Satu pesan inbox dari Rima masuk ketika aku baru selesai mandi pagi.
"Halo, Kia! Kamu sudah tahu Bimo meninggal?" tulisnya.
Aku kaget!!
Langsung kubuka profil Rima aku cari pertemanannya. Ada nama Bimo di situ. Aku buka profil Bimo memang benar. Keluarga mengumumkan kematiannya. Meminta doa dan maaf kepada semua teman. Kalau Bimo pernah melakukan salah.
Berarti kabar ini benar pikirku.
"Dia bahkan, belum meminta maaf padaku..." desisku, menatap profilnya.
Pria yang selama sepuluh tahun sangat ku benci itu adalah Bimo. Dia meninggalkanku dengan Wanita lain dan menikah. Tanpa bicara apapun padaku.
Aku bahkan bersumpah tidak akan pernah memaafkannya. Aku mengatakan semua itu, saat terakhir bertemu dengannya.
Otakku masih mengingat semua kejadian itu. Secara detail dan jelas. Satu persatu terlintas seperti film.
"Masih sakit ternyata... "
Aku mengusap dadaku sambil menahan sesak.
"Bisakah aku memafkannya?
Bisakah aku mengikhlaskannya?" tanyaku.
Aku menutup wajahku dengan kedua tangan dan menarik napas dalam-dalam.
"Iya... aku sudah tahu," kubalas inbox Rima.
Sekarang aku mengurangi keakrabanku dengan Rima. Dia sudah menikah dan punya dua anak. Dia harus fokus dengan keluarganya pikirku. Makanya aku jarang berkomunikasi dengannya supaya jangan membebani pikirannya.
Kulihat foto terakhir Bimo terbaring di ranjang rumah sakit dengan selang infus dan oksigen. Aku tidak mau menerima pertemananya. Aku masih sangat membencinya.
Di kolom komentar banyak teman- teman menyemangatinya dan mendoakan kesembuhannya. Kanker lambung ternyata penyakit yang merenggut nyawanya.
Mungkin karena kebiasaannya minum-minuman keras sejak SMA menjadi satu faktor penyebabnya. Aku sering menasehatinya tapi dia orang yang keras.
Selama sepuluh tahun aku membencinya dan tidak mau tahu kabarnya. Seperti ketika Rima memyampaikan bahwa Bimo bercerai dengan istrinnya. Aku tidak menghiraukan malah mentertawakan.
"Bagus, dong! Biar dia tahu, rasanya menderita!" kataku, sambil tertawa.
Rahasia, yang kupendam dalam hati. Hanya beberapa orang saja, yang tahu. Dua tahun belakangan baru terungkap. Tapi hatiku sudah membeku untuk memaafkannya.
"Aku tidak akan memaafkannya!" kataku, masih dendam.
Jahat memang tapi ini semua karenanya. Aku bahkan tidak bisa percaya sepenuhnya dengan laki-laki. Karena trauma berhubungan asmara yang serius.
Aku sangat membencinya tapi kenapa ketika mendengar dia meninggal hatiku rasa teriris. Tak terasa air mataku jatuh menetes. Aku berusaha menghentikannya tapi tak bisa.
Sebulan yang lalu Andi sepupuku menelpon mengatakan bertemu Bimo di sebuah Cafe. Mereka mengobrol sangat lama. Saat itulah Bimo menanyakanku. Dia bilang ingin bertemu denganku. Ada sesuatu yang ingin dikatakan sesuatu, yang harus kutahu. Tapi aku tidak menggubris ketika Andi mengatakan semua.
Andi mengatakan, Bimo agak kurusan. Mungkin lagi sakit tapi aku tak perduli. Aku tidak mau bernostalgia dengan masa laluku yang tidak bisa aku maafkan. Semua itu karena sakit yang masih kurasakan. Aku tidak pernah lupa semua yang Bimo lakukan padaku.
"Haruskah aku pulang melayatnya?" tanyaku, dalam hati sambil berpikir.
Aku baru saja minta izin cuti bulan kemarin ketika Papaku sakit.
"Ah, biarlah! Aku ke sana pun tidak ada gunanya juga," pikirku.
Kami memang berbeda Kota. Aku pulang kalau libur kerja atau cuti. Itupun hanya untuk menjenguk Orang tuaku.
Kalau pulang ke sana cuma sebentar. Aku harus bekerja keras menghidupi diriku dan menghilangkan rasa sakit yang pernah ku alami.
