"Sica, disini!!"
Seorang gadis dalam balutan dress merah terlihat melambaikan tangannya pada Jessica sambil tersenyum lebar. Membuat gadis yang dipanggil ikut tersenyum juga.
Tanpa banyak berpikir, Jessica pun segera menghampiri gadis tersebut yang merupakan sahabatnya.
Keduanya kemudian berpelukan dan saling melepas rindu. Ini adalah pertemuan mereka kembali setelah satu tahun. Selama ini Jessica tinggal di Inggris bersama ibunya. Dan dia pulang atas permintaan sahabatnya.
"Aku merindukanmu," ucap keduanya nyaris bersamaan.
Lalu mereka melepaskan pelukannya. Perempuan itu membawa Jessica pada teman-temannya dan memperkenalkan dia pada mereka.
Sebenarnya Jessica bukan sahabat satu-satunya, karena dia memiliki sahabat yang lain meskipun tak sedekat gadis itu.
"Halo, Sica. Aku Devan," seorang laki-laki muda dan tampan memperkenalkan dirinya pada gadis itu.
"Ya, Devan. Senang bertemu denganmu," Jessica tersenyum.
Acara saling memperkenalkan diri pun telah selesai. Gadis itu 'Jia mengajak Jessica untuk menikmati pesta yang dia adakan ini. Ini adalah pesta lajang, dan yang datang adalah mereka yang belum memiliki pasangan. Dan tujuan dari diadakannya pesta lajang adalah untuk membantu mereka menemukan pasangannya.
"Sica, sebentar lagi. Aku tinggal dulu. Aku mau menemui tamu-tamuku yang lain." Jessica mengangguk.
Devan mengambil dua minuman dari seorang pelayan yang lewat di depannya lalu membawanya pada Jessica dan memberikannya satu padanya. "Mari bersulang," kemudian Jessica menerima minuman tersebut.
"Aku belum pernah melihatmu sebelumnya, apa kau dari luar negeri?" Kemudian Devan duduk disamping Jessica. Keduanya kemudian terlibat dalam obrolan ringan.
"Ya, selama ini aku tinggal di luar negeri dan pulang atas paksaan Jia." Jawabnya.
"Pantas saja. Aku, Jia dan teman-teman yang lain sering berkumpul bersama tetapi hanya kau saja yang tidak ada." Devan tersenyum.
Jia kemudian menghampiri mereka berdua dan menginterupsi obrolan keduanya. "Dev, Sica-nya aku bawa pergi dulu ya. Nanti lagi saja kalian mengobrolnya. Ayo, anak-anak ingin bertemu denganmu. Mereka bilang sangat merindukanmu."
Devan tersenyum tipis. Sepertinya dia baru saja merasakan yang namanya jatuh cinta pada pandangan pertama. Baru kali ini ada gadis yang mampu membuat jantungnya berdetak cepat hanya dengan sekali menatap matanya.
.
.
Jessica dan Jia saat ini sedang berkumpul bersama teman-teman semasa sekolahnya dulu. Pesta lajang yang Jia adakan benar-benar bisa menjadi ajang reunian dengan teman-teman lamanya. Mereka sudah lama sekali tak bertemu dan ini adalah pertama kalinya setelah kelulusannya beberapa tahun lalu.
"Oya, Jess. Bagaimana hubunganmu dengan Mike, apa masih tetap berlanjut?" Tanya salah satu teman Jessica yang diketahui bernama Nana.
Jessica menggeleng. "Kami sudah putus sejak tiga tahun lalu, Mike kemudian menikah dengan perempuan pilihan orang tuanya. Sekarang dia sudah memiliki tiga anak."
"What?! Tiga anak, berarti dalam satu tahun melahirkan satu anak dong?! Astaga, istrinya benar-benar hebat. Pasti lubang miliknya sudah sebesar mulut gelas ini." Ucap seorang gadis berambut pirang sebahu.
Alhasil beberapa jitakan mendarat mulus di kepalanya. "Yakk!! Apa-apaan kalian ini?! Sakit tau," protes gadis itu sambil mengusap kepalanya yang baru saja dijitak oleh teman-temannya.
"Dasar pecinta batang. Kenapa otakmu selalu saja cepat nangkapnya jika sudah berhubungan dengan lubang buaya dan batang palu?!" Sahut Jia menimpali.
Dan gelak tawa pun seketika memenuhi ruangan VIP tersebut. Melihat tingkah teman-teman lamanya membuat Jessica menggelengkan kepala. Ternyata keseruan mereka tak berubah sama sekali. Mereka tetap seheboh dulu.
