NovelToon NovelToon

Dendam Sang Mantan Suami

Pengkhianat di Atas Ranjang

"Karena tidak mau melayani aku, kau aku pecat, Rigel!"

Rigel pria berusia 26 tahun itu harus menerima kenyataan pilu sekarang. Hanya karena Rigel tidak menuruti permintaan boss-nya, dia harus dipecat dari pekerjaannya sebagai bartender di club tersebut.

Boss wanitanya yang berusia 40 tahunan itu meminta Rigel untuk melayaninya di atas ranjang. Dia mengiming-imingi Rigel sejumlah uang asal Rigel bisa memuaskannya.

"Maaf, Madam. Aku tidak bisa mengkhianati istriku," tolak Rigel dengan cukup sopan. "Tapi, aku mohon, jangan pecat aku. Karena kalau aku dipecat, aku dan istriku akan semakin kesusahan."

Ya, Rigel menolak tawaran itu. Dia begitu mencintai istrinya, maka tidak mungkin dia bisa tidur dengan wanita lain. Terlebih, itu adalah boss-nya sendiri.

"Keluar kau sekarang juga! Jangan injakkan kakimu di dalam club ku lagi!"

Padahal Rigel sudah menurunkan harga dirinya untuk memohon pada wanita itu, tapi tetap saja Rigel harus dipecat dan diusir dari sana. Sebab Rigel masih mempertahankan keputusannya untuk tetap menolak permintaan sang boss.

"Baik, Madam. Tapi, setidaknya berikan aku gaji selama dua minggu ini," ucap Rigel dengan kepala yang menunduk.

Tanpa berbasa-basi, wanita dengan panggilan Madam itu melempar sejumlah uang pada Rigel. Dengan tatapan mata yang begitu meremehkan.

"Pungut uang itu dan pergilah! Aku tidak akan pernah menerima mu lagi sekalipun kau merangkak di bawah kakiku!"

Rigel merasa telah dihinakan. Dia ingin sekali menjunjung tinggi harga dirinya dan membalas hinaan wanita itu padanya sembari melempar kembali uang yang telah berserakan di lantai. Tapi, sayangnya Rigel tidak bisa melakukan semua itu. Dia butuh uangnya, apalagi saat dia baru saja kehilangan pekerjaannya.

Rigel tidak bisa melakukan apapun lagi selain memunguti selembaran uang itu satu persatu. Sebelum akhirnya dia harus segera pergi dari sana. Menemui istrinya dan memberitahukan kabar buruk ini.

"Erina, aku pulang," ucap Rigel begitu dia telah sampai di sebuah rumah kecil yang ditinggalinya.

Ya, jarak rumahnya itu dengan Club cukup dekat menurutnya. Rigel hanya perlu berjalan kaki selama dua puluh menit dari club untuk sampai ke sebuah rumah yang begitu jauh dari kata mewah itu.

"Ah, tidak jangan begitu!"

Bukannya sambutan hangat dari sang istri saat Rigel membuka kunci pintu rumah, dia justru malah mendengar suara wanita yang tengah terkekeh geli di dalam kamar.

Masalahnya, terdengar juga suara seorang pria yang ikut terkekeh bersamanya.

Suara yang sama-sama tidak asing di telinga Rigel.

"Sialan!" Maki Rigel pelan bersamaan dengan langkahnya yang telah berjalan tergesa-gesa menuju kamar miliknya dengan sang istri di dalam sana.

Brak!

Rigel mendorong pintu kamar itu dengan paksa. Membuat pintu yang mungkin memang tidak dikunci itu dapat Rigel buka dengan mudahnya.

"Rigel?"

"Kak Rigel?"

Nama Rigel lantas disebutkan dalam keterkejutan dari dua orang yang berbeda.

Nyatanya, dugaan Rigel memang benar sekali. Erina, istrinya tidak sedang seorang diri di dalam sana. Dimana kini Rigel dapat melihat dengan mata kepalanya sendiri jika sang istri tengah berada di atas tubuh seorang pria yang tengah berbaring. Dengan tanpa busana sama sekali.