Untung saja ada Andi dan istrinya Lala yang menemani Papa dan Mamaku. Andi bekerja di sebuah perusahaan Tambang di Kotaku.
Dia punya Anak kembar merekalah yang menghibur Papa dan Mamaku. Papa sekarang sering bertanya, kapan mau menyusul Andi memberikan Papa seorang Cucu.
Derrrr..ttt.
Handphoneku bergetar kulihat dari Andi.
"Bimo meninggal, Kia!"
Andi berkata padaku.
"Aku sudah tahu... tadi pesan Rima ada di inboxku," jawabku pelan.
"Kamu baik-baik saja, kan? " tanya Andi cemas.
"Ya! Kaget, sih, tapi itu mungkin sudah takdir," kataku, mencoba menutupi sedih.
"Seminggu yang lalu, aku tahu Bimo di rumah sakit," kata Andi.
"Tapi aku tidak sempat menjenguknya," suara Andi parau, seperti menyesalinya.
"Kita doakan saja, lah! Semoga, dia tenang di sana," kataku, pada Andi.
Mencoba untuk kuat, padahal aku pun menangis.
"Kamu harus bisa memaafkanya, Kia! Biar dia tenang," pinta Andi.
"Ya! Akan kucoba, sudah dulu ya, Andi! Aku harus kerja bye..."
Aku mematikan panggilan.
Sepuluh tahun luka ini sudah aku coba untuk menyembuhkannya tapi tetap tidak bisa.
Sosok Bimo terlalu sulit dihapuskan. Ada sesuatu di antara kami yang tidak bisa diubah ada sesuatu yang tidak bisa dihilangkan.
Aku bahkan mencoba berhubungan dengan beberapa Pria. Untuk bisa melupakannya tapi tetap tidak bisa.
Aku juga pernah mencoba melakukan pada Pria lain. Seperti yang Bimo lakukan padaku yaitu berselingkuh. Tapi jadinya aku yang merasa sangat bersalah. Aku bahkan memohon maaf pada mantanku karena melakukan hal tersebut.
Tapi seorang Bimo. Dia melakukannya dan meninggalkanku tanpa sepatah kata pun. Tanpa merasa bersalah sedikitpun tanpa meminta maaf padaku.
Perasaanku tidak karuan bercampur antara sedih marah benci pokoknya tidak bisa di gambarkanlah. Mungkin karena hubunganku dengan Bimo dulu terlalu dalam dan susah dilupakan.
"Ah.. , sudahlah, aku harus berangkat kerja, itu lebih penting sekarang," pikirku dalam hati.
Akupun cepat bergegas dan bersiap ke kantor. Apalagi hari ini, ada rapat dengan Kak Santi jam sembilan pagi.
Aku bekerja di sebuah Kantor perusahaan Telekomunikasi. Sebagai Manager Administrasi dan Keuangan.
Aku dulu bekerja dari seorang Pegawai kontrak. Sampai seperti ini karena ambisi dan usaha yang besar. Semua tidak aku capai dengan mudah. Semua penuh usaha dan perjuangan.
"Kamu sakit, Kia? "
Wiwin menyapaku ketika aku baru keluar dari mobil.
" Tidak... aku baik, kok!" jawabku, sambil mencoba tersenyum.
Wiwin temanku dari pertama bekerja. Dia sekarang staff Financial satu kantor denganku tapi beda divisi.
"Kamu! Seperti orang bingung,," ujarnya, menatapku.
"Aku sehat, kok!" Aku menjawab, sembari meraih tangannya.
"Ayo masuk! Nanti terlambat," ajakku padanya.
Kami pun melangkah menuju pintu masuk. Aku akan fokus dengan bekerja hari ini.
Hal yang lain dipikirkan nantilah karena ini lebih penting pikirku.
** Maaf tempat tempat dalam cerita ini tidak disebutkan secara terperinci karena permintaan ..
** Aku akan upload cerita seminggu 2 kali..
selamat membaca .. terima kasih...
Namaku Saskia Septiara wajahku lumayan cantik tetapi tidak pandai bergaul. Aku suka musik tidak populer dan tidak pernah ikut kegiatan seperti lomba-lomba yang sering diadakan di sekolah.
Aku tidak diperbolehkan oleh Papaku. Mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah.
Hanya Rima temanku yang akrab. Yang lain sebatas say hallo saja. Tapi kami sekelas semakin hari akan semakin akrab. Bahkan sering aku bercanda dengan temanku. Kami bahkan saling bantu dalam pelajaran.