Ada satu hal yang Jessica sukai dari mereka, mereka tak pernah membeda-bedakan teman. Baik itu yang berasal dari keluarga berada maupun yang dari keluarga sederhana. Dan menemukan teman-teman seperti mereka seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Tidak mustahil, namun sulit.
Pesta pun berlanjut sampai malam hari. Dan entah sudah berapa gelas yang telah Jessica minum sampai membuatnya sedikit mabuk. Jia sudah tepar karena terlalu banyak minum, begitu pula dengan yang lain. Dan beberapa diantara mereka ada yang seperti orang gila karena ngoceh sendiri.
Akhirnya Jessica pun memutuskan untuk memisahkan diri dari mereka. Ini adalah hotel milik keluarga Jia, dan dia memfasilitasi semua teman-temannya dengan kamar mewah. Jia dan Jessica satu kamar, Jessica pergi lebih dulu karena kepalanya sangat pusing.
.
.
Tapp...
Gadis itu menghentikan langkahnya diantara dua pintu yang ada di depannya. Jari telunjuknya menunjuk kedua pintu itu bergantian. Jessica bingung antara kamar yang kiri atau yang kanan. Otaknya tak dalam keadaan stabil karena minuman yang dia minum tadi.
"Hm, kanan atau kiri?" Jessica berpikir sambil memiringkan kepalanya. "Kiri!! Ya aku ingat, kamar yang kiri."
Cklekk...
Decitan suara pintu di buka dari luar mengalihkan perhatian seorang laki-laki yang sedang berbaring diatas ranjang hotel. Matanya memicing menatap siluet seorang wanita yang berjalan menghampirinya. Dia kebingungan dan bertanya-tanya, perasaan dia tak memanggil wanita untuk menemaninya tapi kenapa ada perempuan yang datang.
Lelaki itu tak bisa melihat seperti apa mukanya karena lampu kamar yang tak dia hidupkan. Hanya ada cahaya remang dari sang penguasa malam.
"Eh, kenapa gelap sekali? Apa Jia bodoh itu lupa tak menghidupkan kamar ini sebelum pergi?" Jessica pun kebingungan melihat suasana kamar yang gelap gulita. Namun dia tak begitu menghiraukannya.
Dengan sedikit terseok-seok, Jessica melangkahkan kakinya memasuki kamar berukuran super luas tersebut. Tidak heran karena ini adalah kelas VIP di hotel ini. Jessica tak menyadari akan keberadaan seseorang di kamar ini. Dan dengan santainya dia menjatuhkan dirinya diatas tempat tidur di samping pria itu duduk.
"Hei, apa yang kau lakukan disini? Pergi dari tempat tidurku dan keluar dari kamar ini. Aku sedang tidak ingin diganggu!!"
Jessica mengangkat wajahnya dan matanya memicing melihat keberadaan seorang laki-laki di kamar ini. "Eo, ternyata ada orang lain juga di kamar ini. Aku pikir hanya aku dan Jia saja yang menempati kamar ini. Tapi tidak apa-apa, aku sih tidak masalah. Uhh, kenapa panas sekali?"
"Apa yang kau lakukan? Pakai kembali semua pakaianmu jika kau tidak ingin aku tunggangi sekarang juga!!" Ancam lelaki itu namun tak di gubris oleh Jessica.
Lelaki itu mengusap wajahnya dengan kasar. Bagian bawahnya berdiri tegap melihat apa yang Jessica lakukan. Dia benar-benar tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Tanpa berkata apapun lagi, dia segera menyerang Jessica dengan mencium bibirnya. Mel*mat dan memagutnya dengan keras.
Dan mana mungkin seekor singa yang sedang kelaparan akan diam saja ketika di suguhi seonggok daging segar di depan matanya. Dia pasti akan langsung menyantapnya.
-
-
Bersambung.
"Apa-apaan ini?!"
Jessica terbangun dan berteriak sekencang-kencangnya saat menyadari jika dirinya berada disebuah tempat asing tanpa sehelai benang pun selain selimut tebal yang membungkus tubuhnya.
Lalu dia menggulirkan pandangannya ke segala penjuru arah, berharap menemukan orang lain di dalam kamar itu. Namun nihil, karena tak ada orang lain di kamar ini selain dirinya.
Sebuah kertas yang tergeletak di atas meja menyita perhatiannya. Perempuan itu lantas turun dengan balutan selimut yang membungkus tubuh tel*njannya. Alisnya terangkat, dari kertas itu lalu pandangannya bergulir pada black card yang ada di atas meja.