Erina segera bangkit dan juga meraih selimut untuk menutupi tubuh polosnya. Dan pria yang sebelumnya di bawah tubuh Erina juga bergerak cepat untuk meraih pakaiannya yang berserakan di lantai.

"Pakai pakaian kalian dan segera temui aku di luar. Kita harus bicara!" Tegas Rigel dengan nafas yang telah memburu.

Bagaimana pun, Rigel sedang mencoba menahan emosi di dalam dirinya itu. Rahangnya bahkan sudah terlihat mengeras. Akan tetapi, Rigel sedang mencoba untuk tidak tenggelam dalam emosinya dan berusaha bersikap tenang.

Butuh beberapa menit sampai Rigel menemukan Istrinya dengan pria itu berjalan ke arahnya. Dimana Rigel kini tengah terduduk di atas kursi yang sudah cukup usang.

"K–kenapa sudah pulang, Rigel? Bukankah seharusnya kau pulang pagi seperti biasanya?" tanya Erin saat dia tepat berada di hadapan Rigel.

Rigel lantas mendengus dengan kesal. Bisa-bisanya Erina bertanya seperti itu saat sudah jelas dia baru saja ketahuan saat sedang bersetubuh dengan orang lain.

Ah, ralat. Bukan orang lain. Tapi, adik kandung Rigel sendiri. Roby.

"Kalian sadar apa yang kalian lakukan, hah?! Tega sekali kalian melakukan hal itu. Sudah berapa lams?" tanya Rigel dengan begitu tegas.

Sorot matanya juga sudah menajam menatap Erina dan Roby secara bergantian. Bahunya naik turun merasakan emosi yang mulai memuncak.

Seberusaha apapun Rigel menahan diri, tetap saja Rigel merasa kesal, marah, juga kecewa yang begitu dalam. Dirinya menjaga diri mati-matian demi sang istri, tapi istrinya sendiri malah memberikan tubuhnya pada adiknya sendiri.

"Roby, spa kesalahanku sampai kau mengecewakanku seperti ini? Aku bahkan sudah selalu berusaha bersikap baik padamu selama ini!" Bentak Rigel saat dia tak mendapatkan jawaban apapun dari keduanya.

Baik Roby atau pun Erina, keduanya sama-sama menundukkan kepala. Dimana menyakitkannya lagi adalah Rigel malah mendapati tangan keduanya saling bertautan, saling menggenggam satu sama lain.

"Katakan, sudah berapa lama kalian seperti ini?!" Tegas Rigel menuntut penjelasan.

Kali ini, Erina menatap Rigel. Bukan lagi raut wajah takut yang ditunjukan, kini Erina malah menatap Rigel dengan berani. "Sejak kau bekerja di club itu," ucapnya terang-terangan.

"Sejak saat itu? Itu bahkan sudah hampir tiga bulan. Selama itu?!"

Rigel mengusap wajahnya kasar. Wajahnya sudah memerah dengan mata yang telah berkaca-kaca. Untuk pertama kalinya dia merasakan sakit hati yang luar biasa sakit di dalam dadanya.

"Apa salahku, Erina?" ucap Rigel frustrasi. Dia benar-benar sudah putus asa sekali dengan segala keadaan ini.

"Kau tidak pernah ada saat malam hati, Roby juga yang selalu memberikanku uang untuk membeli riasan dan semacamnya. Kau? Bekerja siang malam tapi hanya memberikan uang yang tak seberapa!" Seru Erina memberikan perlawanan.

"Erina," ucap Roby pelan. Nyaris seperti berbisik pada Erina.

"Biarkan saja dia tahu, Roby. Aku juga lelah hidup miskin dengannya. Lebih baik aku terima saja tawaran untuk ikut tinggal di rumahmu daripada terus tinggal di dalam gubuk tua ini!" Sekali lagi Erina berucap dengan sama sekali tidak ada rasa bersalah di dalam benaknya.