Aku diberi gelar Anak Papa. Karena ke sekolah di antar dan jemput Papa. Papaku, seorang Pegawai perusahaan Tambang minyak.
Aku anak tunggal mungkin karena itu juga. Papa sangat keras padaku. Dilarang keras pacaran kemana-mana diantar Papa. Tidak boleh apapun tanpa izin Papa. Bahkan aku tidak ikut pelajaran tambahan kalau itu tidak wajib.
Aku tidak pernah bisa pergi keacara ulang tahun temanku kalau acaranya malam hari. Tidak pernah dapat izin kadang-kadang aku iri. Teman-temanku bisa jalan-jalan dan kumpul-kumpul. Sementara aku di rumah dan belajar. Aku hanya bisa mencuri waktu kalau Papaku sedang kerja.
Satu kelebihanku aku murid yang pintar. Selalu rangking satu di kelas. Aku juga suka mendengarkan musik dan menyanyi. Walaupun dalam kamar mandi.
Pertama kali bertemu Bimo. Saat di ruang guru. Dia murid pindahan sekolah lain. Entah kenapa dia sampai pindah. Mungkin suka membolos atau nilai jelek. Yang pasti dia harus pindah supaya bisa naik kelas.
Aku tidak pernah bertemu Bimo. Secara langsung ataupun bicara. Padahal kami satu Komplek perumahan.
Kulihat dia diberi pengarahan disuruh belajar sungguh-sungguh. Karena dia sudah mendapat predikat siswa naik pindah.
"Kamu harus giat belajar dan mengubah sifatmu," kata Pak Eko, guru olahraga dengan tegas, sambil menatap Bimo.
Dia cuma meggangguk sambil melirik kepadaku. Karena dari tadi aku melihatnya. Tak sengaja aku mendengar dia dinasehati.
Saat itu aku, dipanggil bu Ningsih Wali kelasku. Untuk membenahi absen kelas. Sebenarnya ini tugas Dewi ketua kelas kami. Tapi dia sedang izin sakit.
"Kia...tolong nanti ditulis sesuai abjad, ya! Semua nama namanya," pinta Bu Ningsih.
"Iya, Bu," sahutku.
"Terima kasih, Kia...kamu bisa kembali ke kelas," kata Bu Ningsih, sambil menyerahkan berkas absensi murid kelasku.
Aku perpapasan dengan Bimo. Dia menatapku tanpa ekspresi. Aku juga melihatnya dengan datar.
Setelah itu aku tidak pernah bertemu dengannya. Walaupun kami satu sekolah. Tapi kami beda kelas. Jadi kesempatan untuk bertemu hampir tidak ada.
Aku tidak pernah berjalan-jalan ke kelas lain. Seperti yang sering teman-teman lakukan. Aku hanya berada di lingkungan kelas. Makanya aku tidak punya banyak teman aku sulit bersosialisasi. Mungkin karena susahya dapat izin. Kalau mau berkumpul dengan teman.
Satu-satunya tempat yang kukunjungi hanyalah kantin sekolah. Itu pun kadang-kadang saja. Aku lebih suka membawa bekal makan di kelas sendiri. Walaupun uang sakuku lebih dari cukup . Takut tidak higienis kata Mamaku. Jadi setiap pagi Mama selalu membuatkan bekal untukku.
Setelah beberapa bulan baru aku mendengar kabarnya. Dia pacaran dengan Eny cewek yang sering ikut modelling heboh sekali beritanya.
Bimo memang terkenal, dikalangan cewek. Apalagi di seputar sekolahku. Karena dia ganteng. Tapi dia pacaran dengan Eny yang notabene, adalah kakak kelas kami.
"Cinta itu buta, tidak mengenal umur," kata Rima.
"Wah! Seperti mereka yang punya sekolah," cibir Rima.
Ketika melihat Bimo dan Eny datang. Mereka bersama naik motor gede Bimo. Terlihat sangat mesra.
Walaupun aku nanti dekat dengannya. Tapi aku tidak pernah membonceng Bimo ke sekolah. Tapi kalau ikut membolos aku bisa.
"Serasilah... yang satu ganteng, yang satu cantik," sahutku, sambil menggerakan bahu. Langsung menuju kelas. Rima mengikutiku sambil terkekeh.
