"Yuhu, pagi Rein-ku sayang," sapa Ami pada sahabatnya. Ia baru saja tiba di kontrakan Rein.
"Pagi. Ngapain lo jam segini udah nongol aja di sini?" tanya Rein heran. Maklum saja, ini baru jam enam pagi dan Ami sudah berdiri di depan kontrakannya.
"Mau ngajak bareng. Lo udah siap, kan? Ayo langsung berangkat. Daddy gue udah nunggu di depan," ucapnya antusias. Ami langsung menarik tangan Rein dan menyeretnya menuju sebuah mobil mewah yang terparkir anggun di depan kontrakan kecil itu.
"Ish, pelan-pelan kenapa sih!" gerutu Rein saat Ami mendorongnya masuk ke dalam mobil dan menyuruhnya duduk di kursi depan.
"Ehem!"
Deheman itu berhasil menghentikan gerutuan Rein. Seketika ia terdiam.
Ami, yang duduk di belakang, menatap berbinar ke arah ayahnya dan Rein yang kini saling bertatapan. Astaga, mereka cocok banget, batinnya sambil senyum-senyum sendiri.
"Eh, m-maaf, Om," ucap Rein kikuk saat ayah Ami menatapnya sambil menaikkan alis, tampak heran.
"Kamu kenapa?" tanya Davin, ayah Ami, melihat Rein yang gugup bukan main.
Rein hanya menggeleng, lalu melirik ke arah Ami yang kini menahan tawa.
"Dasar sahabat laknat!" gerutu Rein dalam hati. Wajahnya tampak sangat dongkol melihat Ami begitu bahagia di atas penderitaannya. Lebay memang, tapi itulah Rein.
"Lo cocok banget sama Daddy gue, Rein!" seru Ami sambil tersenyum lebar, mata berbinar penuh semangat.
Rein memutar bola mata malas. Ia sudah muak mendengar kalimat itu hampir setiap hari.
"Gue nggak mau. Lagi pula, bokap lo mana mungkin mau sama gue," tukas Rein. Ucapannya masuk akal juga kalau dipikir-pikir.
"Loh, kenapa nggak mau sih? Daddy gue kurang ganteng? Kurang kaya? Kurang hot?" tanya Ami bertubi-tubi sambil membayangkan wajah ayahnya sendiri. Enggak, wajah Daddy tuh paket komplit, ujar batinnya puas.
Rein hanya menggeleng dan berjalan meninggalkan Ami yang masih terdiam bengong di tempat.
"Ish, Rein! Tungguin!" teriak Ami begitu sadar ditinggal.
Lorong kampus masih sepi. Waktu baru menunjukkan pukul 06.45.
Rein berjalan menuju kantin, mengabaikan Ami yang terus memanggilnya dari belakang.
Sesampainya di kantin, Rein langsung memesan semangkuk mie ayam dan segelas teh hangat.
"Kampret lo, main tinggal-tinggal aja!" gerutu Ami yang baru tiba.
"Peace," ucap Rein sambil terkekeh.
"Udah makan belum?" tanya Rein. Inilah yang Ami suka dari Rein: perhatian terhadap hal-hal kecil. Membuat Ami semakin bertekad untuk menjadikan sahabatnya itu sebagai bunda sekaligus istri untuk sang daddy.
Ami menggeleng, lalu menatap Rein sambil tersenyum manis.
"Rein… jadi bunda gue, ya," ucapnya memelas, membuat Rein memutar bola mata, lagi.
"Bi, pesen nasi uduk sama teh hangat satu lagi," kata Rein ke penjaja kantin.
"Gue nggak mau nasi uduk, gue mau bakso," celetuk Ami tiba-tiba.
"Nggak! Lo kira gue nggak tahu, kemarin lo baru aja makan mie," tukas Rein galak.
"Sekali-kali, Rein. Ayolah, gue pengen banget makan bakso," rengek Ami, mencoba merayu.