"Erina, kau gila!" Tegas Rigel yang sudah bangkit dari duduknya.

Dia hendak menarik tangan Erina, akan tetapi Roby sudah menghalanginya lebih dulu.

"Kak Erina benar. Dia tak boleh terus hidup miskin seperti ini bersamamu. Aku lebih bisa membahagiakan kak Erin daripada dirimu, kak Rigel."

Kalimat yang diucapkan Roby mampu membuat luka di dalam benak Rigel semakin lebar. Pengkhianatan dari orang-orang dekatnya sekaligus. Sungguh, Rigel merasa dia begitu hancur sekarang.

"Ayo, kak Erina," ajak Roby yang sudah menarik tangan Erina untuk pergi dari sana.

Dimana saat Erina juga berjalan melewati Rigel, wanita itu berkata, "Kita bercerai saja, Rigel. Aku muak dengamu!"

Sebuah Nasib Buruk

Berkali-kali Rigel menarik nafasnya dalam. Berkali-kali juga dia merasakan sakit di setiap tarikan nafas yang dia lakukan. Sakit yang tak bisa terelakan lagi dalam dirinya, rasa sakit yang secara perlahan mungkin telah menggerogoti hidup Rigel sampai hancur nantinya.

Air matanya bahkan tak dapat lagi keluar karena rasanya terlalu sakit. Bagaikan telah disayat mata pisau yang tajam, Rigel bisa merasakan perih di dalam hatinya. Lebih perih dari sekadar luka yang ditaburi garam.

"Aku harus bertemu dengan Ibu," ucap Rigel pada akhirnya. Setelah dia juga hanya terdiam beberapa jam meratapi rasa sakit hatinya.

Mungkin ini satu-satunya cara untuk dia mempertahankan rumah tangganya. Dia masih begitu mencintai Erina, tidak mungkin dia berpisah dengannya. Rigel mungkin bisa memaafkan pengkhianatan Erina ini padanya, meski memang lukanya teramat dalam.

Membutuhkan perjalanan 40 menit untuk Rigel sampai di rumah keluarga Erina. Dia juga hanya mengandalkan kendaraan umum karena dia sendiri tidak memiliki kendaraan pribadi, baik itu motor apalagi mobil.

"Syukurlah, sepertinya mereka sudah bangun," ucap Rigel dengan helaan nafas lega.

Sebenarnya sekarang sudah pukul enam pagi, Rigel bahkan tidak tidur sama sekali karena memikirkan Erina dan Roby.

"Selamat pagi, Pak, Bu. Ini aku Rigel," ucap Rigel dengan ketukan yang dia lakukan pada pintu rumah itu.

Tak sampai menunggu waktu lama, Rigel sudah mendapati pintu tersebut terbuka.

"Ada apa?"

Bukan sambutan baik. Rigel tahu itu dari raut wajah yang ditunjukan wanita paruh baya tersebut. Sorot mata tajam justru malah didapatkan oleh Rigel.

"Ada yang harus aku bicarakan dengan kalian tentang Erina," ucap Rigel tanpa ingin berbasa basi.

"Katakan saja. Suamiku masih tidur, kau tidak bisa masuk dan mengganggu tidurnya," ketus Merlin —Ibu Erina, mertua Rigel.

Rigel sadar, sepertinya Merlin memang masih tidak menerimanya dengan baik sebagai menantu. Padahal, Rigel juga sudah menikah selama satu tahun dengan Erina.

"Erina pergi. Dia berselingkuh dengan Roby, adikku," jelas Rigel lirih.

"Lalu? Apa masalahnya?"

Tidak disangka jika Rigel akan mendapatkan respon seperti itu. Meski Rigel sadar dia tidak diterima, tapi dia sempat berpikir mungkin Merlin akan membantunya. Karena bagaimana pun ini tentang sikap tercela putrinya.