Mengambil black card itu dan menghela napas. Dalam hatinya dia mengumpat tidak jelas, bagaimana bisa hal mengerikan ini terjadi?
Dan mau disesali juga percuma, toh semua juga sudah terjadi. Mau marah-marah juga tidak ada gunanya. Karena itu tidak akan mengembalikan apa yang telah hilang, stress dan sedih juga percuma. Itu hanya akan menyiksa diri sendiri. Untungnya ini bukan masa suburnya, jadi Jessica tak perlu takut jika dirinya akan hamil.
Ponselnya tiba-tiba berdering. Nama Jia tertera menghiasi ponselnya yang menyala terang. Alih-alih menerimanya Jessica malah mengabaikan panggilan tersebut. Perempuan itu lantas melenggang pergi ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang terasa lengket oleh keringat.
.
.
"Permisi, Nona. Saya datang Untuk mengantarkan pakaian anda,"
Jessica memicimkan matanya dan menatap pelayan hotel itu dengan bingung. "Pakaian apa? Perasaan aku tidak memesannya."
"Memang bukan Anda, Nona. Tetapi teman laki-laki, Anda. Dia memerintahkan pada saya untuk mencarikan dress untuk Anda lalu mengantarkannya ke kamar ini."
"Laki-laki yang bersamaku?" Jessica bergumam, kedua matanya kontak membelalak. "Lalu di mana laki-laki itu sekarang?" Jessica menatap pelayan itu penasaran.
"Beliau baru saja pergi." Jawabnya.
"Baiklah, aku terima pakaiannya. Kau boleh pergi sekarang,"
Jessica menutup kembali pintu kamarnya lalu berlari kearah jendela yang berada di samping kiri tempat tidur. Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat ada dua laki-laki muda berjalan ke parkiran.
Mata Jessica membulat sempurna saat salah seorang dari kedua laki-laki itu mengangkat wajahnya dan menatap kearahnya. Dengan keras Jessica memekik menyerahkan nama laki-laki itu.
"Devan!!"
-
-
"Sedang apa kau disini? Keluar dari kamarku?!" Perintah laki-laki itu pada si wanita yang berbaring tersebut.
"Beginikah caramu menyambutku setelah kita tidak bertemu selama beberapa tahun. Devan, kau tetap saja tidak pernah berubah. Arogan dan menyebalkan, bahkan padaku, kakak kandungmu sendiri!!" Balas wanita itu menimpali.
Kemudian ia bangkit dari berbaringnya lalu menghampiri Devan yang sedang menikmati minumannya. "Kapan kau pulang? Bukan, lebih tepatnya mengunjungi Mama. Dia sangat merindukanmu, sesekali pulanglah ke Canada untuk mengunjunginya."
Tak ada tanggapan dari Devan. Dia memilih diam dan memilih tak menghiraukan perkataan kakaknya. Wanita itu 'Mia' mendesah berat. Berbicara dengan kulkas berjalan seperti Devan memang membutuhkan kesabaran ekstra.
Davina tak menyalahkan sikap Devan. Dia dan Ibu mereka memang memiliki hubungan yang kurang baik. Dan alasan Devan meninggalkan negeri kelahirannya dan memilih hidup di negeri asing karena ibunya. Dia tak suka di kekang apalagi diatur layaknya sebuah boneka.
"Akan aku pikirkan!! Sebaiknya keluar dari kamarku sekarang juga dan pergi ke kamarmu sendiri. Aku mau istirahat!!" Ucapnya.
Devan bangkit dari duduknya lalu menarik sang kakak untuk keluar dari kamarnya. Bahkan dia tak peduli dengan teriakan dan makian Mia yang menyebutnya menyebalkan, adik durhaka dan lain sebagainya. Devan butuh istirahat, akibat ulah seorang wanita liar dia jadi kurang tidur.
-
-
Sebuah Pagani Huayra berarti di sebuah mention mewah yang memiliki tiga lantai. Seorang lelaki tampan keluar dari mobil sport dengan harga fantastis tersebut. Orang-orang segera membungkuk ketika laki-laki itu berjalan melewati mereka. Wajah tampannya tak menunjukkan ekspresi apapun, datar. Dia berjalan dengan angkuh menaiki tangga menuju lantai dua.
Aroma parfum wanita menyeruak keluar ketika ia membuka pintu kamarnya. Lelaki itu mendesah berat. "Keluarlah dari sini, Aku sedang tidak ingin menggunakan."
"Tetapi Tuan Kris bilang, Anda membutuhkan saya. Makanya saya datang kemari," ucap wanita itu menimpali.