Dari sekian banyak murid aku cuma bisa akrab dengan Rima. Mungkin karena Rima tinggal dengan Bibinya. Pamannya kerja satu perusahaan dengan Papa. Jadi kami masih satu komplek.
Rima sering ikut aku ke sekolah. Kalau Pamanya tidak bisa mengantarnya. Kami nanti akan berangkat bersama. Dan melewati hari hari bersama.
Tak terasa sudah hampir kenaikan kelas. Aku harus konsentrasi, ini ulangan akhir semester. Untuk kenaikan kelas. Aku tidak mau, kecolongan sedikitpun.
"Harus berjuang sampai akhir," batinku.
Sebenarnya ulangan, bukan momok bagiku. Aku pasti bisa menjawabnya karena aku termasuk siswa yang pintar. Tapi aku tidak mau rangkingku diambil oleh temanku. Salah satu sainganku hanya ketua kelas. Dia adalah Dewi temanku.
Satu persatu soal dapat kujawab dengan mudah. Papaku walaupun keras tapi kalau soal buku dan bahan pelajaran. Semua yang menyangkut soal sekolah. Selalu menyediakan yang terbaik untukku. Semahal apa pun harganya. Kalau menyangkut pelajaran Papaku pasti membelikannya.
"Papa memang the best," kataku dalam hati, sambil tersenyum.
Papa kalau dinas keluar kota oleh-olehnya paling sering buku yg berkaitan dengan pelajaran.
"Nih! Papa belikan buku, cara memecahkan soal matematika," kata Papa.
Aku adalah Kia yang menurut sama Papa saat itu.
Aku tersenyum melihat Papan pengumuman. Rangking ku tetap nomor satu .
"Seandainya, aku bisa masuk sepuluh besar, " gumam Rima, di sebelahku.
"Kau pasti minta hadiah, sama pamanmu, kan?" bisikku, di telinga Rima.
Dia tertawa dan memukulku.
"Kau tahu saja apa yang kupikirkan, Kia!" katanya, sambil tersenyum padaku.
"Liburan kemana?" tanya Rima.
"Kau seperti tidak tahu, Papaku! Mana bisa aku liburan sendiri, tanpa Orang tua," gumamku, sambil menunduk.
Rima tertawa sambil mengejek.
"Terima saja, nasibmu....." Ledek Rima dan lari menjauh.
"Awas kau! " kataku, berusaha mengejarnya.
Tapi dia sudah hilang di ujung lorong kelas.
"Kemana dia? Cepat sekali larinya," kataku, sambil mengatur nafas.
"Memang mau liburan kemana?" tanya Mama, sambil menyiapkan, makan malam.
"Papamu sibuk sekali, tidak bisa diganggu," sambung Mama.
"Masa harus di rumah sih, Ma," kataku, sambil membenamkan wajahku di bantal sofa.
"Ketempat nenek saja ya? Kebetulan tadi bu Joko bilang, Rima mau ketempat Ibunya, jadi bisa sama sama," kata Mama, berusaha membangunkanku.
"Terserah deh!" sahutku, sambil memeluk Mama.
"Yang penting, jangan di rumah," sambungku, Mama membelai rambutku, sambil mengangguk.
** Sampai di sini jangankan berbicara bertemu dengan Bimo pun bisa dihitung dengan jari.
** Sabar ya ceritanya masih pengenalan tokoh, nanti yang serunya belum keluar.
Bimo Aditama, putih ganteng pokoknya di atas rata-rata lah. Tapi hobiny berbanding terbalik suka kumpul-kumpul dengan teman se geng balap motor dan banyak lagi. Tidak bisa disebutkan minuslah kata lainnya. Perokok dan peminum berat. Sikapnya cuek dingin pada orang asing.
Banyak juga hobi Bimo yang bagus. Dia hebat main basket. Pernah jadi pemain inti saat SMP. Bimo bagus dalam menggambar. Dia sering menggambar wajahku. Bimo kalau sudah punya kemauan sedapat mungkin dia wujudkan.
Anak ketiga dari empat bersaudara. Kakak pertama cewek sudah menikah. Kakak kedua cowok masih kuliah. Adik perempuan masih SMP.
Ayahnya satu perusahaan dengan Papaku berbeda divisi. Tapi Ayahnya menikah lagi dan tinggal dengan Istri muda. Sehingga dia hanya tinggal dengan Mama dan saudaranya.
"Belajar yang benar, nanti kuliah sama Kakak," kata Mamanya, sambil menatap Bimo serius.
"Iya, Ma! Tapi tidak janji, ya?