"Lebih baik kau pergi dari sini. Ceraikan saja Erina seperti yang dia inginkan. Mungkin memang adikmu yang bekerja kantoran lebih baik darimu yang hanya bekerja sebagi bartender miskin," ucap Merlin.

Bekum sempat Rigel berbicara lagi, Merlin sudah berjalan masuk kembali dan menutup pintu dengan kasar.

Satu lagi hinaan yang didapatkan Rigel. Membuatnya hanya mampu mengepalkan tangan dengan rahang yang telah mengeras. Dia berada di dalam amarah, tapi tidak bisa untuk melampiaskannya pada siapa pun, pada apa pun.

"Kemarilah!"

Seseorang di seberang jalan nampak melambaikan tangannya pada Rigel. Membuat Rigel teralihkan dari rasa marahnya dan menatap orang itu dengan heran.

"Iya, kau! Kemari!" Serunya lagi memanggil Rigel.

Rigel sempat menolehkan kepalanya ke sana dan kemari, dimana dia tak mendapati siapa pun lagi di sana selain dirinya. Membuat Rigel akhirnya yakin orang itu baru saja memanggil dirinya.

"Kau memanggilku? Ada apa?" tanya Rigel saat dia berhasil menghampiri orang itu.

Seorang pria tinggi dengan setelan jas hitam.

"Iya, tentu saja kau. Siapa lagi?!"

"Kenap?" tanya Rigel semakin penasaran.

Dia malah jadi berdebar sendiri. Cemas jika pria di depannya ini adalah seorang debt collector yang mungkin akan menagih beberapa tagihan yang belum dia bayarkan.

"Kau butuh pekerjaan?" tanya pria itu tiba-tiba.

Rigel lantas mengernyitkan dahinya. Dia kebingungan dan merasa cukup heran.

"Tiba-tiba?"

Pria itu mengangguk. "Ikut aku kalau kau mau. Aku bisa memberikan gaji yang besar."

Rigel semakin ngeri sendiri. Pria asing menawarkan pekerjaan dengan gaji yang besar pada pria yang baru ditemuinya? Yang benar saja. Apalagi kalau ini bukan penipuan?

"Tidak, terima kasih," tolak Rigel masih dengan mencoba bersikap sopan pada pria tersebut.

"Kau yakin? Aku bisa membuatmu kaya mendadak," ujar pria itu tanpa menyerah sama sekali.

Rigel kembali menggeleng. Tawaran untuk memuaskan Madam di clubnya saja dia tolak. Mana mungkin dia menerima begitu saja tawaran tak jelas dari pria asing?

"Tidak, maaf sekali."

"Bukan hanya kaya mendadak, kau bisa menjadi milyarder. Kau bisa mendapatkan apapun yang kau inginkan. Harta, tahta, wanita? Kau bisa mendapatkan semuanya!"

"Maaf, cari saja orang lain," ucap Rigel sekali lagi dengan penolakannya.

Rigel juga lebih memilih untuk meninggalkan pria itu. Dia kini berniat kembali berjalan ke halte bis untuk kembali ke rumahnya. Dia mengabaikan pria yang berkali-kali mencoba memanggilnya.

Ya, dia lebih memilih kembali meratapi nasib buruknya. Di pecat dari pekerjaannya, dikhianati adik dan istrinya, dihina mertuanya. Semua hal buruk yang menimpanya benar-benar membuat Rigel merasa hidupnya telah hancur.

Berjalan sembari menendang-nendang bebatuan kecil di aspal yang dia injak, Rigel benar-benar putus asa sekarang. Sisa uang di kantongnya bahkan hanya tiga ratus ribu.

"Kau harus bisa membuktikan pada mereka kau bisa lebih baik, Rigel!" seru Rigel pada dirinya sendiri.

Dia mencoba menenangkan dirinya agar tidak benar-benar mengambil keputusan yang salah. Atau bahkan harus terus tenggelam dalam nasib buruk ini.