"Ambil uang-uang itu dan jangan pernah muncul kembali di hadapanku!!"
Sontak wanita itu mengangkat kepalanya."Ke..Kenapa, Tuan. Memangnya kesalahan apa yang telah saya lakukan sampai-sampai anda tak membutuhkan saya lagi?"
Lelaki itu menatap wanita di depannya itu dengan pandangan dingin. "Karena Aku sudah bosan dan muak denganmu!!"
Karena wanita itu tak kunjung pergi dari kamarnya, lelaki itu pun segera memerintahkan anak buahnya untuk menyeret dan membawanya keluar. Dia paling tidak suka melihat ada wanita yang menangis di depan matanya. Bukan karena tidak tega ataupun karena kasihan, tetapi karena dia muak.
-
-
Bersambung.
"WHAT'S?!! Jadi semalam kau salah masuk kamar dan tidur dengan pria asing, lalu paginya kau menemukan kartu hitam ini diatas meja dengan sebuah surat yang isinya sebuah permintaan maaf. Yang dalam artian lain, pria itu telah membelimu?!"
Jessica mengangkat bahunya. "Entahlah, apapun artinya. Aku harus menemukan Devan dan mengembalikan kartu hitam ini padanya, aku tidak mau dianggap sebagai wanita murahan karena menerima kartu ini!!"
Sontak mata Jia memicing. "Devan, jangan bilang jika berpikir yang tidur denganmu semalam adalah dia? Karena semalaman Devan ada di kamar sebelah dan kami mengobrol sampai larut malam. Sama sepertiku, dia juga cemas karena kau tak menghilang."
"Lalu jika bukan dia orangnya, terus siapa?" Jessica tampak terkejut.
"Memangnya kamar nomor berapa yang kau masuki semalam?" Jia menatap Jessica penasaran.
"Kamar yang bersebelahan tepat dengan kamar ini. Ketika aku masuk ke dalam kamar itu dalam keadaan gelap gulita, aku pikir kau yang mematikannya. Dan ketika sampai di dalam, aku melihat siluet laki-laki tengah berbaring diatas tempat tidur. Dia bertanya siapa aku lalu memintaku untuk pergi, ya dia mengusirku."
"Lalu kenapa kau tidak pergi!!" Jia menyela cepat ucapan Jessica.
Perempuan itu menggeleng. "Aku benar-benar mabuk berat dan tak sadar apa yang telah aku lakukan. Bahkan ketika aku bangun pagi ini. Aku tidak ingat semalam yang telah kulakukan, yang aku ingat sudah berciuman panas dengan laki-laki asing. Dan selebihnya aku tidak ingat lagi, karena ketika bangun aku tanpa sehelai benang pun." Ujar Jessica menuturkan.
Jia mengusap wajahnya dengan kasar. Dia benar-benar tak mengerti dengan sahabatnya ini. Disaat perempuan lain menangis darah setelah kehilangan kehormatannya. Tetapi hal tersebut tak tampak pada sahabatnya ini. Marah, kecewa dan sedih tak tampak sedikit pun dimatanya. Dia terlihat biasa-biasa saja.
"Apa kau masih waras?"
Jessica menaikkan sebelah alisnya dan menatap dia dengan bingung. "Tentu saja aku waras, Kenapa kau bertanya begitu?"
"Karena kau aneh!!" Jia menyela ucapan Jessica. "Disaat wanita lain menangis darah setelah kehilangan mahkota paling berharganya, tapi kau malah bersikap santai dan biasa-biasa saja!! Apa menurutmu ini wajar?!"
"Memangnya Apa yang perlu ditangisi dan disesali? Karena semua juga sudah terjadi, disesali pun tidak akan ada gunanya karena hal itu tidak akan mengembalikan apa yang telah hilang. Menangis hanya akan membuang waktu dan energi saja." Jawabnya menimpali.
Bohong jika mengatakan Jessica tak sedih dan marah setelah apa yang terjadi semalam. Karena yang hilang dari dirinya adalah mahkota paling berharga yang tak ternilai sama sekali. Tetapi semua sudah terjadi, dia tak ingin menjadi wanita bodoh yang terus-terusan larut dalam kesedihan yang tak berujung. Disesali dan ditangisi pun tak ada gunanya.
"Benar-benar wanita yang kuat, Jess. Jika saja aku yang berada di posisimu, pasti aku sudah menangis darah. Lalu apa rencanamu sekarang?" Jia menatap Jessica penasaran.