Mama kan tahu, Bimo kurang cerdas," katanya, sambil membersihkan motornya.
"Kurang cerdas, apa kurang rajin? terserahlah Bim! mama juga capek," kata Mamanya, sambil menjauh.
Bimo hanya tertunduk dan melanjutkan kegiatannya.
"Tumben! Mama perhatian," katanya, sambil tertawa kecil.
Bimo sebenarnya sangat menyayangi Mamanya. Walau sering tidak sadar kelakuannya sering membuat Mamanya harus meminum obat sakit kepala.
Karena Ayah bimo menikah lagi. Makanya Mamanya seperti masa bodoh dengan apa yang dilakukan anaknya.
Mama Bimo jarang di rumah. Sering ikut kegiatan Ibu-ibu di perusahaan. Tidak seperti Mamaku yang cuma tinggal di rumah saja. Mungkin itu caranya untuk menghilangkan stres karena keadaan.
Bimo sering menyaksikan bagaimana Mamanya terluka karena Ayahnya. Sampai membuat Mamanya hampir bunuh diri.
Ayahnya jarang pulang ke rumah. Sejak Bimo kecil dia tidak pernah dekat. Bahkan merasakan kasih sayang Ayahnya. Aku baru mengetahui ketika aku dekat dengannya.
Luthfi orang yang paling dekat.
Dia dengan Bimo adalah sahabat. Mereka satu sekolah dulu sebelum Bimo pindah ke sekolahku. Aku sering melihat mereka bersama karena rumahku masih satu komplek dengan rumah Bimo.
Perusahaan tempat Papaku bekerja menyediakan perumahan untuk karyawannya.
Jadi kadang-kadang aku melewati depan rumah Bimo . Dia juga begitu kadang-kadang lewat depan rumahku. Tapi aku tidak pernah menyapanya mungkin karena takut melihat dia seperti itu.
Pernah satu kali ketika aku sama Papa mau pulang dari jalan-jalan. Kebetulan lewat di depan rumahnya. Terlihat dia dengan teman-temannya sedang kumpul.
"Seperti tidak punya masa depan!" ketus Papa.
Aku cuma diam dan ikut menoleh melihat mereka. Kulihat mereka sedang merokok dan ada minuman keras parah sekali mereka pikirku.
"Apa Orang tuanya tidak menegur, Pa?" tanyaku pelan, pada Papa.
Papa menggelengkan kepala dan kembali fokus menyetir. Penilaian Papa pada Bimo sudah tidak baik! Itulah kenapa Papa sangat menentang hubungan kami. Benar kata orang kesan pertama lah yang paling diingat.
Orang sering bilang Bimo playboy karena sering pacaran. Cewek yang dipacarinya selalu cantik dan populer semua. Tapi kenapa tidak pernah lama mungkin dia orang yang cepat bosan.
Entahlah kalau itu aku juga kurang tahu. Aku bahkan nantinya salah satu penyebab dia putus sama pacarnya.
Kakak Bimo yang sudah menikah tinggal di luar kota ikut suaminya.
Yang kedua juga kuliah di luar kota. Jarang sekali pulang kerumah apalagi setelah menikah nanti.
Bimo sama mama dan adiknya yang masih tinggal di rumah.
Keluarganya sering dibilang orang keluarga berantakan.
Kakaknya menikah dengan orang yang agamanya berbeda dan pindah agama mengikuti suaminya.
Kakaknya yang kedua sangat baik aku memanggilnya Mas Tito.
Adiknya yang SMP namanya Tari. Nanti Tari akan menikah sebelum tamat SMA karena hamil.
Bimo suka balap motor setiap ada kejuaraan balap dia selalu ikut lomba. Dia punya teman namanya Bang Jek punya bengkel dan seperti Ayah bagi Bimo. Dia tempat Bimo mengadu semua masalah.
Saat pacaran dengannya aku juga sering nonton dia lomba. Saat ada kejuaraan balap yang diadakan di daerahku.
Dia bahkan membawaku keliling sirkuit. Aku sangat, malu sekali. Orang orang bertepuk tangan sambil berteriak tapi dia malah cuek.
Foto saat kejuaraan pernah jadi koleksiku. Tapi semua sudah kubakar saat kami selesai. Bukan cuma foto saja semua hadiah yang diberikannya sudah aku musnahkan.
Cuma cincin yang masih kusimpan karena aku bermaksud akan mengembalikannya nanti.