Rein hanya mengabaikan Ami yang terus merengek sampai akhirnya pesanan mereka datang.
"Nih, makan. Nggak usah banyak ngeluh!" ucap Rein, menyodorkan makanan.
Walau sempat menolak, Ami tetap melahap nasi uduk itu sampai tandas. Rein hanya bisa mengulum senyum melihatnya.
"Lo juga makan mie ayam. Kok gue nggak boleh!" protes Ami sambil meneguk teh hangatnya.
"Gue baru kali ini makan mie lagi. Lah lo? Tiap hari mie terus. Mau kena usus buntu baru tau rasa,"
"Ya, ya, ya..." Ami mengangguk asal.
Kini Rein dan Ami duduk di kelas, menatap dosen yang sudah sejak tadi mengajar. Ami menguap bosan, lalu melirik ke arah Rein yang tampak serius menyimak.
"Rein, gue ngantuk," bisiknya pelan sambil mencolek lengan sahabatnya.
"Sstt... diam, Mi, kalau nggak mau dikeluarin dari kelas!" gumam Rein, cukup pelan tapi tegas. Ami memutar mata malas.
"Nggak asik," keluhnya.
Rein hanya menggeleng pelan melihat kelakuan sahabatnya yang tidak ada habisnya.
Rein dan Ami sedang dalam perjalanan menuju rumah Ami.
“Nginap ya, awas aja lo bohong,” kata Ami dengan nada menggoda namun serius.
Rein mengangguk malas. Seusai mata kuliah terakhir tadi, ia sudah nyaris kabur sebelum Ami menyeretnya untuk menginap—katanya, biar nggak sendirian di rumah.
“Emangnya bokap lo ke mana?” tanya Rein, heran.
Ami terdiam sejenak. Ia menimbang-nimbang alasan yang terdengar masuk akal.
“Hmm… Daddy lembur. Katanya sampai malam, mungkin pulangnya jam delapan,” jawab Ami sambil nyengir, mencoba terlihat santai.
Rein memicingkan mata. Tatapannya mencurigai, namun ia memilih tak memperpanjang.
"Semoga Daddy beneran lembur," batin Ami gugup.
---
Sesampainya di rumah besar bertingkat dua itu, keduanya langsung masuk.
“Ke kamar aja dulu, gue mau ke dapur sebentar,” ujar Ami sambil mendorong tubuh Rein pelan.
“Sabar napa, nggak usah didorong-dorong segala,” omel Rein, lalu menaiki tangga ke lantai dua. Ia sudah hafal letak kamar Ami karena sering menginap di sana.
Ami memastikan Rein sudah naik sebelum melangkah cepat ke kamar ayahnya.
“Syukurlah, nggak ada,” gumamnya sambil mengintip ke dalam kamar yang kosong dan rapi.
Tak lama, ponselnya bergetar.
...Daddy💸...
...> Daddy lembur. Mungkin baru pulang jam delapan malam. Makan duluan aja, ya....
“YES!” bisik Ami senang.
“Kenapa lo?” suara Rein terdengar dari arah tangga.
Ami buru-buru membalikkan badan. “Hehe, nggak apa-apa. Eh, masakin dong, gue laper banget,” ujarnya sambil merengek.
“Enak ya lo, gue jadi koki pribadi,” gerutu Rein, meski tetap melangkah ke dapur.
Ami mengikuti di belakang, dengan senyum iseng yang tak lepas dari wajahnya.
---
Di dapur, Rein sibuk mengiris daging. Tangannya cekatan, ekspresinya serius. Melihat itu, Ami langsung memotret diam-diam, lalu mengirimkannya ke ayahnya.
...Ami:...
...> Dad, Rein cocok nggak jadi bunda Ami? Hehe......
Davin, yang saat itu sedang di kantor, membaca pesan itu sambil geleng-geleng kepala.
“Dasar anak ini,” gumamnya.