"Tentu saja mencari dan menemukan laki-laki itu, aku harus mengembalikan kartu hitam ini padanya. Jujur saja aku senang mendapatkan kartu hitam ini, sebenarnya sayang sekali, tapi jika aku mengambilnya maka itu tak ada bedanya diriku dengan para jal*ng murahan di luaran sana!!" Jawab Jessica.
"Padahal Sayang sekali, Tidak semua orang bisa memiliki kartu hitam itu. Tapi mau bagaimana lagi, memang sebaiknya tak kau gunakan." Jia menghela napas panjang.
Ya, benar sekali. Jessica harus mencari dan menemukan orang itu lalu mengembalikan kartu hitam yang dia tinggalkan untuk menebus peristiwa yang terjadi semalam. Dia bukan wanita mur*han yang akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang.
Lagi pula dia bukanlah perempuan menyedihkan yang kekurangan uang. Dia berasal dari keluarga kaya raya, dan keluarganya berada diurutan kelima sebagai keluarga terkaya di Asia.
"Kau mau kemana?" Tanya Jia melihat Jessica mengambil tasnya.
"Pulang, aku sangat lelah dan ingin beristirahat. Aku pergi dulu, sampai jumpa besok." Jessica melambaikan tangannya dan meninggalkan dia begitu saja.
-
-
Jantung pria itu berdetak kencang. Peluh membanjiri di sekujur tubuhnya, berkali-kali dia menelan ludah melihat tatapan tajam lelaki yang duduk di depannya. "Tu...Tuan, saya bersalah. Saya tidak akan melakukan kesalahan lagi." Ucapnya dengan suara gemetar.
Lelaki itu menyeringai tajam. "Memaafkanmu, kenapa kau berharap aku memaafkan dirimu?! Apa kau sadar dengan kesalahan yang sudah kau lakukan?"
"Sa...Saya sadar. Untuk itu saya minta maaf. Tu..Tuan, tolong ampuni saya."
Lelaki itu memainkan sebuah senjata api, sesekali ujung senjata itu dia arahkan pada pria di depannya. Membuat keringat dingin semakin deras mengucur dari pelipisnya. Apakah dia akan mati hari ini? Itulah yang dia pikirkan.
"Aku akan memberimu dua pilihan. Mati dengan cepat atau perlahan-lahan?" Dia menatap langsung ke dalam manik hitam pria tersebut.
"Tuan, saya mohon. Ampuni saya, jangan bun*h saya." Dia merangkak dan memeluk kaki lelaki itu.
Mencari masalah dengan lelaki ini sama saja dengan bunuh diri. Dia paling benci dengan namanya penghianatan. Dan harga mahal yang dibayar oleh seorang penghianat adalah dengan kematian. Tak ada yang selamat apalagi lolos dari Kematian setelah mengkhianatinya.
Lelaki itu bangkit dari kursinya dan menatap tajam pada pria yang masih memeluk kakinya. Dengan kasar dia menyentakkan kakinya hingga pria itu tersungkur ke belakang. "Kau memang akan diadili, tapi bukan aku yang akan mengadilimu, tapi mereka!!"
Pria itu menggeleng. Dia meronta dan terus berteriak ketiga tub*hnya di seret menuju ruangan gelap dengan aroma besi berkarat yang kuat. Menangis, meraung, memohon, semua itu tak akan ada gunanya. Dia telah melakukan kesalahan besar dan membuat bos Mafia yang paling berbahaya marah. Dan dia harus membayar mahal untuk perbuatannya tersebut.
"Xiao Luhan!! Kau benar-benar Iblis!!"
Lelaki itu Luhan, hanya melambaikan tangannya tanda tak peduli. Dia pergi meninggalkan bangunan super megah dengan tiga lantai tersebut. Pria itu telah melakukan sebuah kesalahan yang tak termaafkan, dan orang seperti dia memang pantas mendapatkan hukuman.
.
.
Tappp....
Luhan menghentikan langkahnya saat dia mencium aroma parfum yang sangat familiar ketika seorang perempuan melewati mobilnya. Dia segera turun dan menoleh kearah perempuan itu pergi, namun nihil. Sosok itu telah menghilang dan dia tak tau kemana dia berbeloknya.
"Tuan, ada apa?" Tegur seorang pria melihat wajah kebingungan bosnya.
Luhan menggeleng. "Bukan apa-apa." Kemudian Luhan masuk kembali ke dalam mobilnya. Aroma parfum itu mengingatkannya pada aroma perempuan yang masuk ke kamarnya malam itu. "Aku tidak mungkin salah, mungkinkah yang baru saja lewat itu benar-benar dia?"
-
-
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!