"Ayo, Rigel. Kau pasti bisa untuk membalas d—"

Rigel menghentikan kalimatnya. Bukan karena dia tidak ingin melanjutkannya. Tapi, karena tubuh Rigel baru saja terpental jauh saat sebuah mobil telah menabraknya.

Tubuh Rigel benar-benar telah terpental jauh. Bahkan, dia juga harus berguling-guling di atas aspal yang melukai kulitnya. Nafasnya tercekat, saat dia mencoba membuka mata.

Pandangan mata Rigel telah memburam begitu dia telah berbaring di atas aspal yang kasar. Seluruh tubuhnya terasa nyeri, perih. Kepalanya telah mengeluarkan banyak sekali darah.

"To—long," ucap Rigel terbata dengan suara yang begitu lirih.

Tubuhnya juga tak bisa digerakkan sama sekali. Matanya terasa berat hingga rasanya ingin terpejam terus menerus.

'Mungkinkah ini akhir kisah hidupku? Apa aku harus mati dalam kondisi mengenaskan ini? Dengan segala nasib buruk yang aku bawa hingga kematian ku?' berbagai pertanyaan itu muncul dalam benak Rigel.

Dia berpikir, mungkin inilah waktunya dia mengakhiri hidup, mengakhiri penderitaannya.

"Rigel Zach Spencer."

Dengan sisa kesadarannya, Rigel bisa mendengar samar-samar seseorang menyebutkan namanya. Membuat Rigel berusaha membuka matanya untuk melihatnya.

'Mungkinkah dia malaikat penolong? Atau bahkan malaikat pencabut nyawa?' batin Rigel.

"To—long," ucap Rigel sekali lagi teramat lirih. Nyaris tak terdengar sama sekali.

"Membutuhkan pertolonganku, Spencer? Pegang tanganku, dan aku akan menyelamatkanmu dari kematian."

Rigel semakin samar mendengarnya. Namun, dia bisa melihat dengan pandangan yang hampir menggelap saat satu tangan terulur padanya.

Rigel tak dapat melihat jelas seseorang yang berdiri di hadapannya. Tapi, Rigel bisa menyadari jika itu adalah seorang pria dengan topi hitam. Pria yang nampak tersenyum miring saat melihat kondisi Rigel.

Hingga secara tak sadar, Rigel mencoba meraih uluran tangan itu. Tak perduli siapapun itu, Rigel hanya ingin dia diselamatkan. Dia masih harus hidup untuk membalas perbuatan orang-orang yang telah menghinanya.

Akankah, pria itu benar-benar akan menyelamatkan Rigel?

The Devil Coming

"Sudah bangun, Tuan?"

Rigel membuka matanya, bersamaan dengan seluruh tubuhnya yang terasa nyeri. Bahkan, dia tak mampu untuk sekadar terbangun dari ranjangnya. Kepalanya juga terasa berat sekali, sampai Rigel harus kembali berbaring.

"Jangan dulu memaksakan diri. Tubuhmu mungkin masih belum mampu untuk terbangun."

Sekali lagi suara itu terdengar. Membuat Rigel melihat pada asal suara, dimana seorang wanita tengah berdiri dengan rok span pendek di atas lutut, dan kemeja krem.

Wanita yang cantik dan seksi dengan rambut panjangnya yang tergerai.

"Tunggu, siapa kau?" tanya Rigel dengan suara yang masih terdengar lemah.

Wanita itu tersenyum dengan bibir yang terlihat merah merona. "Aku Hera," ucapnya dengan begitu lembut.

Kaki jenjangnya melangkah pelan untuk mendekat pada Rigel. Dimana dia juga lantas terduduk di samping Rigel, tepat di tepi ranjang yang sedang ditiduri oleh Rigel di sana.

Dan tanpa di duga, tangan Hera kini sudah menelusup ke dalam kemeja Rigel dan menyentuh dada bidang miliknya. Mengusapnya perlahan sembari menatap Rigel dengan senyumannya. Membuat Rigel hanya mampu membulatkan mata dan berusaha mencerna apa yang sedang terjadi.