Ia menatap foto Rein. Gadis itu terlihat dewasa dan tenang saat sedang memasak. Entah kenapa, ada sesuatu yang membuatnya tak bisa mengalihkan pandangan.
“Cantik...” katanya lirih, nyaris tanpa sadar.
Lalu, ia tersentak.
"Gila, itu sahabat anakku!" Davin memijat pelipis, merasa tak nyaman dengan pikirannya sendiri.
---
Pukul delapan malam, Davin akhirnya pulang. Ia langsung menuju kamar dan mandi, merasa tubuhnya lengket dan lelah.
Di kamar atas, Rein menggeliat gelisah.
“Lah, habis,” gumamnya melihat teko kosong di meja kecil kamar Ami.
Ia melirik Ami yang terlelap dengan nyenyak. “Mi, bangun bentar. Temenin gue ke dapur,” bisiknya sambil menggoyang tubuh sahabatnya.
Tapi Ami hanya menarik selimut lebih rapat.
Rein menghela napas. "Gue ke bawah sendiri deh."
Ia bangkit dan keluar kamar tanpa sadar bahwa ia masih mengenakan kimono tidur milik Ami—tipis, pendek, dan bermotif bunga. Kakinya yang jenjang dan sedikit belahan dada tampak jelas.
Ruang bawah rumah dalam keadaan gelap. Rein berjalan pelan menuju dapur, mengambil air, dan mengisi teko.
Namun saat ia berbalik...
Duk!
“Aduh!” pekiknya.
Seseorang berdiri di depannya—bertelanjang dada.
“Oh, kamu nggak apa-apa?” tanya Davin cepat, mendekat dengan raut khawatir.
Rein memegang dahinya. “Enggak, cuma kaget.”
Ia mendongak—dan langsung membeku.
Otot-otot dada, perut bidang, dan... astaga, roti sobek? pikirnya panik.
Rein cepat-cepat mengalihkan pandangan ke lantai.
“Ngapain malam-malam ke dapur?” tanya Davin.
“Ambil air. Om sendiri?”
“Sama, saya juga mau minum. Bisa ambilin satu lagi? Taruh di meja ruang TV aja.”
Rein hanya mengangguk. “Iya, Om.”
---
Beberapa menit kemudian, Rein datang membawa dua gelas air.
“Ini, Om.”
Davin menoleh. Namun tatapannya terhenti pada baju yang dikenakan Rein. Ia langsung menunduk, menelan ludah.
Glek.
“Om, nggak apa-apa?” tanya Rein, khawatir.
“Eh... iya. Cuma... ya, dingin,” gumamnya cepat.
Rein menyentuh kening Davin. “Nggak panas, sih. Ya udah, saya balik ke kamar—”
Srekk!
Davin menahan pergelangan tangannya, membuat Rein terduduk di sofa.
“Hati-hati, nanti airnya tumpah,” ujar Davin pelan. “Temani nonton sebentar ya, saya belum ngantuk.”
Rein ragu. Tapi ia juga belum ingin tidur.
“Baik, Om.”
---
TV menyala, menampilkan film drama acak yang diputar dari saluran streaming. Rein duduk agak menjauh, berusaha menjaga jarak.
Namun tak lama, adegan dalam film mulai panas—seorang pria menggendong wanita mabuk masuk ke mobil, lalu menciumnya penuh gairah.
Rein meremas ujung kimono. “Om… ini film apa, sih?” tanyanya gugup.
“Entahlah, asal pilih,” jawab Davin cepat. “Tonton aja, kamu sudah dewasa, kan?”
Rein menggigit bibir. Wajahnya memerah.
Ia biasa melihat adegan seperti ini saat nonton drama Korea—tapi bukan saat duduk berdua dengan ayah sahabatnya.
Detik demi detik berlalu, dan ketegangan dalam tubuhnya tak juga reda.
Davin juga tak bicara. Tapi dari caranya mencuri pandang, jelas pikirannya tak tenang.