Kalau masalah cewek dia sebemarnya pemalu. Aku rasa mungkin ada hal yang ingin diperlihatkannya kepada banyak orang.
Bahwa dia bisa punya pacar cantik dan populer. Walaupun tidak terkenal karena prestasi.
Jadi,dia terkenal hanya karena tampan. Tapi denganku dia selalu menggoda selalu membuat emosiku tinggi.
Mungkin karena aku mudah sekali marah dan merajuk. Kesukaanku seperti anak-anak.
Dia bahkan menggodaku. Dia bilang aku mirip anak Kakaknya.
Setahuku ketika di sekolah dia tidak punya begitu banyak teman. Mungkin teman-teman sedikit takut. Hobi Bimo yang tidak wajar di mata mereka. Anak SMA sudah, merokok dan minum.
Tapi ke depannya dia sering membuatku emosi bersama Heri yang juga teman kelasku. Mereka sering duet menggodaku. Membuat kadar emosiku naik.
Teman Bimo di luar sekolah
banyak. Karena sering kulihat kalau jam istirahat dia keluar sekolah. Dengan meloncat pagar belakang. Untuk bertemu teman, yang lain sekolah.
Pada saat itu aku melihatnya seperti berandal. Karena aku belum kenal baik dengannya. Seperti cuma melihat kulit luarnya saja dan juga apa yang orang-orang katakan tentang dia.
Tapi setelah memgenalnya aku tahu dia penyayang walaupun kadang-kadang cuek.
Kalau soal pelajaran guru guru sepertinya sudah angkat tangan. Mungkin karena sudah lelah menasehatinya . Dia selalu bilang iya iya tapi tetap saja tidak dilakukan.
Akhirnya itu juga yang nantinya membuat dia pindah ke kelasku. Karena cuma Bu Ningsih guru yang paling tegas dan ditakuti murid.
Ibu Ningsih wali kelasku terkenal sangat disiplin. Bahkan berani memanggil Orang tua murid kalau itu dirasa perlu.
Beberapa murid yang nilainya tidak meningkat. Disuruh datang ke rumah Bu Ningsih untuk belajar tambahan.
Tapi saat ujian akhir dia mati-matian belajar supaya lulus. Untuk membayar janjinya padaku.
Aku tambahkan sesuatu. Karena cuma aku yang tahu. Bimo agak dingin kurang bisa mengekspresikan perasaannya.
Dulu aku sering bingung mengartikannya. Lambat laun aku baru mengerti kalau marah dia diam.Tapi hati hati, kalau sudah meledak.
Bimo kalau membuat keputusan tidak bisa di ganggu gugat. Aku adalah orang yang tidak pernah menang melawan maunya Bimo.
Seperti berbuat seenaknya padaku atau memaksakan kehendaknya. Tapi setelah bekerja dia dewasa bahkan bisa menjadi pelindungku.
Dia tidak romantis, dalam kata-kata. Dulu kalau dia memberiku hadiah ulang tahun cuma di berikan saja tidak ada kata rayuan. Setelah dibuka ada hadiah dan kartu ucapan saja.
"Selamat ulang tahun," cuma itu yang tertulis tidak ada yang lain. Tidak pernah mau ada kue dan lilin kalau ulang tahun. Dia juga tidak suka makan malam romantis seperti dinner.
Tapi kalau minum jangan dilawan dia hebat.
Dia bahkan tidak pernah mengatakan. "Aku cinta padamu!!" kepadaku.
Kalau kutanya kau cinta padaku. Dia cuma menjawab "Ya!" singkat. Tidak ada sambungannya. Pernah aku mendesaknya.
"Katakan! Aku cinta padamu," pintaku, sambil merengek.
" Iya... iya... iya... 10 kali, " jawabnya, langsung beranjak peegi seperti mau menghindar.
Tapi dia tidak segan dalam skinship. Dia kadang-kadang, memelukku memegang tanganku walaupun di lihat banyak orang.
Andai dia tahu aku menunggu kata cinta itu keluar dari, mulutnya. Dari awal sampai akhir kami berpisah kata itu tidak pernah terucap, dari bibirnya.
** Episode nanti kita liburan yuk sama Kia di kota kelahirannya dan mengenal orang orang yang akan membantu Kia saat terpuruk, nanti aku tulis tempat tempatnya.
** Ayo dong di like komen dan vote ....supaya saya lebih semangat ...terima kasih yang sudah membaca...❤❤
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!