"Syukurlah kau sudah lebih baik, empat bulan kau tidak sadarkan diri. Akhirnya kau bisa membuka matamu juga," ucap Hera dan menghentikan apa yang telah dia lakukan pada Rigel.

Rigel lantas mengernyit menatap Hera. "Empat bulan?" tanyanya heran.

Sebuah anggukan di kepala Hera seolah membawa ingatan untuk Rigel. Dengan mata yang terpejam, Rigel ingat terakhir kali dia selesai menemui ibu Erina dan bertemu seorang penipu, lalu setelahnya dia tertabrak, dan— entahlah, Rigel tidak ingat apa yang terjadi selanjutnya. Dia hanya bisa merasakan sakit di sekujur tubuhnya.

"Lalu? Dimana aku? Apa aku benar-benar masih hidup? Dimana istriku?" tanya Rigel dengan tubuh yang berusaha dia bangkitkan.

Meski kesulitan, dengan bantuan Hera pada akhirnya Rigel bisa terduduk dan bersandar pada tumpukan bantal. Dia menatap Hera menunggu sebuah jawaban.

"Kau masih hidup, kondisimu juga lebih baik. Dan, kau sekarang berada di rumahmu. Tidak ada istri, Tuan Rigel."

Jawaban Hera membuat Rigel terkejut. Dia melihat ruangan itu. Ruangan besar dengan ranjang king size yang dia tempati. Jelas sekali ini bukanlah rumahnya.

"Tidak, apa aku sedang berhalusinasi? Dimana Erina? Istriku."

Hera lantas mendekat pada Rigel. Dimana dia sudah meletakan satu tangannya pada bahu Rigel, dengan wajah yang kini hanya berjarak beberapa senti saja dari wajah pria di hadapannya.

"Bukan halusinasi, Tuan. Benar-benar tidak ada istri, kau sudah bercerai dengan wanita itu. Dia bahkan sudah menikah lagi dengan adikmu," jelas Hera setengah berbisik.

Rigel kembali terdiam dan berusaha mengerti seluruh keadaan ini. Ini terasa tidak masuk akal. Ini gila.

"Tidak, bagaimana bisa juga ini rumahku? Ini sama sekali bukan rumahku! Dan bagaimana bisa aku berada di sini?"

"Tenanglah," ucap Hera yang kini sudah kembali memberi jarak dengan Rigel. "Kau diselamatkan. Kau sekarat di pinggir jalan, dan ditemukan oleh Big boss."

"Big boss?"

Hera mengangguk. "Pria yang menyelamatkanmu."

"Tidak, siapa dia? Apa itu pria bertopi yang sempat aku lihat?" tanya Rigel.

Hera mengangguk dan mengiyakan. "Ya, sayangnya dia sudah meninggal sejak satu bulan lalu. Sebelum kau tersadar."

Rigel kembali diam. Jelas Rigel akan teramat berterima kasih pada pria itu karena telah menolongnya saat sedang sekarat kala itu. Sayangnya, Rigel tidak akan bertemu dengannya kalau seperti ini.

"Aku harus pulang," ucap Rigel kemudian.

Jujur saja, dia merindukan Erina. Dia ingin mengetahuinya sendiri bagaimana keadaan Erina sekarang.

"Tidak bisa. Kau tinggal di sini sekarang. Lagipula rumahmu mungkin sudah rata dengan tanah sekarang," ucap Hera dengan senyumannya.

"Apa yang sebenarnya kalian lakukan? Kalian, tidak hanya menolongku saja bukan?"

Rigel tidak bisa kalau hanya berpikir positif saja sekarang. Ini terasa janggal. Bagaimana mungkin seseorang yang menolongnya dari kematian malah membuat Rigel harus tunggal di tempat ini dan tak boleh kembali ke tempatnya sendiri.

"Kau sudah membuat perjanjian dengan Big Boss," ucap Hera.

