria yang dia panggil Tuan itu bukanlah seorang pembunuh, melainkan seorang pengusaha. Jenni mengikuti langkah kaki Daniel, tiba-tiba wanita itu berhenti lantaran sang majikan tiba-tiba berbalik.

"Kamu yang menyetir" titah Daniel seraya membuang kunci pada Jenni, segera Jenni menangkapnya.

Jenni mengangguk, segera dia masuk ke dalam mobil. "Tuan, kita mau ke mana?" tanya Jenni menatap lurus ke depan.

"Rumah Sakit George" balas Daniel.

Tiba di rumah sakit, Daniel masuk ke ruangan dokter Aaron. Dia mendapati sang dokter sedang melakukan panggilan. Melihat Daniel datang, Aaron segera mengakhiri panggilan telepon dengan seseorang di seberang telepon.

"Cepat ganti perban lukaku" titah Daniel tak mau tahu. Dia harus mengganti perban sebelum ke suatu tempat.

Melihat Jenni, Aaron tersenyum. Seperti biasa, dia akan merayu Jenni. "Hay, Honey. Maukah kau menikah denganku?"

Jleb!! Mata Jenni membulat sempurna. Menikah? Apa dia tidak salah dengar?

"Aku serius. Apa kau mau menikah denganku?" Aaron mengulang kalimatnya. Dia memang sudah jatuh cinta pada Jenni. Dan apa yang dia katakan saat ini memang serius.

Jenni tak bergeming, dia tak tahu harus jawab apa. Haruskah dia menanggapinya dengan sebuah lelucon atau menanggapinya dengan serius.

Melihat Jenni tak bergeming, Aaron menatap Daniel. "Aku jatuh cinta pada wanita itu. Aku rasa kamu tidak keberatan bila aku menikah dengannya" ungkap Aaron penuh percaya diri. Setahu Aaron, Daniel mencintai istrinya, Monca. Jadi dia tidak mungkin keberatan bila dia menikah dengan Jenni.

Melihat keseriusan Dimata Aaron, Daniel menatap Jenni yang juga menatapnya. "Bagaimana, apa kamu mau menikah dengannya?"

Jenni menatap Daniel lalu menatap Aaron. Cukup lama dia menatap Aaron, dan benar, dia melihat keseriusan di mata pria itu. Dari tatapan pria itu, terdapat ketulusan di sana. Tapi, Jenni takut dipermainkan. Secara dia belum mengenal Aaron, bahkan dia tidak tahu nama pria yang mengajaknya menikah.

"Jika kamu belum punya jawabannya, aku akan menunggu sampai kamu punya. Kenalkan, aku Aaron" Aaron mengulurkan tangan pada Jenni.

"Jenni" balas Jenni gugup.

"Bisa aku minta nomor ponselmu?" tanya Aaron menatap serius Jenni yang salah tingkah.

Jenni menggeleng. "Aku tidak punya ponsel" lirihnya.

Aaron menarik senyum. Segera dia mengeluarkan ponselnya. "Kamu gunakan ini dulu, nanti malam aku jemput kamu di apartemen Daniel"

Jenni melirik Daniel, melihat Daniel mengangguk, Jenni menerima ponsel Aaron. Setelahnya ia dan Daniel kembali melanjutkan rencana Daniel. Dalam perjalanan, Daniel melirik Jenni yang terus diam. Bisa jadi Jenni memikirkan Aaron yang mengajaknya menikah.

"Aku mengenalnya, kami berteman sejak kecil bahkan kami sudah seperti saudara. Dia orangnya baik, kamu tidak akan menyesal menikah dengannya. Percayalah padaku, Jenni" ungkap Daniel memberitahu.

"Aku bisa saja menikah muda, tapi bagaimana dengan orang tuaku, mereka tidak akan datang" lirih Jenni.

"Ada aku, kamu bisa serahkan segalanya padaku" ungkap Daniel. Dia menganggap Jenni adiknya, maka dia akan melakukan apapun untuk kebahagiaan Jenni, termasuk mendatangi orang tua Jenni.

Jenni tersenyum. Dia dan Daniel pun berkeliling kota. Menjelang sore, keduanya pulang ke apartemen. Usai mandi, Jenni bingung sendiri. Dia tidak punya baju non formal. Tidak mungkin dia mengenakan gaun lalu ke dapur untuk memasak. Jenni ingat, pakaiannya dan juga uangnya ada di kontrakan.

"Jenni ... buatkan makanan untukku ..." titah Monca yang baru pulang.

Jenni semakin bingung. Tak punya pilihan lagi, wanita itu mengenakan gaun lalu keluar kamar. Monca yang masih di sofa menatap heran Jenni. "Kamu mau ke mana?"

"Mau memasak" jawab Jenni cepat.

Monca tertawa lepas. Dia merasa Jenni tidak waras. Mendengar tawa Monca, Daniel keluar dari kamar. Daniel pun sama herannya melihat penampilan Jenni. Segera Daniel menuruni anak tangga.

"Kamu mau ke mana?" pertanyaan yang sama untuk Jenni.

"Memasak" jawab Jenni cepat.

"Kamu tidak punya pakaian yang lain?" tanya Daniel lagi.

Jenni menggeleng. Menunduk tak berani menatap Daniel maupun Monca yang masih tertawa.

"Ya sudah, mari ikut aku" Daniel ke kamar.

Monca tak sedikitpun cemburu melihat perlakuan Daniel pada Jenni. Alasan pertama, Monca tak sedikitpun menyukai Daniel. Alasan yang ke dua, Jenni bukanlah tipe Daniel sekalipun wanita itu cantik.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!