Pukul sebelas malam. Rein menguap, lalu menyandarkan tubuhnya perlahan di sofa.
Davin menoleh. Mata Rein sudah terpejam, napasnya teratur.
Ia masih duduk di tempatnya, tak bergerak, menatap layar TV yang tinggal menyisakan kredit film.
Namun pikirannya kini tak sepenuhnya fokus .....
“Sudah tidur rupanya,” gumamnya pelan, bibirnya menyunggingkan senyum kecil.
Masih bertelanjang dada, Davin mematikan televisi lalu mengangkat tubuh Rein dengan hati-hati. Ia membawanya ke kamar miliknya sendiri. Dengan lembut, ia meletakkan Rein di atas ranjang king size, lalu menyelimutinya.
Tanpa banyak suara, Davin masuk ke kamar mandi. Sudah sejak tadi ia menahan sesuatu.
“Ah... Re–Rein…” desah Davin tanpa sadar, saat mencapai puncak pelepasannya. Ia menutup mata, seakan menikmati sekaligus mengutuk pikirannya sendiri.
“Huft… Astaga. Kenapa malah menyebut namanya? Dia sahabat Ami!” gumamnya, mencoba menepis rasa bersalah. Ia mencuci wajahnya, lalu menyeka keringat di dahinya.
Keluar dari kamar mandi, Davin menghampiri ranjang. Ia duduk di sisi ranjang, memandang Rein yang masih tertidur dengan damai.
“Kenapa kamu bisa terlihat menggemaskan begini…” gumamnya pelan sambil membelai pipi Rein. Saat ia hendak beranjak, tangan Rein terjatuh tepat di atas perutnya.
“Dia kira aku guling?” bisik Davin, tertawa kecil.
Pelan-pelan, Rein bergeser dan tanpa sadar memeluk tubuh Davin erat.
Dan malam itu, Davin menghabiskan waktu tidurnya hanya untuk menatap wajah Rein yang tidur di sampingnya.
***********
06:40 Pagi
Tok tok tok.
“Rein, lo di dalam?” tanya Ami sambil mengetuk pintu kamar mandi.
Tak ada sahutan. Ia mendorong pintu perlahan—tidak dikunci.
“Lah, kemana nih anak? Pagi-pagi gini udah hilang aja,” gerutunya.
Ami langsung menuju dapur, berpikir sahabatnya itu mungkin sedang memasak seperti biasanya.
Namun dapur kosong.
“Jangan-jangan udah pulang? Tapi masa nggak pamit sih!” kesalnya.
Ami berjalan ke arah ruang makan dan disapa oleh seorang wanita paruh baya.
“Non Ami, mau makan sekarang?”
“Eh, bibi. Mau tanya, tadi waktu bibi datang, lihat teman Ami nggak?”
“Enggak, Non. Emang temannya nginap di sini?”
“Iya, tapi sekarang nggak ada. Ya sudah, Ami cek kamar Daddy dulu, siapa tahu dia di sana.”
Dengan hati-hati, Ami membuka pintu kamar ayahnya yang tak dikunci.
“Morning, Da—” ucapannya terhenti.
Mata Ami mengerjap beberapa kali. Tak lama, sudut bibirnya terangkat. “Apa gue bakal punya adik dalam waktu dekat?”
Ia mengeluarkan ponsel dan bersiap memotret.
Cekrek
“UPS!”
Blitz kamera menyala. Ami kaget dan hendak kabur, namun—
“Hoam... Lo ngapain?” suara serak Rein terdengar, menguap pelan. Ia belum sadar berada di kamar siapa.
“Pasti belum sadar… 3... 2... 1...” Ami menghitung mundur.
“Aaaaaakkk!!”
Bruk
“Om! Ngapain di kamar gue?!” teriak Rein panik, menggenggam selimut erat-erat saat melihat Davin yang masih bertelanjang dada.