"Perjanjian apa?! Aku bahkan tak sadarkan diri selama empat bulan katamu. Mana mungkin aku membuat perjanjian?!" seru Rigel tak terima.

Hera terkekeh pelan. "Memangnya kau tidak ingat sebelum Big boss menyelamatkanmu? Kau bahkan menerima uluran tangannya."

Rigel kembali mengingat apa yang terjadi hari itu. "Dia hanya mengatakan padaku untuk memegang tangannya," ucap Rigel dengan ingatan yang dia miliki.

"Ya, dan kau meraih tangannya. Di saat dia juga mengucapkan hal lain padamu. Sebelum akhirnya kau benar-benar kehilangan kesadaranmu," jelas Hera.

Rigel berusaha mengingat lagi. Tapi nihil, dia hanya ingat sampai dia mencoba meraih uluran tangan pria itu. Dia tidak ingat lagi segalanya karena semuanya telah menggelap. Dia tidak ingat apapun lagi.

Hera mengangkat kedua bahunya kemudian. "Intinya kau tetap di sini. Ini adalah tempat tinggalmu mulai sekarang."

Sungguh, ini benar-benar membuat kepala Rigel sakit. Tempat itu memang besar dan bagus, tapi Rigel sama sekali tidak bisa mengiyakan begitu saja. Tanpa dia tahu siapa dan bagaimana orang-orang yang ada di sana.

"Apa yang sebenarnya kalian inginkan?" tanya Rigel kemudian.

Hera terdiam, dia menatap Rigel dengan lekat. Sebelum akhirnya senyum itu telah tersungging sekarang dengan cukup tipis.

"Kau. Kau yang diinginkan," ucap Hera dengan keseriusannya.

Dia menatap Rigel dengan begitu lekat. Hingga akhirnya dia kini kembali mendekatkan wajahnya pada Rigel di sana. Dan tanpa di duga, Hera justru malah memberikan satu kecupan pada pipi Rigel, kecupan yang begitu lembut yang mampu membuat Rigel terpaku di tempatnya.

Bohong kalau Rigel tidak merasakan sesuatu yang membuat jantungnya berdebar. Diberikan kecupan oleh wanita cantik dan seksi seperti Hera, Rigel sebagai pria normal jelas bisa merasakan desiran dalam dirinya. Tapi, dia segera mengenyahkannya, dia tidak ingin begitu saja terpesona pada wanita lain.

Hera terkekeh saat mendapati respon Rigel di sana. "Tetaplah di sini, kau akan mendapatkan semua hal luar biasa yang tidak pernah kau dapatkan dalam hidupmu," ucap Hera yang kini sudah bangkit dari duduknya.

"Mau kemana kau?" tanya Rigel penasaran.

"Kenapa? Mau tetap aku di sini menemanimu? Atau ada sesuatu yang ingin kau lakukan padaku, Tuan Rigel?" tanya Hera setengah berbisik dengan mencondongkan tubuhnya pada Rigel.

Suaranya bahkan terdengar begitu sensual.

'Sial!' maki Rigel dalam hati.

Pun begitu, Rigel tiba-tiba menarik pergelangan tangan Hera dan membuat wanita itu semakin mendekat ke arahnya.

"Katakan padaku segalanya. Semua hal yang seharusnya kau jelaskan padaku!" Tegas Rigel dengan sorot mata yang sudah menajam.

Bukan lagi Rigel yang mencoba bersikap lembut dan sopan. Bukan lagi Rigel yang hanya bisa tergugup dalam kebingungan, kini Rigel justru menunjukan tatapan mata yang begitu tajam pada Hera. Bahkan, Rigel mencengkeramkan tangannya begitu erat di pergelangan tangan Hera.

Dengan rahang yang kembali mengeras, Rigel kembali berucap, "Katakan sebelum aku melakukan hal buruk padamu!"

Meski sempat ketakutan akan sikap Rigel yang tiba-tiba berubah, Hera justru tersenyum beberapa saat kemudian.

"Here we go. The devil's coming."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!