Ami menyeringai melihat Davin yang jatuh dari tempat tidur karena tendangan Rein.
“Sakit, astaga!” gerutu Davin sambil mengelus pinggangnya.
“Om yang ngapain tidur di sini?!”
“Ini kamar saya, Rein!” balas Davin kesal.
Rein langsung melihat sekeliling dan menyadari situasi sebenarnya. “A-aku kenapa bisa di sini?!”
Ami melambaikan tangan sambil mundur. “Gue nggak ikutan!”
Ia kabur meninggalkan ayahnya yang masih kesakitan.
“Woi, tungguin gue!” Rein bangkit, hendak menyusul, tapi Davin menarik pergelangan tangannya.
“Mau ke mana? Pinggang saya sakit, kamu harus tanggung jawab!”
“Hehe... maaf om, tadi refleks,” Rein tertawa kikuk.
“Nggak bisa! Kamu harus rawat saya sampai sembuh.”
“Hah?! Mana ada begitu. Lagi pula om cuma jatuh sebentar!”
“Saya tetap sakit, dan kamu penyebabnya,” jawab Davin sambil cengar-cengir puas.
“Duh, faktor U tuh. Baru jatuh dikit langsung minta dirawat.”
Brak!
Rein meninggalkan ruangan dengan wajah merah padam. Davin hanya tertawa.
“Galak banget, kayak singa betina,” gumamnya.
**************
Beberapa Saat Kemudian
“Gue emang pengen lo jadi bunda gue, Rein. Tapi jangan buatin gue adik dulu, nikah dulu kek,” ujar Ami saat mereka menuruni tangga.
“Diem lo!” Rein mencubit pinggang Ami. “Kok bisa sih gue bisa nyasar ke kamar bokap lo?!”
Ami mengangkat bahu. “Ya siapa tahu bokap gue yang bawa.”
“Hah?”
“Udahlah, yang penting lo nggak diapain, kan?”
“Gue cubit lo, Mi!”
*****************
“Morning,” sapa Davin begitu melihat mereka tiba di ruang makan.
Cup
“Morning, Dad,” jawab Ami saat Davin mengecup keningnya.
“Kamu mau dicium juga?” goda Davin pada Rein.
“Nggak, om. Terima kasih,” jawab Rein cepat sambil duduk—lagi-lagi karena dipaksa Ami.
“Daddy, kenapa nggak makan?” tanya Ami heran.
“Pinggang saya sakit, ambilin nasi ya,” jawab Davin enteng.
Rein melirik tajam. “Kan yang sakit pinggang, bukan tangan!”
“Udah, ambilin aja,” dorong Ami.
Dengan enggan, Rein menyendok nasi dan meletakkannya di piring Davin.
“Gue juga dong, perkedel dua!” pinta Ami.
Rein mengambil perkedel dan menyerahkannya. Ami dan Davin saling tersenyum lebar.
“Cocok banget jadi bunda gue. Iya kan, Dad?”
Davin mengangguk mantap. Rein langsung batuk.
“Uhuk uhuk!”
“Pelan-pelan,” Davin menepuk punggung Rein sambil menyodorkan air.
“Mimpi apa gue semalem...” gumam Ami bahagia.
***************
“Aku selesai. Rein, nanti tolong temenin Daddy ya, gue duluan. Byee~”
“Eh! Nggak bisa gitu dong!” seru Rein.
“Mau ke mana? Saya antar,” ujar Davin, menahan Rein yang hendak beranjak.
“Ini semua salah om! Saya jadi ditinggal!” keluh Rein kesal.
Davin tertawa. “Kenapa kamu lucu banget sih?”
Cup!
Davin mencium bibir Rein sekilas lalu cepat-cepat berdiri. “Saya tunggu di mobil.”
Rein membeku. Beberapa detik kemudian...
“OM DAVINNN!!!”
Davin hanya meringis di luar mendengar teriakan keras yang membahana dari ruang makan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!